Cao Cao paling suka mengamati wajah-wajah punggawa yang bingung. Dia merasa puas ketika tiada satupun orang yang mampu membaca pikirannya. Karena mereka yang bisa membaca pikiran majikan, berpotensi menggantikan posisinya kelak.
"Apa kalian punya rencana?"
Semua yang hadir berdiskusi, tapi tiada jawab tercipta.
Xun You memutuskan maju ke tengah ruang, memberi hormat Cao Cao.
"Apa rencanamu, Gubernur. Kami menanti."
Cao Cao terkekeh, setengah meledek suara tawanya. "Jadi para cendikia tidak bisa menyelesaikan masalah ini, heh?"
Cao Cao berdiam diri sesaat, menenangkan tawanya. "Pancing Lu Bu untuk keluar Puyang."
"Akan muda
"Jangan gegabah, ini pasti jebakan." Chen Gong berusaha menghalangi Lu Bu, tapi tiada hasil. "Jangan halangi langkahku!" bentak Lu Bu. Lu Bu menunggang kuda merah, memacu kencang kuda menuju gerbang selatan. Di matanya hanya ada Xiahou Yuan. "Zhang Liao!" teriak Chen Gong. Pendekar berkumis tipis datang. Badannya kurus jangkung, berpakaian perang perak kusam. Dia memakai helm berpahat hiasan giok bentuk kepala singa. Jubahnya pun berbahan kulit singa putih. Dia Zhang Liao, pendekar bawahan Chen Gong. "Ada apa, Tuan?" "Bantu Jendral Lu Bu. Bawa pasukan utama, habisi Cao Cao kalau bisa."
Waktu melayang bak daun kering tertiup angin. Tak terasa nyaris sebulan berlalu semenjak terakhir kali Zhou menginjakkan kaki di Huasan.Sekarang Zhou menguasai tubuhnya, hendak melangkah mendaki ke puncak.Suara gaduh membuatnya urung. Tiga serangkai Bu datang menyapa. Mereka memakai pakaian bangsawan, menunggang kuda kekar. Bu Bi terkekeh menunjuk Zhou sambil menarik tali kuda."Haiya, lihat siapa pengemis di depan kita? Satu bulan tiada perubahan. Eh, mana dua pengemis lainnya?""Haa liat siapa ini, tiga penjudi sabung ayam? Habis menang judi, ya?" balas Zhou.Seperti kucing dan guguk mereka cekcok menuju gunung. Karena itu pula mereka tak sadar jika telah tiba di halaman utama perguruan.
Suara api membakar arang di obor mendominasi ruang remang. Cahaya hanya berada di sekitar obor, banyak tempat gelap di belakang pilar-pilar besar berpahat naga.Zhou tak berani mendahului guru untuk berkata. Untuk tenang susah, karena kaki kesemutan, tapi dia bertekad duduk tenang.Akhirnya, pecah juga suasana mencekam."Apa tua bangka itu tidak menitipkan sesuatu kepadamu? Beri tahu semuanya, Nak."Zhou bangkit tertunduk-tunduk memberi gulungan yang menjadi wasiat. Dia kembali duduk."Guru, boleh selonjor, kakiku--""Bebas," sahut Tao Jin lebih fokus pada gulungan.Aura putih muncul dari badan Tao Jin, telunjuk dan jari tengah menyatu
Tao Jin menggeleng, kembali duduk di tempat guru kepala biasa duduk. Dia berusaha mengalihkan perhatian."Zhou, makam asli Liu Bang berada di kota Ye, di bukit Tandus. Ke sanalah dan segera ambil pedang itu. Ikuti legenda, beri kedamaian pada rakyat."Zhou semakin tidak tenang karena Bian yang berada di dalam tubuhnya berteriak-teriak tidak jelas, memaksa Zhou untuk membuat Tao Jin bicara."Jika tidak bisa, biar aku saja! Segera tidur, kita bertukar posisi!" teriak Bian. "Cepat paksa dia! Pakai namaku kalau perlu!""Sabar Bian," sahut Qiu dari dalam tubuh Zhou. "Beri kesempatan Zhou menyusun kalimat."Zhou menghampiri Tao Jin dengan wajah memohon. "Tolong Kek, beritahu kenapa Lu Xun pergi dari Huasan."
