Pasangan kultivasi tidak sesederhana pasangan konvensional. Mereka bukanlah sekadar entitas yang terikat dalam perjodohan atau romansa biasa. Ini adalah hubungan yang mendalam, seimbang dalam setiap elemen, tanpa membedakan gender, dan seringkali penuh dengan perjuangan serta konsekuensi yang tak terduga. Begitulah yang tengah dibicarakan oleh Wúshuāng Jian Shèng, Yīnlǜ Shengzhe, dan He Yun Dàshī, tiga sosok yang memiliki kedalaman jiwa dalam dunia yang penuh dengan kekuatan, misteri, dan tradisi kuno.
"Pasangan kultivasi memang solusi terbaik untuk mereka berdua," ujar He Yun Dàshī dengan suara tegas, namun matanya mengandung keraguan. "Namun, di sisi lain, itu akan menimbulkan kecurigaan dan kewaspadaan. Terutama dari pihak Kekaisaran.""Itu benar," sahut Yīnlǜ Shengzhe dengan nada lebih santai, seolah-olah segala hal ini sudah biasa baginya. "Dan tidak bisa kita hindari lagi," lanjutnya, kemudian menghirup secangkir teh dengan perlahan."Aku lebih memilTiānyin tetap bergeming, mengabaikan keluhan Huànyǐng. Pemuda bermata ungu itu harus menyalin sejarah Kekaisaran Bìxiāo sambil berdiri terbalik. Sebuah hukuman yang tidak hanya menguji ketahanan fisik, tetapi juga kesabarannya. Sudah beberapa hari ia menjalani hukuman di Zǐténg Jū akibat ulahnya kabur dari Kediaman Aroma Wisteria untuk bersenang-senang di kota Lanyin.Itu pelanggaran berat. Terlebih lagi, dia menyeret serta Jian Lei, Ling Qingyu, dan Yāo Ming. Ketiganya kini tengah menyalin prinsip-prinsip Sekte Musik Abadi di perpustakaan sebagai bentuk hukuman. Namun, karena Huànyǐng dianggap sebagai biang kerok kekacauan itu, hukumannya jauh lebih berat. Berdiri terbalik dan bersusah payah menulis dengan rapi, sementara Yue Tiānyin mengawasinya tanpa sedikit pun rasa iba."Yue Èr Gēge!" Huànyǐng berseru lagi, mencoba menarik perhatian.Tiānyin tetap tidak menanggapi. Alih-alih, dia mengeluarkan guqin dari kantong pundi dimensi dan mulai memetik senarnya
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan tanpa terasa, dua bulan pun terlewati. Festival Harmoni Musim Semi akhirnya tiba. Acara tahunan ini diadakan di Jiǔ Yīn Gé, Paviliun Sembilan Nada. Sebuah tempat tertinggi di Lembah Wisteria, tersembunyi di balik pepohonan kuno yang menjuntai seperti tirai ungu alami."Dà Jiě, tempat ini sangat indah!" seru Huànyǐng penuh kagum.Bukan hanya dirinya, tetapi hampir semua murid tamu yang baru pertama kali datang pun terpana. Di sekeliling mereka, pohon-pohon wisteria tua sedang berbunga lebat. Kelopak ungunya berguguran ditiup angin lembut, berpadu dengan harum manis bunga liar yang tumbuh liar di sepanjang jalan setapak. Suara gemericik air terjun menggema di kejauhan, kabut tipis berwarna ungu melayang di udara, menambah kesan mistis dan menawan pada Jiǔ Yīn Gé. Dari tempat ini, Kota Lanyin terlihat seperti lukisan di bawah sana, sementara di kejauhan, Hēi Hú membentang dengan permukaannya yang sehitam tinta."Kenapa rama
