"Dìdi, kenapa kau ada di sini?"
Baili Yunhua menatap Huànyǐng yang kini berdiri di hadapannya, diterangi cahaya rembulan yang samar. Udara malam di Sungai Ungu Gelap terasa sejuk, membawa aroma lembut bunga wisteria yang bergelantungan di dahan-dahan pohon di sekeliling mereka."Aku bosan terus berada di kamar bersama si Mesum itu," keluh Huànyǐng seraya mencerucutkan bibirnya, nada suaranya penuh keluhan seperti anak kecil yang merajuk.Yunhua tertawa pelan melihat tingkahnya. Pemuda lima belas tahun itu tampak begitu menggemaskan dalam ekspresi cemberutnya. Tanpa sadar, Yunhua mencubit pipinya dengan lembut dan bertanya, "Siapa yang Dìdi maksud dengan si Mesum?""Tentu saja Yue Èr Gōngzǐ," sahut Huànyǐng dengan mantap, sorot matanya penuh keyakinan bercampur kesal."Eh? Yue Èr Gōngzǐ? Mesum?" Sejenak Yunhua mengulang kata-kata itu dengan alis sedikit berkerut, seolah memastikan ia tidak salah dengar."Iya!" Huànyǐng menganggukHuànyǐng kembali ke Kediaman Aroma Wisteria dengan langkah ringan setelah puas menikmati hidangan lezat di restoran Baili. Perutnya kenyang, hatinya riang, dan tangannya penuh dengan jajanan favorit-tanghulu, manisan, gula kapas, bahkan arak pilihan. Pemuda tampan itu memang gemar akan segala sesuatu yang manis dan lezat. Baginya, hidup adalah kebahagiaan yang harus dinikmati sepenuh hati.Namun, saat tiba di tepi Sungai Ungu Gelap, langkahnya terhenti. Seperti ada sesuatu yang berbeda. Aliran sungai masih sama, angin malam berembus sejuk, tetapi atmosfer di sekelilingnya terasa lebih berat."Aiyo! Kenapa aku merasa ada yang berbeda di sini?" gumamnya sambil mengerutkan alis.Ia mengedarkan pandangan, lalu mencoba melompati bebatuan menuju seberang. Namun, belum sempat kakinya mendarat, tubuhnya terhantam sesuatu yang tak kasatmata. Seperti menabrak dinding tebal yang tak terlihat! Ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi refleksnya cepat, segera ia berputa
Huànyǐng merasa tubuhnya terlempar ke udara. Angin berdesir tajam di telinganya, dan dadanya sesak seiring gravitasi menariknya turun. Namun, sebelum punggungnya membentur tanah, sepasang lengan kokoh menangkap pergelangan kakinya.Tiānyin! Pemuda itu tengkurap di atas atap, sementara Huànyǐng menggantung terbalik di udara. Tangan Tiānyin mencengkeram kakinya erat, menahan beban tubuhnya dengan keseimbangan yang luar biasa."Chénxī, tadi itu apa?" Huànyǐng bertanya dengan napas tersengal, matanya membelalak saat menyadari mereka tidak lagi berada di atap bangunan Zǐténg Jū atau Zǐténg Fáng. Sejauh mata memandang, kabut tipis menyelimuti tempat asing ini."Bertahanlah!" Tiānyin menariknya dengan sekuat tenaga, otot-otot lengannya menegang saat mengangkat Huànyǐng ke atas.Begitu kakinya menapak atap, Huànyǐng menghembuskan napas lega. Dia menatap Tiānyin dengan mata ungunya yang berbinar kagum. "Wah, Chénxī, lenganmu benar-benar kuat!"Tiā
Huànyǐng tertegun saat melangkah memasuki menara. Udara di dalam terasa berat, seolah dipenuhi gelombang tak kasat mata yang menghimpit dada. Suasana benar-benar kacau. He Yun Dàshī tampak terhuyung, wajahnya pucat, dipapah oleh beberapa murid senior. Sementara itu, di tengah ruangan, Héxié Zhìzūn berdiri tegak dengan seruling di tangan, meniupkan nada-nada yang bergetar di udara.Di hadapannya, sebuah guzheng tua terselubung kabut tipis, memancarkan aura aneh yang membuat bulu kuduk Huànyǐng berdiri. Ada sesuatu yang tak beres."Xiōngzhǎng!" Suara Tiānyin memecah ketegangan saat ia bergegas menghampiri sang kakak, diikuti Huànyǐng yang masih terpaku pada kabut tipis yang menguar dari guzheng.Héxié Zhìzūn menoleh, tatapan teduhnya sekilas berubah lega melihat Tiānyin datang. Namun, alisnya sedikit berkerut ketika mendapati Huànyǐng di belakang adiknya. Kendati demikian, ia tidak berkata apa-apa."Tiānyin, bantu aku menenangkan Liú Yào," pintanya
