Di bawah rembulan malam yang terang, ratusan pendekar turun dan mengangkat senjata. Sabetan pedang yang secara beruntun, dan darah menyembur keluar lalu memgaliri setiap jalan. Bagaikan neraka, itulah perang. "Yang Mulia Kaisar Wang! Mohon ijin, saya masuk untuk memberi laporan!" seru salah satu bawahannya sembari memberi hormat. Kaisar Wang yang terlelap, kini kembali terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Terlebih sejak pagi hari sudah banyak laporan disampaikan mengenai kedatangan Tulang Naga yang membuat kerusuhan di distrik pusat. Di istana Wulan yang sepi, sebelumnya beberapa prajurit penjaganya datang hanya untuk melaporkan hal yang sama secara bergantian. Tidak ada jawaban dari Kaisar Wang sendiri mengenai laporan tersebut. "Lagi, lagi dan lagi!" pekik sang Kaisar mengernyitkan dahi dengan kesal. Teringat dengan laporan sebelumnya.Ia duduk sembari menopang dagu. Raut wajahnya tidak berubah dalam sekejap, hanya saja ia sangat kesal karena kedamaian yang susah payah dicapa
Langit gelap tak memandu jalannya yang sempit, langkah kaki yang cepat namun terdapat sebuah keraguan dan ketakutan. Ekspresi serius diikuti kepalan tangan yang kuat. Baik Hao Yun maupun Wu Shi, kedua pendekar itu seakan terhubung dan mulai merasa bahwa mereka sama-sama sedang menghadapi hal berbahaya.Suasana riuh di sekitar, tanah yang kering terinjak, tekad kuat dengan rasa sakit yang setara. Kali ini mungkin pertarungannya akan mengorbankan sesuatu hal yang lain dari orang terdekat. Di dalam kabut beracun, sosok pria bertudung berjalan santai menuju Wu Shi yang terjatuh di tempat. Ia tidak diganggu oleh satu pun pendekar lantaran kabut beracun telah membuat banyak dari pendekar dalam sekte tumbang. Hanya beberapa orang yang mampu bertahan namun tidak dapat bangkit karena kelumpuhan. Sementara Wu Shi, ia meringis kesakitan sambil melindungi Xie dalam dekapannya. "Sudah cukup, Wu Shi. Aku tidak bisa kau lindungi begitu saja. Seharusnya aku lah yang melindungi," kata Xie. "Diamla
Pada umumnya, setiap orang akan menghindari kemungkinan hal terburuk yang akan mereka hadapi. Itu adalah hal wajar bagi setiap orang yang tidak mau terlibat sesuatu yang merepotkan. Namun ada beberapa dari mereka yang sengaja merepotkan diri demi sesuatu, namun ada pula yang tanpa sengaja jatuh tak berdaya dan terpuruk di setiap keadaan. Wu Shi, sebagai seorang pendekar yang kini hanya dapat mengenggam pedang dengan satu tangan, berdiri di bawah rembulan dengan bola mata memutih. Penglihatannya di malam itu sangat jelas, sesaat kata-kata indah terlintas dalam benaknya saat mendongakkan kepala.Tapi tidak lagi setelah beberapa saat kemudian, kakinya yang kuat menginjak tanah. Aura terpancar mengitari di sekitar, langit ataupun bulan seakan mendukungnya, ia menjadi pusat perhatian baik bagi rekan sendiri maupun musuhnya.Tetapi, kekagumam sesaat membuat mereka semua mati dalam sekejap. Hanya dalam waktu singkat, semua kepala para anggota Tulang Naga yang bertudung melayang dan menghias
Bencana Pemabuk terjadi hanya satu kali, namun dalam satu kali satu hari itu adalah momen terburuk dalam sepanjang sejarah. Dalam keadaan pikiran kosong, ia membantai hampir ratusan pendekar sekaligus penduduk. Nyawa melayang dengan sangat cepat di tangan Wu Shi seorang. Sosok pria yang merupakan mantan pendekar bahkan jauh lebih menakutkan dan kuat. Dirinya yang hanya mengenggam sebilah pedang, tak gentar maju ke depan hanya untuk menebas musuh-musuhnya yang seharusnya tak perlu ia hiraukan. Para pendekar tingkat menara saat itu datang sangat terlambat, termasuk Ayah Wu Shi sendiri. Kehancurannya sudah terjadi dan semu akan berakhir saat tubuhnya lelah dan terbangun dari tidur nyenyak. "Astaga, aku baru tahu ada orang seperti dia.""Jangan dipikirkan! Cepat habisi saja dia! Dia juga sangat berbahaya!" Beberapa pendekar yang sempat berkumpul itu, memutuskan untuk melawan Wu Shi di tengah-tengah bagian wilayah. Senyum lebar terpoles jelas di wajah Wu Shi, sesaat membuat mereka semu
