Huànyǐng melompati batu-batu yang berserakan di tengah sungai, gerakannya secepat bayangan yang menari di atas air. Kabut pagi masih menyelimuti permukaan sungai, menciptakan kilauan samar di bawah sinar mentari yang mulai meninggi. Di kejauhan, denting senar guqin terdengar. Melodi lembut yang berbaur dengan gemuruh air terjun.
Sejak fajar, ia sudah bersiap untuk berpamitan pada Tiānyin. Namun, He Yun Dàshī hanya memberitahu bahwa pemuda itu telah memasuki meditasi di Shuǐyùn Tíng dan tidak dapat ditemui.“Tapi dia masih memetik guqin-nya. Dia belum bermeditasi,” gumam Huànyǐng. Matanya menatap lurus ke arah air terjun yang menjulang di hadapannya.Ia tidak bisa pergi tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Dengan satu tarikan napas, tubuhnya melesat melintasi sungai, menuju air terjun. Ia terpaksa menerobos Zǐténg Jū dan Sungai Ungu Gelap untuk mencapai kediaman pribadi Yue Tiānyin, Shuǐyùn Tíng. Sejak beberapa hari lalu, tempat itu telah disegel oleh HeHuànyǐng sekali lagi menoleh, menatap dua pilar putih dan tangga batu di belakangnya yang dipayungi pohon-pohon wisteria yang tengah berbunga lebat. Kelopak-kelopak ungu muda berguguran diterpa angin, menari di udara sebelum jatuh perlahan ke tanah berbatu. Ada perasaan enggan sekaligus senang yang bercampur di dalam hatinya. Kediaman Aroma Wisteria telah mencuri hatinya—meninggalkan jejak yang tak kalah dalam dari kenangannya akan Teluk Laut Biru."Huànyǐng, ayo!" Jian Lei menggenggam lengannya dengan lembut, suaranya sarat pengertian. Dia tahu betul adiknya tidak ingin pergi—terutama karena seseorang yang dinantikannya tidak juga menampakkan diri. "Dia akan menyusul setelah enam bulan. Jangan memasang tampang sedih seperti itu. Kau berubah jelek, tahu!" Lei mencubit hidung adiknya, menggoda dengan nada ceria."Lei!" Huànyǐng berseru kesal. Dia menghentakkan kaki sebelum mengguncang lengan kakaknya dengan penuh rajukan. Dadanya terasa sesak karena tidak dapat meli
Debur ombak terdengar di kejauhan, mengalun dan menghantam batu-batu karang serta tebing tinggi yang mengelilingi Jìng Fēng Gé di Bì Hǎi Wān, kediaman resmi Sekte Pemecah Langit. Angin laut bertiup sejuk, membawa aroma asin bercampur kelembapan khas perairan. Dari kejauhan, burung camar melintas, suaranya melengking di antara hempasan ombak.Di dalam paviliun yang menjorok ke laut, seorang pelayan wanita bergegas masuk. Ia membawa gulungan surat. Dengan kedua tangan terangkat, kepalanya sedikit menunduk sebagai tanda penghormatan, dia menyapa sang majikan, "Fū Rén, Da Xiǎojiě baru saja mengirimkan kabar."Sang Majikan yang berdiri di tepi jendela paviliun menoleh perlahan. Wajah cantiknya begitu tenang dan sorot matanya teduh tetapi sulit ditebak. Dia adalah Bǎihé Chéng, istri sah Wúshuāng Jian Shèng, seorang wanita yang dikenal bukan hanya karena keanggunannya, tetapi juga keteguhan hatinya."Kemarikan," perintahnya dengan suara lembut dan tegas.Pelayan itu segera maju selangkah, me
Perjalanan menuju Lingxiao memakan waktu dua minggu, seperti yang Yāo Ming katakan pada Huànyǐng. Selama perjalanan, langit tetap cerah dengan angin sepoi-sepoi yang membuat perjalanan terasa nyaman. Kereta-kereta kuda mereka melaju santai melewati berbagai kota, singgah di beberapa tempat untuk beristirahat. Setiap pemberhentian menjadi momen kegembiraan bagi Huànyǐng dan kawan-kawannya. Selain mengenal kehidupan di kota-kota lain di Kekaisaran Bìxiāo, mereka juga menikmati kesempatan untuk mencicipi berbagai jajanan dan membeli mainan khas daerah setempat."Hei, kita sudah sampai di kaki Pegunungan Lingxiao!" seru Ling Qingyu penuh semangat."Wah, indah sekali!" Jian Xia berseru kagum, diikuti beberapa kultivator wanita lainnya yang memandang puncak-puncak berselimut awan itu dengan mata berbinar. Pegunungan tertinggi di Kekaisaran Bìxiāo itu menjulang megah, dengan lereng-lereng hijau yang diselimuti kabut tipis bak jubah dewa.Mereka singgah di sebuah
