Bì Bō Gé, sebuah desa kecil yang terletak di tepi Hēi Hú, mungkin tampak biasa bagi orang awam. Tidak ramai, tidak pula makmur. Namun, di kalangan para kultivator, desa ini memiliki reputasi tersendiri. Tempat ini menjadi persinggahan utama bagi mereka yang tengah melakukan Perburuan Roh, baik di sekitar Hēi Hú, Yōu Gǔ, Cuì Zhú Lín, Gǔ Sōng Lín, maupun Jìng Yè Shān. Senja menggantung di langit, membiaskan semburat keemasan di permukaan air danau yang tenang. Udara lembab membawa aroma tanah basah bercampur dengan wangi samar dedaunan yang tertiup angin. Meski terlihat damai di permukaan, suasana desa ini seakan menyimpan ketegangan yang tidak kasatmata. "Héxié Zhìzūn, selamat datang!" Seorang pria paruh baya bergegas menyambut kedatangan Héxié Zhìzūn. Dia membungkukkan tubuhnya dengan hormat. Di belakangnya, beberapa orang pelayan penginapan tampak menundukkan kepala, memperlihatkan sikap hormat yang dalam. Héxié Zhìzūn membalasnya dengan
Di kejauhan, lolongan para Lángyǎo terdengar samar, melintasi udara yang mulai diselimuti kabut senja. Udara dingin menyusup ke sela-sela pepohonan, membawa serta bisikan angin yang menggetarkan dedaunan. Para kultivator saling berpandangan, ekspresi mereka menegang."Xiōngzhǎng, bukankah tidak ada Lángyǎo di sekitar Hēi Hú maupun Lanyin?" Tiānyin bertanya, tatapannya tertuju pada sang kakak. Nada suaranya tetap datar, begitu pula raut wajahnya, seolah tak terpengaruh oleh situasi yang mencekam. Namun, Héxié Zhìzūn yang telah bertahun-tahun mengenal adiknya dapat menangkap keheranan yang tersembunyi di balik sikapnya."Aku juga tidak tahu," sahut Héxié Zhìzūn pelan, matanya menyipit memandang ke arah kabut yang mulai menebal.Menurut laporan yang diterima Sekte Musik Abadi, suara lolongan Lángyǎo mulai terdengar beberapa hari lalu. Awalnya hanya samar di kejauhan, namun dalam dua hari terakhir, mereka telah berani menyerang para kultivator dan bahkan pendu
Dedaunan bergetar, bayangan hitam melesat di antara pepohonan. Udara malam yang dingin mendadak terasa lebih berat saat suara lolongan panjang menggema di seluruh penjuru hutan. Serigala-serigala iblis, bermata merah menyala dan bertaring tajam, melompat keluar dari kegelapan, mengepung kelompok mereka . "Lángyǎo!" Seruan panik menggema di tengah hutan pinus saat sekelompok kultivator bergerak cepat menghindari serangan mendadak. Dari balik pepohonan, serigala-serigala iblis melompat dengan mata berkilat buas, menerjang tanpa ampun. Seketika, udara dipenuhi denting senjata beradu, erangan kesakitan, serta lolongan liar yang menggema ke angkasa. Kesunyian Yōu Gǔ ,telah sirna. "Héng Zhi! Jangan jauh-jauh dariku!" Huànyǐng berseru, suaranya tajam menembus keributan. Memperingatkan pemuda yang jauh lebih muda darinya itu. Pemuda berhanfu merah marun itu pun mengangguk cepat dan segera mendekat ke sisi Huànyǐng. Sementara itu, Tiānyin dan Yao Yu berjaga dengan sikap waspada, meli