Cahaya bulan menyorot ke arah halaman depan Hutan Bambu, menjadikan itu sebagai panggung bagi seorang pembantai yang bersenang-senang dalam dukanya sendiri. Hari itu Wu Shi berbeda jauh dari orang yang biasa mereka kenali. Sosoknya berubah drastis terutama saat mengayunkan pedang tersebut. Banyak kepala anggota bawahan Tulang Naga yang melayang dalam sekejap mata saat ia mengayunankan pedangnya yang tajam. Banjir darah yang terciprat dari para musuh jatuh bak air hujan datang dari langit. Senyum menghiasi wajah dengan mata yang memutih tanda tidak sadarnya Wu Shi saat ini. Sesaat memori di masa depan terlintas, dan kemudian kesadarannya pun pulih kembali namun sayang akibat memaksakan diri saat jadi tidak waras, ia lantas tumbang di tempat. Hao Jin yang hendak mengambil kesempatan emas, telah digagalkan oleh sanak saudaranya, Hao Yun. "AYAH! KITA BERTEMU LAGI, YA!" seru Hao Yun, suaranya menggema ke dalam dan luar secara bersamaan.Puluhan jarum melesat cepat, diarahkan langsung pa
Tetua Mo meletakkan sebuah token penjaga di sebatang pohon yang digunakan sebagai meja. Wu Shi dan Hai Yun yang berada di antara token itu sekarang pun lantas tersentak kaget dan kemudian melirik Tetua Mo dengan banyak pertanyaan di benak mereka."Aku Penjaga Luar Wilayah Kultus. Kau tahu apa akibatnya jika tidak berguna bagi kultus bukan?" sindir sekaligus ancam Tetua Mo pada mereka."Tidak aku sangka, ternyata dia adalah penjaga," kata Hao Yun."Kau baru sadar?" sahut Wu Shi. "Iya," jawabnya. "Memangnya kenapa? Kau sendiri sudah menyadarinya ya ternyata?" pikir Hao Yun."Tidak juga."Tetua Mo terdiam sejenak dengan dahi berkerut. Dari awal Tetua Mo memang sudah tahu, dan sekarang wajahnya semakin berkeriput karena dua pemuda itu."Sepertinya kalian berdua memang tidak becus. Untuk apa dan kenapa bisa kalian sampai ke sini tanpa mengetahui akan adanya ujian lagi, hah?" sahut Tetua Mo yang merasa dirinya diabaikan."Tetua, eh, maksudku penjaga. Kami sendiri sedang bersusah payah hany
Kaisar Wang menyuruh dua orang itu bersaksi atas kejadian yang menimpa salah satu warga di distrik utama. Pernyataan saksi pertama, Tetua Mo, mengungkapkan ia melihat sesosok bayangan melintas. Tetua Mo berpikir bahwa itu adalah ulah Tulang Naga, sama halnya yang sudah menimpa sekte Li. Lalu pernyataan saksi kedua, salah satu warga yang merupakan tetangga dari korban pembunuhan itu. Ia berada dekat dengan mereka dan melihat semua kejadiannya. Hingga sesisok bayangan itu melintas, sama seperti yang disaksikan oleh Tetua Mo. Namun yang berbeda hanyalah, penduduk itu mengaku ia mendengar seorang rekannya memanggilnya dengan nama Wu Shi.Tidak hanya itu, selain nama Wu Shi, ia mengaku telah mendengar suara bergemerincing. Jika didengar sekilas, itu seperti suara lonceng yang berayun. Ketika nama Wu Shi disebut, Tetua Mo sangat terkejut. Namun ia juga sebagai saksi, kalau Wu Shi yang mungkin dimaksudkan itu tidak berada di luar dan sedang berada di kediaman Li Bai dalam sektenya. Di mal
Dikalahkan secara telak oleh Tetua Mo yang berusia 100 tahun, Wu Shi dan Hao Yun tidak sadarkan diri dalam beberapa waktu hingga akhirnya Tetua Mo dan Li Bai mendapatkan kesempatan untuk memindahkan mereka ke suatu tempat. Disebut, Gua Abadi. Persis seperti namanya, gua ini abadi yang berarti hidup seolah gua ini adalah mahluk hidup. Begitu terbangun, sekeliling hanya terdapat dinding. Bahkan tak terlihat adanya jalan keluar di sana. "Kita terjebak di tempat yang kita tidak ketahui. Apa ini masuk akal?" Hao Yun mengeluh. "Bukankah sepanjang hari kita berjumpa dengan hal tidak masuk akal? Itu sudah menjadi keseharian kita. Ah, sudahlah. Lupakan saja, Hao Yun," ucap Wu Shi yang sudah lelah. Kerasnya dinding gua dan jalan lurus tanpa sedikitpun berlubang membuat tempat ini terasa menakutkan. Terkadang mereka merasa merinding saat melangkahkan kaki tanpa tujuan. Sesekali angin berhembus dingin dari atas, meski tidak terlihat ada celah kecil yang dapat membuat angin itu masuk ke dalam