Denting guqin dan guzheng berpadu dengan tiupan seruling, gesekan erhu, serta petikan pipa, menciptakan harmoni yang mengalun merdu di Jiǔ Yīn Gé. Alunan musik itu seakan menyatu dengan semilir angin musim semi yang membawa aroma wisteria dan dupa cendana. Menghangatkan hati setiap tamu yang menghadiri Festival Harmoni Musim Semi Sekte Musik Abadi."Sungguh menyejukkan hati dan jiwa," gumam Qing Yǔjiā perlahan. Jemarinya dengan lembut menyentuh kelopak wisteria yang menjuntai dari pergola, lalu mendekatkannya ke hidungnya, menghirup aroma lembut bunga itu. Di sisinya, sang adik, Qing Héng Zhì, berjalan dengan langkah tenang, matanya menelusuri keindahan sekeliling mereka."Jiě, apakah menurutmu rumor itu benar?" tanya Qing Héng Zhì dengan suara pelan, seolah takut seseorang mendengar."Rumor yang mana?" Qing Yǔjiā menoleh padanya, ekspresinya tetap lembut. Namun, ada ketajaman tersembunyi dalam sorot matanya."Muse, Amulet Es Hitam, Tuju
Huànyǐng duduk tenang di gazebo, membiarkan angin sepoi-sepoi membawa melodi halus dari Jiǔ Yīn Gé. Musik yang dimainkan begitu lembut, mengalun seperti untaian embun yang jatuh satu per satu dari dedaunan. Di hadapannya, aneka kudapan tersaji dalam keranjang bambu. Sementara di tangannya, segumpal gula-gula kapas putih diputar-putarnya dengan santai.Baili Yunhua duduk di sampingnya. Huànyǐng menyeringai kecil, menggigit sedikit gula-gula kapas sebelum bertanya, "Jiějie, apakah benar kau akan menikah?"Baili Yunhua sedikit tersentak. "Dari mana Dìdi tahu berita itu?" tanyanya, alisnya terangkat tipis."Héxié Zhìzūn yang memberitahuku, Jiě," sahut Huànyǐng ringan, mengangkat bahu seolah itu bukan hal besar.Baili Yunhua menghela napas pelan lalu mengangguk. "Ah, begitu…" Suaranya terdengar mengerti. Wajar jika Héxié Zhìzūn mengetahui rencana pernikahannya—sesuai adat dan prinsip Klan Yue, harus ada perwakilan dari Ketua Klan saat menerima keluarga
Festival Harmoni telah berakhir, meninggalkan Jiǔ Yīn Gé dalam ketenangan yang perlahan kembali ke asalnya. Alunan musik dan aroma dupa yang sempat memenuhi udara kini menghilang, berganti dengan keharuman wisteria yang samar terbawa angin malam. Kediaman Aroma Wisteria kembali menutup gerbangnya untuk umum. Hanya beberapa murid tamu dari Sekte Musik Abadi yang masih bertahan, enggan beranjak dari ketenangan tempat ini.Di antara mereka, Tiānyin melangkah pelan di jalan berbatu, menyusuri Jiǔ Yīn Gé yang mulai lengang. Cahaya lentera gantung berpendar redup di sela-sela cabang pohon, menciptakan bayangan yang menari di tanah. Dia mencari Huànyǐng—pemuda itu seharusnya menunggunya, tetapi kini entah ke mana perginya.Akhirnya, Tiānyin menemukannya di sudut Jiǔ Yīn Gé yang sunyi."Jian Yi." Suara Tiānyin terdengar tenang, nyaris seperti bisikan yang melebur dengan desir angin.Huànyǐng tak menjawab. Dia tertidur, bersandar di batang wisteria tua den
"Huànyǐng, apa kau sudah berpamitan pada Yue Èr Gōngzǐ?" Jian Xia bertanya dengan lembut pada sang adik.Jian Xia tengah merapikan barang-barang mereka dengan cermat. Besok pagi mereka akan meninggalkan Kediaman Aroma Wisteria dan melanjutkan perjalanan ke Tiānyá Shān, di Pegunungan Lingxiao. Cahaya lentera berpendar lembut, menciptakan bayangan samar di dinding kayu. Sementara semilir angin malam membawa aroma bunga wisteria yang khas. Mengingatkan mereka pada waktu-waktu yang telah berlalu di tempat ini.Huànyǐng menggelengkan kepalanya. Bibirnya mencebik, seolah tengah merajuk. "Jiějie, aku dilarang menemuinya," keluhnya dengan nada memelas."Bukan dilarang! Dia tidak mau menemuimu!" Jian Lei menyahut asal saja. Pemuda itu sengaja menggoda sang adik."Lei! Bukan begitu! Dia akan memulai kultivasi tertutup hingga tiga bulan ke depan!" Huànyǐng membantah dengan tegas. Karena memang itulah yang dikatakan Tiānyin padanya malam itu.
