Tara telah kembali tenang. Ia mulai menegakkan kepala dan melihat ke arah Candra. Walau dengan rambut acak-acakan dan mata memerah, Candra melihat kecantikan kekasihnya itu makin sempurna. Gadis itu cantik luar dalam.Tapi itu tak mengurangi ganjalan di hati Candra. Ia akan menanyakan ke Tara sebentar lagi. Menunggu Tara benar-benar tenang."Tara, boleh aku bertanya lagi padamu Sayang?" Candra bertanya setelah melihat Tara telah mampu mengontrol emosinya."Boleh Kak.""Apa yang akan kau lakukan nanti setelah kau tak lagi jadi prajurit Sriwijaya?"Tara diam. Matanya menatap Candra penuh kerinduan. Itu juga yang dirasakan Candra. Setelah Tara pulang dari Lubuk Ruso, kehangatan memang seperti telah pergi dari mereka."Aku akan jadi istrimu Kak Aditya!" jawab Tara penuh keyakinan."Demi Buddha!" pekik Candra girang. "Kau jadi istriku?""Ya Kak.""Kau tak menyesal, menikah dengan laki-laki yang tak jelas masa depannya ini?""Aku yakin aku memilih laki-laki yang tepat untuk jadi pendamping
Hari pertama sekolah dibuka, suasana Lubuk Ruso ramai bukan kepalang. Semua terhipnotis, tumpah ruah memenuhi setiap akses menuju sekolah. Sekolah adalah kosakata dan barang baru bagi mereka. Sampai pagi ini, mereka sama sekali tak punya bayangan utuh tentang sekolah dan apa yang dikerjakan di sekolah. Di depan gedung sekolah yang terbuat dari kayu, Wak Baidil, Koh Bai, Aditya, dan seluruh tetua Lubuk Ruso berbaris menanti murid dan orang tuanya. Sedangkan Vidya, yang pagi itu terlihat istimewa, berdiri paling depan. Vidya tampak anggun dengan kemban ketat berwarna merah. Ia makin elok dengan setangkai anggrek hutan yang diselipkan digelung rambutnya. Dari tadi, Aditya tak berkedip memandang ke arah satu-satunya guru di Lubuk Ruso itu.Para perempuan berduyun-duyun berjalan kaki, memenuhi jalan Lubuk Ruso mengantarkan anak mereka sekolah. Semua menggandeng anak masing-masing. Sedangkan para lelaki, kebanyakan melihat dari gerbang rumah. Hari itu, semua anak di Lubuk Ruso mengenakan
Hujan deras mengguyur Lubuk Ruso sejak sore hari. Malam belum terlalu larut, sebagian penduduk Lubuk Ruso telah terlelap dalam tidur.Sambil menikmati hujan di teras gubuk Wak Baidil, Aditya mengingat hari ini sebagai salah satu hari yang indah dalam hidupnya.Hari ini Aditya pertama kali dalam hidupnya dan pertama kali juga dalam sejarah Lubuk Ruso, mampu membantu dan membangun sebuah sekolah. Sebuah mimpi yang jadi kenyataan.Kebahagiaan itu makin lengkap. Hari ini juga, Aditya berhasil jalan beriring dengan seorang gadis yang mampu mencuri hatinya. Padahal, sebelumnya di Melayu, Mukha Upang, dan Minanga Tamwan, di kota-kota besar itu, Aditya melihat banyak gadis cantik dan terpelajar. Tapi mereka tak ada yang mampu memikat hati. Gadis yang ia damba itu ternyata malah ia temukan di sebuah dusun kecil dan terisolasi.Ketika Aditya sedang asyik dengan kebahagiaannya, Wak Bai dan Nadir yang memperhatikan perilaku Aditya sejak tadi mengendap dan tiba-tiba mengagetkan Aditya dari belakan
Ayunan pedang di tangan lelaki bertopeng lebih cepat dibandingkan dengan lawannya. Dalam satu hentakan, serangan si lelaki bertopeng mampu menembus pertahanan lawan tanpa mampu dielak lagi."Cras!" sebentar saja, terdengar suara batang leher dibabat tanpa ampun. Saking tajam dan cepatnya gerakan si lelaki bertopeng,membuat sama sekali tak ada jerit kesakitan. Yang terlihat hanya sebuah tubuh tinggi besar jatuh bergedebuk dengan leher memuncratkan darah. Tewas.Bau anyir darah menguap. Darah itu mengalir dan memerahi rerumput disekitarnya. Agak jauh dari tubuh lelaki yang baru saja ditebas Nadir, belasan tubuh lain yang bernasib sama. Tewas dengan tubuh penuh darah.Jika dilihat dari tanda-tanda yang dipakai oleh mayat belasan lelaki tersebut, maka semua yang melihat pasti akan menduga mereka adalah para prajurit Sriwijaya. Gelang rotan di pergelangan tangan kanan yang jadi tanda."Hoooi...Nadir! Sudah kau selesaikan komandan pengecut yang melarikan diri tadi?" seorang lelaki bertopeng
"Jelutung! Kan sudah kukatakan padamu tadi, tak seorangpun boleh menemuiku dan Candra di tempat ini! Kini kau malah mengizinkan orang lain menemuiku di sini! Kacau semuanya!" amuk Pak Cik pada Jelutung yang dianggapnya melanggar perintah. Jelutung hanya bisa menunduk mendengar semua amukan Pak Cik.Dengan mata melotot, Pak Cik lalu bertanya pada Jelutung, "Sekarang semua sudah terlambat. Siapa orang yang ingin menemuiku itu Jelutung?""Aku lupa namanya Pak Cik.""Ah kau memang teledor Jelutung! Bagus jika orang itu ternyata bukan lawan kita? Benar-benar payah kau Jelutung!" semprot Pak Cik tak berkesudahan. Tapi akhirnya ia mengendur dan minta Jelutung membawa tamu yang datang untuk menemuinya, "Marah sekali aku padamu Jelutung! Tapi aaah...sudahlah! Bawa kemari tamu sialan itu padaku!"Tanpa bertanya lagi Jelutung langsung pergi menjemput tamu yang hendak menemui Pak Cik."Demi Buddha! Ku kira siapa tamunya? Tak kusangka tamu yang buat kepalaku pening itu ternyata kau Muri! Ayo berga
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y