"Chénxī, tempat apa ini?" Huànyǐng bertanya ragu, matanya menyapu sekeliling. Gugusan bunga wisteria ungu menjuntai anggun dari pergola kayu, mengeluarkan aroma samar yang menenangkan.
"Meski indah, tempat ini terasa terlalu sunyi," gumamnya, "hampir seperti terputus dari dunia luar." Ia mengikuti langkah Tiānyin yang berjalan di depannya, masih menggenggam lengannya erat tanpa sedikit pun niat untuk melepaskannya. Jemari pemuda Yue itu terasa dingin, kontras dengan suhu sore yang hangat."Eh, bukankah Kediaman Aroma Wisteria memang selalu sepi?" gumamnya lagi, separuh berbicara pada dirinya sendiri.Ia sudah tidak merasa canggung dengan perlakuan Tiānyin padanya. Toh, itu lebih baik daripada pemuda Yue itu menyentuh bagian tubuhnya yang lain, pikirnya. Huànyǐng tidak ingin mendapatkan perlakuan tak terpuji dari murid kesayangan He Yun Dàshi. Itu hanya akan membuatnya kehilangan muka, apalagi di hadapan para gadis-gadis cantik.Cukup banyak muridJìng Jū (Griya Hening) di Kediaman Aroma WisteriaHe Yun Dàshī duduk dengan anggun, jemarinya yang lentik dengan hati-hati menuangkan teh ke dalam cawan-cawan yang terbuat dari porselen halus. Udara di ruang berdinding bambu itu dipenuhi dengan aroma semerbak bunga melati yang hangat, bercampur dengan keharuman jahe, kayu manis, dan madu. Tiap uap yang keluar dari cawan teh itu menari lembut, memeluk tubuh ruangan yang sunyi dan damai. Keheningan yang memeluk Griya Hening itu seolah menjadi saksi dari setiap gerakan yang tertata, teratur namun penuh makna."Teh dari Teluk Laut Biru memang yang terbaik," puji seorang pria yang duduk berhadapan dengan He Yun Dàshī, suaranya mengalun halus, seperti desir angin yang membelai dedaunan."Xiōngzhǎng benar," sahut Hé Yun Dàshī, senyum lembut menghiasi bibirnya. Dengan gerakan lembut yang menunjukkan ketenangannya, ia menyodorkan salah satu cawan berisi teh itu kepada pria di depannya.
Setelah menunjukkan kamar mereka, Yue Tiānyin meninggalkan Huànyǐng yang masih terpesona dengan suasana di dalamnya. Kamar itu sederhana, tetapi setiap sudutnya tertata rapi dan bersih. Aroma harum yang lembut memenuhi udara, menenangkan hati dan pikiran. Namun, Huànyǐng tidak tahu jenis dupa apa yang digunakan, hanya saja keharuman itu membuatnya merasa nyaman seolah diselimuti oleh kehangatan yang samar."Chénxī!" serunya, memanggil Tuan Muda Kedua Yue itu. Namun, saat melangkah keluar dari kamar, ia tidak menemukan sosok pemuda bermata biru yang biasanya pendiam itu."Chénxī!" panggilnya sekali lagi, lebih keras. Tetapi, tak ada jawaban.Dengan alis sedikit berkerut, Huànyǐng berjalan lebih jauh, melewati bangunan berdinding bambu dan kayu yang memancarkan kehangatan khas rumah klasik. Zǐténg Jū begitu sunyi, sepi seperti makam kuno yang terlupakan."Ke mana es batu mesum itu?" gumamnya, berkacak pinggang sambil menatap sekeliling.Jul
Dalam kebingungannya, Huànyǐng merasakan tangan kiri Tiānyin menarik lengannya dengan kuat. Sebelum sempat memahami apa yang terjadi, tubuhnya terangkat, terayun ke udara, lalu dalam sekejap, dunia terasa terbalik. Kepala di bawah, kaki di atas. Napasnya tercekat, darah seakan mengalir deras ke kepalanya."Aiyo! Chénxī!" serunya, terkejut dan panik."Gunakan kedua lenganmu untuk bertumpu," suara Tiānyin tetap tenang, seolah hal ini bukan sesuatu yang sulit. "Sandarkan kakimu ke dinding." Lanjutnya lagi dengan tegas.Huànyǐng mengerang pelan. Kepalanya berdenyut dan lengannya mulai terasa nyeri. Ini pertama kalinya dia mencoba berlatih handstand dengan cara seperti ini. Dia ingin menolak, ingin turun sekarang juga. Namun, dia tahu Tiānyin tidak akan membiarkannya begitu saja. Tidak ada jalan lain selain menurut. Dengan susah payah, ia menyesuaikan posisi, menyandarkan kedua kakinya ke dinding, lalu memperbaiki tumpuan tangannya di atas lantai kayu teras yan
