Bayu mulai memosisikan dirinya sesuai kuda-kuda awal jurus cahaya, hanya berdiri biasa dengan tangan kiri di depan pusar menghadap ke atas sedangkan tangan kanan menghadap ke depan di samping dada. Bayu komat-kamit mengucapkan mantra dengan pelan. Tiba-tiba area di sekitarnya menjadi gelap gulita tidak ada cahaya sedikit pun sehingga Biksu Dharmapada tidak dapat melihat bahkan jari tangannya sendiri. Keadaan gelap ini cukup lama hingga dari tengah area gelap itu muncul selarik sinar yang ukuran dan bentuknya mirip dengan pedang. Pedang sinar itu muncul dari tangan kanan Bayu, lalu diangkatnya tangan kanannya sehingga pedang sinar itu tegak mengacung ke atas lalu berkelebat ke arah bongkahan batu, membentuk jalur cahaya yang sangat indah. Tidak ada suara atau perubahan apapun ketika pedang sinar itu menebas batu. Bayu sedikit terhuyung setelah menebas batu tadi, keadaan sekitarnya kembali normal. Biksu Dharmapada menghampiri batu sasaran tadi, menggeser bagian atas batu itu kira-kira
Mawar berhenti menangis. Dengan mantap dan penuh keyakinan dia berkata, “Baiklah ayah, beri aku waktu 10 hari, akan kubereskan semua masalahku sebelum kita menghadap ke istana.”Menteri Supala menarik nafas lega, dia kagum pada putrinya ini, semangat pengabdiannya pada negeri, tidak kalah dibanding dirinya dan leluhurnya.***Jauh di sebelah utara dari ibukota, di sebuah pasar yang cukup ramai, sepasang muda mudi terlihat berjalan beriringan, sang gadis tampak lebih tua dari si pemuda, tetapi kecantikan dan tubuhnya yang indah, membuat banyak mata melirik bahkan terang-terangan melotot memandanginya.“Apakah masih ada barang lain yang kau butuhkan?" tanya sang pemuda.“Sepertinya sudah semua, kita ke rumah makan di depan itu saja, aku akan mentraktirmu karena sudah menemaniku berbelanja,” jawab sang gadis sambil menunjuk sebuah rumah makan yang cukup ramai.Kedua orang ini adalah Bayu dan Laras. Tiba-tiba di sebuah tikungan jalan Bayu melihat sesosok tubuh yang sangat dikenalnya, oran
Sangaji dengan terpaksa menyerang Laras. Dia memukul lurus ke depan dengan hanya disertai 3 bagian kekuatan tenaga dalamnya.Laras dengan mudah menghindarinya sambil mencibir sinis, “Huh, laki-laki munafik, kaulah yang pantas mampus.” Dilepasnya selendang yang melilit di pinggangnya yang ramping. Selendang itu adalah senjata andalannya, dengan ujung berumbai-rumbai logam yang tajam, sudah banyak kalangan persilatan yang merasakan keganasan senjatanya ini.Dilemparnya ujung selendangnya ke arah leher Sangaji, Laras tidak segan sedikit pun dalam serangannya. Tenaga dalamnya dikerahkan penuh pada selendangnya. Ujung selendang meluncur cepat.Sangaji terkejut dengan serangan itu, hampir saja tenggorokannya berlubang terkena logam runcing yang menjadi rumbai di ujung selendang itu. Cara menghindarnya yang terburu-buru membuat posisinya tidak menguntungkan.Sementara Laras terus mencecarnya dengan ujung selendang yang lain.Kltiikk, kltiik, kltiikBunyi rumbai selendang saling beradu mengar
