Mata Bimasena menatap tak berkedip. Di hadapannya, Ki Kalam telah menjadi seorang lelaki dengan wujud yang mengagumkan. Tubuhnya bercahaya emas dan wajahnya yang tadinya tua sekarang telah berubah menjadi muda kembali. "Ini adalah kekuatan Keabadian milikku, Api Emas Brahma. Tak ada satu Iblis pun yang akan menang melawan kekuatan ku... termasuk dirimu..." ucap Ki Kalam dengan wujud yang sangat lain. Namun Bima tak peduli lawan mau berubah atau tidak. Baginya, Ki Kalam tetaplah manusia yang harus di bunuh. "Terserah kau mau menjadi muda atau apa, tapi jangan sombong dulu, aku belum bertarung secara serius!" kata Bima. Ki Kalam tersenyum sinis. Tangannya maju ke arah Bima. Aura emas keluar dari telapak tangannya. Bima tahu apa yang akan lelaki itu keluarkan dari dalam tangannya. Tidak lain adalah senjata roh. Sa dengan Ki Sura dan Manik yang sudah berada di ranah Keabadian. Dari dalam tangan Ki Kalam keluar satu jarum emas berukuran cukup besar. Setelah keluar dari dalam tangann
Bimasena membuka matanya secara perlahan. Setelah cukup lama membuka mata akhirnya dia melihat ke arah sekelilingnya. "Dimana aku...?" batinnya. Bima terbangun di sebuah kamar yang terbuat dari kayu dan bambu. Dia merasa tidak asing dengan kamar tersebut. Saat matanya melihat ke arah meja, dia melihat gelas bambu dengan air panas yang masih mengepul. Kali ini dia teringat berada dimana dia saat ini. "Ini... bukankah rumah pohon milik Guru?" batin Bima. Terdengar samar-samar suara gadis tertawa. Bima segera beranjak dari kamar tersebut. Namun saat dia berdiri dia terkejut karena dia tak memakai pakaian apa pun. Hanya sehelai kain yang menutupi tubuhnya saat dia terbaring di atas balai-balai bambu. Dengan melilitkan kain itu menjadi penutup tubuh, Bima pun keluar kamar tersebut. Benar saja, dia berada di atas pohon seperti tiga tahun lalu saat dirinya di selamatkan oleh gurunya. Dari atas pohon dia melihat Arimbi dan Pendeta Barata Kalam sedang memasak untuk sarapan. Bima terse
"Lalu, apa yang harus aku lakukan setelah mendapatkan Bunga Mahkota Ratu itu guru?" tanya Bima. "Kau bawa pulang ke sini saat itu juga, jangan tunggu malam habis, aku akan mengolahnya menjadi ramuan, dan kau bisa meminumnya," jawab Pendeta Barata. Bima menatap Arimbi. "Apakah kamu akan di sini atau ikut?" tanya Bima. "Aku? Tentu saja ikut kamu kang," jawab Arimbi. Pendeta Barata tertawa terkekeh. "Untuk apa dia di sini? Nanti kau curiga padaku hikhikhik,"Bima tersenyum tersipu. "Baiklah, kita akan berangkat besok pagi, aku paham hutan Awan Hitam meski belum pernah masuk ke dalam sana terlalu jauh," kata Bima. "Banyak siluman kuat yang akan kau hadapi di sana, jadi berhati-hati lah," ucap Pendeta Barata. Bima mengangguk. Dia menatap gurunya. "Guru, berapa hari aku tak sadarkan diri?" tanyanya. Pendeta Barata tak langsung menjawab. Dia mengambil nasi bakar buatan Arimbi dan menaruhnya di atas meja. "Tanyakan saja pada kekasihmu," jawab Pendeta Barata datar. Tapi hal itu me
