Sepuluh pendekar Cina itu terus mengawasi pesisir di mana sebentar lagi kapal mereka akan merapat. Mereka kelihatannya waspada, mungkin karena kejadian di laut tempo hari saat kapal mereka diserang sekelompok bajak laut.
Mereka yakin kalau bajak laut yang masih hidup dan tidak sempat mereka tangkap telah melapor pada pimpinannya. Tidak tertutup kemungkinan, kalau kedatangan mereka diawasi oleh kawanan perompak itu.
"Waspadalah, tentunya bajak laut yang tempo hari lolos telah melaporkan pada pimpinannya. Tidak tertutup kemungkinan, kedatangan kita diawasi mereka," kata seorang pendekar bertubuh tinggi tegap dalam bahasa Cina. Tentunya pendekar ini yang menjadi pemimpin dari sembilan pendekar lainnya.
Di dada pemimpin pendekar dari daratan Cina itu tertera sebuah lambang seekor naga berwarna hijau dengan sepasang pedang menyilang. Gambar itu mengandung arti kalau pendekar itu berasal dari Perguruan Naga Hijau, sebuah perguruan besar di Cina yang banyak menghasilka
Han Jin tersentak mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada, sehingga dengan memiringkan tubuhnya ke samping, serangan itu dapat dihindarinya. Kemudian, tanpa berpikir panjang, pendekar dari Cina itu balas menyerang dengan menusukkan pedangnya ke tubuh lawan yang meluruk ke depan.Kapak Iblis tersentak kaget, hampir saja pedang di tangan lawan menghunjam ulu hatinya, kalau saja ia tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh. Sementara tangan yang memegang sepasang kapak turut bergerak menangkis tusukan.Tring!Dua buah senjata beradu keras. Memercikkan pijaran api di udara. Lalu kedua pemilik senjata itu dengan cepat melompat ke belakang. Wajah Kapak Iblis berubah pucat ketika tangannya tergetar akibat benturan senjata tadi. Dia sadar kalau lawannya bukan orang sembarangan.Tenaga dalam lawan ternyata berada dua tingkat di atasnya. Benar-benar tidak terduga oleh Kapak Iblis, kalau lawannya yang masih kelihatan muda itu memiliki tenaga dal
Mendengar aba-aba itu, lebih dari lima puluh orang dengan spontan berlompatan keluar dari persembunyian mereka diikuti oleh empat pimpinan mereka. Dengan semangat tinggi mereka menyerbu ke arah kapal. Seperti telah direncanakan, sekitar lima puluh orang anak buah itu segera membantu Tuak Iblis menghadapi sembilan pendekar dari Cina itu.Sedangkan empat pemimpin mereka kini mengurung pemimpin pendekar muda dari Cina yang sudah diketahui berilmu tinggi.Pertarungan yang tadinya tidak seimbang kini bertambah seru, karena banyak para penyerang mengalami kematian.Bahkan dua orang pemimpin mereka entah bagaimana nasibnya. Semangat para penyerang yang tadinya telah melemah, kembali berkobar. Mereka dengan berani mencoba merangsek sembilan pendekar muda dari Cina, walau untuk itu mereka harus mengorbankan nyawa. Sebab, sembilan pendekar muda dari Cina itu ternyata bukan lawan enteng. Ilmu mereka semuanya setara, membuat gerakan mereka terlihat demikian kompak dan cepat
Pedangnya digerakkan dengan membentuk putaran di atas kepala. Sementara tangan kirinya yang tidak bersenjata, turut menghempas pukulan dahsyat ke depan, sedangkan kaki kanannya dengan gerakan tak kalah gesit, menyepak ke belakang. Sungguh sebuah gerakan yang sangat hebat. Jarang orang bisa melakukan gerakan-gerakan seperti itu. Hampir semua anggota tubuhnya merupakan senjata ampuh.“Heaaa....!”Keempat penyerang kembali harus membuka mata menyaksikan gerakan yang aneh dan dahsyat itu. Akan tetapi, tak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk menarik serangan karena jarak antara mereka dengan Han Jin telah demikian dekat.Trang!Benturan senjata mereka dengan pedang Han Jin terjadi, menciptakan percikan api dan keterkejutan keempat penyerangnya. Tangan mereka seperti kesemutan.Sementara itu, Han Jin rupanya mengalami luka dalam yang cukup parah akibat benturan tadi. Hingga dari sudut bibirnya meleleh darah kehitaman. Han Jin menggeleng-gel
Pendekar malang itu memekik dengan mata melotot. Tangannya berusaha mencabut tombak yang menancap di punggungnya, namun maut telah mendahului. Tubuhnya limbung, kemudian jatuh terkulai tanpa nyawa.Kepanikan datang mendera keenam pendekar muda dari Cina yang masih hidup, terlebih ketika mereka mendengar jeritan yang menyayat. Ketika mata mereka melirik ke arah kakak seperguruan mereka yang tengah menderita luka dalam, mata mereka membelalak khawatir.Han Jin terlihat memegangi kepalanya yang melelehkan darah, tersabet pedang di tangan Pedang Akhirat. Han Jin masih berusaha mempertahankan diri, akan tetapi darah yang banyak keluar menjadikannya tak mampu. Tubuhnya ambruk dan mati.Tuak Iblis yang melihat gelagat itu dengan segera memberi semangat pada sisa-sisa anak buahnya yang masih berjumlah dua puluh lima orang."Habiskan mereka"Pertarungan jelas semakin tidak seimbang dengan hilangnya rasa percaya diri pada keenam pendekar muda dari Cina itu.