Héxié Zhìzūn tersenyum samar, hatinya lega melihat keduanya berlatih dalam harmoni. Mereka bukan hanya berlatih, tetapi juga berbincang dengan akrab. Atau lebih tepatnya, Huànyǐng yang mendominasi percakapan dengan suara cemprengnya yang khas."Kalian sepertinya sudah berteman," ujarnya santai, suaranya lembut bak melodi seruling yang mengalun di kejauhan.Dua pemuda yang tengah beradu pandang itu sontak tersentak."Xiōngzhǎng!" Yue Tiānyin bergerak cepat, tubuhnya berputar dengan anggun sebelum berdiri tegak di atas kakinya seperti angin yang kembali diam setelah menari di udara.Di sisi lain, Huànyǐng juga mencoba berdiri dengan anggun seperti Tiānyin. Namun sayang, gerakannya salah perhitungan."Aiyo! Chénxī! Pinggangku!" serunya panik saat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh.Héxié Zhìzūn dan Tiānyin bergerak hampir bersamaan untuk menolongnya. Namun, begitu melihat sang adik lebih dulu bertind
Huànyǐng terpana menatap hidangan sederhana yang tersaji di atas meja. Hanya ada dua mangkuk nasi, semangkuk sup yang masih mengepulkan uap hangat, sepiring tumisan sayur hijau, dan beberapa bāozi. Sejak tiba di Kediaman Aroma Wisteria, baru malam ini dia mencicipi makanan yang berasal langsung dari dapur Kediaman Aroma Wisteria.Dia menghela napas, berusaha menahan kecewa. “Chénxī, apa tidak ada daging?” tanyanya seraya melirik pemuda yang tengah mengambil sup dengan gerakan anggun.“Tidak ada.” Jawaban singkat itu meluncur tanpa ragu.Huànyǐng menelan ludah dan tersenyum kecut. “Tidak apa-apa kalau tidak ada daging, tetapi seharusnya ada ikan atau udang. Ehm... atau mungkin tumis sayur pedas.” Suaranya lirih, tetapi cukup jelas untuk terdengar.“Dilarang membunuh hewan di sini,” sahut Tiānyin, mengingatkannya sekali lagi.Huànyǐng yang hendak meraih sendok sup langsung menghentikan tangannya di udara. Matanya menyipit, menatap Tiānyin d
"Dìdi, kenapa kau ada di sini?"Baili Yunhua menatap Huànyǐng yang kini berdiri di hadapannya, diterangi cahaya rembulan yang samar. Udara malam di Sungai Ungu Gelap terasa sejuk, membawa aroma lembut bunga wisteria yang bergelantungan di dahan-dahan pohon di sekeliling mereka."Aku bosan terus berada di kamar bersama si Mesum itu," keluh Huànyǐng seraya mencerucutkan bibirnya, nada suaranya penuh keluhan seperti anak kecil yang merajuk.Yunhua tertawa pelan melihat tingkahnya. Pemuda lima belas tahun itu tampak begitu menggemaskan dalam ekspresi cemberutnya. Tanpa sadar, Yunhua mencubit pipinya dengan lembut dan bertanya, "Siapa yang Dìdi maksud dengan si Mesum?""Tentu saja Yue Èr Gōngzǐ," sahut Huànyǐng dengan mantap, sorot matanya penuh keyakinan bercampur kesal."Eh? Yue Èr Gōngzǐ? Mesum?" Sejenak Yunhua mengulang kata-kata itu dengan alis sedikit berkerut, seolah memastikan ia tidak salah dengar."Iya!" Huànyǐng mengangguk