Huànyǐng melompati batu-batu yang berserakan di tengah sungai, gerakannya secepat bayangan yang menari di atas air. Kabut pagi masih menyelimuti permukaan sungai, menciptakan kilauan samar di bawah sinar mentari yang mulai meninggi. Di kejauhan, denting senar guqin terdengar. Melodi lembut yang berbaur dengan gemuruh air terjun.Sejak fajar, ia sudah bersiap untuk berpamitan pada Tiānyin. Namun, He Yun Dàshī hanya memberitahu bahwa pemuda itu telah memasuki meditasi di Shuǐyùn Tíng dan tidak dapat ditemui.“Tapi dia masih memetik guqin-nya. Dia belum bermeditasi,” gumam Huànyǐng. Matanya menatap lurus ke arah air terjun yang menjulang di hadapannya.Ia tidak bisa pergi tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Dengan satu tarikan napas, tubuhnya melesat melintasi sungai, menuju air terjun. Ia terpaksa menerobos Zǐténg Jū dan Sungai Ungu Gelap untuk mencapai kediaman pribadi Yue Tiānyin, Shuǐyùn Tíng. Sejak beberapa hari lalu, tempat itu telah disegel oleh He
Huànyǐng sekali lagi menoleh, menatap dua pilar putih dan tangga batu di belakangnya yang dipayungi pohon-pohon wisteria yang tengah berbunga lebat. Kelopak-kelopak ungu muda berguguran diterpa angin, menari di udara sebelum jatuh perlahan ke tanah berbatu. Ada perasaan enggan sekaligus senang yang bercampur di dalam hatinya. Kediaman Aroma Wisteria telah mencuri hatinya—meninggalkan jejak yang tak kalah dalam dari kenangannya akan Teluk Laut Biru."Huànyǐng, ayo!" Jian Lei menggenggam lengannya dengan lembut, suaranya sarat pengertian. Dia tahu betul adiknya tidak ingin pergi—terutama karena seseorang yang dinantikannya tidak juga menampakkan diri. "Dia akan menyusul setelah enam bulan. Jangan memasang tampang sedih seperti itu. Kau berubah jelek, tahu!" Lei mencubit hidung adiknya, menggoda dengan nada ceria."Lei!" Huànyǐng berseru kesal. Dia menghentakkan kaki sebelum mengguncang lengan kakaknya dengan penuh rajukan. Dadanya terasa sesak karena tidak dapat meli
Yuè Huā Lóu, Rumah Bunga Bulan, adalah salah satu rumah hiburan paling terkenal di Lingxiao. Bahkan, namanya tak kalah tersohor dibandingkan rumah-rumah bordil di Xiāoyún, ibu kota Kekaisaran Bìxiāo. Tempat ini bukan sekadar sarang para wanita cantik, tetapi juga pusat hiburan kelas atas yang dipenuhi musisi berbakat dan penari-penari anggun yang mampu memikat siapa pun yang datang.Bau harum dupa bercampur dengan aroma arak memenuhi udara, berpadu dengan denting kecapi yang mengalun lembut di antara suara gelak tawa para tamu. Cahaya lentera merah menggantung di sepanjang lorong, berpendar samar di atas lantai kayu yang mengilap. Para gadis berhanfu warna-warni berjalan anggun, melayani tamu dengan senyum menggoda dan tatapan penuh arti."Jian Wu Xiōng, aku sangat gugup," bisik Ling Qingyu, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh rendah sekeliling mereka. Jemarinya mencengkeram erat lengan Huànyǐng, seolah mencari pegangan di tengah atmosfer yang terasa begitu asing b
Ling Qingyu mengendap-endap di sepanjang koridor Yè Jū, langkahnya ringan seperti bayangan. Cahaya lentera temaram memantulkan siluetnya di dinding, bergetar seiring hembusan angin malam yang merayap melalui celah-celah bangunan. Tujuannya sudah jelas, kamar Jian Huànyǐng. Sejak siang, mereka telah berencana untuk menikmati malam ini dengan sedikit hiburan.Begitu tiba di depan pintu, Ling Qingyu mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, sebelum sempat jarinya menyentuh kayu pintu, sesuatu yang dingin menyentuh bahunya.Ia tersentak, tubuhnya menegang seketika. Rasa terkejut membuat napasnya tertahan, hampir saja ia berteriak. Tetapi belum sempat satu suara pun keluar, sebuah tangan sudah lebih dulu membekap mulutnya, meredam segala kemungkinan."Ling Xiōng, ini aku," sebuah suara lirih berbisik di telinganya.Ling Qingyu hanya bisa melotot, berusaha meronta dari cengkeraman itu. Ketika tekanan di tangannya mengendur, ia langsung menepis tang