Seperti yang telah diperkirakan, dua hari kemudian, di pagi yang cerah, mereka tiba di Tiānyá Shān. Tempat di mana Akademi Bìxiāo didirikan. Bangunan megah itu menjulang tinggi, diselimuti kabut tipis yang berkilauan diterpa sinar mentari pagi. Dari kejauhan, bangunan akademi tampak kokoh, tersembunyi di balik pepohonan pinus yang tertata rapi. Kini, di hadapan mereka berdiri sebuah gerbang batu yang tinggi dan berlumut, seolah menjadi batas antara dunia luar dan kehidupan disiplin yang menanti di dalamnya."Aiyo, sepertinya tempat ini lebih mengerikan daripada Kediaman Aroma Wisteria," keluh Huànyǐng, suaranya dipenuhi kesal.Pemuda bermata ungu itu bergidik ngeri, membayangkan hari-hari panjang yang akan ia jalani di dalam akademi yang tertutup, penuh aturan ketat. Bak hidup di dalam sangkar emas, tapi tetap saja terasa seperti penjara."Kalau soal peraturan, tidak ada yang mengalahkan Kediaman Aroma Wisteria dan Sekte Musik Abadi," Yāo Ming menimpali de
Hari-hari di Akademi Bìxiāo berjalan begitu lambat. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Jian Huànyǐng. Membayangkan enam bulan berada di tempat ini membuatnya lesu. Dan ini baru permulaan dari kehidupannya sebagai murid akademi yang telah berdiri sejak pendiri Kekaisaran Bìxiāo merajut kejayaannya beribu tahun silam. Huànyǐng mendesah panjang, menyandarkan kepalanya ke meja kayu yang terasa hangat karena diterpa matahari. Musim panas kali ini sungguh menyebalkan. Cahaya matahari membakar hingga ke dalam ruang kelas, membuat udara gerah tak tertahankan. Jendela yang terbuka hanya membawa angin malas yang nyaris tak berdaya melawan hawa panas. Keringat membasahi tengkuk dan punggungnya, membuat pakaian dalamnya melekat tidak nyaman. Tak hanya Huànyǐng yang tersiksa, murid-murid lain pun tampak gelisah. Beberapa sibuk mengipas-ngipas dirinya dengan lengan baju, sementara yang lain mencoba fokus pada kitab di hadapan mereka. Meski sebagian besar justru t
Huànyǐng berlari riang di sepanjang koridor akademi yang lengang. Suasana begitu sepi karena hampir semua murid masih berada di kelas masing-masing, sibuk mempelajari teori atau menjalani latihan fisik dan meditasi. Tentu saja, Huànyǐng tahu itu. Namun, meski diperintahkan oleh Zhēn Wēn Jīng untuk pergi ke perpustakaan, ia justru memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu.Saat tiba di persimpangan koridor, ia menghentikan langkahnya, mendongak sedikit, lalu menggumam, “Ke kanan atau ke kiri?”Di kanan, Qiū Fēng Lín, Hutan Maple Musim Gugur, terbentang dengan pohon-pohon maple menjulang tinggi. Angin bertiup membawa harum dedaunan basah, sementara warna merah dan jingga dari daun-daun maple yang gugur menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Ia bisa berburu kelinci di sana atau menangkap rubah kecil yang sering berkeliaran di antara akar-akar pohon yang menjulur.Sedangkan di kiri, Xiānlù Hé, Sungai Embun Abadi, mengalir jernih. Permukaannya berkilauan d