Huànyǐng kembali ke Kediaman Aroma Wisteria dengan langkah ringan setelah puas menikmati hidangan lezat di restoran Baili. Perutnya kenyang, hatinya riang, dan tangannya penuh dengan jajanan favorit-tanghulu, manisan, gula kapas, bahkan arak pilihan. Pemuda tampan itu memang gemar akan segala sesuatu yang manis dan lezat. Baginya, hidup adalah kebahagiaan yang harus dinikmati sepenuh hati.Namun, saat tiba di tepi Sungai Ungu Gelap, langkahnya terhenti. Seperti ada sesuatu yang berbeda. Aliran sungai masih sama, angin malam berembus sejuk, tetapi atmosfer di sekelilingnya terasa lebih berat."Aiyo! Kenapa aku merasa ada yang berbeda di sini?" gumamnya sambil mengerutkan alis.Ia mengedarkan pandangan, lalu mencoba melompati bebatuan menuju seberang. Namun, belum sempat kakinya mendarat, tubuhnya terhantam sesuatu yang tak kasatmata. Seperti menabrak dinding tebal yang tak terlihat! Ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi refleksnya cepat, segera ia berputa
Huànyǐng merasa tubuhnya terlempar ke udara. Angin berdesir tajam di telinganya, dan dadanya sesak seiring gravitasi menariknya turun. Namun, sebelum punggungnya membentur tanah, sepasang lengan kokoh menangkap pergelangan kakinya.Tiānyin! Pemuda itu tengkurap di atas atap, sementara Huànyǐng menggantung terbalik di udara. Tangan Tiānyin mencengkeram kakinya erat, menahan beban tubuhnya dengan keseimbangan yang luar biasa."Chénxī, tadi itu apa?" Huànyǐng bertanya dengan napas tersengal, matanya membelalak saat menyadari mereka tidak lagi berada di atap bangunan Zǐténg Jū atau Zǐténg Fáng. Sejauh mata memandang, kabut tipis menyelimuti tempat asing ini."Bertahanlah!" Tiānyin menariknya dengan sekuat tenaga, otot-otot lengannya menegang saat mengangkat Huànyǐng ke atas.Begitu kakinya menapak atap, Huànyǐng menghembuskan napas lega. Dia menatap Tiānyin dengan mata ungunya yang berbinar kagum. "Wah, Chénxī, lenganmu benar-benar kuat!"Tiā
Yuè Huā Lóu, Rumah Bunga Bulan, adalah salah satu rumah hiburan paling terkenal di Lingxiao. Bahkan, namanya tak kalah tersohor dibandingkan rumah-rumah bordil di Xiāoyún, ibu kota Kekaisaran Bìxiāo. Tempat ini bukan sekadar sarang para wanita cantik, tetapi juga pusat hiburan kelas atas yang dipenuhi musisi berbakat dan penari-penari anggun yang mampu memikat siapa pun yang datang.Bau harum dupa bercampur dengan aroma arak memenuhi udara, berpadu dengan denting kecapi yang mengalun lembut di antara suara gelak tawa para tamu. Cahaya lentera merah menggantung di sepanjang lorong, berpendar samar di atas lantai kayu yang mengilap. Para gadis berhanfu warna-warni berjalan anggun, melayani tamu dengan senyum menggoda dan tatapan penuh arti."Jian Wu Xiōng, aku sangat gugup," bisik Ling Qingyu, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh rendah sekeliling mereka. Jemarinya mencengkeram erat lengan Huànyǐng, seolah mencari pegangan di tengah atmosfer yang terasa begitu asing b
Ling Qingyu mengendap-endap di sepanjang koridor Yè Jū, langkahnya ringan seperti bayangan. Cahaya lentera temaram memantulkan siluetnya di dinding, bergetar seiring hembusan angin malam yang merayap melalui celah-celah bangunan. Tujuannya sudah jelas, kamar Jian Huànyǐng. Sejak siang, mereka telah berencana untuk menikmati malam ini dengan sedikit hiburan.Begitu tiba di depan pintu, Ling Qingyu mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, sebelum sempat jarinya menyentuh kayu pintu, sesuatu yang dingin menyentuh bahunya.Ia tersentak, tubuhnya menegang seketika. Rasa terkejut membuat napasnya tertahan, hampir saja ia berteriak. Tetapi belum sempat satu suara pun keluar, sebuah tangan sudah lebih dulu membekap mulutnya, meredam segala kemungkinan."Ling Xiōng, ini aku," sebuah suara lirih berbisik di telinganya.Ling Qingyu hanya bisa melotot, berusaha meronta dari cengkeraman itu. Ketika tekanan di tangannya mengendur, ia langsung menepis tang