Sepuluh ribu kavaleri berlari siang dan malam, membuat jalanan penuh kepulan debu. Setelah mendengar Kaisar meminta bantuan, Cao Cao memimpin langsung ekspedisi ke Luoyang.Seorang pasukan berkuda menghampiri Cao Cao yang tak berhenti memacu kuda."Lapor! Pasukan Yuan Shao terlihat di utara!"Kepulan asap lain terlihat dari arah dermaga penyeberangan sungai. Sepertinya Yuan Shao juga mengirim ekspedisi ke Luoyang."Sebaiknya kirim pasukan untuk menumpas para penyusup itu," saran Cao Hong.Tanpa pikir panjang Cao Cao memberi perintah bagi Xiahou Dun dan Xiahou Yuan membantu Cheng Yu untuk membawa lima ribu pasukan membendung pasukan Yuan Shao.Tak lama berkuda, seorang pasuka
Cahaya matahari menerobos atap bolong, menyinari ruang singgasana yang tak ubahnya kandang kuda tua ditumbuhi rumput, juga berhias sarang laba-laba. Hilang sudah glamour masa lalu ketika banyak kasim kerja menggosok setiap dinding.Kaisar pun tak ubahnya rakyat jelata, berpakaian kumal, mahkota tanpa pernak-pernik majesty. Pemuda itu duduk di singgasana, sebuah kursi tua yang biasa ditemukan di kandang sapi.Loyalitas menjadi pendorong bagi para menteri yang hadir di sana untuk berbaris menyambut tamu. Tata tertib istana masih dijalankan walau keadaan tidak memungkinkan."Cao Cao, gubernur empat kota, jenderal kavaleri, menghadap Kaisar!"Cao Cao dikawal Guo Jia dan Xun You melangkah masuk. Sesuai tata tertib, Cao Cao bersujud. Keningnya menyentuh genangan ai
Nyanyian suka cita terdengar merdu. Lagu yang sama dengan yang Zhou nyanyikan dulu ketika berkelana ke Huasan. Suaranya lumayan merdu, tiada asal teriak. Tiada yang mendengar suara Qiu ikut menyanyi mencoba menghibur Bian. Lima hari berlalu, kesedihan Bian belum sirna. Dia bilang setuju menentukan target utama untuk dikejar, tapi hati masih menangis kehilangan cinta. "Jika memang jodoh, tidak akan ke mana," gumam Zhou. Dia bicara pada Bian dalam jiwanya, mengundang mata beberapa pejalan kaki di jalan setapak yang mendaki menoleh bingung. Zhou cuek bebek. Merasa tak kenal dia menjadi peduli setan. "Cinta datang dan pergi, cinta abadi menetap. Jika dalam tiga bulan engkau melupakannya, pertanda itu hanya cinta, benar seper
Mereka berseragam sipil, membawa pedang. Seragam jelas bukan pengungsi, sipil berpedang pasti orang dunia persilatan. "Penggemarmu?" tanya Zhou. "Bukan, mereka orang sewaan yang mencariku." "Kamu buronan?" "Haiya, bukan!" Zhou hendak bangkit, tapi Werou mendorong pundaknya supaya tetap duduk. Dia menilai gadis pendekar mau unjuk gigi? Dia menurut membiarkannya maju. Delapan jumlah mereka yang mendekat. Walau membawa pedang tapi tidak menarik gagang, mereka malah memberi hormat. "Nona Zhuge Werou, Tuan Zhuge Dan meminta Anda untuk pulang." "Heh, dengar, sampaikan pada Ayah aku tidak