Puluhan perahu bermuatan ribuan prajurit Rajaputra Aruna siang itu melaju dengan kecepatan sedang. Di perahu paling depan, Pendekar Pisau Terbang tampak berdiri dengan gagah. Susul menyusul di belakangnya adalah perahu yang dinaiki oleh Rajaputra Aruna, Datuk Lepu, Senapati Madya, Sarpa, Kacung, dan lainnya."Gonnnnggg...! Gonnnggg...!" bunyi canang yang ditabuh keras berulang kali terdengar sampai ke ujung rawa-rawa.Rajaputra Aruna memang memerintahkan pasukannya untuk memukul canang keras-keras. Tujuannya adalah untuk menggetarkan lawan. Sembari menyatakan dalam bahasa lain bahwa merekalah pemenang pertempuran di pos penjagaan pertama.Rasa percaya diri tinggi dan moral pasukan yang yang terdongkrak akibat kemenangan di pertempuran sebelumnya, menyebabkan Rajaputra Aruna memutuskan menyerang Delta Kematian di siang hari.Keputusan Rajaputra Aruna juga berkait erat dengan racun yang digunakan Datuk Lepu.Efek yang ditimbulkan racun Datuk Lepu memiliki efektivitas berbeda-beda. Terga
Dua batu besar yang barusan menimpa kerumunan pasukan Rajaputra Aruna menimbulkan kerugian besar. Lima perahu pasukan Rajaputra Aruna langsung tumpas dan tenggelam bersama penumpangnya.Belum lagi Rajaputra Aruna dan Pisau Terbang sempat berpikir dan mengatur pasukan, lagi-lagi terdengar hantaman dua batu yang lain."Bummm..! Bummm..! Brak! Brak!"Lagi-lagi juga lima perahu dan ratusan prajurit jadi korban keganasan batu-batu besar pasukan Sriwijaya."Biadaaab...! Senjata macam apa ini?" Rajaputra Aruna marah dan bingung jadi satu. Seumur hidup, baru sekarang ia melihat batu-batu sebesar kepala kerbau bisa terbang terlontar seperti anak panah.Kerusakan yang ditimbulkan peluru batu manjanik terhadap pasukan Raputra Aruna sangat besar. Belum sampai setengah perjalanan dari mula-mula mereka diserang dengan hujan anak panah, sudah separuh lebih perahu pasukan Rajaputra Aruna tumpas. Celakanya, perahu-perahu itu tumpas bersama ratusan pasukan yang menaikinya. Ratusan prajurit lain yang ma
Siang mulai bergeser sore. Sinar matahari sudah bergeser tiga perempat ke arah barat. Sesekali masih terdengar nyaring suara burung elang yang berputar-putar di atas Kutaraja Minanga Tamwan.Saat itu suasana Kutara Minanga Tamwan hari itu mendadak sunyi.Jalan-jalan poros Minanga Tamwan yang biasa dipenuhi oleh pejalan kaki baik mereka yang berprofesi sebagai petani, pedagang, pegawai kerajaan atau mereka yang sekedar bersantai, kini sama sekali tampak. Yang ada hanya regu-regu prajurit Sriwijaya dalam kondisi siap tempur.Begitu juga dengan kedai-kedai minuman yang biasa ramai dikunjungi para lelaki. Kedai-kedai tersebut sejak pagi telah menutup pintu rapat-rapat. Suasana mencekam menguasai Kutaraja Minanga Tamwan.Tak jauh dari istana Sriwijaya, puluhan perahu yang datang dari hilir terlihat menepi di dermaga pelabuhan Sungai Komering. Dari lambungnya perahu-perahu itu menurunkan ratusan prajurit. Seorang senapati madya memimpin mereka. Ia terlihat menggenggam sebuah golok besar. M
Pagi yang cerah. Embun belum lagi kering. Ratusan burung rangkong terbang berpasang-pasangan. Sayap-sayap gagah mereka terbang membelah langit Sriwijaya dari arah timur menuju barat. Kaok mereka membahana, mendominasi ruang udara Kutaraja Minanga Tamwan yang senyap.Pagi itu, Kutaraja Minanga Tamwan sungguh-sungguh seperti kota mati yang ditinggalkan penghuninya.Sesuai dengan perintah Pangeran Indrawarman di pelabuhan Minanga Tamwan kemarin sore, pagi-pagi sekali Sadnya telah berada di beranda istana Minanga Tamwan.Wajah Sadnya keruh. Pikiran Sadnya masih terpukul oleh hilangnya golok melasa kepappang.Sambil berupaya menetralisir pikiran, Sadnya juga mesti bersabar sedikit menunggu Pangeran Indrawarman sedikit lama. Sebagai penganut Budha taat, Pangeran Indrawarman setiap pagi selalu melakukan puja di vihara istana.Letak vihara berada tepat di samping istana Sriwijaya. Pada kesempatan ini, Sadnya memperhatikan tempat peribadatan itu dengan seksama. Padahal ia sudah bertahun-tahun