Huànyǐng terbangun dalam kebingungan. Bayangan kejadian semalam di Menara Kabut Pagi masih jelas di ingatannya—alunan mistis dari Liú Yào, guzheng tua yang tersimpan di menara itu, dan sosok Tiānyin yang berada di sisinya saat kabut pekat menyelimuti mereka. Namun, setelah itu, semuanya gelap. Ia tak bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya.Denting senar guqin terdengar samar, mengusik kesadarannya sepenuhnya. Sisa kantuk yang masih menggantung seketika sirna. Udara di kamar terasa lembut, membawa aroma kayu cendana yang samar."Chénxī," gumamnya pelan, menyebut nama pemuda bermata biru yang kini tengah duduk di dekat jendela, jemarinya lincah memetik guqin. Suara petikan itu jernih, lembut, seperti tetesan embun di pagi hari. Huànyǐng mengerjapkan mata. Ia mendesah pelan dan menyandarkan diri ke bantal. "Ah, rupanya dia membawaku kembali ke Zǐténg Jū."Tiānyin menghentikan permainan guqinnya dan menoleh. Tatapan matanya dalam, sulit ditebak. Ia bangki
"Chénxī, kembalikan tanghuluku!" Suara cempreng Huànyǐng menggema di dalam Zǐténg Jū. Ia meronta-ronta dalam cengkeraman tangan Tiānyin yang mencengkeram pergelangannya dengan tenang, seolah menahan seekor kelinci kecil yang terus-menerus berusaha melarikan diri dari cengkeraman seekor singa.Pemuda Yue itu memergokinya tengah duduk santai di tepi Sungai Ungu Gelap, menikmati tanghulu seolah dunia tidak sedang berputar. Padahal, ia meninggalkan hukuman dan latihan yang seharusnya dijalaninya di Zǐténg Jū. Sudah beberapa waktu ini ia terkurung di sana, dan hari ini, kebosanan benar-benar menguasainya. Setidaknya, ia ingin menikmati sedikit kebebasan dan merasakan manisnya manisan dan jajanan yang sempat disita Tiānyin."Ikut denganku." Tiānyin tidak menghiraukan rengekan dan protes Huànyǐng, tetap menyeretnya dengan langkah ringan namun tegas. Sementara itu, Huànyǐng terus berusaha membujuknya, tangan yang satunya masih erat menggenggam sisa tanghulu."Chén
"Aku bosan!" Huànyǐng berteriak lantang di tepi Sungai Ungu Gelap, suaranya menggema di antara aliran sungai yang tenang dan pepohonan wisteria yang menggantungkan ranting-rantingnya ke permukaan air. Hanya di tempat ini ia merasa bebas—bebas berteriak sesuka hati, bebas meluapkan perasaannya tanpa ada yang memandang aneh. Di sekelilingnya, angin sepoi membawa aroma lembap tanah sungai bercampur dengan harum samar bunga liar. Tidak ada siapa pun selain dirinya dan Tiānyin. Meski terkadang, Héxié Zhìzūn juga akan bergabung, menemaninya memetik guqin sementara suara xiao dari bibirnya berpadu dengan desir angin—seperti melodi yang meresap dalam kesunyian."Yunhua Jiějie kenapa tidak pernah kemari?" gumamnya lirih, tatapannya kosong mengarah pada aliran sungai yang beriak pelan. Ia teringat gadis itu, Baili Yunhua, yang selalu datang dengan tangan penuh makanan dan jajanan kesukaannya. Namun kini, sudah sekian lama Yunhua tak mengunjungi tempat ini.Tiba-tib
