"Malam tadi anaknya! Pagi ini Ubaknya!" teriak Koh Bai gembira melihat kedatang Wak Baidil ke mata air. Ia buru-buru mencuci tangan dan menyambut kedatangan kepala dusun Lubuk Ruso tersebut."Ayo Wak! Kita ngobrol di sana saja!" kata Koh Bai sambil menunjukkan sebuah dangau kecil yang berada di sebelah kanan mata air. Wak Baidil berjalan ke arah dangau yang dimaksud Koh Bai. Koh Bai beralih sebentar, memberikan instruksi kepada para pemuda yang sedang giat membangun irigasi.Begitu Koh Bai telah berada didekatnya, tak sungkan Wak Baidil memuji."Memang hebat kau ini Koh! Kemajuan tanggung jawabmu begitu pesat. Tak kusangka irigasi yang kita impikan hampir selesai!"Koh Bai tersenyum. Sambil menyeka keringat ia menjawab, "Sebagian pemuda dan lelaki dewasa kuarahkan ke bawah Wak. Mereka kutugaskan mulai mencetak beberapa petak sawah.""Oh pantas aku tak melihat Muri.""Muri di bawah Wak. Ia kuminta jadi kepala pencetakan sawah. Sepertinya dia paham apa yang ku mau.""Baguslah. Kau ini m
Setelah pertemuan pertama kali di mata air Lubuk Ruso, telah beberapa hari hingga sekarang, Aditya tak pernah lagi bertemu Vidya. Kesibukan menyiapkan benteng pertahanan membuat Aditya hampir tak punya waktu memikirkan hal lain.Tapi yang membuat Aditya jadi heran, ia selalu punya waktu untuk mengingat Vidya. Aditya sudah berusaha berkali-kali menyingkirkan Vidya dari kepalanya. Tapi gadis itu selalu muncul tanpa diminta.Malam ini, Koh Bai minta Aditya datang ke gubuk Vidya. Sudah pasti ia tak menolak. Memang itu yang ditunggu Aditya. Koh Bai minta Aditya menjelaskan pada Vidya program pendidikan yang akan dijalankan di sekolah nanti.Hari telah sore. Sebentar lagi Aditya perlu bersiap untuk menemui Vidya.Aditya merasa malam datang begitu lambat. Sejak pulang dari rawa-rawa di depan Lubuk Ruso ia gelisah menunggunya. Setelah malam tiba, giliran ia merasa langkah kakinya terlalu lambat untuk sampai di gubuk Vidya. Ia sungguh tak paham apa yang sedang terjadi pada dirinya.Langkah Adi
"Kau benar-benar brengsek Aditya! Kau benar-benar keterlaluan! Kemarin kau datang terlambat! Kali ini kau benar-benar ingkar dan hilang tanpa kabar! Benar-benar tak punya tanggung jawab!" Pak Cik memaki-maki Candra dengan suara tinggi. Emosinya pada Candra tak bisa dibendung. Candra yang duduk dihadapan Pak Cik hanya diam. Tapi sama sekali tak ada rasa bersalah diwajahnya."Gila kau ini! Sudah salah, tapi kau tak merasa bersalah! Manusia macam apa kau ini Candra?" Pak Cik kembali mengamuk. "Berhari-hari aku gelisah menunggu kabar darimu, eh, begitu jumpa, kau seperti tak punya dosa! Dasar brengsek!"Tak ada jawaban dari Candra. Ia malah terlihat asyik memainkan jari-jari kaki dan membuat lukisan tak beraturan di tanah. Pak Cik makin jengkel dibuatnya. Tapi Pak Cik sudah kehabisan kata-kata dan memilih diam sambil mengatur nafas.Setelah keduanya saling mendiamkan beberapa saat, Candra bertanya pada Pak Cik."Sudah Pak Cik?"Pak Cik yang masih dikuasai amarah, langsung menyambar pertan
Dangau Cinta keesokan harinya. Candra sedang mengaso. Ia baru saja datang ke Dangau Cinta. Terang bintang mulai kelihatan jelas. Malam ini, mendung seperti menyingkir jauh-jauh.Malam makin merambat larut. Candra heran, mestinya Tara sudah datang di Dangau Cinta. Tapi sampai sekarang, kekasihnya itu tak kunjung muncul. Candra mulai khawatir.Ketika kekhawatiran Candra mulai memunculkan banyak spekulasi, dari jauh derap kaki kuda Tara terdengar. Candra menjadi lega."Kak, maafkan aku telat!""Tak apa Sayang. Tumben kau telat hari ini?""Ya Kak. Aku baru saja ngobrol panjang lebar dengan Awang Kak," Tara menjelaskan penyebab kenapa ia telat datang ke Dangau Cinta."Begitu? Ada perkembangan apa Tara?""Kami berdua bertemu di sebuah tempat. Awang memberitahuku jika Danar telah mengirimkan surat resmi yang berisi tentang kegagalanku menumpas pemberontakan di Lubuk Ruso. .""Itu saja?""Ada lagi Kak. Yang ini kabar yang paling mengejutkanku.""Kabar apa itu?""Danar dalam suratnya ke Mukha