“Kita harus bergerak cepat!” seru salah seorang kultivator senior, suaranya terdengar mendesak. Yang lainnya mengikuti langkahnya, berjalan cepat dengan penuh kewaspadaan. Mereka menyeberangi padang rumput ilalang yang luas di bawah langit malam yang sunyi, semakin terasa mencekam. Angin dingin berdesir, membawa aroma tanah lembap dan rerumputan basah. Di kejauhan, lolongan Lángyǎo terdengar samar, tetapi menggetarkan hati. Sesekali, suara kicauan burung malam menghiasi kesunyian malam, menyatu dengan udara yang semakin pekat. "Qianbei, kenapa kau terlihat khawatir?" tanya Mo Yan pada salah satu kultivator senior dari Sekte Musik Abadi. Ia menoleh, melihat ekspresi gelisah yang terlukis di wajah pria itu. "Bukankah para Lángyǎo itu semakin menjauh? Lolongannya terdengar jauh dari sini," lanjutnya, keningnya berkerut penuh tanda tanya. "Ada roh lain," jawab Tiānyin. Suara dat
Cuì Zhú Lín, Hutan Bambu Zamrud, terbentang luas dengan hamparan bambu hijau yang menjulang tinggi, memantulkan cahaya bagai permata zamrud saat diterpa sinar matahari. Dari kejauhan, hutan ini tampak memesona, seakan menyembunyikan kedamaian di dalamnya. Namun, bagi mereka yang mengenal tempat ini, Cuì Zhú Lín bukan sekadar hutan yang indah. Ia adalah batas yang memisahkan Yōu Gǔ dengan Jìng Yè Shān, sebuah perbatasan yang menyimpan bahaya tak kasatmata.Di depan sebuah kedai teh yang sederhana tetapi ramai, seorang senior dari Sekte Musik Abadi tiba-tiba menunjuk ke arah kerumunan kultivator. “Yue Èr Gōngzǐ, itu Héxié Zhìzūn!” serunya dengan nada penuh hormat dan sedikit waspada.Yue Tiānyin mengangguk tanpa banyak bicara. Tatapan matanya tetap tenang, tetapi gerakan kakinya mantap saat ia memimpin rombongan menuju kedai. Begitu mereka tiba, mereka mendapati bahwa bukan hanya Héxié Zhìzūn dan para kultivatornya yang ada di sana, melainkan
"Chénxī, apakah kau tahu roh yang dimaksud Ling Qingyu?" Huànyǐng bertanya sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Matanya menyapu sekeliling ruangan kecil yang diterangi lentera minyak.Héxié Zhìzūn memang meminta mereka untuk berbagi kamar karena penginapan itu hanya memiliki sedikit ruangan yang tersedia."Aku tidak tahu," sahut Tiānyin datar. Pemuda itu tidak menoleh dan langsung duduk bersila di atas tikar jerami, memejamkan mata untuk bermeditasi.Huànyǐng menatapnya dengan kesal, lalu melangkah lebih dekat sebelum menghentakkan kakinya di lantai kayu. "Chénxī, duduklah dulu dan temani aku!" serunya dengan nada manja, menginginkan sedikit perhatian.Namun, Tiānyin tetap bergeming, seakan kehadiran Huànyǐng tak lebih dari hembusan angin malam yang mengalir melewati jendela terbuka.Merasa diabaikan, Huànyǐng mendengus pelan lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur kayu beralas kasur tipis. Namun, alih-alih menggerutu lebih lama,
Di dalam kamar yang temaram, Huànyǐng terbangun oleh sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang mengguncang ketenangan malam. Perlahan, dia membuka matanya, menyesuaikan pandangan di bawah cahaya lentera yang redup. Namun, yang terlihat hanya kesunyian kamar itu. Tidak ada siapapun selain dirinya. “Di mana Chénxī?” gumamnya lirih, seraya menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Dengan hati-hati, ia menatap ke sekeliling kamar yang hening. “Chénxī,” panggilnya lagi, lebih lembut, takut kalau-kalau suaranya akan mengganggu pemuda itu. Namun, setelah beberapa saat, ia menyadari bahwa pemuda itu tidak ada di kamar. Langkah-langkah Huànyǐng terasa ringan di atas lantai kayu yang dingin. Saat kakinya menyentuh permukaan lantai, telinganya menangkap sesuatu. Langkah-langkah kaki yang halus namun jelas terdengar, seperti seseorang yang tengah berjalan dengan hati-hati. "Siapa itu?" gumamnya dalam hati. "Itu bukan suara dari lorong atau kamar seb
