Rekso Atmoko mencoba terus merangkak. Namun tubuhnya semakin lemah. Bima sudah mendatangi nya lebih dulu dari belakang. "Mau kemana kau kecoa?"Setelah berucap, Bima langsung menusukkan pedangnya ke kaki kiiri Rekso hingga tembus dan pedang itu menancap di tanah. Rekso menjerit kesakitan. Tubuhnya tak bisa lagi bergerak karena kakinya tertahan oleh pedang yang menembus hingga ke tanah. Rekso tak bisa berbuat apa-apa. Dia mengeluh kesakitan tanpa henti. Kaki kirinya mulai membiru. Bima mengambil dua gada kembar dan mendatangi kembali Rekso Atmoko. "Aku ingin bertanya satu hal, jawab dan kamu tidak akan aku siksa," kata Bima. "Apa yang kau inginkan dariku...?" tanya Rekso pelan. Suaranya sudah seperti suara kakek renta. Tenaga dalamnya sudah habis sama sekali. "Katakan padaku... Klan dan Perguruan apa saja yang telah menghancurkan Perguruan Julang Emas? Aku beri kamu waktu tiga hitungan," ucap Bima. Namun Rekso malah diam tak menjawab. Wajahnya pucat. Dengan kesal Bima tarik tang
Beberapa hari setelah terjadinya pembantaian di Perguruan Katak Merah, para penduduk sudah mulai tenang. Meski masih ada rasa cemas jika pembunuh itu juga berniat membantai para penduduk yang tak mempunyai ilmu kanuragan. Bima pun mulai sembuh dari lukanya berkat ilmu Ganti Rogo. Meski dia harus bertahap menyembuhkan tulangnya yang patah. Karena tidak mudah dan sangat menyakitkan. Lastri dengan setia melayani semua kebutuhan Bima. Gadis itu sangat telaten dan cekatan. Hari itu Bima membuka semua barang yang dia ambil dari Perguruan Katak Merah. Di dalam kantong kain yang dia gunakan untuk membungkus, terlihat beberapa benda yang bagi Bima adalah benda penting. "Ini ramuan untuk meningkatkan tenaga dalam, dengan ini aku bisa lebih cepat melatih kekuatan Ranah Tubuh Besi untuk naik ke Ranah Pukulan Sakti..." Bima menaruh botol merah yang terbuat dari keramik itu di meja. Lalu dia mengambil satu benda berwujud belati emas. Bima menatap benda itu dengan seksama. Tak ada yang aneh dar
Setelah mempelajari berbagai isi dalam Kitab Keabadian dan meminum ramuan penguat tubuh yang Bima dapat dari Perguruan Katak Merah, kekuatan Bima melesat cepat hingga hampir menembus ke ranah Pukulan Sakti. "Ini luar biasa, hanya dalam waktu yang singkat aku sudah naik dua tingkat sekaligus, satu tahap lagi aku berada di ranah Pukulan Sakti," ucap Bima dengan nafas terengah setelah melakukan olah kanuragan. Malam itu dia terus berlatih hingga fajar menyingsing. Hingga keesokan harinya dia pun pergi meninggalkan penginapan itu. Sebelum pergi Bima memberikan sepuluh tail emas kepada Lastri. "Kamu bisa beli penginapan ini, lain kali aku akan datang berkunjung lagi, terimakasih Lastri untuk selama ini," ucap Bima membuat mata Lastri berkaca-kaca. Namun gadis itu hanya mengangguk tanpa bisa berkata apa-apa. Dia merasa terharu, sedih, dan juga sedikit bahagia karena Bima memperhatikan nya. "Aku akan membeli penginapan ini sehingga tuan bisa bebas jika akan menginap di sini, saya akan m