"Dà Jiě! Lei!" Suara cempreng Huànyǐng menggema di Aula Harmoni, membuyarkan ketenangan yang baru saja terjalin. Pemuda itu muncul di ambang pintu dengan ekspresi cerah, seolah-olah kedatangannya adalah kabar baik bagi semua orang.Jian Xia dan Jian Lei saling bertukar pandang sekilas. Begitu pula Ling Qingyu dan para murid tamu lainnya. Sudah cukup lama mereka tidak melihat pemuda tengil itu, dan kini, ia kembali membawa gelombang kegaduhan yang akrab."Dilarang membuat keributan di Kediaman Aroma Wisteria." Suara berat nan dingin menggema dari di belakangnya. Tenang, tetapi mengandung ketegasan yang tak terbantahkan.Namun, Huànyǐng hanya mendengus kecil, sama sekali tak terpengaruh oleh teguran tersebut. Dengan penuh semangat, ia menyeret lengan Tiānyin dan menariknya ke sudut aula."Eh, Chénxī, kau duduk bersamaku ya!" serunya riang."Huànyǐng." Jian Xia menegurnya lembut, meski s
Hēi Hú, danau yang luas dan menakjubkan, terbentang bagaikan cermin raksasa yang memantulkan cahaya matahari pagi dengan kilau keemasan. Kabut tipis mengambang di permukaannya, menciptakan kesan mistis seakan danau itu menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya. Bukan sekadar keindahan alam yang membuatnya istimewa, tetapi juga kekuatan spiritual yang terkandung di dalamnya. Sebagai sumber air tawar terbesar dan salah satu lokasi utama Perburuan Roh, Hēi Hú memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan dan budaya Kekaisaran Bìxiāo di Benua Shényǔ. Di sepanjang tepian danau, kota-kota besar berdiri dengan megah. Salah satunya adalah Kota Lanyin. Meski bukan kota perdagangan maupun pusat pemerintahan, keberadaan Klan Yue serta Sekte Musik Abadi menjadikannya termasyhur hingga ke seluruh penjuru Benua Shényǔ. Karena itulah, tak mengherankan jika murid-murid Sekte Musik Abadi sering melakukan Perburuan Roh di danau ini, baik sebagai bagian dari
Yuè Huā Lóu, Rumah Bunga Bulan, adalah salah satu rumah hiburan paling terkenal di Lingxiao. Bahkan, namanya tak kalah tersohor dibandingkan rumah-rumah bordil di Xiāoyún, ibu kota Kekaisaran Bìxiāo. Tempat ini bukan sekadar sarang para wanita cantik, tetapi juga pusat hiburan kelas atas yang dipenuhi musisi berbakat dan penari-penari anggun yang mampu memikat siapa pun yang datang.Bau harum dupa bercampur dengan aroma arak memenuhi udara, berpadu dengan denting kecapi yang mengalun lembut di antara suara gelak tawa para tamu. Cahaya lentera merah menggantung di sepanjang lorong, berpendar samar di atas lantai kayu yang mengilap. Para gadis berhanfu warna-warni berjalan anggun, melayani tamu dengan senyum menggoda dan tatapan penuh arti."Jian Wu Xiōng, aku sangat gugup," bisik Ling Qingyu, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh rendah sekeliling mereka. Jemarinya mencengkeram erat lengan Huànyǐng, seolah mencari pegangan di tengah atmosfer yang terasa begitu asing b
Ling Qingyu mengendap-endap di sepanjang koridor Yè Jū, langkahnya ringan seperti bayangan. Cahaya lentera temaram memantulkan siluetnya di dinding, bergetar seiring hembusan angin malam yang merayap melalui celah-celah bangunan. Tujuannya sudah jelas, kamar Jian Huànyǐng. Sejak siang, mereka telah berencana untuk menikmati malam ini dengan sedikit hiburan.Begitu tiba di depan pintu, Ling Qingyu mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, sebelum sempat jarinya menyentuh kayu pintu, sesuatu yang dingin menyentuh bahunya.Ia tersentak, tubuhnya menegang seketika. Rasa terkejut membuat napasnya tertahan, hampir saja ia berteriak. Tetapi belum sempat satu suara pun keluar, sebuah tangan sudah lebih dulu membekap mulutnya, meredam segala kemungkinan."Ling Xiōng, ini aku," sebuah suara lirih berbisik di telinganya.Ling Qingyu hanya bisa melotot, berusaha meronta dari cengkeraman itu. Ketika tekanan di tangannya mengendur, ia langsung menepis tang