Yue Tiānyin melirik meja di sebelahnya. Ia baru saja selesai bermeditasi ketika seorang murid yunior mengantarkan makanan, teh, serta beberapa perlengkapan lainnya. Semua diletakkan rapi di atas meja di samping tempatnya bermeditasi. Namun, dari sekian banyak hal yang ada di sana, pandangan Tiānyin hanya tertuju pada satu benda yang tampak mencolok.Matanya menyipit. "Lampion?" gumamnya pelan, keningnya berkerut. Mengapa ada lampion di antara menu sarapan paginya?Dengan gerakan tenang, ia turun dari tempat tidurnya. Cahaya lembut pagi menembus kisi-kisi jendela, menerpa wajahnya yang selalu tampak tenang namun tak pernah kehilangan pesona. Ia mendekati meja, tatapannya tertuju pada lampion yang diletakkan tepat di tengah, dikelilingi oleh nampan berisi hidangan, teko teh, cangkir porselen berwarna giok, serta dupa beraroma cendana hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Sebuah lilin kecil di sudut meja telah padam, menyisakan sedikit jejak lelehan lilin di duduka
Jian Lei terpaku menatap keranjang bambu di atas meja. Uap tipis mengepul dari tumpukan bāozi yang masih hangat, menyebarkan aroma lembut tepung dan daging berbumbu. Ada juga beberapa hidangan lain yang tersusun rapi di dalam wadah bambu. Pagi itu, udara di kamarnya masih mengandung sisa dingin dari embun malam, tetapi kehadiran makanan-makanan ini membawa kehangatan yang ganjil.Dia mengernyit. Ini bukan dari dapur Akademi Bìxiāo. Setiap murid hanya mendapat jatah makanan sederhana, jauh dari kemewahan seperti ini. Apalagi, ia sama sekali tidak memesan apa pun.Dengan hati-hati, Jian Lei melangkah ke jendela, jari-jarinya menyentuh bingkai kayu yang terasa sedikit lembap oleh udara pagi. Didorongnya jendela perlahan, membiarkan angin sejuk menerobos masuk. Pandangannya menyapu halaman di luar, mencari sosok yang mungkin baru saja menyelinap dan meninggalkan semua ini di mejanya. Namun, yang ada hanya bayangan pohon pinus yang bergoyang lembut diterpa angin.
Untuk beberapa saat, Huànyǐng tetap terdiam membeku. Tatapannya kosong menembus keramaian yang berlalu-lalang di pusat kota. Cahaya lampion menggantung di sepanjang jalan, menerangi wajah-wajah riang para pedagang dan pejalan kaki. Namun, di matanya, semua itu seolah hanya bayangan samar yang berpendar tanpa makna.“Huànyǐng!” Suara yang akrab itu memecah lamunannya.“Èr Gē...” Huànyǐng bergumam lirih. Suara itu sangat dikenalnya, Jian Xue, kakak keduanya.Kesadarannya perlahan kembali. Ia mengerjapkan mata dan kini dapat melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jian Xue, dengan senyum kecil di wajahnya, dan di sampingnya berdiri Héxié Zhìzūn, menatapnya dengan tatapan hangat dan lembut seperti biasanya.“Èr Gē!” Seketika, Huànyǐng berlari menghambur ke dalam pelukan sang kakak.Jian Xue terkekeh pelan, sementara Héxié Zhìzūn hanya tersenyum lembut. Kedua kakak beradik itu saling berpelukan erat, seolah ingi