Di tengah keheningan itu, Mo Chen tetap tidak bergeming. Wajahnya tetap datar, tanpa tanda ketakutan sedikit pun. Matanya tetap terfokus pada makhluk yang perlahan mendekat, makhluk dengan aura gelap yang menggetarkan seluruh dunia sekitarnya. Cakar-cakar Yāo Māo yang panjang dan berkilau, siap menghujamkan sengatan maut. Suasana semakin berat, seolah nafas alam terhenti sejenak."Dasar Iblis!" Sebuah benda berkilau melesat begitu cepat, menghantam lengan makhluk itu. Pedang Zhenhun milik Ling Zhì menyambar dengan kekuatan dahsyat, membuat Yāo Māo terpelanting mundur. Cakar-cakar tajamnya merayap di udara, menciptakan kilatan cahaya yang mengintimidasi.Yāo Māo menggertakkan giginya. Sorot matanya yang merah membara kini dipenuhi kebencian yang tak terhingga. Tubuhnya melesat, menyerang dengan kecepatan yang mengaburkan pandangan. Para kultivator segera maju, pedang-pedang mereka berkilau, siap menghadapi serangan maut dari makhluk yang menyerupai iblis itu.
"Chén Gēge! Apa kita hanya menunggu salah satu di antara mereka kalah?" tanya Lei, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin dingin yang memeluk medan pertempuran.Di hadapan mereka, pertarungan antara Wù Yǒng Lóng, si naga kabut abadi, dan Hán Shuāng Jù Rén, Titan Es kolosal, berlangsung sengit. Setiap gerakan keduanya meninggalkan jejak kehancuran—kabut beracun yang menciptakan ilusi berbahaya, serta gelombang es yang seakan membekukan waktu. Beberapa kali mereka harus berpindah tempat, menghindari ancaman yang begitu dekat."Kau mau menunggu?" Mo Chén berbalik bertanya, dengan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Tatapan jenakanya meluncur ke arah Lei, penuh keingintahuan."Tunggu saja sampai besok pagi!" jawab Jian Wei sambil memukul kepala Lei dengan gemas.Jian Xia tertawa melihat kejenakaan kakak dan adiknya. "Bisa-bisanya kalian bercanda di situasi seperti ini?" keluhnya. Namun, sorot matanya tetap hangat, penuh kasih sayang kepada ked
Angin dingin menderu lewat celah-celah tebing, membawa serta butiran salju yang berputar liar seperti pasir perak di tengah badai. Medan Perburuan Roh kembali diselimuti ketegangan. Mo Chén berdiri tegak di atas batu tinggi, jubah hitamnya berkibar tertiup angin tajam, sementara matanya yang tajam mengawasi perubahan cuaca yang tak lazim.Apa yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Suara pekikan yang memekakkan telinga terdengar dari kejauhan—sebuah raungan yang membelah langit kelabu."Aiyo! Wù Yǒng Lóng!" teriak para kultivator yang masih terjebak di jalur utama medan berburu. Kabut putih pekat mulai menyelimuti tanah, menyusup ke setiap celah batu dan ranting yang tertutup es.Tanpa menunda waktu, Mo Chén mengangkat tangannya dan melepaskan sinyal cahaya ke langit. Asap keperakan membentuk pusaran kecil sebelum pecah menjadi semburat cahaya yang terlihat dari segala penjuru. Itu adalah isyarat—bukan hanya kepada para pemimpin sekte dan klan untuk mulai men