Setelah darah yang keluar berwarna merah, Bayu menghentikan isapannya. Dia membersihkan mulutnya di sungai. Lalu menggendong Laras, mencari rumah penduduk di sekitar situ. Ditemukannya sebuah gubuk yang dihuni oleh pasangan tua. Bayu menemui kakek dan nenek itu, memohon dengan sopan agar mereka mau merawat Laras. Sang nenek dengan ramah menerimanya dan bertanya, “Apakah ini istrimu nak? Penyakit apa yang dideritanya?”“Bukan nek, ini temanku. Dia terluka karena bertarung dengan musuhnya. Lukanya di dada sehingga tidak sopan bila aku yang merawatnya.” Bayu menjelaskan sambil memberikan beberapa keping uang pada si nenek.“Ini sekedarnya, untuk membeli obat luka dan makanan untuk temanku nek.”“Terima kasih nak, apa engkau akan tinggal di sini juga?” tanya si nenek.“Tidak nek, aku sementara tinggal di kuil di kaki gunung Belah. Tapi aku akan menjenguk temanku setiap hari,” jawab Bayu.Setelah meletakkan Laras di dipan tempat tidur nenek itu, Bayu pamit meninggalkan kedua kakek nenek it
Dengan gugup Bayu bertanya pada Laras, “A ... Apakah ada yang kau butuhkan lagi Laras?”Laras menggelengkan kepala sambil menjawab, “Tidak ada Bayu, tapi aku senang sekali kalau kau mau menemaniku di sini.”“Baiklah aku akan menemanimu sampai sore,” janji Bayu. Mereka mengobrol banyak hal tentang latar belakang mereka masing-masing. Bayu tidak menceritakan semua pengalamannya, apalagi tentang Agartha, dia tidak menyinggungnya sama sekali. Sedangkan Laras bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ia adalah seorang anak yatim piatu yang sejak kecil diasuh oleh seorang penari wanita yang sering diundang untuk menghibur bila para pejabat mengadakan acara. Ternyata sang penari adalah seorang tokoh persilatan yang dikenal dengan nama Bidadari Penabur Bunga, perbuatannya tidak bisa disebut baik tapi juga tidak bisa digolongkan jahat, semuanya asal menguntungkan baginya dilakukannya. Ia memiliki banyak anak asuh yang semuanya perempuan. Anak-anak itu diajarinya menari, yang cukup berbaka
Keadaan menjadi hening, dan Bayu melanjutkan, “Karena gerakan seperti ini akan dianggap sebagai pemberontakan oleh pihak istana. Pasti akan terjadi bentrokan atau mungkin bahkan perang. Ini akan semakin melemahkan Antakara dan pasti banyak rakyat yang menjadi korban. Tujuanku adalah menyelamatkan Antakara dan rakyatnya bukan menghancurkannya.”Menteri Supala mengangguk-angguk, ia mengagumi kebijaksanaan Bayu dan pikirannya yang jauh ke depan, lalu ia berkata, “Kau benar Bayu, sebetulnya kemerosotan Antakara ini adalah ulah dari Bagaskoro. Raja Khandra tidak bisa menentang keinginannya karena merasa berhutang budi. Jadi bila ada orang yang bisa mempengaruhi Raja Khandra untuk menghapus atau mengganti peraturan-peraturan yang dibuat Bagaskoro, maka negeri ini akan pulih kembali.”Nayaka yang sejak tadi diam saja, mulai berbicara, ia mengomentari ide Menteri Supala, “Betul pendapat Tuan Menteri, tapi siapa yang bisa mempengaruhi Raja Khandra, mendekatinya saja pasti Bagaskoro sudah mengh
Saat matahari mulai menyingsing, Laras sudah bersiap pamit kepada kakek dan nenek yang merawatnya selama ini. Tapi terdengar ucapan salam dari luar rumah, “Permisi!”Bayu melongokkan kepalanya melalui pintu yang terbuka.“Silakan nak! Temanmu sudah menunggumu sejak kemarin,” ucap si Nenek membuat wajah Laras memerah.Bayu mengalihkan pandangannya ke arah Laras, “Sudah sehatkah kau Laras?”“Sudah jauh lebih baik, baru saja aku akan pamit pada kakek dan nenek,” jawab Laras sambil mendekati si Nenek, memeluknya dan mengucapkan terima kasih. Lalu menempelkan punggung tangan si Kakek ke dahinya sambil berpamitan, “Aku pamit ya kek, terima kasih atas bantuannya selama ini.”Bayu pun berterima kasih dan berpamitan pada kakek dan nenek itu, lalu mengikuti langkah Laras. Sambil berjalan Bayu bertanya, “Akan kemana rencanamu setelah ini Laras?”Laras menengok dan menjawab, “Aku akan ke ibukota mencari Mawar.”“Eh kenapa tiba-tiba engkau ingin mencari Mawar?” tanya Bayu terkejut.“Bayu apakah e