"Ranah Cakrawala Tahap Akhir!? Aku belum pernah melihat seperti apa kekuatan itu Guru!" seru Bima. Arimbi pun ikut terkejut mendengar ranah kekuatan yang belum pernah di dengar olehnya. Pendeta Barata tersenyum. "Itu adalah Ranah di atas Ranah Tulang Dewa, dan Dibawah Ranah Batara. Untuk mencapai ranah itu sangatlah sulit, bahkan kau harus menghabiskan banyak waktumu berkeliling dunia, jika hanya berada di negara Angin ini, maka kau hanya akan sampai di itu-itu saja...""Ranah Cakrawala, Ranah Batara, aku baru mendengarnya Guru! Apakah, ada orang yang benar-benar berada di ranah itu guru?" tanya Bima. Pendeta Barata menggeleng. "Aku hanya sampai pada Tulang Dewa tahap akhir hingga saat ini, selama aku hidup dan berkeliling negara ini, aku hanya menemui satu orang sakti yang bisa mencapai Ranah Cakrawala... Sedangkan untuk ranah Batara, aku tidak yakin ada orang sehebat itu di negara Angin ini..." ucap Pendeta Barata. "Siapa itu Guru?" tanya Bima penuh semangat. "Dia adalah mend
Bima bangkit berdiri. Dengan canggung dia naik ke atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar suara berderit. Balai-balai yang ngepas itu membuat tubuh mereka berdua saling bersentuhan. Arimbi memejamkan matanya merasakan detak jantungnya yang bertambah kencang. Bima bingung dan canggung dengan posisi dia merebahkan diri. Mereka berdua saling membelakangi. Punggung mereka saling menempel satu sama lain membuat mereka merasakan kehangatan yang mendebarkan. Tak ada suara, hanya terdengar nafas halus dari keduanya yang sama-sama gelisah. "Tempatnya sempit ya," ucap Bima memecah kesunyian. Arimbi membuka matanya. Dia menarik nafas panjang untuk menenangkan hatinya yang berbunga-bunga. "Iya kakang..." jawab gadis itu. Kembali kesunyian menyelimuti mereka berdua. Keduanya sama-sama canggung untuk berbicara lebih dulu. "Besok, kita akan berangkat pagi atau siang kakang?" tanya Arimbi akhirnya mencari bahan pembicaraan. "Pagi selesai sarapan, tempat itu cukup jauh, jadi paling tidak si
Langkah Bima terhenti di perbatasan hutan Awan Hitam tersebut. Arimbi pun ikut menghentikan langkah nya. "Ada apa kakang?" tanya Arimbi. "Aku merasakan hawa iblis, sesaat tadi lewat di arah depan kita... Berhati-hatilah Arimbi, jangan jauh-jauh diriku," jawab Bima. Gadis itu mengangguk. Pedang di tangan kirinya siap untuk di cabut kapanpun. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan mereka. Saat pertama kaki mereka melangkah ke dalam Hutan Awan Hitam, mereka merasakan perubahan tekanan yang sangat lain. Hawa di dalam hutan itu lembab dan dingin. Bahkan semua tumbuhan berembun padahal itu siang hari. Suasana pun semakin gelap saat mereka semakin masuk ke dalam. "Hampir tak ada suara binatang sama sekali," bisik Arimbi sambil memegangi pakaian Bima. Dia takut dirinya terpisah. Belum lama mereka berjalan, mereka di kejutkan sesuatu yang cepat di depan sana. Sesosok makhluk cepat yang melompat dari pohon satu ke pohon yang lain. Mata makhluk itu menyorot merah. "Siluman... kita ber
Mendengar pertanyaan Arimbi membuat Bima tersentak kaget. "Aku lupa menanyakan hal itu kepada guru...! Tapi dia sudah memberi tahu ciri-cirinya padaku, kita akan mencarinya," ucap Bima. Arimbi mengangguk. Mereka berjalan perlahan menyusuri hutan yang sangat lebat itu. Tak ada cahaya matahari masuk ke dalam hutan. Sehingga meski saat itu hari masih siang, di dalam Hutan Awan Hitam tak ubahnya seperti malam hari. "Sepertinya ada bjalan setapak, ini aneh, hutan ini kata guru tak ada manusia yang menghuni, kenapa ada jalan setapak?" batin Bima. Dia tetap waspada jika ada sesuatu yang menurutnya mencurigakan. "Apakah ada sebuah desa di hutan ini?" tanya Arimbi. Bima menggeleng. Dia yakin dengan ucapan sang guru. "Jangan lengah, bisa jadi ini adalah jalan yang di lalui para siluman..." kata Bima. Arimbi hanya mengangguk dan tetap waspada. Tak jauh dari tempat Bima dan Arimbi berada, puluhan sosok aneh tengah berjalan dengan busur di tangan. Sosok itu merupakan manusia dengan dua tan