Yue Tiānyin melirik meja di sebelahnya. Ia baru saja selesai bermeditasi ketika seorang murid yunior mengantarkan makanan, teh, serta beberapa perlengkapan lainnya. Semua diletakkan rapi di atas meja di samping tempatnya bermeditasi. Namun, dari sekian banyak hal yang ada di sana, pandangan Tiānyin hanya tertuju pada satu benda yang tampak mencolok.Matanya menyipit. "Lampion?" gumamnya pelan, keningnya berkerut. Mengapa ada lampion di antara menu sarapan paginya?Dengan gerakan tenang, ia turun dari tempat tidurnya. Cahaya lembut pagi menembus kisi-kisi jendela, menerpa wajahnya yang selalu tampak tenang namun tak pernah kehilangan pesona. Ia mendekati meja, tatapannya tertuju pada lampion yang diletakkan tepat di tengah, dikelilingi oleh nampan berisi hidangan, teko teh, cangkir porselen berwarna giok, serta dupa beraroma cendana hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Sebuah lilin kecil di sudut meja telah padam, menyisakan sedikit jejak lelehan lilin di duduka
Jian Lei terpaku menatap keranjang bambu di atas meja. Uap tipis mengepul dari tumpukan bāozi yang masih hangat, menyebarkan aroma lembut tepung dan daging berbumbu. Ada juga beberapa hidangan lain yang tersusun rapi di dalam wadah bambu. Pagi itu, udara di kamarnya masih mengandung sisa dingin dari embun malam, tetapi kehadiran makanan-makanan ini membawa kehangatan yang ganjil.Dia mengernyit. Ini bukan dari dapur Akademi Bìxiāo. Setiap murid hanya mendapat jatah makanan sederhana, jauh dari kemewahan seperti ini. Apalagi, ia sama sekali tidak memesan apa pun.Dengan hati-hati, Jian Lei melangkah ke jendela, jari-jarinya menyentuh bingkai kayu yang terasa sedikit lembap oleh udara pagi. Didorongnya jendela perlahan, membiarkan angin sejuk menerobos masuk. Pandangannya menyapu halaman di luar, mencari sosok yang mungkin baru saja menyelinap dan meninggalkan semua ini di mejanya. Namun, yang ada hanya bayangan pohon pinus yang bergoyang lembut diterpa angin.
Untuk beberapa saat, Huànyǐng tetap terdiam membeku. Tatapannya kosong menembus keramaian yang berlalu-lalang di pusat kota. Cahaya lampion menggantung di sepanjang jalan, menerangi wajah-wajah riang para pedagang dan pejalan kaki. Namun, di matanya, semua itu seolah hanya bayangan samar yang berpendar tanpa makna.“Huànyǐng!” Suara yang akrab itu memecah lamunannya.“Èr Gē...” Huànyǐng bergumam lirih. Suara itu sangat dikenalnya, Jian Xue, kakak keduanya.Kesadarannya perlahan kembali. Ia mengerjapkan mata dan kini dapat melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jian Xue, dengan senyum kecil di wajahnya, dan di sampingnya berdiri Héxié Zhìzūn, menatapnya dengan tatapan hangat dan lembut seperti biasanya.“Èr Gē!” Seketika, Huànyǐng berlari menghambur ke dalam pelukan sang kakak.Jian Xue terkekeh pelan, sementara Héxié Zhìzūn hanya tersenyum lembut. Kedua kakak beradik itu saling berpelukan erat, seolah ingi
