"Kau benar-benar brengsek Aditya! Kau benar-benar keterlaluan! Kemarin kau datang terlambat! Kali ini kau benar-benar ingkar dan hilang tanpa kabar! Benar-benar tak punya tanggung jawab!" Pak Cik memaki-maki Candra dengan suara tinggi. Emosinya pada Candra tak bisa dibendung. Candra yang duduk dihadapan Pak Cik hanya diam. Tapi sama sekali tak ada rasa bersalah diwajahnya."Gila kau ini! Sudah salah, tapi kau tak merasa bersalah! Manusia macam apa kau ini Candra?" Pak Cik kembali mengamuk. "Berhari-hari aku gelisah menunggu kabar darimu, eh, begitu jumpa, kau seperti tak punya dosa! Dasar brengsek!"Tak ada jawaban dari Candra. Ia malah terlihat asyik memainkan jari-jari kaki dan membuat lukisan tak beraturan di tanah. Pak Cik makin jengkel dibuatnya. Tapi Pak Cik sudah kehabisan kata-kata dan memilih diam sambil mengatur nafas.Setelah keduanya saling mendiamkan beberapa saat, Candra bertanya pada Pak Cik."Sudah Pak Cik?"Pak Cik yang masih dikuasai amarah, langsung menyambar pertan
Dangau Cinta keesokan harinya. Candra sedang mengaso. Ia baru saja datang ke Dangau Cinta. Terang bintang mulai kelihatan jelas. Malam ini, mendung seperti menyingkir jauh-jauh.Malam makin merambat larut. Candra heran, mestinya Tara sudah datang di Dangau Cinta. Tapi sampai sekarang, kekasihnya itu tak kunjung muncul. Candra mulai khawatir.Ketika kekhawatiran Candra mulai memunculkan banyak spekulasi, dari jauh derap kaki kuda Tara terdengar. Candra menjadi lega."Kak, maafkan aku telat!""Tak apa Sayang. Tumben kau telat hari ini?""Ya Kak. Aku baru saja ngobrol panjang lebar dengan Awang Kak," Tara menjelaskan penyebab kenapa ia telat datang ke Dangau Cinta."Begitu? Ada perkembangan apa Tara?""Kami berdua bertemu di sebuah tempat. Awang memberitahuku jika Danar telah mengirimkan surat resmi yang berisi tentang kegagalanku menumpas pemberontakan di Lubuk Ruso. .""Itu saja?""Ada lagi Kak. Yang ini kabar yang paling mengejutkanku.""Kabar apa itu?""Danar dalam suratnya ke Mukha
Tara telah kembali tenang. Ia mulai menegakkan kepala dan melihat ke arah Candra. Walau dengan rambut acak-acakan dan mata memerah, Candra melihat kecantikan kekasihnya itu makin sempurna. Gadis itu cantik luar dalam.Tapi itu tak mengurangi ganjalan di hati Candra. Ia akan menanyakan ke Tara sebentar lagi. Menunggu Tara benar-benar tenang."Tara, boleh aku bertanya lagi padamu Sayang?" Candra bertanya setelah melihat Tara telah mampu mengontrol emosinya."Boleh Kak.""Apa yang akan kau lakukan nanti setelah kau tak lagi jadi prajurit Sriwijaya?"Tara diam. Matanya menatap Candra penuh kerinduan. Itu juga yang dirasakan Candra. Setelah Tara pulang dari Lubuk Ruso, kehangatan memang seperti telah pergi dari mereka."Aku akan jadi istrimu Kak Aditya!" jawab Tara penuh keyakinan."Demi Buddha!" pekik Candra girang. "Kau jadi istriku?""Ya Kak.""Kau tak menyesal, menikah dengan laki-laki yang tak jelas masa depannya ini?""Aku yakin aku memilih laki-laki yang tepat untuk jadi pendamping
Hari pertama sekolah dibuka, suasana Lubuk Ruso ramai bukan kepalang. Semua terhipnotis, tumpah ruah memenuhi setiap akses menuju sekolah. Sekolah adalah kosakata dan barang baru bagi mereka. Sampai pagi ini, mereka sama sekali tak punya bayangan utuh tentang sekolah dan apa yang dikerjakan di sekolah. Di depan gedung sekolah yang terbuat dari kayu, Wak Baidil, Koh Bai, Aditya, dan seluruh tetua Lubuk Ruso berbaris menanti murid dan orang tuanya. Sedangkan Vidya, yang pagi itu terlihat istimewa, berdiri paling depan. Vidya tampak anggun dengan kemban ketat berwarna merah. Ia makin elok dengan setangkai anggrek hutan yang diselipkan digelung rambutnya. Dari tadi, Aditya tak berkedip memandang ke arah satu-satunya guru di Lubuk Ruso itu.Para perempuan berduyun-duyun berjalan kaki, memenuhi jalan Lubuk Ruso mengantarkan anak mereka sekolah. Semua menggandeng anak masing-masing. Sedangkan para lelaki, kebanyakan melihat dari gerbang rumah. Hari itu, semua anak di Lubuk Ruso mengenakan