"Kenapa kau menggigit jariku?" tanya Bima berbisik. Arimbi tak menjawab. Dia hanya menatap kesal kepada Bima yang menanyakan tentang kegadisannya. Seolah bagi Bima selama ini, dirinya bukanlah seorang gadis. Bima sendiri tak menyadari kekesalan pada gadis itu. Dia juga tak merasa bersalah dengan pertanyaan yang dia lontarkan pada Arimbi. Saat mereka tengah asik dengan pikirannya masing-masing, terdengar suara langkah kaki besar yang menggetarkan tanah. Langkah itu terasa sangat berat berjalan perlahan mendekati bangunan kuno tersebut. Pangeran Baka dan Abiseka menatap ke arah munculnya suara. Mata mereka menatap tajam satu sosok raksasa setinggi pohon berjalan ke arah mereka. Tubuhnya sangat besar sehingga saat kakinya melangkah terdengar suara keras. Dug! Dug! Dug! Abiseka tersenyum. Dia tahu siapa sosok besar itu. "Dia adalah siluman batu dari Klan Bolowatu. Setahuku mereka tak
Bima seperti baru tersadar dari mimpinya. Dia menatap ke depan. Pedang Darah milik Bima telah menempel di lehernya sendiri. "Kamu kalah, pendekar..." ucap Ratu Agung sambil tersenyum. Bima menatap Ratu itu dengan tatapan tajam. "Ssjak kapan dia merebut pedang ku? Apakah tadi hanya ilusi...?" batin Bima. Ratu Agung memasukkan kembali pedang Darah itu ke sarungnya lalu melemparkan nya ke arah Bima. "Jangan khawatir, aku bukanlah Ratu yang ingkar janji. Semua yang kamu alami tadi adalah nyata, dan hanya aku dan kamu yang tahu apa yang kita bicarakan tadi," kata Ratu sambil berjalan ke dalam istananya. "Pelayan, siapkan kamar tamu kehormatan untuk dua orang ini, sekarang mereka telah menjadi tamu di Klan kita. Jangan ada yang berani menyentuh mereka, tanpa seijinku!" kata Ratu Agung sambil masuk ke dalam istana. Para siluman Elang membungkuk hormat. Ratu Azalea menatap ke arah Ratu Agung tanpa berkedip. "Pertarungan tadi, sepertinya aku merasa ada yang aneh. Tatapan mata Kakang B
Bima telah berpindah tempat dengan belati petir miliknya. Sasaran yang dia tuju adalah belakang tubuh Ratu Agung yang terbuka. Sementara Ratu Agung sibuk menahan Seribu Duri Es milik Bima, pemuda itu telah menghilang dari tempatnya dan berada di belakang tubuh Ratu Agung. "Mati kau..." batin Bima yang dengan yakin langsung menusuk tubuh Ratu Agung dengan pedang Darah miliknya. Jleb! Pedang Darah menancap di punggung Ratu Agung. Bima menatap dengan aneh karena Ratu Agung tidak berteriak kesakitan atau pun terdorong ke depan oleh tekanan pedang darah miliknya. "Apa yang terjadi...?" batin Bima yang merasa sangat aneh pada sosok Ratu Agung di depannya itu. "Kamu sedang apa?" bertanya satu suara dari atas kepala Bima. Bima segera mendongak ke atas dengan tatapan terkejut. "Sayap Perak!?" seru Bima yang sangat terkejut melihat sayap di belakang tubuh Ratu Agung. "Benar, sayap Perak, sayap milik kekasihmu Arimbi yang telah kamu tinggalkan... Aku merasa sayang dengan kekuatan sejati
