"Apa yang Sangkuk katakan memang masuk di akal. Tapi, bagaimana dengan Baraka? Kenapa dia turut menghilang? Apakah memang ada orang jahat yang tidak suka melihat kehadirannya di Perkampungan Suku Asantar ini? Dan, bermaksud mencelakakan pemuda itu?"
"Begitulah kira-kira. Menurut dugaanku, entah didahului dengan peristiwa apa, Sadeng Sabantar dijadikan semacam sandera oleh seseorang yang punya maksud tak baik terhadap Baraka. Silasati yang amat mencintai Sadeng Sabantar dipaksa untuk membawa Baraka keluar dari rumah ini. Lalu setelah Baraka jatuh ke tangan orang jahat itu, Silasati dan Sadeng Sabantar menjadi amat ketakutan karena merasa bersalah telah menjerumuskan seorang tamu terhormat macam Baraka. Dan, karena rasa bersalah itulah mereka tak berani menampakkan diri di Perkampungan Suku Asantar ini. Yang merasa ketakutan itu terutama Silasati. Kalau dia muncul, bukankah kau bisa mengorek keterangan dan memaksanya untuk bicara? Bukankah kau yang menjadi saksi perbuatan Silas
Cusss...!"Akkhhh...!"Memekik parau lagi Sasak Padempuan. Gumpalan sinar merah berbentuk kerucut masuk perlahan ke tubuh Sasak Padempuan. Pada waktu masuk itulah Sasak Padempuan merasakan siksaan yang amat menyakitkan. Sekuat tenaga dia berusaha menahan rasa sakit itu. Karena kalau dia tak tahan dan sampai jatuh pingsan, maka sia-sialah usaha Danyangsuli yang hendak mengembalikan kekuatan ilmu sihirnya."Tahan, Padempuan! Sedikit lagi! Sedikit lagi!" seru Danyangsuli, tetap menyorongkan cincin mustikanya ke arah Sasak Padempuan.Tak ada yang dapat dilakukan Sasak Padempuan kecuali menjerit-jerit dan melonjak-lonjak bagai orang kesurupan. Namun tak lama kemudian, gumpalan sinar merah lenyap. Masuk semuanya ke tubuh Sasak Padempuan. Dan, Sasak Padempuan pun tak lagi tersiksa oleh rasa sakit. Rasa sakit yang semula merejamnya kini lenyap tanpa sisa. Bahkan, tubuhnya malah terasa amat ringan dan segar bugar!Angin yang berhembus di kala mentari bersin
Dengan peluh bercucuran, tubuh Danyangsuli tergolek lemas di lantai gua. Sedikit malas dia rapikan lagi letak pakaiannya. Sementara, Sasak Padempuan yang telah mengenakan kembali pakaiannya langsung berdiri berkacak pinggang. Tatapannya pada Danyangsuli berubah sinis dan terlihat amat menghina."Tidakkah kau sadar bila satu peristiwa besar telah terjadi padamu, Suli?" ujar si pemuda.Perlahan, Danyangsuli beringsut duduk. Dibalasnya tatapan Sasak Padempuan dengan segudang tanda tanya di hati."Jawab pertanyaanku, Suli! Tidakkah kau sadar bila satu peristiwa besar telah terjadi padamu?" ulang Sasak Padampuan."Peristiwa apa?" selidik Danyangsuli. "Kenapa sikapmu berubah begini aneh, Padempuan? Baru saja aku menuruti kemauanmu, apakah kau hendak balas kebaikanku ini dengan sikap anehmu itu!""Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sasak Padempuan. "Belum pernah aku berjumpa dengan orang tolol sepertimu, Suli!! Kematianmu sudah di pelupuk mata, kenapa kau sam
Mendengus gusar Danyangsuli. Wajahnya yang cantik berubah garang dan tampak penuh nafsu membunuh. Lalu dengan bola mata melotot besar, dia berkata...."Boleh kau menyebut dirimu sebagai Raja Alam Sihir, tapi buktikan dulu kemampuanmu!"Untuk melepas hawa amarah dan kebenciannya, wanita berkulit kuning langsat itu menjulurkan kedua tangannya ke depan. Melihat sikapnya, jelas bila dia hendak mengeluarkan ilmu sihirnya. Hingga terlihat kemudian...."Naga Petinggi Neraka datang! Melumat habis tubuh sialmu itu, Padempuan! Hom asantarnas hawarnas... samlas...!"Aneh! Dari ujung sepuluh jari tangan Danyangsuli mengepul asap putih kemerahan. Kepulan asap itu semakin lama semakin menebal, lalu membentuk wujud seekor naga terbang yang siap mencabik-cabik tubuh Sasak Padempuan!Tahu ada bahaya mengancam jiwanya, cepat Sasak Padempuan menjulurkan kedua tangannya ke depan. Dengan bantuan daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa', dia keluarkan salah satu ilmu s
"Sedikit banyak, aku bisa merasakan apa yang tengah kau rasakan saat ini, Baraka...," ujar Danyangsuli, penuh kesungguhan."Jangan heran jika kau melihat keadaanku jadi seperti ini. Ini semua terjadi karena kebodohan dan kecerobohanku....""Kau yang membebaskan aku?" tanya Baraka."Ya," jawab Danyangsuli."Lalu..., kenapa kau terluka? Dan, siapa yang melukaimu? Bancakluka? Bancakdulina?" tanya Baraka lagi, agak tergagap. Iba juga hatinya melihat Danyangsuli yang terus meringis kesakitan. Tapi, haruskah dia memberi pertolongan? Sementara, dia tahu bila wanita itu adalah seorang ahli sihir yang amat berbahaya!"Tentu masih segar dalam ingatanmu, seorang pemuda bernama Sasak Padempuan....""Kenapa dengan dia?""Dialah yang telah membuatku seperti ini!""Dia? Bagaimana bisa? Bukankah kekuatan ilmu sihirnya telah dilenyapkan oleh para sesepuh Suku Asantar?""Ketahuilah..., sebenarnya Sasak Padempuan adalah kekasihku. Dan, sia