Yue Tiānyin melirik meja di sebelahnya. Ia baru saja selesai bermeditasi ketika seorang murid yunior mengantarkan makanan, teh, serta beberapa perlengkapan lainnya. Semua diletakkan rapi di atas meja di samping tempatnya bermeditasi. Namun, dari sekian banyak hal yang ada di sana, pandangan Tiānyin hanya tertuju pada satu benda yang tampak mencolok.Matanya menyipit. "Lampion?" gumamnya pelan, keningnya berkerut. Mengapa ada lampion di antara menu sarapan paginya?Dengan gerakan tenang, ia turun dari tempat tidurnya. Cahaya lembut pagi menembus kisi-kisi jendela, menerpa wajahnya yang selalu tampak tenang namun tak pernah kehilangan pesona. Ia mendekati meja, tatapannya tertuju pada lampion yang diletakkan tepat di tengah, dikelilingi oleh nampan berisi hidangan, teko teh, cangkir porselen berwarna giok, serta dupa beraroma cendana hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Sebuah lilin kecil di sudut meja telah padam, menyisakan sedikit jejak lelehan lilin di duduka
Jian Lei terpaku menatap keranjang bambu di atas meja. Uap tipis mengepul dari tumpukan bāozi yang masih hangat, menyebarkan aroma lembut tepung dan daging berbumbu. Ada juga beberapa hidangan lain yang tersusun rapi di dalam wadah bambu. Pagi itu, udara di kamarnya masih mengandung sisa dingin dari embun malam, tetapi kehadiran makanan-makanan ini membawa kehangatan yang ganjil.Dia mengernyit. Ini bukan dari dapur Akademi Bìxiāo. Setiap murid hanya mendapat jatah makanan sederhana, jauh dari kemewahan seperti ini. Apalagi, ia sama sekali tidak memesan apa pun.Dengan hati-hati, Jian Lei melangkah ke jendela, jari-jarinya menyentuh bingkai kayu yang terasa sedikit lembap oleh udara pagi. Didorongnya jendela perlahan, membiarkan angin sejuk menerobos masuk. Pandangannya menyapu halaman di luar, mencari sosok yang mungkin baru saja menyelinap dan meninggalkan semua ini di mejanya. Namun, yang ada hanya bayangan pohon pinus yang bergoyang lembut diterpa angin.
Untuk beberapa saat, Huànyǐng tetap terdiam membeku. Tatapannya kosong menembus keramaian yang berlalu-lalang di pusat kota. Cahaya lampion menggantung di sepanjang jalan, menerangi wajah-wajah riang para pedagang dan pejalan kaki. Namun, di matanya, semua itu seolah hanya bayangan samar yang berpendar tanpa makna.“Huànyǐng!” Suara yang akrab itu memecah lamunannya.“Èr Gē...” Huànyǐng bergumam lirih. Suara itu sangat dikenalnya, Jian Xue, kakak keduanya.Kesadarannya perlahan kembali. Ia mengerjapkan mata dan kini dapat melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jian Xue, dengan senyum kecil di wajahnya, dan di sampingnya berdiri Héxié Zhìzūn, menatapnya dengan tatapan hangat dan lembut seperti biasanya.“Èr Gē!” Seketika, Huànyǐng berlari menghambur ke dalam pelukan sang kakak.Jian Xue terkekeh pelan, sementara Héxié Zhìzūn hanya tersenyum lembut. Kedua kakak beradik itu saling berpelukan erat, seolah ingi