Di bawah pohon plum tua yang bermekaran, Huànyǐng dan Mo Chen duduk berdampingan, menikmati hembusan angin yang membawa aroma samar bunga dan asap kayu bakar. Sungai di hadapan mereka mengalir tenang, memantulkan cahaya redup matahari yang mulai condong ke barat. Sesekali, Mo Chen melemparkan batu kecil ke air, menciptakan riak yang menyebar perlahan."Mo Gōngzǐ, kenapa kau begitu santai? Bukankah kau sedang dalam misi?" tanya Huànyǐng, tak mampu menahan rasa penasarannya.Di matanya, Mo Chen berbeda dari para tuan muda klan besar lainnya. Dia tidak seperti Héxié Zhìzūn yang lembut namun tegas, atau kedua kakaknya yang berwibawa. Bahkan dibandingkan Ling Zhì yang kaku dan Yue Tiānyin yang dingin, Mo Chen lebih terlihat bebas, seperti awan di langit yang berarak tanpa beban.Mo Chen tersenyum santai. Ia mengupas kulit udang bakar dengan tenang, jemarinya cekatan dan penuh perhitungan. "Misiku sudah selesai, sekarang aku hanya menunggu misi berikutnya." Ia m
Hēibīng Hùfú, Amulet Es Hitam, pada awalnya adalah Shén Cì, artefak suci yang merupakan anugerah dari dewa. Konon, Hēi àn Zhī Shén sendiri yang menghadiahkannya kepada pendiri Klan Àn Zú, klan yang menjadi akar dari Klan Mo dan Sekte Pedang Iblis. Berbeda dengan jimat biasa, Hēibīng Hùfú bukanlah benda fisik yang bisa digenggam atau disimpan dalam kotak pusaka. Sebaliknya, amulet ini bersemayam di dalam tubuh sang pewaris, menyatu dengan darah dan jiwanya. Sejak awal, Hēi àn Zhī Shén telah menyisipkannya ke dalam tubuh pendiri Klan Àn Zú dan sejak saat itu, ia diwariskan kepada keturunan yang terpilih. Namun, dalam sejarah ribuan tahun, Hēibīng Hùfú hanya benar-benar terbangkitkan dua kali. Dua kali yang membawa bencana besar. Kekaisaran Bìxiāo gemetar di ambang kehancuran, dan bahkan Benua Shényǔ hampir luluh lantak. Begitulah kisah yang diceritakan Mo Chen kepada Huànyǐng pada senja itu. "Mo Gēge, A Tie juga pernah menceritakan hal ini
Malam di Yè Jū, Asrama Malam, salah satu asrama bagi murid Akademi Bìxiāo, terasa sunyi. Sejak lonceng malam berdentang sembilan kali, tak satu pun murid yang masih berkeliaran di luar. Mereka semua telah kembali ke kamar masing-masing, membiarkan kesunyian menyelimuti bangunan asrama yang dikelilingi taman batu dan pohon pinus menjulang.Namun, di salah satu kamar, suasananya tidak setenang di luar. Huànyǐng bertumpu pada kedua tangannya, tubuhnya terbalik dalam posisi handstand. Di hadapannya, gulungan kertas terbuka, berisi salinan hukuman dari Zhēn Wēn Jīng siang tadi. Cahaya lentera berkelip samar di atas meja, menciptakan bayangan bergerak di dinding. Meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan, Huànyǐng menolak larut dalam perasaan itu."Chénxī," gumamnya pelan. Setiap kali berlatih handstand, sosok pemuda bermata biru itu selalu terlintas dalam benaknya. "Kau pasti sedang bermeditasi sekarang," lanjutnya, suaranya nyaris tertelan heningnya ma
Hēibīng Hùfú, Amulet Es Hitam, pada awalnya adalah Shén Cì, artefak suci yang merupakan anugerah dari dewa. Konon, Hēi àn Zhī Shén sendiri yang menghadiahkannya kepada pendiri Klan Àn Zú, klan yang menjadi akar dari Klan Mo dan Sekte Pedang Iblis. Berbeda dengan jimat biasa, Hēibīng Hùfú bukanlah benda fisik yang bisa digenggam atau disimpan dalam kotak pusaka. Sebaliknya, amulet ini bersemayam di dalam tubuh sang pewaris, menyatu dengan darah dan jiwanya. Sejak awal, Hēi àn Zhī Shén telah menyisipkannya ke dalam tubuh pendiri Klan Àn Zú dan sejak saat itu, ia diwariskan kepada keturunan yang terpilih. Namun, dalam sejarah ribuan tahun, Hēibīng Hùfú hanya benar-benar terbangkitkan dua kali. Dua kali yang membawa bencana besar. Kekaisaran Bìxiāo gemetar di ambang kehancuran, dan bahkan Benua Shényǔ hampir luluh lantak. Begitulah kisah yang diceritakan Mo Chen kepada Huànyǐng pada senja itu. "Mo Gēge, A Tie juga pernah menceritakan hal ini