Mahen membusungkan dadanya sambil bercanda ia berkata, “Hehehe, Mahen gitu lho! Asalkan cukup diberi asupan gizi, otakku ini memang bisa diandalkan.”Biksu Dharmapada mengizinkan Biksu Dharma Pradipa keluar kuil untuk membantu Bayu. Perjalanan ke danau Awan Biru dimulai besok. Bayu, Nayaka dan Biksu Dharma Pradipa sudah menyusun rencana penyelamatan Putri Safira sesuai ide Mahen.Pagi hari tampak tiga ekor kuda berderap keluar dari kuil, menuju arah Barat tepatnya ke daerah danau Awan Biru. Kuda berlari dengan kecepatan sedang. Penunggangnya adalah Bayu, Nayaka dan Biksu Dharma Pradipa. Mereka sekarang masih ada di daerah kaki gunung Belah wilayah Surya Utara. Bayu teringat pesan John kepadanya sebelum dipindahkan ke Antakara. “Kira memiliki rekaman gambar daerah kaki gunung Belah cukup lengkap. Robot gagak yang diciptakannya sudah merekam hampir seluruh wilayah itu. Jadi ia pasti menuju ke permukaan bumi di daerah tersebut. Bayu engkau pun akan kupindahkan ke daerah itu, mulailah pen
Di sebuah gua dekat air terjun, terlihat seorang yang mengenakan pakaian serba hitam hingga hanya matanya yang terlihat. Orang itu menggerakkan tangannya membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu muncul cahaya dan kemudian bagaikan tabir yang terbuka, di dalam lingkaran itu menunjukkan sebuah ruangan lain yang bukan bagian dari gua itu.Orang itu melangkah melalui lingkaran yang bercahaya itu, memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu penuh peti yang tergeletak di lantai dan beberapa senjata yang tergantung di dindingnya. Orang berpakaian hitam itu mendekati sebuah pedang yang tergantung di dinding, menghunus pedang itu, tapi digantungnya kembali. Ia hanya mengambil sarung pedangnya. Lalu orang itu kembali melewati lingkaran bercahaya itu, yang langsung menghilang setelah orang itu melewatinya. Sedangkan di sebuah tempat yang dikenal orang sebagai bukit Tengkorak. Pada masa ratusan tahun setelah kejadian seseorang mengambil sarung pedang tadi. Di kamar sang Ratu penguasa bu
Semua orang mengalihkan pandangannya ke luar ruangan, bahkan Nayaka yang posisinya terdekat dengan pintu langsung meloncat keluar. Tapi tak ada apa pun di luar istana, suasananya tenang-tenang saja. Nayaka sadar ini pasti tipuan licik Bagaskoro lagi. Ketika ia hendak memasuki ruangan kembali dilihatnya Bagaskoro sudah menyandera Raja Bhanu dengan mencengkeram lehernya.Nayaka membatalkan niatnya untuk masuk ke ruangan, ia berputar menuju pintu belakang istana. Sementara Bagaskoro mengancam semua orang akan membunuh Raja Bhanu.Sang Raja berkata pada Bayu, “Adi, aku dan ayahku sudah melakukan kesalahan padamu. Bunuhlah pengkhianat ini, jangan pedulikan aku, engkau yang berhak atas takhta ini.”Bayu ragu, ia mencoba memberikan penawaran pada Bagaskoro, “Bagaskoro lepaskan Kanda Bhanu, maka aku akan membebaskan Prastowo.”Bagaskoro tertawa, “Hahaha setelah itu kau akan menyerang dan membunuhku, kau kira aku tidak tahu niat busukmu.”Bayu menjawab, “Jangan kau anggap semua orang seperti