Dua pemulung sakti yang tersisa itu terkejut saat Bima bergerak cepat dengan lincah nya menghindari setiap serangan bayangan mareka. "Ini gila! Bagaimana dia bisa menghindar secepat itu!?" teriak salah satu dari mereka berdua. Kawan satunya tak menyahut. Wajahnya saja yang terlihat tegang. Keringat pun sudah membanjiri tubuh mereka. Sementara itu kawan mereka yang tergeletak meracau tidak jelas. Bima bergerak cepat dan dengan mudah menghindari serangan bayangan dua pemulung tersebut meski dengan mata terpejam. Lalu di saat yang tepat dia kembali menggunakan pedangnya untuk menebas bayangan yang menyerangnya secara beruntun.Srak! Dua pemulung sakti itu berteriak keras dan tubuh mereka pun kejang-kejang sebelum akhirnya roboh dengan tubuh yang masih kejang. Bima membuka matanya dan berjalan ke arah tiga pemulung yang masih hidup itu. Sebenarnya tak ada senjata yang bisa menebas bayangan. Namun senjata pusaka Pedang Darah berbeda. Karena di dalam pedang itu terdapat roh yang tak
Malam itu Bima menyewa satu kamar untuk menginap. Penginapan nya tidak jauh dari Perguruan. Menurut kabar yang dia dengar besok adalah hari pelelangan barang antik dan pusaka digelar. Bima tak menyadari seorang wanita berpakaian serba putih yang sedari tadi mengamati Bima juga menyewa kamar di sebelahnya. Di dalam kamar Bima membuka gulungan kitab Keabadian. Dia kembali membaca dan memperagakan isi kitab tersebut. Paling tidak dalam sewaktu semalam Bima harus bisa mencapai ranah Pukulan Sakti. Itu karena dia tahu dari sebuah kabar, bahwa beberapa ketua di di Perguruan Ular Hitam sudah mencapai Ranah Keabadian tahap awal dan ada juga yang masih di ranah Pukulan Sakti tahap akhir. Meski di ranah Pukulan Sakti tahap akhir, itu sudah cukup menyulitkan jika mereka main keroyokan seperti saat Bima berada di Perguruan Katak Merah. "Jika aku sudah menembus ranah Pukulan Sakti, aku penasaran ajian apa yang akan aku miliki... beberapa waktu lalu saat aku secara paksa berada di Ranah Keabad
Lelaki yang tengah kesakitan itu berteriak mohon ampun pada gadis yang masih saja duduk diam tak bergerak sama sekali. "Ampuni aku nona...! Sungguh aku minta maaf dan tak akan mengulanginya lagi!" ucap lelaki itu. Namun agaknya si gadis tak peduli dengan ucapan lelaki itu. Karena setelah lelaki itu memohon ampun, dari tangannya terdengar lagi suara tulang patah. Suaranya membuat merinding siapa pun yang mendengarnya. "Kejam dan sangat dingin, luar biasa..." puji Bima sambil asik makan. Setelah orang itu terlihat lemas karena dari tadi berteriak dan kesakitan gadis cantik itu baru melepaskan cengkraman bayangan miliknya. Tatapan matanya kembali seperti semula. Lelaki itu terkapar di bawah lantai sambil pegangin tangan kanannya yang remuk. Dia mengerang kesakitan. Gadis itu menoleh ke arah Bima. Pemuda itu terkejut karena dia tengah menatap wajah gadis itu. Seketika Bima mengalihkan pandangan ke arah lain sambil pura-pura tak melihat. Dia pun tetap makan dengan lahap meski tiba-ti
Bima dan Arimbi duduk di lantai dua bangunan kayu itu. Sedangkan para penawar terlihat ramai berada di bawah. Ada beberapa orang yang terlihat seperti bangsawan yang juga duduk di lantai atas. Mereka yang berada di atas adalah orang-orang yang punya pengaruh besar di daerah tersebut. Beberapa orang kaya tersebut melirik Arimbi dengan tatapan penuh nafsu. Bima menyadari itu. Sama halnya dengan Arimbi. Jika bukan di tempat pelelangan, gadis itu ingin mencongkel mata mereka yang menatap dirinya secara tidak sopan. Di bawah sana orang sudah terdengar riuh menanti barang yang akan di lelang hari itu. Seorang wanita pembawa acara bertubuh indah keluar dari balik pintu yang ada di belakang panggung kecil. Dia tersenyum kepada para pengunjung yang akan melelang barang atau hanya sekedar berkunjung. Wanita itu membawa sebuah meja kecil lalu menaruhnya di atas panggung. Saat dia menaruh meja itu, belahan dadanya terlihat jelas m