Di bawah pohon plum tua yang bermekaran, Huànyǐng dan Mo Chen duduk berdampingan, menikmati hembusan angin yang membawa aroma samar bunga dan asap kayu bakar. Sungai di hadapan mereka mengalir tenang, memantulkan cahaya redup matahari yang mulai condong ke barat. Sesekali, Mo Chen melemparkan batu kecil ke air, menciptakan riak yang menyebar perlahan."Mo Gōngzǐ, kenapa kau begitu santai? Bukankah kau sedang dalam misi?" tanya Huànyǐng, tak mampu menahan rasa penasarannya.Di matanya, Mo Chen berbeda dari para tuan muda klan besar lainnya. Dia tidak seperti Héxié Zhìzūn yang lembut namun tegas, atau kedua kakaknya yang berwibawa. Bahkan dibandingkan Ling Zhì yang kaku dan Yue Tiānyin yang dingin, Mo Chen lebih terlihat bebas, seperti awan di langit yang berarak tanpa beban.Mo Chen tersenyum santai. Ia mengupas kulit udang bakar dengan tenang, jemarinya cekatan dan penuh perhitungan. "Misiku sudah selesai, sekarang aku hanya menunggu misi berikutnya." Ia m
Huànyǐng berlari riang di sepanjang koridor akademi yang lengang. Suasana begitu sepi karena hampir semua murid masih berada di kelas masing-masing, sibuk mempelajari teori atau menjalani latihan fisik dan meditasi. Tentu saja, Huànyǐng tahu itu. Namun, meski diperintahkan oleh Zhēn Wēn Jīng untuk pergi ke perpustakaan, ia justru memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu.Saat tiba di persimpangan koridor, ia menghentikan langkahnya, mendongak sedikit, lalu menggumam, “Ke kanan atau ke kiri?”Di kanan, Qiū Fēng Lín, Hutan Maple Musim Gugur, terbentang dengan pohon-pohon maple menjulang tinggi. Angin bertiup membawa harum dedaunan basah, sementara warna merah dan jingga dari daun-daun maple yang gugur menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Ia bisa berburu kelinci di sana atau menangkap rubah kecil yang sering berkeliaran di antara akar-akar pohon yang menjulur.Sedangkan di kiri, Xiānlù Hé, Sungai Embun Abadi, mengalir jernih. Permukaannya berkilauan d
Hari-hari di Akademi Bìxiāo berjalan begitu lambat. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Jian Huànyǐng. Membayangkan enam bulan berada di tempat ini membuatnya lesu. Dan ini baru permulaan dari kehidupannya sebagai murid akademi yang telah berdiri sejak pendiri Kekaisaran Bìxiāo merajut kejayaannya beribu tahun silam. Huànyǐng mendesah panjang, menyandarkan kepalanya ke meja kayu yang terasa hangat karena diterpa matahari. Musim panas kali ini sungguh menyebalkan. Cahaya matahari membakar hingga ke dalam ruang kelas, membuat udara gerah tak tertahankan. Jendela yang terbuka hanya membawa angin malas yang nyaris tak berdaya melawan hawa panas. Keringat membasahi tengkuk dan punggungnya, membuat pakaian dalamnya melekat tidak nyaman. Tak hanya Huànyǐng yang tersiksa, murid-murid lain pun tampak gelisah. Beberapa sibuk mengipas-ngipas dirinya dengan lengan baju, sementara yang lain mencoba fokus pada kitab di hadapan mereka. Meski sebagian besar justru t
