Huànyǐng tertegun saat melangkah memasuki menara. Udara di dalam terasa berat, seolah dipenuhi gelombang tak kasat mata yang menghimpit dada. Suasana benar-benar kacau. He Yun Dàshī tampak terhuyung, wajahnya pucat, dipapah oleh beberapa murid senior. Sementara itu, di tengah ruangan, Héxié Zhìzūn berdiri tegak dengan seruling di tangan, meniupkan nada-nada yang bergetar di udara.
Di hadapannya, sebuah guzheng tua terselubung kabut tipis, memancarkan aura aneh yang membuat bulu kuduk Huànyǐng berdiri. Ada sesuatu yang tak beres."Xiōngzhǎng!" Suara Tiānyin memecah ketegangan saat ia bergegas menghampiri sang kakak, diikuti Huànyǐng yang masih terpaku pada kabut tipis yang menguar dari guzheng.Héxié Zhìzūn menoleh, tatapan teduhnya sekilas berubah lega melihat Tiānyin datang. Namun, alisnya sedikit berkerut ketika mendapati Huànyǐng di belakang adiknya. Kendati demikian, ia tidak berkata apa-apa."Tiānyin, bantu aku menenangkan Liú Yào," pintanyaHuànyǐng terbangun dalam kebingungan. Bayangan kejadian semalam di Menara Kabut Pagi masih jelas di ingatannya—alunan mistis dari Liú Yào, guzheng tua yang tersimpan di menara itu, dan sosok Tiānyin yang berada di sisinya saat kabut pekat menyelimuti mereka. Namun, setelah itu, semuanya gelap. Ia tak bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya.Denting senar guqin terdengar samar, mengusik kesadarannya sepenuhnya. Sisa kantuk yang masih menggantung seketika sirna. Udara di kamar terasa lembut, membawa aroma kayu cendana yang samar."Chénxī," gumamnya pelan, menyebut nama pemuda bermata biru yang kini tengah duduk di dekat jendela, jemarinya lincah memetik guqin. Suara petikan itu jernih, lembut, seperti tetesan embun di pagi hari. Huànyǐng mengerjapkan mata. Ia mendesah pelan dan menyandarkan diri ke bantal. "Ah, rupanya dia membawaku kembali ke Zǐténg Jū."Tiānyin menghentikan permainan guqinnya dan menoleh. Tatapan matanya dalam, sulit ditebak. Ia bangki
"Chénxī, kembalikan tanghuluku!" Suara cempreng Huànyǐng menggema di dalam Zǐténg Jū. Ia meronta-ronta dalam cengkeraman tangan Tiānyin yang mencengkeram pergelangannya dengan tenang, seolah menahan seekor kelinci kecil yang terus-menerus berusaha melarikan diri dari cengkeraman seekor singa.Pemuda Yue itu memergokinya tengah duduk santai di tepi Sungai Ungu Gelap, menikmati tanghulu seolah dunia tidak sedang berputar. Padahal, ia meninggalkan hukuman dan latihan yang seharusnya dijalaninya di Zǐténg Jū. Sudah beberapa waktu ini ia terkurung di sana, dan hari ini, kebosanan benar-benar menguasainya. Setidaknya, ia ingin menikmati sedikit kebebasan dan merasakan manisnya manisan dan jajanan yang sempat disita Tiānyin."Ikut denganku." Tiānyin tidak menghiraukan rengekan dan protes Huànyǐng, tetap menyeretnya dengan langkah ringan namun tegas. Sementara itu, Huànyǐng terus berusaha membujuknya, tangan yang satunya masih erat menggenggam sisa tanghulu."Chén
"Aku bosan!" Huànyǐng berteriak lantang di tepi Sungai Ungu Gelap, suaranya menggema di antara aliran sungai yang tenang dan pepohonan wisteria yang menggantungkan ranting-rantingnya ke permukaan air. Hanya di tempat ini ia merasa bebas—bebas berteriak sesuka hati, bebas meluapkan perasaannya tanpa ada yang memandang aneh. Di sekelilingnya, angin sepoi membawa aroma lembap tanah sungai bercampur dengan harum samar bunga liar. Tidak ada siapa pun selain dirinya dan Tiānyin. Meski terkadang, Héxié Zhìzūn juga akan bergabung, menemaninya memetik guqin sementara suara xiao dari bibirnya berpadu dengan desir angin—seperti melodi yang meresap dalam kesunyian."Yunhua Jiějie kenapa tidak pernah kemari?" gumamnya lirih, tatapannya kosong mengarah pada aliran sungai yang beriak pelan. Ia teringat gadis itu, Baili Yunhua, yang selalu datang dengan tangan penuh makanan dan jajanan kesukaannya. Namun kini, sudah sekian lama Yunhua tak mengunjungi tempat ini.Tiba-tib
