Ningrum terus berkelebat cepat meninggalkan puncak Bukit Karang Kanjen. Saat ini, rasa dendam bercampur kekecewaan berkecamuk dalam hati murid Raja Pedang Kupu-kupu itu. Gurunya tewas di tangan Dewa Abadi. Dan ia sebagai murid, merasa harus berbakti terhadap gurunya. Makanya, kini Ningrum bertekad mencari Dewa Abadi untuk meminta pertanggungjawabannya.
"Dewa Abadi...!" desis Ningrum penuh kemarahan. "Kini tak ada pilihan lain lagi. Terpaksa aku harus menuruti keinginanmu. Tapi, ingat! Walau sebenarnya aku tak sealiran dengan guruku, tapi sebagai murid bagaimanapun juga harus berbakti. Aku harus meminta pertanggungjawabanmu Dewa Abadi atas tewasnya guruku!"
Ningrum sejenak menghentikan langkahnya. Dadanya yang membusung bergerak turun naik, memendam kemarahan membludak. Udara segar di luar hutan Bukit Karang Kanjen terasa sesak.
"Tapi, ke mana aku harus mencari orang. Seorang anak manusia yang terlahir bersama naga seperti yang di inginkan Dewa Abadi? Hm...! Rasa
Ningrum mengkelap bukan main. Saking amarahnya tak dapat dikendalikan segera kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi merah kekuningan didorongkan ke depan.Wesss! Wesss!Seketika meluruk dua sinar merah kekuningan dari kedua telapak tangan murid Raja Pedang Kupu-kupu siap melabrak tubuh tinggi besar Algojo Angin Timur!Tentu saja tokoh sesat bertubuh tinggi besar itu tak sudi tubuhnya dijadikan sasaran. Ketika sedikit lagi kedua sinar itu melabrak tubuhnya, secepatnya kedua tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi dihentakkan."Aji 'Rengkah Bumi'! Heaaa...!" Bummm...!Terjadi ledakan hebat bukan main ketika dua kekuatan dahsyat bertemu. Seketika bumi pun berguncang! Ranting-ranting pohon berderak dengan daun-daun hangus terbakar!Algojo Angin Timur yang baru saja melepas ajian 'Rengkah Bumi' tertawa bergelak. Kedua kakinya sempat melesak beberapa dim ke dalam. Sedang sewaktu terjadinya bentrokan tadi, tubuh si gadis kontan limbung.
Melihat datangnya serangan, murid Setan Bodong itu segera membuka jurus-jurus 'Naga Pamungkas' yang menjadi andalannya. Sedang kedua telapak tangannya yang kini berubah jadi putih terang siap melontarkan pukulan maut tenaga 'Inti Dingin'."Heaaa!”Dan begitu serangan-serangan Algojo Angin Timur mulai mendekati sasaran, kedua telapak tangan Baraka yang membentuk dua cakar naga pun segera bergerak lincah.Plakkk! Plakkk!Begitu terjadi benturan tangan, dengan gerakan sulit terduga Algojo Angin Timur melayangkan bogem mentah ke beberapa bagian yang mematikan di tubuh Baraka. Namun pada saat itu, si pemuda segera dapat membaca arah gerakan. Cepat bagai kilat segera dipapakinya pukulan-pukulan Algojo Angin Timur dengan gerakan cakaran telapak-cakaran telapak kedua telapak tangannya.Plakkk! Plakkk!Serangan-serangan Algojo Angin Timur berhasil ditangkis oleh cakaran telapak-cakaran telapak kedua tangan Baraka. Seketika buku-buku tangan lela
Tanpa banyak cakap, Baraka segera berbalik. Sambil menunggu gadis itu membetulkan pakaian, pemuda dari Lembah Kera mencoba membuka percakapan."Sebenarnya, kenapa tadi kau menangis demikian menyedihkan di dalam hutan?"Ningrum yang tengah sibuk membetulkan pakaian sengaja tidak langsung menjawab. Dan dengan agak gugup pakaiannya yang robek memanjang di sana sini diikat. Memang tidak begitu rapi dan masih menampakkan sebagian lekuk-lekuk tubuhnya. Tapi itu sudah cukup. Baru kemudian Ningrum segera mendekati pemuda penolongnya."Sebelumnya aku minta maaf atas kelakuanku tadi, Baraka! Aku memang sedang bersedih. Guruku, Raja Pedang Kupu-kupu tewas di tangan manusia durjana yang bergelar Dewa Abadi.""Ya ya ya...! Tapi, sekarang aku sudah diperbolehkan melihat tubuh.., eh! Maksudku, bolehkah aku berbalik?" kata Baraka buru-buru mengulangi ucapannya.Sebenarnya sewaktu gadis cantik di belakangnya tadi berbicara, pemuda dari Lembah Kera masih sangat terk
"Cepat jawab pertanyaanku! Benarkah kau bergelar Pendekar Kera Sakti!" bentak Iblis Pocong garang.Baraka alias Pendekar Kera Sakti tenang saja, seperti tak mempedulikan kehadiran kedua orang tua itu."Kau ini bertanya pada siapa, Pak Tua," kata Baraka, kalem."Keparat! Aku bertanya padamu, tahu?" bentak Iblis Pocong lagi. "Sekarang katakan! Benarkah kau yang bergelar Pendekar Kera Sakti?""Oh...! Jadi kau bertanya padaku? Kenapa kasar amat? Sopan sedikit dong?""Jangan banyak bacot! Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Iblis Muka Bayi garang.Baraka sebenarnya heran, karena kedua orang tua itu seperti mempunyai maksud yang tidak baik. Lebih heran lagi, karena rasa-rasanya ia belum pernah bertemu mereka. Jadi, tak ada alasan mereka memusuhinya."Heran-heran! Kenapa selalu saja ada orang yang meributkan siapa aku? Hey, dengar! Kenapa sih kalian usil bertanya tentang siapa aku sengaja? Dasar kurang kerjaan! Su