Kabut turun begitu tebal hingga nyaris menutupi seluruh lembah Shén Wu Gu. Awan kelabu menggantung berat di langit, dan udara mendadak terasa jauh lebih dingin. Hembusan angin membawa aroma tajam tanah basah bercampur dengan hawa es yang menggigit tulang."Apa ini?" Jìng Zhenjun Wángyé bergumam pelan, suaranya nyaris terseret oleh desir angin. Ia memandang sekeliling dengan dahi berkerut, matanya menyapu pemandangan yang tertelan kabut.Di sisi lain, Mo Chén, Jian Wei, dan Líng Zhì berdiri kaku, memandangi kabut pekat yang kini mulai menipis, perlahan mengurai seperti tirai sutra yang ditarik angin. Udara berubah drastis—lebih dingin dari biasanya."Salju?" Líng Zhì menatap ke langit yang mulai dihiasi bintik-bintik putih. Butiran salju turun perlahan, mendarat di bahu dan rambutnya, seolah waktu sendiri melambat menyambut datangnya sesuatu."Sialan!" Jian Wei mengumpat, mendadak waspada. Ia langsung me
Roh-roh yang berada dalam zona penahanan kini benar-benar terperangkap. Mereka menggeliat gelisah, terbungkus pusaran energi yang membatasi gerak. Suasana mulai terkendali, meski udara masih berat oleh sisa kekacauan yang sebelumnya meledak liar. Suhu di sekitar merosot drastis, membuat napas para kultivator tampak seperti uap tipis di udara yang mengkristal."Biarkan klan dan sekte kecil menangani roh-roh itu," kata Líng Zhì dengan tenang, suaranya nyaris tenggelam dalam desir angin bersalju.Ia berdiri di sisi tebing es bersama Jian Wei dan Mo Chén, menatap ke bawah tanpa ekspresi. Kabut tebal yang menyelimuti lembah seakan menjadi tirai pembatas antara mereka dan dunia yang sedang berkecamuk.Mereka bertiga tampak seperti bayangan di atas sana—menyaksikan kekacauan yang baru saja reda, namun tak terlibat langsung. Sikap mereka tenang, bahkan nyaris santai. Sebuah pengingat bahwa bagi mereka, ini bukan soal menang atau kalah, tapi kes
Para penjaga Perburuan Roh yang berasal dari Klan Wu datang bersama para kultivator dari Klan Jìng dan Sekte Gerbang Sembilan Kuali."Bagaimana situasinya?" tanya pemimpin penjaga Perburuan Roh pada Jian Wei dan yang lainnya."Seperti yang kau lihat. Kacau!" sahut Jian Wei seraya menunjuk ke bawah dengan dagunya. Di bawah mereka, para kultivator dari berbagai sekte dan klan berusaha menangkap roh-roh yang terpanggil oleh teknik Wàn Líng Zhèn Míng."Tiānyù Jiànzhàn, apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan?" Kini Jìng Zhenjun Wángyé yang bertanya. Ia datang bersama Qing Yǔjiā dan Qing Héng Zhì. Wajahnya terlihat serius dan penuh tanda tanya.Jian Wei tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia justru menoleh menatap Mo Chén, yang berdiri sedikit lebih jauh. Pria berjubah hitam itu tampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan situasi yang sedang berlangsung. Mo Chén masih tampak santai, meskipun keadaan sudah sangat genting. Dengan senyum leba
Di tengah kekacauan yang mengguncang Perburuan Roh, Jian Wei, Mo Chén, Héxié Zhìzūn, dan Ling Zhì berkumpul dalam keheningan yang tegang, merencanakan langkah selanjutnya. Angin kencang menyapu kabut tebal di Shen Wu Gu. Namun, tidak mengurangi hiruk-pikuk yang terjadi di medan tersebut. Suara gemerisik roh-roh yang mulai menguasai medan itu memecah kesunyian, menggema di setiap sudut.“Kita harus menghentikan kekacauan ini tanpa mengacaukan medan dan peraturan Perburuan Roh,” ucap Líng Zhì dengan nada serius. Wajahnya yang tenang tidak menggambarkan betapa dalamnya situasi yang tengah mereka hadapi.“Líng Ménzhǔ, ini cukup sulit,” sahut salah seorang dari klan kecil yang turut bersama mereka. Suaranya terdengar ragu, hampir seperti seorang anak yang berusaha memecahkan teka-teki rumit.“Memang benar, ini sulit!” sahut Mo Chén. Suara baritonnya yang dalam seolah berusaha memberi penekanan pada kata-katanya. Pria tampan berjubah hitam dan berambut putih itu