"Dà Jiě! Lei!" Suara cempreng Huànyǐng menggema di Aula Harmoni, membuyarkan ketenangan yang baru saja terjalin. Pemuda itu muncul di ambang pintu dengan ekspresi cerah, seolah-olah kedatangannya adalah kabar baik bagi semua orang.Jian Xia dan Jian Lei saling bertukar pandang sekilas. Begitu pula Ling Qingyu dan para murid tamu lainnya. Sudah cukup lama mereka tidak melihat pemuda tengil itu, dan kini, ia kembali membawa gelombang kegaduhan yang akrab."Dilarang membuat keributan di Kediaman Aroma Wisteria." Suara berat nan dingin menggema dari di belakangnya. Tenang, tetapi mengandung ketegasan yang tak terbantahkan.Namun, Huànyǐng hanya mendengus kecil, sama sekali tak terpengaruh oleh teguran tersebut. Dengan penuh semangat, ia menyeret lengan Tiānyin dan menariknya ke sudut aula."Eh, Chénxī, kau duduk bersamaku ya!" serunya riang."Huànyǐng." Jian Xia menegurnya lembut, meski s
Hēi Hú, danau yang luas dan menakjubkan, terbentang bagaikan cermin raksasa yang memantulkan cahaya matahari pagi dengan kilau keemasan. Kabut tipis mengambang di permukaannya, menciptakan kesan mistis seakan danau itu menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya. Bukan sekadar keindahan alam yang membuatnya istimewa, tetapi juga kekuatan spiritual yang terkandung di dalamnya. Sebagai sumber air tawar terbesar dan salah satu lokasi utama Perburuan Roh, Hēi Hú memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan dan budaya Kekaisaran Bìxiāo di Benua Shényǔ. Di sepanjang tepian danau, kota-kota besar berdiri dengan megah. Salah satunya adalah Kota Lanyin. Meski bukan kota perdagangan maupun pusat pemerintahan, keberadaan Klan Yue serta Sekte Musik Abadi menjadikannya termasyhur hingga ke seluruh penjuru Benua Shényǔ. Karena itulah, tak mengherankan jika murid-murid Sekte Musik Abadi sering melakukan Perburuan Roh di danau ini, baik sebagai bagian dari
Perahu-perahu yang dinaiki para murid Sekte Musik Abadi dan juga murid tamu melaju perlahan di atas permukaan Hēi Hú . Air danau yang luas itu tampak berkilauan diterpa cahaya matahari, menciptakan pantulan langit yang kelam dan memantulkan bayangan perahu mereka seolah melayang di kehampaan. Tujuan mereka adalah Bì Bō Gé, Paviliun Ombak Hijau, tempat singgah bagi para kultivator yang hendak melakukan Perburuan Roh di sekitar Hēi Hú. “Chénxī, masih jauhkah?” tanya Huànyǐng kepada pemuda yang berdiri tegak di haluan perahu, matanya mengamati cakrawala dengan penuh perhatian. Tiānyin, yang dipanggil hanya menggelengkan kepalanya. Jari telunjuknya kemudian mengarah ke suatu titik di kejauhan, menunjukkan sesuatu yang mulai tampak dari balik kabut tipis yang menyelimuti danau. “Ah, ternyata sebuah desa,” gumam Huànyǐng dengan nada sedikit terkejut. Ia mengira Bì Bō Gé adalah kediaman besar seperti milik sekte-sekte pada umumnya, bukan desa kecil di tepi danau yang tampak sederhana na