"Ah...!" pekik Ningrum gugup.Belum sempat Si gadis bertindak lebih lanjut, tahu-tahu senjata-senjata kedua tokoh sesat itu telah menghantam tubuh Ningrum.Bukkk! Ctarr...!"Augh...!"Baraka hanya bisa terpana melihat tubuh Ningrum jatuh berdebam ke tanah dan tak dapat bangun lagi. Baraka yang semula sengaja memberi kesempatan gadis itu untuk mengumbar serangan jadi menyesali kebodohannya. Maka hatinya kontan tersaput kemarahan. Saking tak dapat mengendalikan amarah, wajah Baraka terlihat berubah memerah."Jahanam! Kalian benar-benar manusia jahanam tak tahu malu! Demi Dewata! Aku tidak akan membiarkan kalian menebar angkara murka di depan mataku!" bentak Baraka penuh kemarahan."Heaaa...!"Dan dengan teriakan membelah angkasa, Baraka kembali menerjang ketiga orang pengeroyoknya. Gelang-gelang Brahmananda dilengan tangannya kembali terbang berseliweran menyerang ketiga pengoroyoknya. Kali ini Peramal Darah, Iblis Pocong dan I
Baraka yang merasa di atas angin membusungkan dada. Lalu dengan langkah mantap, ia berjalan mengekor di belakang Dewa Abadi."Hayo, sekarang kalian mau apa lagi?! Aku tidak takut lagi menghadapi keroyokan kalian. Majulah kalau ingin kugebuk pantat kalian!" ejek Baraka.Peramal Darah dan Iblis Pocong mengkelap bukan main. Kalau saja di situ tidak ada Dewa Abadi, sudah pasti akan kembali diserangnya Baraka. Namun berhubung tokoh sakti itu berada pada pihak Baraka, terpaksa mereka hanya bisa melotot gusar.Namun rupanya tidak demikian halnya Iblis Muka Bayi. Meski telah merasakan kehebatan Dewa Abadi, namun ia sedikit pun tidak gentar."Dewa Abadi! Kuakui, waktu itu aku kalah darimu. Namun, sedikit aku tidak gentar menghadapimu! Sekarang kalau kau ingin melindungi pemuda tengil itu, majulah! Aku siap melayanimu!"Mendengar ucapan Iblis Muka Bayi, seketika nyali Iblis Pocong dan Peramal Darah yang semula menciut kini mendadak berkobar-kobar."Se
KENING Baraka berkerut dalam menatap sosok yang mengeluarkan bentakan. Sosok yang tak lain Dewa Abadi itu kini malah melangkah mendekati tubuh Ningrum. Semula si pemuda merasa cemas bukan main. Namun ketika dilihatnya orang tua renta itu menotok beberapa jalan darah dan mengurut tengkuk tubuh gadis itu, baru Baraka merasa lega.“Aneh...! Rasanya belum pernah aku bertemu orang macam dia. Ternyata Ningrum yang telah dicelakakan, eh, malah sekarang diobati," gumam Baraka dalam hatiSelang beberapa saat, Ningrum pun mulai siuman. Perlahan-lahan kelopak matanya pun mulai membuka. Namun saat itu pula, Ningrum memekik tertahan. Sepasang matanya yang semula bersinar indah, mendadak berkilat-kilat penuh kemarahan."Jangan terlalu banyak bergerak, Cah Ayu...! Luka dalammu belum begitu pulih. Minumlah obat ini!" kata Dewa Abadi lembut seraya menyerahkan obat pulung yang diambil dari dalam saku bajunya.Sejenak Ningrum membelalak heran melihat perubahan sikap o
Saat itu pula, Dewa Abadi meluruk deras menyerang Baraka. Ia yang ingin segera menemui kematian, tidak tanggung-tanggung lagi untuk mengeluarkan ajian 'Sukma Abadi' agar Baraka mau mengerahkan ilmu pamungkasnya. Maka begitu, 'Sukma Abadi' dikerahkan, seketika kedua telapak tangan Dewa Abadi telah berubah jadi putih berkilauan hingga sampai ke pangkal siku! Kemudian dengan sebagian tenaga dalamnya, lelaki tua itu segera menghantamkan kedua tangannya ke depan.Wesss! Wesss!Hebat bukan main serangan Dewa Abadi. Sebelum pukulan 'Sukma Abadi' mengenai sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin dingin mendahului! Diam-diam Baraka mengeluh dalam hati. Kendati tak berhasrat untuk bertarung, tentu saja tubuhnya tidak ingin jadi sasaran empuk serangan-serangan Dewa Abadi. Maka begitu menyadari datangnya bahaya, segera tubuhnya melenting ke samping. Sehingga dua larik sinar putih terang dari kedua telapak tangan Dewa Abadi terus menerabas ke belakang, menghantam batang pohon.
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern