Jian Huanying kembali berjalan menelusuri jalan setapak berlapis batu bata yang mulai ditumbuhi lumut. Angin sepoi-sepoi berhembus membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang lembap. Suasana di kediaman ini sungguh sepi, kontras dengan kenangan tentang kediaman keluarga Jian di Kota Shuifeng. Di Teluk Laut Biru, Kediaman Klan Jian, setiap sudutnya menawarkan kegembiraan dan kebersamaan, meski mereka harus berlatih pedang dan kultivasi setiap hari dengan kesungguhan hati.
"Eh, Kau!" Lagi-lagi ada seseorang yang memanggilnya, membuat Jian Huanying terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan melihat seorang pelayan pria berlari ke arahnya, diikuti oleh seorang pemuda yang tampak seumuran dengannya. "Aku?" Jian Huanying menunjuk pada dirinya sendiri, seakan tidak yakin bahwa dirinya yang dipanggil. "Tentu saja kau! Hantu gentayangan!" Pria itu berteriak dan melemparinya dengan sepotong kayu yang tergeletak di tanah. Tentu saja Jian Huanying sangat terkejut dan berteriak, "Aiyo, kau ini kenapa memukulku? Apa salahku?" "Diam kau!" Tiba-tiba saja pemuda yang tadi berlari di belakang pelayan pria itu membentaknya dan memukul kepala Jian Huanying. Seketika Jian Huanying merasa kesal dan membalas memukulnya tanpa berpikir panjang, tangannya bergetar akibat adrenalin yang mengalir deras. Pemuda itu semakin kesal dan berteriak padanya, "Berani-beraninya kau memukulku!" "Kenapa aku tidak berani memukulmu? Kau pikir siapa dirimu?" Jian Huanying membalas ucapannya dengan teriakan yang tak kalah keras. Perkelahian pun tak terhindarkan dan segera saja menjadi keributan yang menjalar ke segala penjuru kediaman. Dalam sekejap, orang-orang berdatangan melerai mereka berdua. Suara benturan tubuh mereka terdengar keras, seakan-akan mengguncang fondasi kediaman itu. Seorang wanita berpakaian mewah berlari dan berteriak-teriak panik. Sepertinya dia adalah ibu dari pemuda yang berkelahi dengan Jian Huanying. Tak berapa lama, seorang Nyonya Tua dengan pakaian elegan datang dan seketika menghentikan keributan. Kehadirannya membawa aura wibawa yang membuat semua orang terdiam. "Apa yang terjadi di sini?" Pelayan wanita yang mendampingi Nyonya Tua itu bertanya dengan nada tegas dan dingin, membuat suasana menjadi semakin tegang. Semua orang tertunduk diam, tidak berani berkata terlebih dahulu. Bahkan pemuda yang tadi memukulnya pun kini meringkuk ketakutan di belakang wanita berpakaian mewah tadi. Jian Huanying tersenyum di dalam hati dan mulai memahami situasinya. Meski ingatan Murong Yi hampir menghilang sepenuhnya dari memorinya, tetapi hal-hal yang berkaitan dengan kediaman para bangsawan tidak jauh berbeda dengan kediaman klan-klan seperti klan Jian di mana dia lahir dan dibesarkan. "Zǔmǔ!" Jian Huanying seketika berlari kemudian memeluk kaki Nyonya Tua itu, memeluknya erat-erat dan mulai menangis seperti anak kecil yang mengadu, ketakutan dan merasa sakit serta malu. Air matanya mengalir deras, membasahi kaki Nyonya Tua yang seakan menjadi pelindung terakhirnya. "Dà Gōngzǐ, bangunlah!" Pelayan wanita yang tadi menegur kini menegurnya lagi dan memberi isyarat pada pelayan lain yang datang bersama Nyonya Tua itu. Pelayan wanita itu mengangguk kemudian menarik lengan Jian Huanying untuk berdiri. "Aku tidak mau! Aku mau di dekat Zǔmǔ saja. Kalau tidak, dia akan memukuliku!" Jian Huanying merengek ketakutan dan tidak mau melepaskan pelukannya pada kaki Nyonya Tua. Suaranya pecah karena tangisan yang tak terbendung. "Dà Gōngzǐ, tidak akan ada yang memukuli Anda lagi." Pelayan wanita itu membujuknya dengan lembut. Senyum manis nan lembutnya membuat Jian Huanying terpesona, mengingatkan pada senyum seseorang yang dahulu selalu bisa membuatnya tenang. "Benarkah? Kakak, kau jangan berbohong. Aku tidak mau dipukuli lagi. Kemarin aku hampir mati karenanya, aku tidak mau mati!" Jian Huanying pun melepaskan pelukannya kemudian berjongkok dan menangis terisak-isak sembari menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Isak tangisnya terdengar memilukan, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Nyonya Tua meliriknya kemudian mendesah pelan. Dia menatap wanita cantik berpakaian mewah di hadapannya. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak berani menatap wajah Nyonya Tua. "Selir Ying, semakin hari kau semakin keterlaluan. Kendalikan putramu. Jika terjadi sesuatu pada Murong Yi, apakah kau akan bertanggung jawab?" Nyonya Tua berbicara dengan pelan tetapi sangat tegas. Suaranya seperti belati yang menusuk langsung ke hati. "Tài Fū Rén, ini tidak seperti yang Anda lihat. Ini hanya kesalahpahaman saja." Selir Ying, wanita itu berdalih dengan gaya tak berdayanya, namun kegelisahan terpancar jelas di wajahnya. "Zǔmǔ! Lihatlah!" Jian Huanying yang sudah muak dengan drama para selir yang menjijikkan tidak ingin terlalu lama terlibat. Dia berdiri dan menyingsingkan lengan hanfu lusuhnya, memperlihatkan luka-luka yang mengerikan. Nyonya Tua terkejut melihat luka-luka di lengan pemuda itu. Tak cukup puas dengan aksinya, Jian Huanying tiba-tiba saja melepaskan jubahnya. Seketika pelayan wanita yang tadi membujuknya berteriak keras. "Nyonya Tua, ini ...!" Tunjuknya pada punggung Jian Huanying yang penuh luka yang belum sembuh sepenuhnya. Nyonya Tua menghela napas panjang seakan menahan beban yang begitu berat. Wajah tuanya menggelap, tetapi tatapannya penuh rasa iba saat menatap Jian Huanying. Matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang hampir saja jatuh. "Selir Ying, Yunhua mungkin sudah tiada, tetapi hingga hari ini kau belum menjadi Nyonya Utama menggantikan posisinya." Nyonya Tua menatap tajam pasangan ibu dan anak di hadapannya yang terus menundukkan kepala. Kata-katanya bagaikan palu godam yang menghantam kesadaran mereka. "Jaga sikap dan juga putramu. Jika terjadi sesuatu pada Murong Yi lagi, bahkan putraku tidak akan bisa melindungi kalian berdua." Nyonya Tua berbicara dengan tenang tetapi tegas, suaranya penuh wibawa dan tidak menyisakan ruang untuk bantahan. "Ingatlah akan pernikahan putrimu. Jika Pangeran Jing Yan mendengar hal ini, apakah dia masih menginginkan untuk melanjutkan rencana pernikahan yang memang sudah lama tidak dikehendakinya?" Nyonya Tua melanjutkan ucapannya dengan pelan tetapi penuh ketegasan tanpa keraguan, seperti hukuman yang tak terelakkan. noted : *Zǔmǔ : nenek dari pihak ayah *Dà Gōngzǐ : Tuan Muda Pertama *Tài Fū Rén : Nyonya Tua, ibu dari Tuan Besar.Suasana mereda setelah Nyonya Tua meminta semua orang untuk bubar dan kembali pada tugas mereka masing-masing. Jian Huanying dibawa kembali ke halaman tempatnya tinggal, yang terpencil di sudut kediaman yang cukup luas itu. Dua orang pelayan Nyonya Tua mengantarkannya, lalu berkeliling melihat kondisi halaman itu. Wajah mereka terlihat kecewa melihat kondisi tempat tinggal yang tidak sepantasnya untuk seorang tuan muda. "Dà Gōngzǐ, bagaimana selama ini Anda tinggal di halaman seperti ini?" Pelayan wanita bertanya dengan nada prihatin, suaranya bergetar halus menambah kesan kesedihan. Jian Huanying yang terduduk di teras hanya menggelengkan kepalanya. Ia menatap wanita itu dengan mata yang memelas. "Sungguh, saya pun tidak mengerti," gumamnya pelan, mengenang kehidupan Murong Yi yang penuh penderitaan. "Mereka mencuri barang-barangku. Bahkan mengambil seruling milik ibuku," keluhnya sambil menahan tangis. Sesaat ia teringat akan apa yang dialami Murong Yi sebelum pemuda malang
Beberapa hari setelah hidup lagi di tubuh Murong Yi, Jian Huanying mulai terbiasa dengan suasana di kediaman Murong. Bangunan megah dengan taman yang indah dan udara yang sejuk membuatnya sedikit lebih nyaman, meskipun kepribadian Murong Yi yang jauh berbeda dengan dirinya kerap membuatnya canggung. Namun, Jian Huanying tidak menganggapnya sebagai masalah besar. Akhir-akhir ini, di kediaman tampak lebih sibuk dari biasanya. Hiruk-pikuk pelayan yang berlalu-lalang, mengangkat berbagai barang, membuatnya sedikit penasaran. Namun, Jian Huanying memilih untuk tidak terlalu ambil pusing, merasa bahwa semua itu tak ada sangkut pautnya dengan dirinya. "Hei, Hantu!" Sebuah suara keras tiba-tiba memecah lamunannya. Seseorang memanggil dari belakang ketika dia sedang berjalan santai, menikmati suasana manor seperti biasa. Usai mengunjungi Nyonya Tua setiap pagi, Jian Huanying memiliki kebiasaan berkeliling manor, bertemu dengan para penghuni dan pelayan lainnya. Meskipun tidak semua orang
Jian Huanying terpaku dan bergeming dari tempatnya berdiri, seperti patung yang terukir dari kesedihan dan kehampaan. Rombongan itu terus berjalan hingga hampir melewatinya. Mereka melintasinya tanpa sedikit pun menyadari kehadirannya, seperti bayangan yang tak terlihat di bawah matahari. Kenangannya pun berputar kembali ke masa-masa akhir hidupnya, saat setiap detik dipenuhi dengan pengkhianatan dan derita. Di antara rombongan yang baru saja melewatinya, terdapat seseorang yang dikenalinya dengan jelas sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang menginginkan kematiannya. "Rupanya, dia Murong Wei. Seharusnya ayah dari Murong Yi," gumamnya pelan, teringat akan ucapan A Shu saat menceritakan tentang Murong Yi. Tatapan matanya masih terpaku pada rombongan yang kini memasuki aula utama, hatinya bergetar antara kebencian dan kepiluan. Perlahan dia mengikuti mereka dari kejauhan. Namun, baru beberapa langkah, dia melihat rombongan lain. Jian Huanying kembali terpaku dan berhenti
Seorang pria tampan mengenakan hanfu biru cerah yang mewah berjalan dengan anggun melewati orang-orang yang berlutut dengan langkah pelan, tetapi mantap berwibawa. Jian Huanying tersenyum masam, merasa miris melihat pemandangan itu. Hidup kembali sebagai Murong Yi yang berasal dari keluarga bangsawan biasa benar-benar sebuah kesialan baginya. Sebagai putra dari Ketua Klan Jian, dia tidak harus berlutut seperti ini jika ada anggota keluarga kerajaan. Mereka hanya perlu bersalam kowtow saling menghormati. "Sungguh sial nasibku," gumamnya dalam hati seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pemuda tampan yang mungkin lebih tua darinya tiga atau lima tahun itu memasuki aula. Lagi-lagi terdengar suara renyah penuh sanjungan menyambut kedatangannya. Jian Huanying berdiri tegak kembali bersama orang-orang di luar aula. Dengan hati-hati dia mendekati pintu aula dan mengintip ke dalam. "Ehm, para junior si pria kaku itu memang sungguh sesuai reputasi," gumamnya seraya tersenyum geli