"Kenapa kamu masih ingin membunuhnya!?" tanya Arimbi kesal. Dia sudah berusaha agar Bima tak membunuh orang di saat pelelangan berlangsung. Bima tak menyahut dan fokus ke arah panggung dimana Arum sedang membawa satu barang lagi yang akan di lelang. Arimbi semakin kesal dengan sifat Bima yang acuh tak acuh. Tiba-tiba salah satu pengawal bangsawan tersebut datang dan bersujud di depan Bima. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Terimakasih pendekar! Anda berhati mulia mau menyelamatkan nyawa kakak saya!" ucap pengawal berbadan besar itu histeris. Arimbi terkejut. Dia salah menduga jika Bima telah berbuat hal buruk. Ternyata Bima memberikan pil untuk menyelamatkan nyawa pengawal bangsawan itu. Pil emas yang bernama Pil Jiwa itu sangat sakti. Bahkan orang sekarat pun bisa langsung sembuh dalam sekejap. Bima tak berucap apa-apa. Dia hanya menyuruh pengawal itu kembali ke tempatnya. Dia sudah kesal sebenarnya karena keinginannya
"Terimalah ini Api Pembakar Surga ini!" teriak Abiseka lalu melemparkan bola api raksasa di atas tangannya ke arah empat sosok penjaga Bunga Mahkota Ratu. Bima menatap tak berkedip. Kekuatan bola api yang di lemparkan oleh Abiseka sangat luar biasa panasnya. Saking panasnya membuat Bunga berwarna biru tersebut terlihat layu. "Celaka! Jika di biarkan Bunga itu bisa habis terbakar!" ucap Bima lalu segera berdiri. "Kakang! Mau kemana!?" tanya Arimbi. "Membantu empat penjaga itu! Jika aku diam saja, itu akan jadi masalah..." jawab Bima. Lalu segera saja dia melesat ke arah Bola Api raksasa tersebut. "Pelindung Es...!"Dengan kekuatan Pedang Darah Bima langsung menebas bola api tersebut dengan pedangnya. Woosssshhhh....! Bola api terbelah oleh serangan jarak jauh Bima. Namun sayangnya Api itu tetap melesat ke arah Bunga Mahkota Ratu. Serangan Bima yang membelah bola api itu terus melesat ke arah Abiseka. "Apa ini!?" teriak Abiseka sambil berkelit. Sraaakkkk! Blaaarrrr! Serangan
Siang pun berlalu dan berganti menjadi malam saat matahari sudah terbenam. Hutan Awan Hitam menjadi semakin gelap dan menyeramkan. Di bangunan tua tempat para pendekar dari berbagai rasi berkumpul, terlihat satu cahaya biru terang muncul dari dalam tanah. Semua mata menatap cahaya tersebut tanpa berkedip. Bima dan Arimbi pun sama. Kemunculan Bunga Mahkota Ratu adalah sesuatu yang mendebarkan. Benar saja, dari dalam tanah muncul satu tanaman hijau keluar dari dalam tanah seolah hidup. Pertama muncul di permukaan adalah kuncup bunga tersebut. "Benar... ini adalah Bunga yang di maksud oleh guru! Auranya sangat kuat...!" bisik Bima. Arimbi hanya mengangguk sambil matanya terus menatap ke arah bunga yang keluar dari dalam tanah tersebut. Bunga itu masih kuncup. Semua mata tertuju padanya. Menungu bunga tersebut mekar dan berebut untuk mendapatkannya. "Bersiap Abiseka, ada banyak pasang mata yang telah menantikan kesempatan ini s