"Yuè Èr Gōngzǐ," bisik Jian Wei, suaranya tenggelam dalam gemuruh angin lembah, saat denting guqin yang melengking jernih semakin memenuhi pendengaran.Di tengah kabut, seorang pemuda berjubah putih, Yuè Tiānyin, melayang anggun di udara. Sinar matahari yang terang memantul pada guqin-nya, membuatnya berkilauan indah. Dengan gerakan halus, jemari Tiānyin menari di atas senar guqin, mengendalikan alunan melodi yang memancar dari alat musik itu. Setiap denting senar memancarkan aura magis, seakan mantra yang menyegel roh-roh liar yang mengamuk tak terkendali. "Chénxī!" seru Huànyǐng, matanya yang ungu berbinar-binar penuh kekaguman. "Lihatlah, Huànyǐng Xiōng! Yuè Èr Gōngzǐ memang tampan dan berbakat! Tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya!"Líng Qingyu, yang entah sejak kapan telah berada di sisi Huànyǐng, mengangguk setuju dengan tatapan kagum yang tak disembunyikan. Mereka berdua terpaku menatap Tiānyin yang dengan khidmat memainkan guqin-nya. Seme
Dentingan lonceng menggema samar di telinga Jian Wei. Suara itu bergema di antara riuh rendah pekikan panik, gemuruh langkah kaki, dan desir angin yang membawa hawa asing. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan sumber suara tersebut. "Da Gē! Lihat itu!" Tiba-tiba Jian Xuě berseru, mengalihkan perhatiannya. Jian Wei sontak mengangkat kepala. Langit yang tadinya terbuka kini dipenuhi pusaran energi berbentuk lingkaran. Partikel bercahaya keperakan berputar di udara, memancarkan kilauan ganjil. "Sial!" Jian Wei menggeram, kedua tangannya mengepal erat. Matanya berkilat, menatap adik-adiknya dan anggota sekte lainnya. "A Xuě, lindungi Huànyǐng! Jangan biarkan dia terpengaruh oleh roh-roh di sekitarnya!" "Baik, Da Gē!" Jian Xuě tak ragu sedikit pun. Ia segera berdiri di depan Huànyǐng dengan Xuě terhunus, siap menghadapi apa pun yang datang. "Lei, siapkan Líng Qì Wǎng! Jian Xia, terus pantau situa
"Target utama kita adalah roh yang sudah kita kunci tadi. Setelah itu kita bisa berburu roh lain di zona yang sudah terbuka," jelas Jian Wei sembari melompat ke depan gua yang tersembunyi di celah tebing es yang menjulang tinggi. Sinar matahari siang memantul di permukaan es, menciptakan kilauan tajam seperti pecahan kaca."A Xue, ayo kita gunakan Xiáng Líng Zhèn untuk menangkap Xuě Láng Wang!" serunya pada Jian Xuě."Baik, Da Gē!" Jian Xuě menyusul, melompat ringan ke depan gua."Gunakan energi es, kau bisa menggabungkannya dengan energi es milik Huànyǐng," saran Jian Wei.Jian Xuě mengangguk mantap, lalu mulai menggambar pola formasi lingkaran dengan elemen energi es di udara. Garis-garis bersinar biru keperakan muncul di udara, membentuk corak rumit yang berpendar lembut. Begitu formasi selesai, ia menyegelnya dan mengarahkannya ke dalam gua. Dari dalam terdengar geraman marah, berat dan bergema, mengguncang lapisan es di sekitar mereka.