Jian Huanying menangis keras, isak tangisnya mengguncang aula yang sunyi. Setiap isakan terdengar memilukan, tetapi di balik tangisnya, ada kilat kejenakaan yang tersembunyi dalam matanya. "Gōngzǐ, apakah benar kau Murong Dà Gōngzǐ?" suara lembut seorang murid Sekte Musik Abadi terdengar menenangkan, penuh perhatian. Jian Huanying menganggukkan kepalanya, mencoba berdiri tegak meski masih terisak. Pemuda itu tersenyum, menepuk bahunya dengan lembut. Kemudian dia ber-kowtow kepada Tuan Murong Wei dengan sikap penuh hormat. "Tuan Murong, jika Anda tidak keberatan, biarkan Murong Yi Gōngzǐ kembali ke Lanyin bersama kami. Di sana ada kerabat yang pasti bersedia merawatnya," katanya sopan, dengan pandangan tulus. Tuan Murong Wei dan Selir Ying saling berpandangan, ketidaksetujuan jelas terlihat di wajah mereka. "Tetapi ..." gumam Tuan Murong Wei, suaranya hampir tidak terdengar. Tangan-tangannya terkepal di atas lututnya, menahan perasaan yang bergejolak. "Tuan Murong Wei, ini t
Jian Huanying berlutut di atas lantai dingin rumah doa, tubuhnya terbungkus jubah tipis berwarna hitam yang tak mampu menghalau hawa dingin malam. Matanya terpejam, bibirnya bergerak pelan, melantunkan doa untuk mendiang Baili Yunhua. Sejak sore tadi, Jian Huanying tak beranjak dari tempatnya. Di sampingnya, A Shu, pelayan setia Nyonya Tua, berdiri tegak, tangannya menggenggam sebuah seruling giok berwarna putih kebiruan. "Jiejie, apakah ini seruling milik ibuku?" tanya Jian Huanying, suaranya serak menahan tangis. A Shu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Tetapi, hiasan gioknya telah hilang, Tuan Muda," lapornya, suaranya bergetar menahan kesedihan. Jian Huanying menerima seruling itu dengan hati yang berat. Jari-jarinya menyentuh permukaan dingin seruling, membayangkan sentuhan lembut Yunhua saat memainkan melodi indah. Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya, seperti cahaya rembulan yang memantul di permukaan Sungai Ungu Gelap, Kota Lanyin. Kelopak bunga wisteria ter
Kota Linghun terhampar di kaki Pegunungan LingXiao, puncak tertinggi di Kekaisaran Bixiao. Udaranya dipenuhi dengan energi spiritual yang mengalir deras dan pekat. Di sinilah Sekte Aliran Roh Suci mendirikan pusat kehidupan mereka, sebuah tempat suci yang dipenuhi aura mistis. Dari Kota Shanyue di lereng yang lebih rendah, perjalanan menuju Linghun adalah pengalaman yang bercampur antara pesona dan tantangan. Melintasi desa-desa kecil dengan rumah-rumah beratap jerami, padang rumput yang menyegarkan, hingga perbukitan yang menjulang curam, semuanya membawa nuansa nostalgia masa lalu bagi Jian Huanying. Ini adalah pertama kalinya dia kembali menghirup aroma dunia setelah kematiannya lima belas tahun silam. "Murong Gōngzǐ, apakah perjalanan ini melelahkanmu?" tanya Hòu Jūn, suaranya lembut seperti desiran angin sepoi-sepoi. Mereka melewati lereng bukit yang menanjak. Mereka telah meninggalkan Shanyue jauh di belakang, melewati beberapa desa kecil yang sunyi. Kini, hanya hamparan b