Seperti yang telah diperkirakan, dua hari kemudian, di pagi yang cerah, mereka tiba di Tiānyá Shān. Tempat di mana Akademi Bìxiāo didirikan. Bangunan megah itu menjulang tinggi, diselimuti kabut tipis yang berkilauan diterpa sinar mentari pagi. Dari kejauhan, bangunan akademi tampak kokoh, tersembunyi di balik pepohonan pinus yang tertata rapi. Kini, di hadapan mereka berdiri sebuah gerbang batu yang tinggi dan berlumut, seolah menjadi batas antara dunia luar dan kehidupan disiplin yang menanti di dalamnya."Aiyo, sepertinya tempat ini lebih mengerikan daripada Kediaman Aroma Wisteria," keluh Huànyǐng, suaranya dipenuhi kesal.Pemuda bermata ungu itu bergidik ngeri, membayangkan hari-hari panjang yang akan ia jalani di dalam akademi yang tertutup, penuh aturan ketat. Bak hidup di dalam sangkar emas, tapi tetap saja terasa seperti penjara."Kalau soal peraturan, tidak ada yang mengalahkan Kediaman Aroma Wisteria dan Sekte Musik Abadi," Yāo Ming menimpali de
Perjalanan menuju Lingxiao memakan waktu dua minggu, seperti yang Yāo Ming katakan pada Huànyǐng. Selama perjalanan, langit tetap cerah dengan angin sepoi-sepoi yang membuat perjalanan terasa nyaman. Kereta-kereta kuda mereka melaju santai melewati berbagai kota, singgah di beberapa tempat untuk beristirahat. Setiap pemberhentian menjadi momen kegembiraan bagi Huànyǐng dan kawan-kawannya. Selain mengenal kehidupan di kota-kota lain di Kekaisaran Bìxiāo, mereka juga menikmati kesempatan untuk mencicipi berbagai jajanan dan membeli mainan khas daerah setempat."Hei, kita sudah sampai di kaki Pegunungan Lingxiao!" seru Ling Qingyu penuh semangat."Wah, indah sekali!" Jian Xia berseru kagum, diikuti beberapa kultivator wanita lainnya yang memandang puncak-puncak berselimut awan itu dengan mata berbinar. Pegunungan tertinggi di Kekaisaran Bìxiāo itu menjulang megah, dengan lereng-lereng hijau yang diselimuti kabut tipis bak jubah dewa.Mereka singgah di sebuah
Debur ombak terdengar di kejauhan, mengalun dan menghantam batu-batu karang serta tebing tinggi yang mengelilingi Jìng Fēng Gé di Bì Hǎi Wān, kediaman resmi Sekte Pemecah Langit. Angin laut bertiup sejuk, membawa aroma asin bercampur kelembapan khas perairan. Dari kejauhan, burung camar melintas, suaranya melengking di antara hempasan ombak.Di dalam paviliun yang menjorok ke laut, seorang pelayan wanita bergegas masuk. Ia membawa gulungan surat. Dengan kedua tangan terangkat, kepalanya sedikit menunduk sebagai tanda penghormatan, dia menyapa sang majikan, "Fū Rén, Da Xiǎojiě baru saja mengirimkan kabar."Sang Majikan yang berdiri di tepi jendela paviliun menoleh perlahan. Wajah cantiknya begitu tenang dan sorot matanya teduh tetapi sulit ditebak. Dia adalah Bǎihé Chéng, istri sah Wúshuāng Jian Shèng, seorang wanita yang dikenal bukan hanya karena keanggunannya, tetapi juga keteguhan hatinya."Kemarikan," perintahnya dengan suara lembut dan tegas.Pelayan itu segera maju selangkah, me
Huànyǐng sekali lagi menoleh, menatap dua pilar putih dan tangga batu di belakangnya yang dipayungi pohon-pohon wisteria yang tengah berbunga lebat. Kelopak-kelopak ungu muda berguguran diterpa angin, menari di udara sebelum jatuh perlahan ke tanah berbatu. Ada perasaan enggan sekaligus senang yang bercampur di dalam hatinya. Kediaman Aroma Wisteria telah mencuri hatinya—meninggalkan jejak yang tak kalah dalam dari kenangannya akan Teluk Laut Biru."Huànyǐng, ayo!" Jian Lei menggenggam lengannya dengan lembut, suaranya sarat pengertian. Dia tahu betul adiknya tidak ingin pergi—terutama karena seseorang yang dinantikannya tidak juga menampakkan diri. "Dia akan menyusul setelah enam bulan. Jangan memasang tampang sedih seperti itu. Kau berubah jelek, tahu!" Lei mencubit hidung adiknya, menggoda dengan nada ceria."Lei!" Huànyǐng berseru kesal. Dia menghentakkan kaki sebelum mengguncang lengan kakaknya dengan penuh rajukan. Dadanya terasa sesak karena tidak dapat meli