"Kenapa kau menggigit jariku?" tanya Bima berbisik. Arimbi tak menjawab. Dia hanya menatap kesal kepada Bima yang menanyakan tentang kegadisannya. Seolah bagi Bima selama ini, dirinya bukanlah seorang gadis. Bima sendiri tak menyadari kekesalan pada gadis itu. Dia juga tak merasa bersalah dengan pertanyaan yang dia lontarkan pada Arimbi. Saat mereka tengah asik dengan pikirannya masing-masing, terdengar suara langkah kaki besar yang menggetarkan tanah. Langkah itu terasa sangat berat berjalan perlahan mendekati bangunan kuno tersebut. Pangeran Baka dan Abiseka menatap ke arah munculnya suara. Mata mereka menatap tajam satu sosok raksasa setinggi pohon berjalan ke arah mereka. Tubuhnya sangat besar sehingga saat kakinya melangkah terdengar suara keras. Dug! Dug! Dug! Abiseka tersenyum. Dia tahu siapa sosok besar itu. "Dia adalah siluman batu dari Klan Bolowatu. Setahuku mereka tak
Mendengar pertanyaan Arimbi membuat Bima tersentak kaget. "Aku lupa menanyakan hal itu kepada guru...! Tapi dia sudah memberi tahu ciri-cirinya padaku, kita akan mencarinya," ucap Bima. Arimbi mengangguk. Mereka berjalan perlahan menyusuri hutan yang sangat lebat itu. Tak ada cahaya matahari masuk ke dalam hutan. Sehingga meski saat itu hari masih siang, di dalam Hutan Awan Hitam tak ubahnya seperti malam hari. "Sepertinya ada bjalan setapak, ini aneh, hutan ini kata guru tak ada manusia yang menghuni, kenapa ada jalan setapak?" batin Bima. Dia tetap waspada jika ada sesuatu yang menurutnya mencurigakan. "Apakah ada sebuah desa di hutan ini?" tanya Arimbi. Bima menggeleng. Dia yakin dengan ucapan sang guru. "Jangan lengah, bisa jadi ini adalah jalan yang di lalui para siluman..." kata Bima. Arimbi hanya mengangguk dan tetap waspada. Tak jauh dari tempat Bima dan Arimbi berada, puluhan sosok aneh tengah berjalan dengan busur di tangan. Sosok itu merupakan manusia dengan dua tan
Langkah Bima terhenti di perbatasan hutan Awan Hitam tersebut. Arimbi pun ikut menghentikan langkah nya. "Ada apa kakang?" tanya Arimbi. "Aku merasakan hawa iblis, sesaat tadi lewat di arah depan kita... Berhati-hatilah Arimbi, jangan jauh-jauh diriku," jawab Bima. Gadis itu mengangguk. Pedang di tangan kirinya siap untuk di cabut kapanpun. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan mereka. Saat pertama kaki mereka melangkah ke dalam Hutan Awan Hitam, mereka merasakan perubahan tekanan yang sangat lain. Hawa di dalam hutan itu lembab dan dingin. Bahkan semua tumbuhan berembun padahal itu siang hari. Suasana pun semakin gelap saat mereka semakin masuk ke dalam. "Hampir tak ada suara binatang sama sekali," bisik Arimbi sambil memegangi pakaian Bima. Dia takut dirinya terpisah. Belum lama mereka berjalan, mereka di kejutkan sesuatu yang cepat di depan sana. Sesosok makhluk cepat yang melompat dari pohon satu ke pohon yang lain. Mata makhluk itu menyorot merah. "Siluman... kita ber
Bima bangkit berdiri. Dengan canggung dia naik ke atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar suara berderit. Balai-balai yang ngepas itu membuat tubuh mereka berdua saling bersentuhan. Arimbi memejamkan matanya merasakan detak jantungnya yang bertambah kencang. Bima bingung dan canggung dengan posisi dia merebahkan diri. Mereka berdua saling membelakangi. Punggung mereka saling menempel satu sama lain membuat mereka merasakan kehangatan yang mendebarkan. Tak ada suara, hanya terdengar nafas halus dari keduanya yang sama-sama gelisah. "Tempatnya sempit ya," ucap Bima memecah kesunyian. Arimbi membuka matanya. Dia menarik nafas panjang untuk menenangkan hatinya yang berbunga-bunga. "Iya kakang..." jawab gadis itu. Kembali kesunyian menyelimuti mereka berdua. Keduanya sama-sama canggung untuk berbicara lebih dulu. "Besok, kita akan berangkat pagi atau siang kakang?" tanya Arimbi akhirnya mencari bahan pembicaraan. "Pagi selesai sarapan, tempat itu cukup jauh, jadi paling tidak si