Hujan deras mengguyur Lubuk Ruso sejak sore hari. Malam belum terlalu larut, sebagian penduduk Lubuk Ruso telah terlelap dalam tidur.Sambil menikmati hujan di teras gubuk Wak Baidil, Aditya mengingat hari ini sebagai salah satu hari yang indah dalam hidupnya.Hari ini Aditya pertama kali dalam hidupnya dan pertama kali juga dalam sejarah Lubuk Ruso, mampu membantu dan membangun sebuah sekolah. Sebuah mimpi yang jadi kenyataan.Kebahagiaan itu makin lengkap. Hari ini juga, Aditya berhasil jalan beriring dengan seorang gadis yang mampu mencuri hatinya. Padahal, sebelumnya di Melayu, Mukha Upang, dan Minanga Tamwan, di kota-kota besar itu, Aditya melihat banyak gadis cantik dan terpelajar. Tapi mereka tak ada yang mampu memikat hati. Gadis yang ia damba itu ternyata malah ia temukan di sebuah dusun kecil dan terisolasi.Ketika Aditya sedang asyik dengan kebahagiaannya, Wak Bai dan Nadir yang memperhatikan perilaku Aditya sejak tadi mengendap dan tiba-tiba mengagetkan Aditya dari belakan
Ayunan pedang di tangan lelaki bertopeng lebih cepat dibandingkan dengan lawannya. Dalam satu hentakan, serangan si lelaki bertopeng mampu menembus pertahanan lawan tanpa mampu dielak lagi."Cras!" sebentar saja, terdengar suara batang leher dibabat tanpa ampun. Saking tajam dan cepatnya gerakan si lelaki bertopeng,membuat sama sekali tak ada jerit kesakitan. Yang terlihat hanya sebuah tubuh tinggi besar jatuh bergedebuk dengan leher memuncratkan darah. Tewas.Bau anyir darah menguap. Darah itu mengalir dan memerahi rerumput disekitarnya. Agak jauh dari tubuh lelaki yang baru saja ditebas Nadir, belasan tubuh lain yang bernasib sama. Tewas dengan tubuh penuh darah.Jika dilihat dari tanda-tanda yang dipakai oleh mayat belasan lelaki tersebut, maka semua yang melihat pasti akan menduga mereka adalah para prajurit Sriwijaya. Gelang rotan di pergelangan tangan kanan yang jadi tanda."Hoooi...Nadir! Sudah kau selesaikan komandan pengecut yang melarikan diri tadi?" seorang lelaki bertopeng
"Jelutung! Kan sudah kukatakan padamu tadi, tak seorangpun boleh menemuiku dan Candra di tempat ini! Kini kau malah mengizinkan orang lain menemuiku di sini! Kacau semuanya!" amuk Pak Cik pada Jelutung yang dianggapnya melanggar perintah. Jelutung hanya bisa menunduk mendengar semua amukan Pak Cik.Dengan mata melotot, Pak Cik lalu bertanya pada Jelutung, "Sekarang semua sudah terlambat. Siapa orang yang ingin menemuiku itu Jelutung?""Aku lupa namanya Pak Cik.""Ah kau memang teledor Jelutung! Bagus jika orang itu ternyata bukan lawan kita? Benar-benar payah kau Jelutung!" semprot Pak Cik tak berkesudahan. Tapi akhirnya ia mengendur dan minta Jelutung membawa tamu yang datang untuk menemuinya, "Marah sekali aku padamu Jelutung! Tapi aaah...sudahlah! Bawa kemari tamu sialan itu padaku!"Tanpa bertanya lagi Jelutung langsung pergi menjemput tamu yang hendak menemui Pak Cik."Demi Buddha! Ku kira siapa tamunya? Tak kusangka tamu yang buat kepalaku pening itu ternyata kau Muri! Ayo berga
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!