Bima berteriak keras. Aura biru di dalam tubuhnya semakin banyak yang keluar membuat gelombang kekuatan yang dahsyat. Semua orang menatap dengan takjub. Bima telah menembus Ranah Tulang Dewa karena amarahnya yang melebihi batas. Mendengar perkataan Ratu Agung sebelumnya membuat Bima menduga Arimbi telah di jatuhi hukuman mati dia bulan yang lalu. Hal itu membuat Bima merasa sangat bersalah karena tidak paham maksud dari Pedang Shang Widi yang ditancapkan di depan goa. "Ternyata begitu... Seandainya aku datang waktu itu, dia bisa selamat... Bodohnya aku malah justru berlatih sayap es dan membiarkan nya mati..." batin Bima dengan tinju terkepal. Namun berkat amarah murni dan rasa bersalahnya, Bima justru melakukan terobosan yang tidak dia sangka sama sekali. Dia naik ke Ranah Tulang Dewa tahap Awal. Sungguh di luar dugaan. "Secara tak langsung, Ratu itu justru membantu dirinya naik Ranah, sungguh satu hal yang jarang terjadi," Kata Iblis Es. "Bakat Bima memang luar biasa, aku sem
Bima dan Ratu Azalea melangkah keluar goa. Long dan Canglong mengantar mereka hingga di mulut goa. "Berhati-hatilah anak muda, setahuku Ratu Agung bukan pendekar biasa, sejauh ini kekuatannya belum pernah muncul. Namun jika yang mengantar pedang itu adalah dia, itu artinya dia adalah pendekar yang sangat kuat," kata Long. Bima mengangguk. "Bisa sampai di pulau ini tanpa di ketahui oleh indra ku saja sudah hebat, itu sudah cukup membuatku harus memperhitungkan kekuatan nya." kata Bima menyahut. "Bagus, kamu juga sudah meningkat pesat dalam beberapa bulan ini, aku yakin pada kekuatan milikmu," Ucap Long sambil tersenyum. Bima mengulurkan tangannya. Jemari lembut Ratu menerimanya. Ratu cantik itu memeluk tubuh Bima. "Pegangan yang erat," kata Bima. Ratu Azalea mengangguk. Mata Bima pun menyala biru. Sayap es dari punggungnya keluar dengan cahaya warna biru indah. Sesaat Bima menoleh kearah Long dan Canglong. "Jaga diri kalian baik-baik, kita akan berjumpa lagi di lain waktu," ka
Bima mendarat di depan goa dan melihat Ratu Azalea yang tengah menatapnya. "Ada apa Ratu? Kamu tidak tidur?" tanya Bima sambil mendekati Ratu. Sayap tulang es miliknya masuk kembali kedalam tubuhnya. Ratu tersenyum manis. Bima tak pernah bosan melihat senyuman itu. Hatinya terasa damai seketika. "Aku sedang melihat kakang berlatih, sekarang kakang sudah mempunyai tulang es, sungguh pencapaian yang luar biasa," puji Ratu. Bima mendekat di depan Ratu Azalea. Diraihnya tangan wanita itu. "Aku ingin kuat dan bisa melindungi dirimu dengan kekuatan ku. Itu adalah janjiku pada guru Tanduk Api," ucap Bima sambil menatap mata Ratu Azalea. Ratu tersipu malu. Selama beberapa bulan ini baru kali ini Bima mendekatinya lagi. Pemuda itu sangat keras berlatih hingga tak peduli waktu sama sekali. Berada di dekat pemuda itu secara langsung membuat Ratu kembali merasakan debaran yang belum pernah dia rasakan. "Aku senang, tapi... Kamu berlatih terlalu keras sehingga tidak menoleh kearahku sama s
Bima bangkit berdiri. Sayap nya bergerak beberapa kali. Dia menatap sayap es miliknya dan terkagum-kagum. "Iblis Es, aku berhasil..." kata Bima girang. "Hmhm,kamu adalah seorang yang jenius. Dalam sejarah dunia ini dan para Iblis, hanya kamu seorang yang berhasil mengganti tulang milikmu dengan tulang es." kata Iblis Es. "Apa!? Hanya aku seorang katamu!?" tanya Bima. "Benar, mereka kebanyakan takut mengambil tindakan. Terlalu berpikir pada akibat dan kegagalan. Mereka tidak mempunyai ketangguhan jiwa sehebat dirimu. Kamu, sama seperti aku, tanpa rasa takut," kata Iblis Es. "Luar biasa jika benar demikian, aku sudah merasakan aura tenaga dalamku semakin meningkat. Sepertinya aku akan naik ke ranah berikutnya," kata Bima. "Hoo? Itu sangat bagus, sekarang cobalah kamu terbang untuk pertama kali. Seharusnya itu mudah bagimu, meski sedikit kesulitan mengendalikan tulang es milikmu untuk pertama kalinya." kata Iblis Es. Bima mengangguk. Dia segera mengepakkan sayap es miliknya. Perla