Perahu-perahu berayun lembut di permukaan air saat merapat ke dermaga. Udara dingin dari sungai Hēi Hú membawa aroma tanah basah dan embusan angin lembap yang menusuk kulit. Héxié Zhìzūn, melangkah turun dengan jubah panjang yang melambai tertiup angin, diikuti oleh para kultivator muda yang dipimpinnya. Mereka bergerak melewati papan kayu yang berderit pelan, menyeberangi dermaga menuju Bì Bō Gé, Paviliun Ombak Hijau.Desa kecil di tepi sungai itu, meski masih termasuk dalam wilayah Kota Lanyin, tampak lebih sunyi dibandingkan pemukiman lain di sekitarnya. Hanya ada beberapa perahu tertambat, menandakan sedikitnya orang yang singgah. Kabut tipis menggantung di atas permukaan air, membuat suasana semakin hening dan mencekam.Héxié Zhìzūn menoleh pada Tiānyin yang berjalan di sampingnya. "Tiānyin, bagaimana keadaan Jian Wu Gōngzǐ?"Tiānyin menjawab tanpa mengubah ekspresi datarnya. "Dia baik-baik saja." Suaranya terdengar
Bì Bō Gé, sebuah desa kecil yang terletak di tepi Hēi Hú, mungkin tampak biasa bagi orang awam. Tidak ramai, tidak pula makmur. Namun, di kalangan para kultivator, desa ini memiliki reputasi tersendiri. Tempat ini menjadi persinggahan utama bagi mereka yang tengah melakukan Perburuan Roh, baik di sekitar Hēi Hú, Yōu Gǔ, Cuì Zhú Lín, Gǔ Sōng Lín, maupun Jìng Yè Shān. Senja menggantung di langit, membiaskan semburat keemasan di permukaan air danau yang tenang. Udara lembab membawa aroma tanah basah bercampur dengan wangi samar dedaunan yang tertiup angin. Meski terlihat damai di permukaan, suasana desa ini seakan menyimpan ketegangan yang tidak kasatmata. "Héxié Zhìzūn, selamat datang!" Seorang pria paruh baya bergegas menyambut kedatangan Héxié Zhìzūn. Dia membungkukkan tubuhnya dengan hormat. Di belakangnya, beberapa orang pelayan penginapan tampak menundukkan kepala, memperlihatkan sikap hormat yang dalam. Héxié Zhìzūn membalasnya dengan
"Chén Gēge! Apa kita hanya menunggu salah satu di antara mereka kalah?" tanya Lei, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin dingin yang memeluk medan pertempuran.Di hadapan mereka, pertarungan antara Wù Yǒng Lóng, si naga kabut abadi, dan Hán Shuāng Jù Rén, Titan Es kolosal, berlangsung sengit. Setiap gerakan keduanya meninggalkan jejak kehancuran—kabut beracun yang menciptakan ilusi berbahaya, serta gelombang es yang seakan membekukan waktu. Beberapa kali mereka harus berpindah tempat, menghindari ancaman yang begitu dekat."Kau mau menunggu?" Mo Chén berbalik bertanya, dengan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Tatapan jenakanya meluncur ke arah Lei, penuh keingintahuan."Tunggu saja sampai besok pagi!" jawab Jian Wei sambil memukul kepala Lei dengan gemas.Jian Xia tertawa melihat kejenakaan kakak dan adiknya. "Bisa-bisanya kalian bercanda di situasi seperti ini?" keluhnya. Namun, sorot matanya tetap hangat, penuh kasih sayang kepada ked
Angin dingin menderu lewat celah-celah tebing, membawa serta butiran salju yang berputar liar seperti pasir perak di tengah badai. Medan Perburuan Roh kembali diselimuti ketegangan. Mo Chén berdiri tegak di atas batu tinggi, jubah hitamnya berkibar tertiup angin tajam, sementara matanya yang tajam mengawasi perubahan cuaca yang tak lazim.Apa yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Suara pekikan yang memekakkan telinga terdengar dari kejauhan—sebuah raungan yang membelah langit kelabu."Aiyo! Wù Yǒng Lóng!" teriak para kultivator yang masih terjebak di jalur utama medan berburu. Kabut putih pekat mulai menyelimuti tanah, menyusup ke setiap celah batu dan ranting yang tertutup es.Tanpa menunda waktu, Mo Chén mengangkat tangannya dan melepaskan sinyal cahaya ke langit. Asap keperakan membentuk pusaran kecil sebelum pecah menjadi semburat cahaya yang terlihat dari segala penjuru. Itu adalah isyarat—bukan hanya kepada para pemimpin sekte dan klan untuk mulai men
