Baroto sudah tidak sabar, langsung disiapkannya kuda-kuda yang aneh, kedua kakinya ditekuk, badannya di rendahkan hingga perut dan tangannya menempel ke tanah, mirip seekor katak, apalagi lehernya juga menggembung dan mengeluarkan suara ‘krrrooook ... ‘ yang sangat keras. Meskipun tampak lucu dan aneh tapi tenaga dalam yang terpancar dari tubuhnya sangat kuat bahkan tekanannya terasa oleh Bayu dan yang lain, yang berdiri jauh di luar arena pertarungan tersebut.Baroto meloncat dengan kepalanya menyeruduk ke arah dada Biksu Dharmapada. Belum sampai serangannya, jubah yang dipakai Biksu Dharmapada sudah berkibar tertekan oleh aura tenaga dalam ilmu kodok yang dikerahkan Baroto. Biksu Dharmapada cepat meloncat ke samping, “Ilmu kodokmu semakin sempurna Baroto.” Sambil memuji disiapkannya juga kuda-kuda ilmu andalan perguruannya ‘Pukulan Badai dan Petir Pelindung Negeri’, kedua tangannya berputar menciptakan angin kencang disusul dengan pukulan yang sangat keras sehingga menimbulkan buny
Sejak kemunculannya Biksu Dharmapada di dampingi oleh seorang biksu yang wajahnya halus bagai wanita. Biksu ini hanya selalu di dekat Biksu Dharmapada tanpa bicara sedikit pun. Akhirnya Biksu Dharmapada pun menyadarinya dan mengenalkan biksu ini kepada semua orang, “Haha, saking asyiknya ngobrol, aku lupa memperkenalkan muridku yang baru ini. Dia adalah Biksu Dharma Pradipa, yang baru saja ditahbiskan menjadi biksu. Sebelumnya dia adalah tokoh persilatan yang terkenal dengan julukan Ganda Muka. Dengan kesadarannya sendiri dia membuang semua ilmu silatnya dan mengikuti ajaran Budha.”Laras dan Mahen yang sudah biasa berkelana di dunia persilatan terkejut mendengar nama Ganda Muka, karena dia ini adalah salah seorang tokoh yang seangkatan dengan Ratu Bukit Tengkorak dan Iblis Seribu Racun, bahkan dalam hal kekejaman Ganda Muka bisa disebut nomor satu. Senjatanya sebuah payung selalu meminta tumbal, nyawa anak-anak tak berdosa. Dijuluki Ganda Muka karena ia sangat ahli dalam menyamar.Su
Biksu Dharmapada mengubah posisi duduknya, menghirup secangkir teh dan mulai menjelaskan, “Kekuatan batin akan muncul setelah kekuatan fisik dan tenaga dalam kita melemah, biasanya dengan melakukan puasa selama waktu tertentu. Biasanya ilmu yang bersumber dari kekuatan batin diaktifkan dengan mengucapkan mantra yang akan memicu kekuatan roh atau spiritual memberikan bentuk pada ilmu tersebut. Sedangkan energi yang dibutuhkan untuk mewujudkan ilmu tersebut biasanya ada dua macam sumber. Untuk ilmu yang disebut ilmu putih sumber energinya berasal dari tenaga dalam yang dilatih dengan tekun selama bertahun-tahun. Karena itulah banyak orang yang tidak sabar dengan mengambil jalan pintas, bersekutu dengan kekuatan gelap untuk mendapatkan sumber energinya. Konsekuensinya kekuatan gelap itu akan selalu minta tumbal pada pemiliknya, biasanya tumbalnya adalah nyawa seseorang, semakin kuat ilmu itu semakin banyak tumbal yang diminta.”Dari penjelasan itu Bayu tiba-tiba bagaikan mendapat pencera
Bayu mulai memosisikan dirinya sesuai kuda-kuda awal jurus cahaya, hanya berdiri biasa dengan tangan kiri di depan pusar menghadap ke atas sedangkan tangan kanan menghadap ke depan di samping dada. Bayu komat-kamit mengucapkan mantra dengan pelan. Tiba-tiba area di sekitarnya menjadi gelap gulita tidak ada cahaya sedikit pun sehingga Biksu Dharmapada tidak dapat melihat bahkan jari tangannya sendiri. Keadaan gelap ini cukup lama hingga dari tengah area gelap itu muncul selarik sinar yang ukuran dan bentuknya mirip dengan pedang. Pedang sinar itu muncul dari tangan kanan Bayu, lalu diangkatnya tangan kanannya sehingga pedang sinar itu tegak mengacung ke atas lalu berkelebat ke arah bongkahan batu, membentuk jalur cahaya yang sangat indah. Tidak ada suara atau perubahan apapun ketika pedang sinar itu menebas batu. Bayu sedikit terhuyung setelah menebas batu tadi, keadaan sekitarnya kembali normal. Biksu Dharmapada menghampiri batu sasaran tadi, menggeser bagian atas batu itu kira-kira