Bima mulai memasukkan elemen es ke dalam tulang nya secara perlahan. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan raut wajah kesakitan. "Aku harus bertahan... Aku tidak boleh gagal!" batin Bima. "Lakukan secara perlahan dan berkesinambungan, jangan berhenti, kamu akan gagal dan bisa mengakibatkan cacat permanen pada tulang!" kata Iblis Es. Ratu Azalea menatap dari dalam goa. Dia melihat apa yang sedang Bima lakukan. "Penyatuan elemen dan tulang? Di Ranah Keabadian Tahap Akhir seharusnya belum bisa melakukannya, bagaimana kakang bisa mengetahui teknik itu?" batin Ratu Azalea. Bima berteriak keras saat elemen es mulai mengalir di seluruh tulang yang ada pada tubuhnya. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya berteriak setinggi langit. Ratu Azalea hanya bisa melihat sambil menutup matanya. "Aku yang sudah berada di ranah Cakrawala saja tidak pernah berani menyatukan elemen dengan tulang, bagaimana bisa pemuda yang masih berada di Ranah Keabadian ini berani mengambil tindakan senekat ini? Ap
Bima terpaku melihat pedang yang menancap di atas tanah. Pedang yang sangat tidak asing baginya. "Pedang Shang Widi...!?" dengan cepat Bima mendekati pedang tersebut. Bima mencabut pedang itu dan melihat bercak darah di pinggiran pedang. "Darah ini masih baru, mungkin belum jauh dari sini, siapa orang yang membawa pedang ini, apa maksudnya dia menancapkan pedang ini di sini!" Bima menatap tembok pedang es raksasa. "Aku terlalu sering menggunakan kekuatan Iblis Tanduk Api. Hanya dua kali saja sudah membuat beberapa tubuh bagian dalamku sakit, apa yang harus aku lakukan?" batin Bima. Ratu Azalea keluar dari dalam goa bersama Long. Mereka melihat Bima yang terlihat gelisah sambil membawa pedang. "Ada apa kakang?" tanya Ratu Azalea sambil memegang lengan Bima dengan lembut. "Pedang ini adalah pedang yang selalu dibawa Arimbi. Aku meminjamkannya saat kami berpetualang bersama ke Hutan Awan Hitam. Dan setelah pedang ini hilang bersama Arimbi, tiba-tiba dia sudah ada di sini," kata Bi
Bima dan Long masuk ke dalam goa. Sekarang mereka telah aman dari ancaman Klan Elang Dewa. "Mengenai telur naga itu, apakah kamu masih ingin memberikannya padaku?" tanya Bima. Long menoleh lalu tersenyum. "Setelah melihatmu bertarung dengan kekuatan sehebat itu, aku menjadi lega telah menitipkan nya padamu, kelak, Qinglong akan menjadi pendekar yang hebat juga di bawah bimbingan mu," kata Long. Bima menepuk jidatnya. Dia pikir setelah masalah Klan Elang Dewa selesai, maka telur itu juga aman berada di pulau itu. "Setelah Canglong lahir, aku juga akan mendidiknya dan mengenalkan tentang dirimu padanya," kata Long lagi. "Yah, terserah apa yang kamu mau saja," sahut Bima. Ratu Azalea keluar dari dalam goa. Long terpaku setelah melihat sosok Ratu Azalea. "Kau... Bukankah kau yang menolong diriku dan Yin Long seratus tahun yang lalu?" tanya Long dengan bibir bergetar. Ratu Azalea memejamka