Bagaskoro sangat geram, giginya gemeretuk menahan emosinya, “Aku tidak peduli, akan kubunuh semua orang yang ada di ruangan ini.” Mata Bagaskoro memerah, ia sudah kehilangan nalarnya, dihunusnya pedang pengisap bintang.Bayu segera mengeluarkan sarung pedang pengisap bintang dari selongsong timah hitamnya.Bagaskoro tidak terkejut, ia sudah menduga sarung pedang itu berada di tangan musuh-musuhnya. Tapi ia tidak khawatir, karena yang terpenting adalah tenaga dalam khusus saat pedang pengisap bintang digunakan. Bagaskoro menyerahkan pedang pengisap bintang pada Ki Lurah Gondomayit, dan disuruhnya untuk menjauh. Ki Lurah mengerti maksud Bagaskoro. Ia segera menjauh agar pengaruh pedang pengisap bintang tak terasa lagi. Bagaskoro berharap Bayu akan melemparkan sarung pedangnya agar tak terkena pengaruhnya. Tapi kali ini dugaannya salah. Bayu hanya memasukkan sarung pedang itu kembali ke dalam selongsong timah hitamnya. Bagaskoro tertawa, “Hahaha, ayo kita mulai.” Ia bersiap-siap denga
Bagaskoro mengangkat tangannya, lalu berkata dengan suara lantang, “Terima kasih saudara-saudara. Aku hanya seorang diri tidak ada artinya tanpa dukungan kalian semua. Maka mulai sekarang marilah kita bersama-sama menciptakan suasana aman dan tenteram di dunia persilatan serta dengan setia menjadi penopang negeri yang kita cintai ini, Antakara.”Para penonton kembali bertepuk tangan dan berseru, “Setuju!!! Kami siap menerima perintah Ketua!”Bagaskoro sekali lagi mengangkat tangannya, “Untuk lebih menjalin keakraban di antara kita, aku mohon saudara-saudara jangan membubarkan diri dulu. Aku telah menyiapkan sebuah perjamuan untuk kita. Silakan dinikmati.”Di mana pun sebuah perjamuan selalu dinantikan dalam sebuah acara. Para penonton bersorak gembira, mereka merasa tidak salah mendukung Tuan Bagaskoro, yang ternyata sangat royal pada mereka.Di tengah keriuhan orang mengambil makanan, ada seorang prajurit yang baru turun dari kudanya dan berseru, “Di mana Tuan Penasihat! Cepat! Aku m
Keadaan menjadi gelap, lalu ‘Jboooooooom’ kilatan cahaya dari ledakan tenaga dalamnya menyilaukan mata semua orang, ketika mata mereka tertutup, tubuh mereka terpental disambar kekuatan angin panas dan bara api dari batu dan kerikil yang berhamburan menghajar mereka. Tak seorang pun yang masih bisa berdiri, Bhirowo yang terdepan merasakan pengaruh ledakan panas itu paling hebat. Ketika keadaan menjadi gelap Bhirowo tersentak, jelas ini bukan jurus sembarangan, tapi sudah terlambat, tubuhnya bagaikan masuk ke neraka, jeritannya menyayat hati, hilang sudah keangkuhannya, tubuhnya telentang melepuh dan mata terbelalak. Mulutnya masih sempat bergumam, “Jurus apa itu ...” sebelum nyawanya melayang meninggalkan raganya.***Di arena pertandingan, hari ke-tiga, dan ke-empat, Baroto berhasil menaklukkan lawan-lawannya. Setelah mengalahkan Tuan Dewangga dan Bayu di hari ke-dua, berturut-turut Baroto menundukkan Tuan Paskalis, Tuan Bimantoro dan Tuan Mahesa Ludira. Sekarang tinggal tersisa Tuan
Raja Darpa terkejut, ada prajuritnya yang berani memukul Prastowo. “Hei, siapa kau?”Prajurit itu dengan tenang berjalan mendekati Raja Darpa. “Maaf Yang Mulia, nama hamba Bayu Narendra. Hamba adalah Pangeran Antakara. Yang Mulia sudah menyerang negeri hamba karena terpengaruh hasutan dari Bagaskoro dan putranya Prastowo. Tunggulah sebentar, teman hamba akan segera datang membawa buktinya.”Tak seberapa lama muncullah di tengah ruangan seorang gadis cantik bermata kelabu. Ia mendekati Raja Darpa. Sang Raja terkejut. Ia mengenali gadis itu. “Bukankah kau penyusup yang mencoba meracuni aku.”Kirani membungkuk hormat, “Nama hamba Kirani Yang Mulia. Saat itu hamba hanya berkunjung ke Buntala untuk mencari Prastowo, sama sekali tidak bermaksud meracuni Paduka.”“Lalu siapa yang menaruh racun dalam minumanku?” tanya sang Raja.“Dia!” Kirani menunjuk Prastowo.“Tidak mungkin, Prastowo menantuku, untuk apa dia mencoba meracuniku?” Raja Darpa tidak percaya pada keterangan Kirani.“Sabar Yang M