Malam di Yè Jū, Asrama Malam, salah satu asrama bagi murid Akademi Bìxiāo, terasa sunyi. Sejak lonceng malam berdentang sembilan kali, tak satu pun murid yang masih berkeliaran di luar. Mereka semua telah kembali ke kamar masing-masing, membiarkan kesunyian menyelimuti bangunan asrama yang dikelilingi taman batu dan pohon pinus menjulang.Namun, di salah satu kamar, suasananya tidak setenang di luar. Huànyǐng bertumpu pada kedua tangannya, tubuhnya terbalik dalam posisi handstand. Di hadapannya, gulungan kertas terbuka, berisi salinan hukuman dari Zhēn Wēn Jīng siang tadi. Cahaya lentera berkelip samar di atas meja, menciptakan bayangan bergerak di dinding. Meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan, Huànyǐng menolak larut dalam perasaan itu."Chénxī," gumamnya pelan. Setiap kali berlatih handstand, sosok pemuda bermata biru itu selalu terlintas dalam benaknya. "Kau pasti sedang bermeditasi sekarang," lanjutnya, suaranya nyaris tertelan heningnya ma
Hēibīng Hùfú, Amulet Es Hitam, pada awalnya adalah Shén Cì, artefak suci yang merupakan anugerah dari dewa. Konon, Hēi àn Zhī Shén sendiri yang menghadiahkannya kepada pendiri Klan Àn Zú, klan yang menjadi akar dari Klan Mo dan Sekte Pedang Iblis. Berbeda dengan jimat biasa, Hēibīng Hùfú bukanlah benda fisik yang bisa digenggam atau disimpan dalam kotak pusaka. Sebaliknya, amulet ini bersemayam di dalam tubuh sang pewaris, menyatu dengan darah dan jiwanya. Sejak awal, Hēi àn Zhī Shén telah menyisipkannya ke dalam tubuh pendiri Klan Àn Zú dan sejak saat itu, ia diwariskan kepada keturunan yang terpilih. Namun, dalam sejarah ribuan tahun, Hēibīng Hùfú hanya benar-benar terbangkitkan dua kali. Dua kali yang membawa bencana besar. Kekaisaran Bìxiāo gemetar di ambang kehancuran, dan bahkan Benua Shényǔ hampir luluh lantak. Begitulah kisah yang diceritakan Mo Chen kepada Huànyǐng pada senja itu. "Mo Gēge, A Tie juga pernah menceritakan hal ini
Di bawah pohon plum tua yang bermekaran, Huànyǐng dan Mo Chen duduk berdampingan, menikmati hembusan angin yang membawa aroma samar bunga dan asap kayu bakar. Sungai di hadapan mereka mengalir tenang, memantulkan cahaya redup matahari yang mulai condong ke barat. Sesekali, Mo Chen melemparkan batu kecil ke air, menciptakan riak yang menyebar perlahan."Mo Gōngzǐ, kenapa kau begitu santai? Bukankah kau sedang dalam misi?" tanya Huànyǐng, tak mampu menahan rasa penasarannya.Di matanya, Mo Chen berbeda dari para tuan muda klan besar lainnya. Dia tidak seperti Héxié Zhìzūn yang lembut namun tegas, atau kedua kakaknya yang berwibawa. Bahkan dibandingkan Ling Zhì yang kaku dan Yue Tiānyin yang dingin, Mo Chen lebih terlihat bebas, seperti awan di langit yang berarak tanpa beban.Mo Chen tersenyum santai. Ia mengupas kulit udang bakar dengan tenang, jemarinya cekatan dan penuh perhitungan. "Misiku sudah selesai, sekarang aku hanya menunggu misi berikutnya." Ia m
Huànyǐng berlari riang di sepanjang koridor akademi yang lengang. Suasana begitu sepi karena hampir semua murid masih berada di kelas masing-masing, sibuk mempelajari teori atau menjalani latihan fisik dan meditasi. Tentu saja, Huànyǐng tahu itu. Namun, meski diperintahkan oleh Zhēn Wēn Jīng untuk pergi ke perpustakaan, ia justru memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu.Saat tiba di persimpangan koridor, ia menghentikan langkahnya, mendongak sedikit, lalu menggumam, “Ke kanan atau ke kiri?”Di kanan, Qiū Fēng Lín, Hutan Maple Musim Gugur, terbentang dengan pohon-pohon maple menjulang tinggi. Angin bertiup membawa harum dedaunan basah, sementara warna merah dan jingga dari daun-daun maple yang gugur menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Ia bisa berburu kelinci di sana atau menangkap rubah kecil yang sering berkeliaran di antara akar-akar pohon yang menjulur.Sedangkan di kiri, Xiānlù Hé, Sungai Embun Abadi, mengalir jernih. Permukaannya berkilauan d