"Entah mengapa, mereka sepertinya tidak bermaksud membunuhku," tutur Mei Lie setelah menceritakan semua kejadian yang menimpa mereka."Jadi, mayat-mayat yang kemarin kutemui, adalah mayat para pengawal kapal ayah Nona?" tanya Baraka berusaha memastikan."Tidak semuanya. Pengawal kami hanya sepuluh orang. Selebihnya adalah begundal orang yang kudengar bernama Wasesa," jawab Mei Lie menegaskan, membuat mata pemuda itu membelalak mendengar nama Wasesa kembali diucapkan oleh seseorang sebagai simbol kejahatan dan kekejaman.Ingatan pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang sinting itu seketika kembali ke masa delapan tahun silam. Saat ayah dan ibunya dikeroyok oleh Wasesa dan begundalnya. Dia sudah mendatangi desa di tempat dia dilahirkan. Di sana telah didapatnya berita kalau ayah dan ibunya mati di tangan Wasesa."Jahanam! Orang itu benar-benar jahanam" dengus Baraka seraya mengepalkan tinjunya. Tapi secepat itu pula, pemuda itu tersenyum-senyum sera
Sesaat Baraka menghentikan ucapannya, memandang lekat wajah Wasesa yang berubah terkejut. Pemuda itu terkekeh, seakan perubahan wajah Wasesa merupakan hal lucu yang tak mampu menahan tawanya."Ibuku bernama Dewi Salindri. Seorang wanita yang setia pada suaminya. Dan karena cinta butamu, kau berusaha memperkosa ibuku. Nah Cukup jelas, bukan?"Merah padam wajah Wasesa dilanda amarah. Kini tak ada waktu lagi untuk membiarkan pemuda sinting itu hidup. Pemuda itu akan senantiasa menjadi duri dalam setiap sepak terjangnya. Dengan mendengus sengit Wasesa berseru memerintahkan pada ketiga rekannya untuk menyerang."Bunuh pemuda sinting itu..."Tanpa diperintah dua kali, ketiga pengikutnya segera menyerang pemuda gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala menyaksikan tiga orang menerjang ke arahnya."Bocah edan Terimalah kematianmu Heaaa..."Pedang Akhirat yang sudah tahu siapa pemuda yang menjadi lawannya, kini tidak tanggung-tanggung
Singgg...!Senjata lawan menderu ke arah Pendekar Kera Sakti. Sesaat lagi, pasti batok kepalanya akan remuk dihantam rantai berduri milik lawan. Dalam keadaan kritis, pemuda itu mencabut Suling Krishna dari ikat pinggangnya. Kemudian ditebaskannya suling itu ke atas dengan mengerahkan sisa tenaga dalamnya yang dilapisi Tenaga Angin Es dan Api.“Heaaa...!”Trang!Percikan bunga api keluar ketika dua senjata itu beradu. Pendekar Kera Sakti terpental, jatuh terduduk dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Sedangkan mata Kelangit Sepuh melotot tegang ke arahnya. Dari mulutnya keluar kata terputus-putus."Kau.... Kau Pendekar Kera Sakti... Ka..." Belum usai ucapannya, tubuh Kelangit Sepuh telah terjungkal setelah mengeluarkan darah kehitaman. Sesaat dia mengerang, kemudian mati dengan tubuh biru.Nyi Bangil terlonjak ke belakang dengan mata melotot tegang. Tatapannya ngeri, menyaksikan betapa dahsyatnya tenaga dalam pem
Gerakannya kelihatan lamban dan lemah gemulai, membuat Wasesa menganggap enteng. Wasesa segera menyabetkan harpa di tangannya ke arah lawan. Dia menyangka gerakan Pendekar Kera Sakti yang lamban dan lemah itu tak akan mampu mengelakkan sabetan harpanya. Tapi betapa terkejut hatinya ketika menyaksikan apa yang terjadi. Menurut dugaannya tak akan mampu mengelakkan serangannya, ternyata justru sebaliknya. Meski gerakan pemuda itu kelihatan lamban dan lemah, namun justru dengan mudahnya mengelak. Hanya dengan menggeser kaki ke samping dan melenturkan tubuh dengan membungkuk dan mendongak, semua serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan kini tepukan pemuda itu mengejutkan Wasesa. Plak! Hampir saja Wasesa dapat ditepuk oleh tangan pemuda itu, kalau tubuhnya tidak segera melompat ke belakang. Tidak alang kepalang kagetnya Wasesa ketika tiba-tiba tangan pemuda yang seperti menari itu telah dekat ke arahnya. Padahal dia telah menguras ilmu meringankan tubuh, n
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu
SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu, "Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau dipakai remas-remasan!"Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan.Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil menyeret mayat-mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,
Pendekar Kera Sakti manggut-manggut, lalu ia merenung panjang ketika matahari makin surut dan petang pun tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk. Ketika ia kembali lagi sudah membawa sebongkah batu satu genggaman tangan. Batu itu cekung di permukaannya, lalu diberinya kain sedikit dari sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah api yang segera menyambar kain bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain tersebut menjadi sebuah pelita yang cukup ajaib. Bisa menyala sampai beberapa saat lamanya, bahkan sampai besok pagi pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu.Rupanya percakapan itu ada yang menyadap dari luar gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar Kera Sakti."Ada maling!"Baraka berkerut dahi, menelengkan telinganya, mencari dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu berkata lagi dengan lirih, "Kau mendengar degub jantungnya?""Tidak.""Bodoh kamu!" ucap nenek itu seenaknya saja. "A
Tawa pun terdengar pelan. Nenek itu bertanya setelah memandang keadaan gubuk tersebut, "Ini rumahmu, Baraka?""Bukan.""Lalu, rumah siapa yang begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa.Baraka tersenyum sambil menjawab. "Aku sendiri tidak tahu, Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong. Kupikir tadi mau hujan, jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak suka tinggal di sini, aku tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa terdekat sini, Nek.""Aku tidak bilang begitu. Aku cuma tanya saja!" katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan menggunakan tongkatnya.Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat ia terlempar dan membentur pohon tadi. Dan Baraka pun menyelamatkan nenek itu tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam tongkatnya."Baraka....""Ada apa?""Aku hanya menggumam sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Baraka!” Nyai Cungkil Nyawa berkerut dahi sambil meng
"Kau pasti lupa padaku, Rangka Cula, karena cukup lama kita tidak bertemu!""Setan Bangkai.""Oh ohh... oho oho ho ho...!" orang itu semakin tertawa. "Ternyata kau masih ingat namaku, Rangka Cula! Ya. Benar. Akulah si Setan Bangkai! Syukurlah kalau kau masih ingat aku. Berarti kau masih ingat dengan istriku yang kau bunuh seenaknya di Rawa Kebo itu, hah! Masih ingat!""Masih!" jawab Rangka Cula dengan tegas."Bagus!" Setan Bangkai segera mencabut goloknya pelan-pelan dan berkata tanpa senyum, juga tanpa tawa."Kalau begitu kau masih ingat, bahwa kau punya hutang nyawa padaku, Rangka Cula!""Ya!""Kalau waktu itu aku terluka oleh ilmumu, tapi sekarang kau tak akan bisa melukaiku lagi! Sudah kusiapkan jurus istimewa untuk memenggal kepalamu, Rangka Cula!""Silahkan!""Tapi terlebih dulu aku ingin kau menjawab pertanyaanku!""Katakan.""Mana si raksasa yang bergelar Dewa Murka itu! Mana Logayo!""Sudah
Tepat mengenai mulut Rangka Cula, sehingga Rangka Cula terpental ke belakang dan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Ada antara lima tindak ia tersentak ke belakang, setelah itu kembali berdiri tegak walau ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari dalam hidungnya. Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas dibarengi dengan tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung Rangka Cula mengucurkan darah.Rangka Cula diam saja memandangi Nyai Cungkil Nyawa. Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa membuat hidung Rangka Cula berdarah. Tapi mata itu jadi menyipit heran begitu melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba meresap hilang, seperti masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula menjadi bersih tanpa setitik noda merah pun. Bahkan tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu juga kering tanpa bekas darah setetes pun."Semakin sakti saja kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan bicara pada dirinya