Sementara di negeri Buntala, Raja Darpa memimpin sendiri pasukannya didampingi oleh menantunya, Prastowo. Keberangkatan pasukan justru saat lewat tengah hari, mereka memperkirakan memasuki wilayah Antakara ketika matahari mulai tenggelam. Walaupun jalan masuk ke Antakara sudah disiapkan mereka tetap berusaha untuk tidak menarik perhatian penduduk. Hutan perbatasan Surya Selatan dan Surya Timur akan dijadikan markas sementara mereka sebelum menyerang ke istana.Mahen dan Nayaka yang sudah melihat pergerakan Pasukan Buntala, segera kembali untuk melaporkan hasil pengintaiannya kepada Raja Bhanu melalui pengawalnya. ***Bayu membuka matanya dan bertanya, “Di mana ini John?”“Kau baru saja kuangkat keluar dari arena pertandingan,” jawab John.Lalu Bayu bertanya lagi, “Apakah ada yang curiga dengan kematianku?”“Sepertinya tidak, salah satu juri sudah memberi tanda bahwa kau sudah mati pada Bagaskoro,” ungkap John.“Bagus! Berarti sekarang saatnya untuk rencana berikutnya,” ujar Bayu, sam
Pada saat genting seperti itu, seseorang meloncat ke atas panggung, sambil berkata, “Kau sudah menang Baroto, Lepaskan Tuan Dewangga, akulah yang kau tantang sebetulnya bukan.” Bayu membungkuk hormat pada Tuan Dewangga, “Maafkan kelancanganku Paman.”“Tidak apa-apa Bayu, aku justru berterima kasih padamu, berhati-hatilah si Kodok Bau ini tenaga dalamnya sangat hebat,” jawab Tuan Dewangga lesu. Baroto tertawa bangga, lalu berkata dengan tidak sabar, “Ayo cepat! Kalau mau ngobrol di warung saja.”“Silakan Baroto, aku sudah siap,” ucap Bayu.Baroto berkata dengan pongah, “Karena kau masih muda, kuberi kesempatan untuk menyerang dulu.”Bayu tidak sungkan lagi, dari pertarungan Baroto tadi ia melihat jurus kodoknya sedikit lebih lambat bila harus berbalik arah. Karena itu Bayu langsung menggunakan jurus udara dan bergerak ringan ke belakang Baroto yang sudah memasang kuda-kuda jurus kodoknya. Tenaga dalam Bayu terkumpul di tangan membentuk bola tenaga, lalu dilontarkannya ke arah Baroto.
Pemuda itu memang Bayu, ia mendekati ujian tahap ke-dua. Dirangkulnya batu besar itu dengan kedua tangannya, lalu dikerahkannya tenaga dan batu itu pun terangkat di atas kepalanya. Bayu sengaja tidak mau menunjukkan semua ilmunya, ini adalah bagian dari rencananya. Tapi tetap saja penonton memberikan dukungannya dan saling bertanya siapakah pemuda ini.Pada ujian terakhir Bayu hanya mengambil satu pisau dan melemparkannya, tepat mengenai sasaran. Meskipun dinyatakan lolos, tapi tak ada gerakan atau hasil yang menghebohkan. Menteri Supala mendekatinya dan bertanya, “Apakah perlu kuumumkan identitasmu Bayu?”Bayu menggeleng, “Jangan Paman, cukup asal Bagaskoro tahu siapa diriku.”Maka di kalangan penonton mulai beredar desas-desus bahwa pemuda itu adalah Pangeran Bayu putra dari Raja Arkha. Berita ini pun sampai ke telinga Bagaskoro, segera ia memerintahkan orang untuk memanggil Baroto. “Sobat, pemuda yang baru saja lolos adalah targetmu. Tampaknya kali ini kau salah menilai orang. Men