Sangaji dengan terpaksa menyerang Laras. Dia memukul lurus ke depan dengan hanya disertai 3 bagian kekuatan tenaga dalamnya.Laras dengan mudah menghindarinya sambil mencibir sinis, “Huh, laki-laki munafik, kaulah yang pantas mampus.” Dilepasnya selendang yang melilit di pinggangnya yang ramping. Selendang itu adalah senjata andalannya, dengan ujung berumbai-rumbai logam yang tajam, sudah banyak kalangan persilatan yang merasakan keganasan senjatanya ini.Dilemparnya ujung selendangnya ke arah leher Sangaji, Laras tidak segan sedikit pun dalam serangannya. Tenaga dalamnya dikerahkan penuh pada selendangnya. Ujung selendang meluncur cepat.Sangaji terkejut dengan serangan itu, hampir saja tenggorokannya berlubang terkena logam runcing yang menjadi rumbai di ujung selendang itu. Cara menghindarnya yang terburu-buru membuat posisinya tidak menguntungkan.Sementara Laras terus mencecarnya dengan ujung selendang yang lain.Kltiikk, kltiik, kltiikBunyi rumbai selendang saling beradu mengar
Setelah darah yang keluar berwarna merah, Bayu menghentikan isapannya. Dia membersihkan mulutnya di sungai. Lalu menggendong Laras, mencari rumah penduduk di sekitar situ. Ditemukannya sebuah gubuk yang dihuni oleh pasangan tua. Bayu menemui kakek dan nenek itu, memohon dengan sopan agar mereka mau merawat Laras. Sang nenek dengan ramah menerimanya dan bertanya, “Apakah ini istrimu nak? Penyakit apa yang dideritanya?”“Bukan nek, ini temanku. Dia terluka karena bertarung dengan musuhnya. Lukanya di dada sehingga tidak sopan bila aku yang merawatnya.” Bayu menjelaskan sambil memberikan beberapa keping uang pada si nenek.“Ini sekedarnya, untuk membeli obat luka dan makanan untuk temanku nek.”“Terima kasih nak, apa engkau akan tinggal di sini juga?” tanya si nenek.“Tidak nek, aku sementara tinggal di kuil di kaki gunung Belah. Tapi aku akan menjenguk temanku setiap hari,” jawab Bayu.Setelah meletakkan Laras di dipan tempat tidur nenek itu, Bayu pamit meninggalkan kedua kakek nenek it
Dengan gugup Bayu bertanya pada Laras, “A ... Apakah ada yang kau butuhkan lagi Laras?”Laras menggelengkan kepala sambil menjawab, “Tidak ada Bayu, tapi aku senang sekali kalau kau mau menemaniku di sini.”“Baiklah aku akan menemanimu sampai sore,” janji Bayu. Mereka mengobrol banyak hal tentang latar belakang mereka masing-masing. Bayu tidak menceritakan semua pengalamannya, apalagi tentang Agartha, dia tidak menyinggungnya sama sekali. Sedangkan Laras bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ia adalah seorang anak yatim piatu yang sejak kecil diasuh oleh seorang penari wanita yang sering diundang untuk menghibur bila para pejabat mengadakan acara. Ternyata sang penari adalah seorang tokoh persilatan yang dikenal dengan nama Bidadari Penabur Bunga, perbuatannya tidak bisa disebut baik tapi juga tidak bisa digolongkan jahat, semuanya asal menguntungkan baginya dilakukannya. Ia memiliki banyak anak asuh yang semuanya perempuan. Anak-anak itu diajarinya menari, yang cukup berbaka
Keadaan menjadi hening, dan Bayu melanjutkan, “Karena gerakan seperti ini akan dianggap sebagai pemberontakan oleh pihak istana. Pasti akan terjadi bentrokan atau mungkin bahkan perang. Ini akan semakin melemahkan Antakara dan pasti banyak rakyat yang menjadi korban. Tujuanku adalah menyelamatkan Antakara dan rakyatnya bukan menghancurkannya.”Menteri Supala mengangguk-angguk, ia mengagumi kebijaksanaan Bayu dan pikirannya yang jauh ke depan, lalu ia berkata, “Kau benar Bayu, sebetulnya kemerosotan Antakara ini adalah ulah dari Bagaskoro. Raja Khandra tidak bisa menentang keinginannya karena merasa berhutang budi. Jadi bila ada orang yang bisa mempengaruhi Raja Khandra untuk menghapus atau mengganti peraturan-peraturan yang dibuat Bagaskoro, maka negeri ini akan pulih kembali.”Nayaka yang sejak tadi diam saja, mulai berbicara, ia mengomentari ide Menteri Supala, “Betul pendapat Tuan Menteri, tapi siapa yang bisa mempengaruhi Raja Khandra, mendekatinya saja pasti Bagaskoro sudah mengh
