Pagi cerah. Di halaman rumah Sigindo Sungai Lintang telah terlihat Sigindo Sungai Lintang dan Sigindo Demahu. Keduanya bercakap-cakap ringan. Obrolan pagi banyak diwarnai derai tawa. Sementara tak jauh dari mereka, beberapa pengawal berkuda telah bersiap di samping dua ekor kuda yang telah disiapkan untuk keduanya.Kedua sigindo di tanah Kerinci Rendah tersebut pagi ini berencana pergi menyusuri Sungai Lintang ke arah hilir. Sigindo Demahu yang memintanya semalam."Saudaraku Tuan Sigindo Demahu, mudah-mudahan kau tak keberatan mengatakan padaku, kenapa kau minta kuantar menyusuri Sungai Lintang ke arah hilir?""Dengan senang hati Tuan. Sebenarnya aku gelisah dengan benteng dan parit pertahanan yang kita bangun di sana!" ujar Sigindo Demahu sambil mengacungkan tangannya ke arah kejauhan. Ke tempat benteng dan parit pertahanan Kerinci Rendah yang sedang dibangun."Maafkan aku Tuan, apakah aku salah dalam membangunnya sehingga kau kecewa?"Sigindo Demahu tersenyum dan menjawab pertanyaan
Sore datang. Setelah seharian menyusuri hutan larangan, Aditya dan Nadir tak kunjung menemui yang mereka cari. Setidaknya begitu untuk Nadir. Sedangkan Aditya, ia masih penasaran dengan mahluk misterius yang ia temui siang tadi.Karena perkara mahluk misterius itu pulalah yang membuat Aditya memutuskan untuk menginap semalam lagi di hutan larangan. Apalagi untuk keluar dari hutan tersebut, hari sudah hampir gelap. Ia dan Nadir tak punya cukup waktu untuk melakukannya."Nadir, sepertinya kita harus menginap semalam lagi di hutan ini. Aku masih penasaran dengan isi sesungguhnya dari hutan ini.""Aku ikut Kak Aditya saja," jawab Nadir singkat."Kalau kau kau sudah setuju, sebaiknya sekarang segera mencari tempat yang pas untuk membuat dangau. Kalau tak salah, tadi kita melewati sebuah sungai kecil. Kita kembali saja ke dekat sungai itu.""Baik Kak."Keduanya lalu berbalik dan berjalan ke arah sungai yang dimaksud Aditya. Tak lama keduanya sampai di tepi sungai kecil berair jernih. Sepert
Candra berjalan mondar-mandir. Entah mengapa seharian penuh ia merasa gelisah. Ia sendiri heran mengapa hal ini terjadi. Ia telah berulangkali mencoba membuang kegelisahannya dengan ragam aktivitas. Mulai dari membelah kayu, membersihkan tempat tinggal barunya, hingga memberi makan ayam peliharaan. Namun sekali lagi, entah mengapa kegelisahan tak kunjung pergi.Sore, selepas mandi dan sedikit makan, Candra telah mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki.ia harus tampak sempurna malam ini dihadapan Tara. Ini adalah kencan pertama mereka. Malam ini pula ia akan menyatakan perasaan dan meminta Tara untuk jadi kekasihnya.Waktu yang Candra tunggu tiba."Saat memulai hal baru dalam hidup," ucap Candra dalam hati. Ia lalu bergegas meninggalkan rumah dan menunggangi kudanya menuju kediaman Tara.Candra telah sampai di kediaman Tara. Tara tinggal di sebuah rumah panggung berukuran sedang. Rumah itu terletak persis di samping Istana Kedatuan Melayu. Seharusnya Tara sebagai salah satu perwira m
Suasana hening cukup lama. Di dalam rumah, yang terdengar hanya suara cicak bersahutan. Suara itu ditingkahi oleh suara jangkrik dan lolongan anjing dikejauhan.Candra merasa bersalah telah mengajukan pertanyaan tadi pada Tara. Ia merasa harus meminta maaf."Puan, aku minta maaf kalau pertanyaanku tadi membuatmu jadi tak nyaman."Tara masih diam. Pelan-pelan pandangan matanya beralih pada Candra. Ia lalu mulai bicara."Tak ada yang salah Candra. Hanya aku yang merasa sedikit sentimentil.""Tapi tetap saja aku penyebabnya Puan?"Senyum Tara terbit kembali. Hal itu melegakan hati Candra."Kan sudah kubilang. Ini bukan salahmu. Aku hanya terkenang hidupku di masa silam.""Lalu kenapa Puan seperti sangat risau?""Candra, sama sepertimu. Seumur hidupku, aku tak pernah dekat dengan laki-laki. Aku memang dekat dengan laki-laki sedari kecil. Tapi itu sebatas pertemanan biasa dan dalam dunia keprajuritan."Candra mendengarkan cerita Tara dengan penuh perhatian. Tiba-tiba keduanya merasakan ada