Tubuh Datuk Lepu melayang ringan di atas permukaan Sungai Komering. Sama sekali tak tampak kelelahan akibat harus berenang karena perahunya hancur akibat jadi korban peluru batu manjanik.Tanpa mendapat perintah atau meminta izin Rajaputra Aruna, Datuk Lepu langsung menggebrak menyerang Delta Kematian seorang diri. Berbeda dengan Pendekar Pisau Terbang yang dikenal tenang, penuh perhitungan, dan matang. Datuk Lepu adalah kebalikannya. Selain cabul, dunia persilatan juga mengenal Datuk Lepu seorang pemarah, temperamen, dan nekat. Usia tua tak lantas mengubah karakternya.Datuk Lepu terus maju diantara desing anak panah yang mulai mengerubuti. Dengan lincah kedua tangan Datuk Lepu membabat habis anak panah sebelum sempat mengenai tubuhnya. Sementara kedua kaki renta dukun itu melompat taktis dibantu oleh serpihan puing perahu pasukan Rajaputra Aruna yang telah porak-poranda."Hoooi...Datuk gila! Apa yang kau lakukan? Cari mati kau?" dari kejauhan terdengar geram Rajaputra Aruna yang tak
"Sadnya! Mengapa tak kau jawab pertanyaanku?" tegur Pangeran Indrawarman pada Sadnya."Amba Pangeran! Amba hanya kurang istirahat dan tidur saja. Maka Amba sedikit kurang bergairah.""Aku maklum Sadnya!""Amba Pangeran!"Jawaban Pangeran Indrawarman sedikit melegakan Sadnya. Tapi ia belum bisa sepenuhnya bebas dari tekanan."Sadnya! Kedatanganmu dan pasukanmu tepat waktu! Saat ini kondisi Kutaraja Minanga Tamwan sedang darurat! Pos terdepan pertahanan Minanga Tamwan sudah dihancurkan musuh! Aku tinggal berharap pada pos pertahanan terakhir, Delta Kematian! Sebab, jika Delta Kematian bisa ditaklukkan oleh Rajaputra Aruna, maka begitu pula Minanga Tamwan!""Demi Sang Hyang Adi Buddha!" pekik Sadnya. Kini ia percaya apa yang dikatakan syahbandar dan komandan regu jaga pelabuhan Minanga Tamwan kemarin sore. Tengkuk Sadnya mendadak dingin."Sadnya! Kau tentu sudah dengan tentang kekuatan pendekar-pendekar aliran hitam yang jadi sekutu utama Rajaputra Aruna?""Amba Pangeran. Amba telah sedi
Datuk Lepu berhasil selamat dari ratusan anak panah yang menyerang. Dukun tua itu semakin dekat ke Delta Kematian. Tujuannya adalah dinding sebelah kiri Delta Kematian. Dinding sebelah kiri memang tingginya lebih rendah daripada dinding sebelah kanan. Datuk Lepu harus berada dalam jarak sedekat mungkin untuk bisa memaksimalkan penyerangan racunnya.Tapi pilihan itu tetap bukan hal mudah untuk dicapai. Datuk Lepu sadar sepenuhnya tentang hal tersebut. Lolos dari sergapan ratusan anak panah tak lantas membuatnya jadi lengah.Benar dugaan Datuk Lepu.Beberapa belas depa sebelum mencapai dinding Delta Kematian sebelah kiri, dari balik rimbun semak-semak muncul puluhan prajurit Sriwijaya mengendarai perahu sopek. Mereka telah menghunus senjata masing-masing.Utpala yang memimpin pasukan pelindung sayap kiri Delta Kematian memerintahkan pasukannya maju menyambut kedatangan Datuk Lepu dan teman-temannya. Seketika pertarungan jarak dekat terjadi."Seraaaang...! Jangan biarkan datuk cabul itu
Siang bergerak sore. Kawanan burung rangkong tak lagi terdengar berkaok di atas langit Kutaraja Minanga Tamwan. Tugasnya membelah angkasa telah digantikan kulik gagah burung elang yang tak lelah puluhan kali berputar mengincar mangsa. Di pepohonan rindang yang berjejer rapi di jalanan Minanga Tamwan, burung pipit berlompatan dari satu ranting ke ranting lainnya. Sungguh sebuah lukisan alam permai yang menggenapi keindahan Kutaraja Minanga Tamwan.Tapi semua keindahan surgawi itu tidak berlaku di jiwa-jiwa penduduk dan pemimpin Kedatuan Sriwijaya. Jalan dan ruang publik yang sepi sudah cukup untuk menunjukkan hal ganjil yang diakibatkan oleh pemberontakan Rajaputra Aruna. Memang pertempuran seru masih terjadi di Delta Kematian yang berjarak ribuan depa dari Minanga Tamwan. Namun, ruh perang yang menakutkan telah merasuk hingga ke jantung istana.Suasana mencekam seperti tak hendak beranjak dari ruang utama istana Sriwijaya. Dari pagi Pangeran Indrawarman, Senapati Madya Arsa, Bhiksu Dh
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!