Saat matahari mulai menyingsing, Laras sudah bersiap pamit kepada kakek dan nenek yang merawatnya selama ini. Tapi terdengar ucapan salam dari luar rumah, “Permisi!”Bayu melongokkan kepalanya melalui pintu yang terbuka.“Silakan nak! Temanmu sudah menunggumu sejak kemarin,” ucap si Nenek membuat wajah Laras memerah.Bayu mengalihkan pandangannya ke arah Laras, “Sudah sehatkah kau Laras?”“Sudah jauh lebih baik, baru saja aku akan pamit pada kakek dan nenek,” jawab Laras sambil mendekati si Nenek, memeluknya dan mengucapkan terima kasih. Lalu menempelkan punggung tangan si Kakek ke dahinya sambil berpamitan, “Aku pamit ya kek, terima kasih atas bantuannya selama ini.”Bayu pun berterima kasih dan berpamitan pada kakek dan nenek itu, lalu mengikuti langkah Laras. Sambil berjalan Bayu bertanya, “Akan kemana rencanamu setelah ini Laras?”Laras menengok dan menjawab, “Aku akan ke ibukota mencari Mawar.”“Eh kenapa tiba-tiba engkau ingin mencari Mawar?” tanya Bayu terkejut.“Bayu apakah e
Mahen membusungkan dadanya sambil bercanda ia berkata, “Hehehe, Mahen gitu lho! Asalkan cukup diberi asupan gizi, otakku ini memang bisa diandalkan.”Biksu Dharmapada mengizinkan Biksu Dharma Pradipa keluar kuil untuk membantu Bayu. Perjalanan ke danau Awan Biru dimulai besok. Bayu, Nayaka dan Biksu Dharma Pradipa sudah menyusun rencana penyelamatan Putri Safira sesuai ide Mahen.Pagi hari tampak tiga ekor kuda berderap keluar dari kuil, menuju arah Barat tepatnya ke daerah danau Awan Biru. Kuda berlari dengan kecepatan sedang. Penunggangnya adalah Bayu, Nayaka dan Biksu Dharma Pradipa. Mereka sekarang masih ada di daerah kaki gunung Belah wilayah Surya Utara. Bayu teringat pesan John kepadanya sebelum dipindahkan ke Antakara. “Kira memiliki rekaman gambar daerah kaki gunung Belah cukup lengkap. Robot gagak yang diciptakannya sudah merekam hampir seluruh wilayah itu. Jadi ia pasti menuju ke permukaan bumi di daerah tersebut. Bayu engkau pun akan kupindahkan ke daerah itu, mulailah pen
elayan mengirim pesanan Rambitan. Dengan cepat pemuda itu menyambar ayam bakar dan digigitnya. Bayu mengangkat tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka melengkung diarahkan ke arah ayam bakar dalam genggaman tangan Rambitan. Seketika pada ayam bakar itu tampak satu titik sinar yang terang dan berasap, tidak lama muncul api dan ayam bakar itu terbakar lagi. Rambitan kaget dan mengibas-ngibaskan ayam itu, tapi api sudah terlanjur membesar hingga ayam itu gosong. Rambitan menyiram ayam itu dengan air teh. Tingkahnya yang panik kelihatan lucu sekali. Banyak pengunjung warung lain yang melihatnya tertawa ditahan-tahan, termasuk Bayu.Rambitan bingung dan malu, dipanggilnya lagi pelayan tadi, “Hei pelayan!! Kau jangan main-main denganku, aku minta ayam bakar bukan ayam yang masih terbakar.”Pelayan dengan bingung melihat ayam yang gosong dan basah di atas meja. “Tapi tadi kan Tuan sudah memakannya, tidak seperti ini.”“Aargh kurang ajar! Cepat ganti dan juga tehnya.”Bayu berbisik, “Ras
Pagi, sudah tampak Rumi kembali memasuki toko, seperti kemarin ia meletakkan keranjangnya di meja kasir. Setelah selesai dibayar ia berkata pada Pak Wardi, “Maaf Pak, bolehkah aku menumpang ke kamar kecil.”“Silakan, kau kan sudah tahu tempatnya.”Rumi menuju ke kamar kecil toko, masuk, dan hampir saja dia menjerit, ada seorang wanita yang persis dirinya di dalam. “Ssst, jangan berisik, aku bersama Pangeran Bayu akan membebaskan kalian, kau diamlah aku akan merias wajahmu, nanti setelah aku keluar, tunggulah sebentar lalu keluarlah dari toko temui seorang laki-laki tua dan anaknya.” Lalu setelah selesai merias wajah, wanita yang mirip Rumi ini keluar dari kamar kecil, mengambil keranjang, dan mengangguk pada Pak Wardi, kemudian keluar dari toko. Di rumah, Putri Safira gelisah menunggu kedatangan Rumi. Ketika di dengarnya suara langkah di depan pintu, cepat dibukanya dan ditariknya Rumi ke dalam sambil berbisik, “Bagaimana?”Rumi menjawab, “Maaf Putri Safira, hamba bukan Rumi, hamba