Kabut turun begitu tebal hingga nyaris menutupi seluruh lembah Shén Wu Gu. Awan kelabu menggantung berat di langit, dan udara mendadak terasa jauh lebih dingin. Hembusan angin membawa aroma tajam tanah basah bercampur dengan hawa es yang menggigit tulang."Apa ini?" Jìng Zhenjun Wángyé bergumam pelan, suaranya nyaris terseret oleh desir angin. Ia memandang sekeliling dengan dahi berkerut, matanya menyapu pemandangan yang tertelan kabut.Di sisi lain, Mo Chén, Jian Wei, dan Líng Zhì berdiri kaku, memandangi kabut pekat yang kini mulai menipis, perlahan mengurai seperti tirai sutra yang ditarik angin. Udara berubah drastis—lebih dingin dari biasanya."Salju?" Líng Zhì menatap ke langit yang mulai dihiasi bintik-bintik putih. Butiran salju turun perlahan, mendarat di bahu dan rambutnya, seolah waktu sendiri melambat menyambut datangnya sesuatu."Sialan!" Jian Wei mengumpat, mendadak waspada. Ia langsung me
Roh-roh yang berada dalam zona penahanan kini benar-benar terperangkap. Mereka menggeliat gelisah, terbungkus pusaran energi yang membatasi gerak. Suasana mulai terkendali, meski udara masih berat oleh sisa kekacauan yang sebelumnya meledak liar. Suhu di sekitar merosot drastis, membuat napas para kultivator tampak seperti uap tipis di udara yang mengkristal."Biarkan klan dan sekte kecil menangani roh-roh itu," kata Líng Zhì dengan tenang, suaranya nyaris tenggelam dalam desir angin bersalju.Ia berdiri di sisi tebing es bersama Jian Wei dan Mo Chén, menatap ke bawah tanpa ekspresi. Kabut tebal yang menyelimuti lembah seakan menjadi tirai pembatas antara mereka dan dunia yang sedang berkecamuk.Mereka bertiga tampak seperti bayangan di atas sana—menyaksikan kekacauan yang baru saja reda, namun tak terlibat langsung. Sikap mereka tenang, bahkan nyaris santai. Sebuah pengingat bahwa bagi mereka, ini bukan soal menang atau kalah, tapi kes
Para penjaga Perburuan Roh yang berasal dari Klan Wu datang bersama para kultivator dari Klan Jìng dan Sekte Gerbang Sembilan Kuali."Bagaimana situasinya?" tanya pemimpin penjaga Perburuan Roh pada Jian Wei dan yang lainnya."Seperti yang kau lihat. Kacau!" sahut Jian Wei seraya menunjuk ke bawah dengan dagunya. Di bawah mereka, para kultivator dari berbagai sekte dan klan berusaha menangkap roh-roh yang terpanggil oleh teknik Wàn Líng Zhèn Míng."Tiānyù Jiànzhàn, apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan?" Kini Jìng Zhenjun Wángyé yang bertanya. Ia datang bersama Qing Yǔjiā dan Qing Héng Zhì. Wajahnya terlihat serius dan penuh tanda tanya.Jian Wei tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia justru menoleh menatap Mo Chén, yang berdiri sedikit lebih jauh. Pria berjubah hitam itu tampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan situasi yang sedang berlangsung. Mo Chén masih tampak santai, meskipun keadaan sudah sangat genting. Dengan senyum leba