Malam di Yè Jū, Asrama Malam, salah satu asrama bagi murid Akademi Bìxiāo, terasa sunyi. Sejak lonceng malam berdentang sembilan kali, tak satu pun murid yang masih berkeliaran di luar. Mereka semua telah kembali ke kamar masing-masing, membiarkan kesunyian menyelimuti bangunan asrama yang dikelilingi taman batu dan pohon pinus menjulang.Namun, di salah satu kamar, suasananya tidak setenang di luar. Huànyǐng bertumpu pada kedua tangannya, tubuhnya terbalik dalam posisi handstand. Di hadapannya, gulungan kertas terbuka, berisi salinan hukuman dari Zhēn Wēn Jīng siang tadi. Cahaya lentera berkelip samar di atas meja, menciptakan bayangan bergerak di dinding. Meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan, Huànyǐng menolak larut dalam perasaan itu."Chénxī," gumamnya pelan. Setiap kali berlatih handstand, sosok pemuda bermata biru itu selalu terlintas dalam benaknya. "Kau pasti sedang bermeditasi sekarang," lanjutnya, suaranya nyaris tertelan heningnya ma
Hēibīng Hùfú, Amulet Es Hitam, pada awalnya adalah Shén Cì, artefak suci yang merupakan anugerah dari dewa. Konon, Hēi àn Zhī Shén sendiri yang menghadiahkannya kepada pendiri Klan Àn Zú, klan yang menjadi akar dari Klan Mo dan Sekte Pedang Iblis. Berbeda dengan jimat biasa, Hēibīng Hùfú bukanlah benda fisik yang bisa digenggam atau disimpan dalam kotak pusaka. Sebaliknya, amulet ini bersemayam di dalam tubuh sang pewaris, menyatu dengan darah dan jiwanya. Sejak awal, Hēi àn Zhī Shén telah menyisipkannya ke dalam tubuh pendiri Klan Àn Zú dan sejak saat itu, ia diwariskan kepada keturunan yang terpilih. Namun, dalam sejarah ribuan tahun, Hēibīng Hùfú hanya benar-benar terbangkitkan dua kali. Dua kali yang membawa bencana besar. Kekaisaran Bìxiāo gemetar di ambang kehancuran, dan bahkan Benua Shényǔ hampir luluh lantak. Begitulah kisah yang diceritakan Mo Chen kepada Huànyǐng pada senja itu. "Mo Gēge, A Tie juga pernah menceritakan hal ini
Di bawah pohon plum tua yang bermekaran, Huànyǐng dan Mo Chen duduk berdampingan, menikmati hembusan angin yang membawa aroma samar bunga dan asap kayu bakar. Sungai di hadapan mereka mengalir tenang, memantulkan cahaya redup matahari yang mulai condong ke barat. Sesekali, Mo Chen melemparkan batu kecil ke air, menciptakan riak yang menyebar perlahan."Mo Gōngzǐ, kenapa kau begitu santai? Bukankah kau sedang dalam misi?" tanya Huànyǐng, tak mampu menahan rasa penasarannya.Di matanya, Mo Chen berbeda dari para tuan muda klan besar lainnya. Dia tidak seperti Héxié Zhìzūn yang lembut namun tegas, atau kedua kakaknya yang berwibawa. Bahkan dibandingkan Ling Zhì yang kaku dan Yue Tiānyin yang dingin, Mo Chen lebih terlihat bebas, seperti awan di langit yang berarak tanpa beban.Mo Chen tersenyum santai. Ia mengupas kulit udang bakar dengan tenang, jemarinya cekatan dan penuh perhitungan. "Misiku sudah selesai, sekarang aku hanya menunggu misi berikutnya." Ia m
Huànyǐng berlari riang di sepanjang koridor akademi yang lengang. Suasana begitu sepi karena hampir semua murid masih berada di kelas masing-masing, sibuk mempelajari teori atau menjalani latihan fisik dan meditasi. Tentu saja, Huànyǐng tahu itu. Namun, meski diperintahkan oleh Zhēn Wēn Jīng untuk pergi ke perpustakaan, ia justru memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu.Saat tiba di persimpangan koridor, ia menghentikan langkahnya, mendongak sedikit, lalu menggumam, “Ke kanan atau ke kiri?”Di kanan, Qiū Fēng Lín, Hutan Maple Musim Gugur, terbentang dengan pohon-pohon maple menjulang tinggi. Angin bertiup membawa harum dedaunan basah, sementara warna merah dan jingga dari daun-daun maple yang gugur menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Ia bisa berburu kelinci di sana atau menangkap rubah kecil yang sering berkeliaran di antara akar-akar pohon yang menjulur.Sedangkan di kiri, Xiānlù Hé, Sungai Embun Abadi, mengalir jernih. Permukaannya berkilauan d