Jian Huanying menoleh, matanya menangkap sekelompok murid Akademi Bixiao yang mudah dikenali dari pakaian khas mereka. Hanfu biru langit dengan ikat pinggang biru tua dan pita dahi yang senada. Warna biru itu tampak memukau di bawah cahaya pagi, tetapi sikap mereka yang merendahkan membuat kesan itu pudar. Pandangan menghina dan senyum sinis tersungging di wajah mereka, seolah kehadiran Jian Huanying adalah suatu cela yang tidak seharusnya ada di tempat itu. Dia mendesah dalam hati, merasa kesal. "Aiyo, aku bahkan tidak ingat siapa mereka," gumamnya dalam batin, keningnya berkerut saat mencoba menggali memori masa lalu pemilik tubuhnya. Namun, semua itu seperti kabut yang tidak bisa ditembus. Dengan sikap acuh tak acuh, Jian Huanying bertanya, "Kenapa?" Nada suaranya dingin, nyaris tak berintonasi. Jian Huanying tidak punya waktu atau kesabaran untuk berurusan dengan para junior yang, menurutnya, lebih mirip kumpulan burung pipit cerewet. Bagi Jian Huanying, ini hanyalah buang-bua
Beberapa hari terakhir, Jian Huanying berkeliaran di Kota Linghun tanpa arah yang jelas. Jalan-jalan kota itu, yang dihiasi ukiran lentera dan dipenuhi kabut spiritual tipis, memberi kesan tenang namun sarat kekuatan. Festival Cahaya Roh, perayaan roh paling megah di kekaisaran, baru akan dimulai beberapa hari lagi. Namun, sebelum itu, rangkaian acara seperti Perburuan Roh menjadi sorotan utama, melibatkan berbagai sekte dan klan terkemuka dari seluruh Kekaisaran Bixiao. Di masa hidupnya dulu, Jian Huanying adalah sosok yang mendominasi ajang ini. Ia mengenang persaingan ketatnya dengan Yue Tiānyin, Ling Qingyun, kakak beradik Yao Ming dan Yao Yu dan Qing Yǔjiā. Posisi pertama hampir selalu diperebutkan mereka berlima, kecuali para senior seperti Jian Wei, Yue Linyin, Mo Chen, atau Ling Zhi turut berpartisipasi, membuat kompetisi semakin sengit. "Betapa membosankan," keluh Jian Huanying, mengetukkan jari-jarinya di meja kayu kasar. Di sebuah kedai teh sederhana di pinggir jalan, i
Jian Huanying menoleh, matanya menangkap sekelompok murid Akademi Bixiao yang mudah dikenali dari pakaian khas mereka. Hanfu biru langit dengan ikat pinggang biru tua dan pita dahi yang senada. Warna biru itu tampak memukau di bawah cahaya pagi, tetapi sikap mereka yang merendahkan membuat kesan itu pudar. Pandangan menghina dan senyum sinis tersungging di wajah mereka, seolah kehadiran Jian Huanying adalah suatu cela yang tidak seharusnya ada di tempat itu. Dia mendesah dalam hati, merasa kesal. "Aiyo, aku bahkan tidak ingat siapa mereka," gumamnya dalam batin, keningnya berkerut saat mencoba menggali memori masa lalu pemilik tubuhnya. Namun, semua itu seperti kabut yang tidak bisa ditembus. Dengan sikap acuh tak acuh, Jian Huanying bertanya, "Kenapa?" Nada suaranya dingin, nyaris tak berintonasi. Jian Huanying tidak punya waktu atau kesabaran untuk berurusan dengan para junior yang, menurutnya, lebih mirip kumpulan burung pipit cerewet. Bagi Jian Huanying, ini hanyalah buang-bua