Di tengah kekacauan yang mengguncang Perburuan Roh, Jian Wei, Mo Chén, Héxié Zhìzūn, dan Ling Zhì berkumpul dalam keheningan yang tegang, merencanakan langkah selanjutnya. Angin kencang menyapu kabut tebal di Shen Wu Gu. Namun, tidak mengurangi hiruk-pikuk yang terjadi di medan tersebut. Suara gemerisik roh-roh yang mulai menguasai medan itu memecah kesunyian, menggema di setiap sudut.“Kita harus menghentikan kekacauan ini tanpa mengacaukan medan dan peraturan Perburuan Roh,” ucap Líng Zhì dengan nada serius. Wajahnya yang tenang tidak menggambarkan betapa dalamnya situasi yang tengah mereka hadapi.“Líng Ménzhǔ, ini cukup sulit,” sahut salah seorang dari klan kecil yang turut bersama mereka. Suaranya terdengar ragu, hampir seperti seorang anak yang berusaha memecahkan teka-teki rumit.“Memang benar, ini sulit!” sahut Mo Chén. Suara baritonnya yang dalam seolah berusaha memberi penekanan pada kata-katanya. Pria tampan berjubah hitam dan berambut putih itu
"Yuè Èr Gōngzǐ," bisik Jian Wei, suaranya tenggelam dalam gemuruh angin lembah, saat denting guqin yang melengking jernih semakin memenuhi pendengaran.Di tengah kabut, seorang pemuda berjubah putih, Yuè Tiānyin, melayang anggun di udara. Sinar matahari yang terang memantul pada guqin-nya, membuatnya berkilauan indah. Dengan gerakan halus, jemari Tiānyin menari di atas senar guqin, mengendalikan alunan melodi yang memancar dari alat musik itu. Setiap denting senar memancarkan aura magis, seakan mantra yang menyegel roh-roh liar yang mengamuk tak terkendali. "Chénxī!" seru Huànyǐng, matanya yang ungu berbinar-binar penuh kekaguman. "Lihatlah, Huànyǐng Xiōng! Yuè Èr Gōngzǐ memang tampan dan berbakat! Tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya!"Líng Qingyu, yang entah sejak kapan telah berada di sisi Huànyǐng, mengangguk setuju dengan tatapan kagum yang tak disembunyikan. Mereka berdua terpaku menatap Tiānyin yang dengan khidmat memainkan guqin-nya. Seme
Dentingan lonceng menggema samar di telinga Jian Wei. Suara itu bergema di antara riuh rendah pekikan panik, gemuruh langkah kaki, dan desir angin yang membawa hawa asing. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan sumber suara tersebut. "Da Gē! Lihat itu!" Tiba-tiba Jian Xuě berseru, mengalihkan perhatiannya. Jian Wei sontak mengangkat kepala. Langit yang tadinya terbuka kini dipenuhi pusaran energi berbentuk lingkaran. Partikel bercahaya keperakan berputar di udara, memancarkan kilauan ganjil. "Sial!" Jian Wei menggeram, kedua tangannya mengepal erat. Matanya berkilat, menatap adik-adiknya dan anggota sekte lainnya. "A Xuě, lindungi Huànyǐng! Jangan biarkan dia terpengaruh oleh roh-roh di sekitarnya!" "Baik, Da Gē!" Jian Xuě tak ragu sedikit pun. Ia segera berdiri di depan Huànyǐng dengan Xuě terhunus, siap menghadapi apa pun yang datang. "Lei, siapkan Líng Qì Wǎng! Jian Xia, terus pantau situa
"Target utama kita adalah roh yang sudah kita kunci tadi. Setelah itu kita bisa berburu roh lain di zona yang sudah terbuka," jelas Jian Wei sembari melompat ke depan gua yang tersembunyi di celah tebing es yang menjulang tinggi. Sinar matahari siang memantul di permukaan es, menciptakan kilauan tajam seperti pecahan kaca."A Xue, ayo kita gunakan Xiáng Líng Zhèn untuk menangkap Xuě Láng Wang!" serunya pada Jian Xuě."Baik, Da Gē!" Jian Xuě menyusul, melompat ringan ke depan gua."Gunakan energi es, kau bisa menggabungkannya dengan energi es milik Huànyǐng," saran Jian Wei.Jian Xuě mengangguk mantap, lalu mulai menggambar pola formasi lingkaran dengan elemen energi es di udara. Garis-garis bersinar biru keperakan muncul di udara, membentuk corak rumit yang berpendar lembut. Begitu formasi selesai, ia menyegelnya dan mengarahkannya ke dalam gua. Dari dalam terdengar geraman marah, berat dan bergema, mengguncang lapisan es di sekitar mereka.