Di dalam sebuah rumah panggung besar, Bancakluka dan Bancakdulina duduk bersila dengan hati berdebar-debar. Sudah sepenanakan nasi lamanya mereka menunggu lima orang sesepuh suku yang tengah khusuk bersemadi.Di sisi kanan ayah dan anak itu tampak Bancaksika dan istrinya, yang tak lain dari orangtua Silasati. Sementara, di sisi kiri terlihat sepasang suami istri lain, sebaya dengan Bancaksika dan istrinya. Sepasang suami-istri yang tampak amat gelisah itu mengenakan pakaian bagus, terbuat dari bahan mahal. Yang wanita memakai perhiasan emas berlian di leher dan pergelangan tangannya. Dan, yang lelaki memakai hiasan cemeti emas di dada kiri. Keduanya adalah orangtua Sadeng Sabantar, salah satu keluarga terpandang di Suku Asantar. Mereka semua yang tengah duduk di atas anyaman tikar itu jelas menyimpan rasa tak sabaran. Rasa khawatir yang juga terpancar di sorot mata mereka.Lima orang sesepuh suku yang sedang duduk bersemadi memakai jubah hitam. Mereka bersedia menuruti
Tak kuasa menahan rasa sakit yang merejam tubuhnya, Baraka menjerit keras sekali. Jeritan pemuda remaja itu terdengar amat panjang dan menyayat hati. Menggema di seluruh ruangan gua.Dari sekujur tubuh Danyangsuli yang tengah duduk bersandar pada dinding gua memancar sinar merah menyilaukan mata. Pancaran sinar merah itu lalu masuk ke tubuh Baraka melalui ubun-ubun!Semakin keras Baraka menjerit. Rasa sakit semakin merejam tubuh pemuda dari Lembah Kera itu. Namun sebelum kesadarannya hilang, sinar merah yang memancar dari tubuh Danyangsuli telah habis masuk ke tubuh Baraka. Sehingga, rasa sakit yang dirasakan Baraka lenyap dengan tiba-tiba."Maafkan aku, Baraka...," desis Danyangsuli."Aku telah memaksamu menerima kekuatan ilmu sihir ku....""Apa? Kau telah memindahkan kekuatan ilmu sihirmu ke tubuhku?" sahut Baraka, setengah tak percaya. Sifat lugu jelas tersirat di wajahnya."Begitulah. Kau sekarang mempunyai kekuatan ilmu sihir yang cukup
Berkerut kening Bancakluka melihat sebuah cermin berukir yang semula tergolek di bawah bantal. Cermin itu cuma selebar telapak tangan, berbentuk persegi empat. Ukiran pada keempat sisinya terlihat amat bagus, seperti ukiran pada cermin putri istana.Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'!"Astaga!"Tersentak kaget Bancakluka. Ketika memeriksa cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa', dia tidak melihat bayangan wajahnya di permukaan cermin itu.Bancakluka hanya dapat melihat bayang-bayang buram. Tentu saja keanehan itu membuat si pemuda kaget. Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' memang bukan cermin sembarangan, melainkan cermin ajaib milik seorang manusia setengah ular bernama Ratu Perut Bumi, yang dipinjamkan kepada Pendekar Kera Sakti."Aku yakin cermin ini sebuah benda mustika...," pikir Bancakluka, tangannya yang memegang cermin tampak bergetar. "Tapi, bagaimana cermin ini bisa berada di sini? Hmmm.... Walau aku tak pernah melihat sebelumnya, aku yak
Namun ketika para ksatria mulai merentang busur dan menyerang Bancakluka dengan puluhan anak panah, semua pengunjung menahan napas. Tak ada yang dapat bersuara. Demikian pula Bancakdulina. Tentu saja Bancakdulina mengkhawatirkan keselamatan putra tunggalnya. Tapi, tekad dan keinginan si kakek sudah amat bulat. Sebelum ajal menjemputnya, dia ingin melihat Bancakluka menjadi pemimpin Suku Asantar untuk menggantikannya. Dan, dia yakin keinginannya itu akan terwujud. Hingga, dapatlah Bancakdulina menekan rasa khawatir di hatinya.Akan tetapi karena hujan anak panah mengguyur bak air bah yang tak pernah ada habisnya, Bancakluka jadi amat kerepotan. Beberapa kali tubuhnya hampir tertembus. Kaum wanita dan anak-anak yang berada di pinggir tanah lapang, tak kuasa melihat adegan yang amat mendebarkan itu. Mereka mengalihkan pandangan. Beberapa orang di antaranya bahkan menjerit ngeri seraya menutup mata rapat-rapat.Untunglah, sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi, anak p