Mawar berhenti menangis. Dengan mantap dan penuh keyakinan dia berkata, “Baiklah ayah, beri aku waktu 10 hari, akan kubereskan semua masalahku sebelum kita menghadap ke istana.”Menteri Supala menarik nafas lega, dia kagum pada putrinya ini, semangat pengabdiannya pada negeri, tidak kalah dibanding dirinya dan leluhurnya.***Jauh di sebelah utara dari ibukota, di sebuah pasar yang cukup ramai, sepasang muda mudi terlihat berjalan beriringan, sang gadis tampak lebih tua dari si pemuda, tetapi kecantikan dan tubuhnya yang indah, membuat banyak mata melirik bahkan terang-terangan melotot memandanginya.“Apakah masih ada barang lain yang kau butuhkan?" tanya sang pemuda.“Sepertinya sudah semua, kita ke rumah makan di depan itu saja, aku akan mentraktirmu karena sudah menemaniku berbelanja,” jawab sang gadis sambil menunjuk sebuah rumah makan yang cukup ramai.Kedua orang ini adalah Bayu dan Laras. Tiba-tiba di sebuah tikungan jalan Bayu melihat sesosok tubuh yang sangat dikenalnya, oran
Sangaji dengan terpaksa menyerang Laras. Dia memukul lurus ke depan dengan hanya disertai 3 bagian kekuatan tenaga dalamnya.Laras dengan mudah menghindarinya sambil mencibir sinis, “Huh, laki-laki munafik, kaulah yang pantas mampus.” Dilepasnya selendang yang melilit di pinggangnya yang ramping. Selendang itu adalah senjata andalannya, dengan ujung berumbai-rumbai logam yang tajam, sudah banyak kalangan persilatan yang merasakan keganasan senjatanya ini.Dilemparnya ujung selendangnya ke arah leher Sangaji, Laras tidak segan sedikit pun dalam serangannya. Tenaga dalamnya dikerahkan penuh pada selendangnya. Ujung selendang meluncur cepat.Sangaji terkejut dengan serangan itu, hampir saja tenggorokannya berlubang terkena logam runcing yang menjadi rumbai di ujung selendang itu. Cara menghindarnya yang terburu-buru membuat posisinya tidak menguntungkan.Sementara Laras terus mencecarnya dengan ujung selendang yang lain.Kltiikk, kltiik, kltiikBunyi rumbai selendang saling beradu mengar
Setelah darah yang keluar berwarna merah, Bayu menghentikan isapannya. Dia membersihkan mulutnya di sungai. Lalu menggendong Laras, mencari rumah penduduk di sekitar situ. Ditemukannya sebuah gubuk yang dihuni oleh pasangan tua. Bayu menemui kakek dan nenek itu, memohon dengan sopan agar mereka mau merawat Laras. Sang nenek dengan ramah menerimanya dan bertanya, “Apakah ini istrimu nak? Penyakit apa yang dideritanya?”“Bukan nek, ini temanku. Dia terluka karena bertarung dengan musuhnya. Lukanya di dada sehingga tidak sopan bila aku yang merawatnya.” Bayu menjelaskan sambil memberikan beberapa keping uang pada si nenek.“Ini sekedarnya, untuk membeli obat luka dan makanan untuk temanku nek.”“Terima kasih nak, apa engkau akan tinggal di sini juga?” tanya si nenek.“Tidak nek, aku sementara tinggal di kuil di kaki gunung Belah. Tapi aku akan menjenguk temanku setiap hari,” jawab Bayu.Setelah meletakkan Laras di dipan tempat tidur nenek itu, Bayu pamit meninggalkan kedua kakek nenek it
Dengan gugup Bayu bertanya pada Laras, “A ... Apakah ada yang kau butuhkan lagi Laras?”Laras menggelengkan kepala sambil menjawab, “Tidak ada Bayu, tapi aku senang sekali kalau kau mau menemaniku di sini.”“Baiklah aku akan menemanimu sampai sore,” janji Bayu. Mereka mengobrol banyak hal tentang latar belakang mereka masing-masing. Bayu tidak menceritakan semua pengalamannya, apalagi tentang Agartha, dia tidak menyinggungnya sama sekali. Sedangkan Laras bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ia adalah seorang anak yatim piatu yang sejak kecil diasuh oleh seorang penari wanita yang sering diundang untuk menghibur bila para pejabat mengadakan acara. Ternyata sang penari adalah seorang tokoh persilatan yang dikenal dengan nama Bidadari Penabur Bunga, perbuatannya tidak bisa disebut baik tapi juga tidak bisa digolongkan jahat, semuanya asal menguntungkan baginya dilakukannya. Ia memiliki banyak anak asuh yang semuanya perempuan. Anak-anak itu diajarinya menari, yang cukup berbaka