Aditya bisa bernafas lega. Negoisasi antara Nadir dengan pemimpin Suku Anak Dalam berjalan lancar. Tujuh orang Suku Anak Dalam yang semula menodongkan tombak kayu ke arah mereka, kini telah menurunkan senjatanya. Nadir dan pemimpin mereka juga sudah berpelukan tanda sudah tak ada lagi masalah."Kak Aditya, kemarilah!" panggil Nadir.Aditya langsung melangkah maju mendekati Nadir dan pemimpin Suku Anak Dalam. Si Pemimpin mengangguk-anggukan kepala saat Aditya telah mendekat. Ia lalu mengulurkan tangan kanan. Mengajak Aditya berjabat tangan. Aditya menyambutnya dengan senang.Peristiwa itu cepat berlalu. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan Nadir, delapan orang Suku Anak Dalam langsung pergi. Masuk kembali ke hutan larangan.Sepeninggal mereka semua, Aditya mengajak Nadir bercakap-cakap. Rasa ingin tahunya sangat besar melihat Nadir Mampun menjinakkan Suku Anak Dalam tanpa konflik sama sekali."Luar biasa! Tak kusangka hebat sekali kau Nadir! Kau mampu menjinakkan Suku Anak Dalam dala
Rumah Kepala Suku Dusun Lubuk Ruso yang dituju Aditya dan Nadir sudah di depan mata. Hari belum terlalu gelap ketika keduanya tiba.Pucuk dicinta ulam tiba. Saat keduanya baru masuk ke halaman, si empu rumah ternyata sedang bersantai di depan rumah. "Wak Baidil! Ini aku Nadir!" Baidil mempercepat langkahnya kegirangan melihat orang tua angkatnya ada di depan rumah. Baidil, orang yang dipanggil oleh Nadir tercengang. Setengah tak percaya Nadir tiba-tiba datang dan mencium tangannya."Nadir! Benarkah kau ini Bujang?""Ya Bak! Ini aku Nadir. Anak bujang Bak!""Demi Buddha! Akhirnya kau sampai kemari lagi ke rumahmu ini Bujang! Ayo masuk...! Ayo masuk...! Ajak temanmu masuk juga!" ajak Wak Baidil gembira. Aditya langsung tenang melihat sambutan hangat Wak Baidil. Dari tadi ia begitu gelisah. Dua sampai tiga orang penduduk dusun telah mengikuti mereka dari jauh. Seolah mereka tak suka ada orang luar berkunjung ke Dusun Lubuk Ruso.Ketiganya kini sudah berada di dalam rumah panggung Wak B
Aditya tak tahu harus bagaimana menanggapi kenyataan yang diceritakan Wak Baidil. Senang dan marah teraduk jadi satu.Di satu sisi, kenyataan yang ceritakan oleh Wak Baidil membuat hatinya senang. Betapa tidak, dengan kondisi Dusun Lubuk Ruso yang sekarang dipenuhi para pelarian dari Muara Bulian akibat kesewenang-wenangan pihak Sriwijaya, ia dan Nadir tak perlu terlalu capek mambangun basis perlawanan. Bahan bakarnya sudah tersedia di Lubuk Ruso.Di sisi yang lain, ia benar-benararah mengetahu penduduk Melayu di seantero negeri menjadi sengsara dan miskin karena ulah Sriwijaya. Suatu rasa yang wajar dimiliki oleh anak muda dari suatu negeri terjajah.Kedua alasan di atas membuat Aditya seperti terhimpit beban sangat berat. Jika menuruti emosi, hendak sekali ia membuka hati dirinya saat itu juga. Tapi Aditya mampu mengendalikan diri. Ia tak bisa bersikap konyol dan kekanak-kanakan. "Semua harus tetap tertutup sesuai dengan skenario awal," ujar Aditya dalam hati. "Sementara ini, biarl
"Hoiii...iya Dik! Sebentar lagi aku ke sana! Ini masih ada Wak Baidil!" teriak Koh Bai menjawab teriakan tadi."Ajaklah pula Beliau ikut makan kemari Kak!" teriakan balasan kembali terdengar."Iya Dik!" teriak Koh Bai pendek."Siapa Koh Bai? Yatikah itu?" tanya Wak Baidil."Benar Wak, itu Yati," jawab Koh Baidil sambil sisa keringat dikeningnya."Apa kabar Yati Koh?""Sehat Wak. Oh ya Wak Baidil dan adik-adik, istriku mengundang Wak dan adik-adik untuk makan siang bersama di huma kami. Kebetulan Yati masak lumayan banyak tadi Wak.""Bagaimana Nadir dan kau Jawir? Ada rezeki mendadak nih? Kalian menerimanya?""Kalau aku ikut Bak saja," jawab Nadir singkat."Akupun sama Bak," Aditya mengikuti sikap Nadir."Kalau demikian, ayolah kita ikut Koh Bai sekarang. Menurutku juga sayang kalau menolak rezeki hehe..."Mereka berempat kemudian berjalan melewati jalan setapak di tengah ladang Koh Bai yang sedang ditanami padi darat. Di sela-sela rumpun-rumpun Koh Bai sengaja menanam labu. Jadi Koh B
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!