Malam di Yè Jū, Asrama Malam, salah satu asrama bagi murid Akademi Bìxiāo, terasa sunyi. Sejak lonceng malam berdentang sembilan kali, tak satu pun murid yang masih berkeliaran di luar. Mereka semua telah kembali ke kamar masing-masing, membiarkan kesunyian menyelimuti bangunan asrama yang dikelilingi taman batu dan pohon pinus menjulang.Namun, di salah satu kamar, suasananya tidak setenang di luar. Huànyǐng bertumpu pada kedua tangannya, tubuhnya terbalik dalam posisi handstand. Di hadapannya, gulungan kertas terbuka, berisi salinan hukuman dari Zhēn Wēn Jīng siang tadi. Cahaya lentera berkelip samar di atas meja, menciptakan bayangan bergerak di dinding. Meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan, Huànyǐng menolak larut dalam perasaan itu."Chénxī," gumamnya pelan. Setiap kali berlatih handstand, sosok pemuda bermata biru itu selalu terlintas dalam benaknya. "Kau pasti sedang bermeditasi sekarang," lanjutnya, suaranya nyaris tertelan heningnya ma
Hēibīng Hùfú, Amulet Es Hitam, pada awalnya adalah Shén Cì, artefak suci yang merupakan anugerah dari dewa. Konon, Hēi àn Zhī Shén sendiri yang menghadiahkannya kepada pendiri Klan Àn Zú, klan yang menjadi akar dari Klan Mo dan Sekte Pedang Iblis. Berbeda dengan jimat biasa, Hēibīng Hùfú bukanlah benda fisik yang bisa digenggam atau disimpan dalam kotak pusaka. Sebaliknya, amulet ini bersemayam di dalam tubuh sang pewaris, menyatu dengan darah dan jiwanya. Sejak awal, Hēi àn Zhī Shén telah menyisipkannya ke dalam tubuh pendiri Klan Àn Zú dan sejak saat itu, ia diwariskan kepada keturunan yang terpilih. Namun, dalam sejarah ribuan tahun, Hēibīng Hùfú hanya benar-benar terbangkitkan dua kali. Dua kali yang membawa bencana besar. Kekaisaran Bìxiāo gemetar di ambang kehancuran, dan bahkan Benua Shényǔ hampir luluh lantak. Begitulah kisah yang diceritakan Mo Chen kepada Huànyǐng pada senja itu. "Mo Gēge, A Tie juga pernah menceritakan hal ini
Di bawah pohon plum tua yang bermekaran, Huànyǐng dan Mo Chen duduk berdampingan, menikmati hembusan angin yang membawa aroma samar bunga dan asap kayu bakar. Sungai di hadapan mereka mengalir tenang, memantulkan cahaya redup matahari yang mulai condong ke barat. Sesekali, Mo Chen melemparkan batu kecil ke air, menciptakan riak yang menyebar perlahan."Mo Gōngzǐ, kenapa kau begitu santai? Bukankah kau sedang dalam misi?" tanya Huànyǐng, tak mampu menahan rasa penasarannya.Di matanya, Mo Chen berbeda dari para tuan muda klan besar lainnya. Dia tidak seperti Héxié Zhìzūn yang lembut namun tegas, atau kedua kakaknya yang berwibawa. Bahkan dibandingkan Ling Zhì yang kaku dan Yue Tiānyin yang dingin, Mo Chen lebih terlihat bebas, seperti awan di langit yang berarak tanpa beban.Mo Chen tersenyum santai. Ia mengupas kulit udang bakar dengan tenang, jemarinya cekatan dan penuh perhitungan. "Misiku sudah selesai, sekarang aku hanya menunggu misi berikutnya." Ia m
Huànyǐng berlari riang di sepanjang koridor akademi yang lengang. Suasana begitu sepi karena hampir semua murid masih berada di kelas masing-masing, sibuk mempelajari teori atau menjalani latihan fisik dan meditasi. Tentu saja, Huànyǐng tahu itu. Namun, meski diperintahkan oleh Zhēn Wēn Jīng untuk pergi ke perpustakaan, ia justru memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu.Saat tiba di persimpangan koridor, ia menghentikan langkahnya, mendongak sedikit, lalu menggumam, “Ke kanan atau ke kiri?”Di kanan, Qiū Fēng Lín, Hutan Maple Musim Gugur, terbentang dengan pohon-pohon maple menjulang tinggi. Angin bertiup membawa harum dedaunan basah, sementara warna merah dan jingga dari daun-daun maple yang gugur menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Ia bisa berburu kelinci di sana atau menangkap rubah kecil yang sering berkeliaran di antara akar-akar pohon yang menjulur.Sedangkan di kiri, Xiānlù Hé, Sungai Embun Abadi, mengalir jernih. Permukaannya berkilauan d