Kota Linghun terhampar di kaki Pegunungan LingXiao, puncak tertinggi di Kekaisaran Bixiao. Udaranya dipenuhi dengan energi spiritual yang mengalir deras dan pekat. Di sinilah Sekte Aliran Roh Suci mendirikan pusat kehidupan mereka, sebuah tempat suci yang dipenuhi aura mistis. Dari Kota Shanyue di lereng yang lebih rendah, perjalanan menuju Linghun adalah pengalaman yang bercampur antara pesona dan tantangan. Melintasi desa-desa kecil dengan rumah-rumah beratap jerami, padang rumput yang menyegarkan, hingga perbukitan yang menjulang curam, semuanya membawa nuansa nostalgia masa lalu bagi Jian Huanying. Ini adalah pertama kalinya dia kembali menghirup aroma dunia setelah kematiannya lima belas tahun silam. "Murong Gōngzǐ, apakah perjalanan ini melelahkanmu?" tanya Hòu Jūn, suaranya lembut seperti desiran angin sepoi-sepoi. Mereka melewati lereng bukit yang menanjak. Mereka telah meninggalkan Shanyue jauh di belakang, melewati beberapa desa kecil yang sunyi. Kini, hanya hamparan b
Jian Huanying berlutut di atas lantai dingin rumah doa, tubuhnya terbungkus jubah tipis berwarna hitam yang tak mampu menghalau hawa dingin malam. Matanya terpejam, bibirnya bergerak pelan, melantunkan doa untuk mendiang Baili Yunhua. Sejak sore tadi, Jian Huanying tak beranjak dari tempatnya. Di sampingnya, A Shu, pelayan setia Nyonya Tua, berdiri tegak, tangannya menggenggam sebuah seruling giok berwarna putih kebiruan. "Jiejie, apakah ini seruling milik ibuku?" tanya Jian Huanying, suaranya serak menahan tangis. A Shu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Tetapi, hiasan gioknya telah hilang, Tuan Muda," lapornya, suaranya bergetar menahan kesedihan. Jian Huanying menerima seruling itu dengan hati yang berat. Jari-jarinya menyentuh permukaan dingin seruling, membayangkan sentuhan lembut Yunhua saat memainkan melodi indah. Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya, seperti cahaya rembulan yang memantul di permukaan Sungai Ungu Gelap, Kota Lanyin. Kelopak bunga wisteria ter
Jian Huanying menangis keras, isak tangisnya mengguncang aula yang sunyi. Setiap isakan terdengar memilukan, tetapi di balik tangisnya, ada kilat kejenakaan yang tersembunyi dalam matanya. "Gōngzǐ, apakah benar kau Murong Dà Gōngzǐ?" suara lembut seorang murid Sekte Musik Abadi terdengar menenangkan, penuh perhatian. Jian Huanying menganggukkan kepalanya, mencoba berdiri tegak meski masih terisak. Pemuda itu tersenyum, menepuk bahunya dengan lembut. Kemudian dia ber-kowtow kepada Tuan Murong Wei dengan sikap penuh hormat. "Tuan Murong, jika Anda tidak keberatan, biarkan Murong Yi Gōngzǐ kembali ke Lanyin bersama kami. Di sana ada kerabat yang pasti bersedia merawatnya," katanya sopan, dengan pandangan tulus. Tuan Murong Wei dan Selir Ying saling berpandangan, ketidaksetujuan jelas terlihat di wajah mereka. "Tetapi ..." gumam Tuan Murong Wei, suaranya hampir tidak terdengar. Tangan-tangannya terkepal di atas lututnya, menahan perasaan yang bergejolak. "Tuan Murong Wei, ini t
Seorang pria tampan mengenakan hanfu biru cerah yang mewah berjalan dengan anggun melewati orang-orang yang berlutut dengan langkah pelan, tetapi mantap berwibawa. Jian Huanying tersenyum masam, merasa miris melihat pemandangan itu. Hidup kembali sebagai Murong Yi yang berasal dari keluarga bangsawan biasa benar-benar sebuah kesialan baginya. Sebagai putra dari Ketua Klan Jian, dia tidak harus berlutut seperti ini jika ada anggota keluarga kerajaan. Mereka hanya perlu bersalam kowtow saling menghormati. "Sungguh sial nasibku," gumamnya dalam hati seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pemuda tampan yang mungkin lebih tua darinya tiga atau lima tahun itu memasuki aula. Lagi-lagi terdengar suara renyah penuh sanjungan menyambut kedatangannya. Jian Huanying berdiri tegak kembali bersama orang-orang di luar aula. Dengan hati-hati dia mendekati pintu aula dan mengintip ke dalam. "Ehm, para junior si pria kaku itu memang sungguh sesuai reputasi," gumamnya seraya tersenyum geli