"Ranah Cakrawala Tahap Akhir!? Aku belum pernah melihat seperti apa kekuatan itu Guru!" seru Bima. Arimbi pun ikut terkejut mendengar ranah kekuatan yang belum pernah di dengar olehnya. Pendeta Barata tersenyum. "Itu adalah Ranah di atas Ranah Tulang Dewa, dan Dibawah Ranah Batara. Untuk mencapai ranah itu sangatlah sulit, bahkan kau harus menghabiskan banyak waktumu berkeliling dunia, jika hanya berada di negara Angin ini, maka kau hanya akan sampai di itu-itu saja...""Ranah Cakrawala, Ranah Batara, aku baru mendengarnya Guru! Apakah, ada orang yang benar-benar berada di ranah itu guru?" tanya Bima. Pendeta Barata menggeleng. "Aku hanya sampai pada Tulang Dewa tahap akhir hingga saat ini, selama aku hidup dan berkeliling negara ini, aku hanya menemui satu orang sakti yang bisa mencapai Ranah Cakrawala... Sedangkan untuk ranah Batara, aku tidak yakin ada orang sehebat itu di negara Angin ini..." ucap Pendeta Barata. "Siapa itu Guru?" tanya Bima penuh semangat. "Dia adalah mend
"Lalu, apa yang harus aku lakukan setelah mendapatkan Bunga Mahkota Ratu itu guru?" tanya Bima. "Kau bawa pulang ke sini saat itu juga, jangan tunggu malam habis, aku akan mengolahnya menjadi ramuan, dan kau bisa meminumnya," jawab Pendeta Barata. Bima menatap Arimbi. "Apakah kamu akan di sini atau ikut?" tanya Bima. "Aku? Tentu saja ikut kamu kang," jawab Arimbi. Pendeta Barata tertawa terkekeh. "Untuk apa dia di sini? Nanti kau curiga padaku hikhikhik,"Bima tersenyum tersipu. "Baiklah, kita akan berangkat besok pagi, aku paham hutan Awan Hitam meski belum pernah masuk ke dalam sana terlalu jauh," kata Bima. "Banyak siluman kuat yang akan kau hadapi di sana, jadi berhati-hati lah," ucap Pendeta Barata. Bima mengangguk. Dia menatap gurunya. "Guru, berapa hari aku tak sadarkan diri?" tanyanya. Pendeta Barata tak langsung menjawab. Dia mengambil nasi bakar buatan Arimbi dan menaruhnya di atas meja. "Tanyakan saja pada kekasihmu," jawab Pendeta Barata datar. Tapi hal itu me
Bimasena membuka matanya secara perlahan. Setelah cukup lama membuka mata akhirnya dia melihat ke arah sekelilingnya. "Dimana aku...?" batinnya. Bima terbangun di sebuah kamar yang terbuat dari kayu dan bambu. Dia merasa tidak asing dengan kamar tersebut. Saat matanya melihat ke arah meja, dia melihat gelas bambu dengan air panas yang masih mengepul. Kali ini dia teringat berada dimana dia saat ini. "Ini... bukankah rumah pohon milik Guru?" batin Bima. Terdengar samar-samar suara gadis tertawa. Bima segera beranjak dari kamar tersebut. Namun saat dia berdiri dia terkejut karena dia tak memakai pakaian apa pun. Hanya sehelai kain yang menutupi tubuhnya saat dia terbaring di atas balai-balai bambu. Dengan melilitkan kain itu menjadi penutup tubuh, Bima pun keluar kamar tersebut. Benar saja, dia berada di atas pohon seperti tiga tahun lalu saat dirinya di selamatkan oleh gurunya. Dari atas pohon dia melihat Arimbi dan Pendeta Barata Kalam sedang memasak untuk sarapan. Bima terse