Tara telah kembali tenang. Ia mulai menegakkan kepala dan melihat ke arah Candra. Walau dengan rambut acak-acakan dan mata memerah, Candra melihat kecantikan kekasihnya itu makin sempurna. Gadis itu cantik luar dalam.Tapi itu tak mengurangi ganjalan di hati Candra. Ia akan menanyakan ke Tara sebentar lagi. Menunggu Tara benar-benar tenang."Tara, boleh aku bertanya lagi padamu Sayang?" Candra bertanya setelah melihat Tara telah mampu mengontrol emosinya."Boleh Kak.""Apa yang akan kau lakukan nanti setelah kau tak lagi jadi prajurit Sriwijaya?"Tara diam. Matanya menatap Candra penuh kerinduan. Itu juga yang dirasakan Candra. Setelah Tara pulang dari Lubuk Ruso, kehangatan memang seperti telah pergi dari mereka."Aku akan jadi istrimu Kak Aditya!" jawab Tara penuh keyakinan."Demi Buddha!" pekik Candra girang. "Kau jadi istriku?""Ya Kak.""Kau tak menyesal, menikah dengan laki-laki yang tak jelas masa depannya ini?""Aku yakin aku memilih laki-laki yang tepat untuk jadi pendamping
Hari pertama sekolah dibuka, suasana Lubuk Ruso ramai bukan kepalang. Semua terhipnotis, tumpah ruah memenuhi setiap akses menuju sekolah. Sekolah adalah kosakata dan barang baru bagi mereka. Sampai pagi ini, mereka sama sekali tak punya bayangan utuh tentang sekolah dan apa yang dikerjakan di sekolah. Di depan gedung sekolah yang terbuat dari kayu, Wak Baidil, Koh Bai, Aditya, dan seluruh tetua Lubuk Ruso berbaris menanti murid dan orang tuanya. Sedangkan Vidya, yang pagi itu terlihat istimewa, berdiri paling depan. Vidya tampak anggun dengan kemban ketat berwarna merah. Ia makin elok dengan setangkai anggrek hutan yang diselipkan digelung rambutnya. Dari tadi, Aditya tak berkedip memandang ke arah satu-satunya guru di Lubuk Ruso itu.Para perempuan berduyun-duyun berjalan kaki, memenuhi jalan Lubuk Ruso mengantarkan anak mereka sekolah. Semua menggandeng anak masing-masing. Sedangkan para lelaki, kebanyakan melihat dari gerbang rumah. Hari itu, semua anak di Lubuk Ruso mengenakan
Hujan deras mengguyur Lubuk Ruso sejak sore hari. Malam belum terlalu larut, sebagian penduduk Lubuk Ruso telah terlelap dalam tidur.Sambil menikmati hujan di teras gubuk Wak Baidil, Aditya mengingat hari ini sebagai salah satu hari yang indah dalam hidupnya.Hari ini Aditya pertama kali dalam hidupnya dan pertama kali juga dalam sejarah Lubuk Ruso, mampu membantu dan membangun sebuah sekolah. Sebuah mimpi yang jadi kenyataan.Kebahagiaan itu makin lengkap. Hari ini juga, Aditya berhasil jalan beriring dengan seorang gadis yang mampu mencuri hatinya. Padahal, sebelumnya di Melayu, Mukha Upang, dan Minanga Tamwan, di kota-kota besar itu, Aditya melihat banyak gadis cantik dan terpelajar. Tapi mereka tak ada yang mampu memikat hati. Gadis yang ia damba itu ternyata malah ia temukan di sebuah dusun kecil dan terisolasi.Ketika Aditya sedang asyik dengan kebahagiaannya, Wak Bai dan Nadir yang memperhatikan perilaku Aditya sejak tadi mengendap dan tiba-tiba mengagetkan Aditya dari belakan
Ayunan pedang di tangan lelaki bertopeng lebih cepat dibandingkan dengan lawannya. Dalam satu hentakan, serangan si lelaki bertopeng mampu menembus pertahanan lawan tanpa mampu dielak lagi."Cras!" sebentar saja, terdengar suara batang leher dibabat tanpa ampun. Saking tajam dan cepatnya gerakan si lelaki bertopeng,membuat sama sekali tak ada jerit kesakitan. Yang terlihat hanya sebuah tubuh tinggi besar jatuh bergedebuk dengan leher memuncratkan darah. Tewas.Bau anyir darah menguap. Darah itu mengalir dan memerahi rerumput disekitarnya. Agak jauh dari tubuh lelaki yang baru saja ditebas Nadir, belasan tubuh lain yang bernasib sama. Tewas dengan tubuh penuh darah.Jika dilihat dari tanda-tanda yang dipakai oleh mayat belasan lelaki tersebut, maka semua yang melihat pasti akan menduga mereka adalah para prajurit Sriwijaya. Gelang rotan di pergelangan tangan kanan yang jadi tanda."Hoooi...Nadir! Sudah kau selesaikan komandan pengecut yang melarikan diri tadi?" seorang lelaki bertopeng
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!