Jian Huanying terpaku dan bergeming dari tempatnya berdiri, seperti patung yang terukir dari kesedihan dan kehampaan. Rombongan itu terus berjalan hingga hampir melewatinya. Mereka melintasinya tanpa sedikit pun menyadari kehadirannya, seperti bayangan yang tak terlihat di bawah matahari. Kenangannya pun berputar kembali ke masa-masa akhir hidupnya, saat setiap detik dipenuhi dengan pengkhianatan dan derita. Di antara rombongan yang baru saja melewatinya, terdapat seseorang yang dikenalinya dengan jelas sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang menginginkan kematiannya. "Rupanya, dia Murong Wei. Seharusnya ayah dari Murong Yi," gumamnya pelan, teringat akan ucapan A Shu saat menceritakan tentang Murong Yi. Tatapan matanya masih terpaku pada rombongan yang kini memasuki aula utama, hatinya bergetar antara kebencian dan kepiluan. Perlahan dia mengikuti mereka dari kejauhan. Namun, baru beberapa langkah, dia melihat rombongan lain. Jian Huanying kembali terpaku dan berhenti
Beberapa hari setelah hidup lagi di tubuh Murong Yi, Jian Huanying mulai terbiasa dengan suasana di kediaman Murong. Bangunan megah dengan taman yang indah dan udara yang sejuk membuatnya sedikit lebih nyaman, meskipun kepribadian Murong Yi yang jauh berbeda dengan dirinya kerap membuatnya canggung. Namun, Jian Huanying tidak menganggapnya sebagai masalah besar. Akhir-akhir ini, di kediaman tampak lebih sibuk dari biasanya. Hiruk-pikuk pelayan yang berlalu-lalang, mengangkat berbagai barang, membuatnya sedikit penasaran. Namun, Jian Huanying memilih untuk tidak terlalu ambil pusing, merasa bahwa semua itu tak ada sangkut pautnya dengan dirinya. "Hei, Hantu!" Sebuah suara keras tiba-tiba memecah lamunannya. Seseorang memanggil dari belakang ketika dia sedang berjalan santai, menikmati suasana manor seperti biasa. Usai mengunjungi Nyonya Tua setiap pagi, Jian Huanying memiliki kebiasaan berkeliling manor, bertemu dengan para penghuni dan pelayan lainnya. Meskipun tidak semua orang
Suasana mereda setelah Nyonya Tua meminta semua orang untuk bubar dan kembali pada tugas mereka masing-masing. Jian Huanying dibawa kembali ke halaman tempatnya tinggal, yang terpencil di sudut kediaman yang cukup luas itu. Dua orang pelayan Nyonya Tua mengantarkannya, lalu berkeliling melihat kondisi halaman itu. Wajah mereka terlihat kecewa melihat kondisi tempat tinggal yang tidak sepantasnya untuk seorang tuan muda. "Dà Gōngzǐ, bagaimana selama ini Anda tinggal di halaman seperti ini?" Pelayan wanita bertanya dengan nada prihatin, suaranya bergetar halus menambah kesan kesedihan. Jian Huanying yang terduduk di teras hanya menggelengkan kepalanya. Ia menatap wanita itu dengan mata yang memelas. "Sungguh, saya pun tidak mengerti," gumamnya pelan, mengenang kehidupan Murong Yi yang penuh penderitaan. "Mereka mencuri barang-barangku. Bahkan mengambil seruling milik ibuku," keluhnya sambil menahan tangis. Sesaat ia teringat akan apa yang dialami Murong Yi sebelum pemuda malang