Setelah percakapan tentang dukungan finansial selesai, Christopher menatap Pierre dengan tatapan serius, menambahkan satu tuntutan terakhir. Suasana di ruangan itu kembali menjadi tegang, dengan fokus seluruhnya pada permintaan Christopher. Christopher mengatur posisinya, menatap Pierre dengan tegas. "Ada satu hal lagi yang harus kita bicarakan, Pierre. Ini adalah syarat terakhir agar hubungan politik kita bisa berjalan lancar." Pierre mengerutkan kening, penasaran. "Apa yang Anda maksud, Christopher?" Christopher menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya tidak berpaling. "Saya ingin agar Anda mencarikan seorang gadis bernama Selena untuk saya. Saya tidak peduli bagaimana caranya, tapi saya ingin dia ditemukan dan dibawa kepada saya." Pierre terkejut, tetapi cepat menata ekspresinya. "Selena? Apakah ada alasan khusus mengapa Anda membutuhkan gadis ini?" Christopher menatap Pierre dengan tajam. "Itu adalah urusan pribadi saya. Saya tidak perlu menjelaskan lebih lanjut. Yang
Malam itu, suasana kota berubah menjadi medan pertempuran yang mencekam. Di bawah langit malam yang gelap, hanya ditemani cahaya rembulan yang samar-samar, Christopher dan anak buahnya bergerak dengan kehati-hatian dan kecerdikan. Mereka mengandalkan peralatan canggih dan strategi yang matang untuk menyerang Kartel Sisilia. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, keunggulan teknologi dan persiapan membuat mereka memiliki keunggulan taktis. Christopher memimpin dari garis depan, matanya menatap lurus ke depan, penuh dengan tekad. Kaki palsunya mungkin memberikan sedikit hambatan, tetapi semangatnya tidak terbendung. Dengan earbud di telinganya, ia terus berkomunikasi dengan timnya, memastikan setiap langkah berjalan sesuai rencana. "Drones, aktifkan," perintah Christopher dengan suara rendah namun tegas. Seketika, drone-drone kecil terbang di atas area target, memberikan gambar real-time dan memantau setiap pergerakan musuh. Melalui layar monitor yang dibawa oleh tim teknis, Christop
Selena berhasil menarik tubuh Christopher ke dalam rumah dan meletakkannya di sofa tua di ruang tamu. Dengan tangan yang gemetar, dia berusaha menenangkan dirinya sambil memeriksa luka-luka Christopher. Suasana di dalam rumah sangat mencekam, dan rasa takut yang menggerogoti hatinya membuat tangannya tidak stabil. Selena melihat wajah Christopher tertutup oleh topeng yang kotor dan darah. Dengan hati-hati, dia mulai membuka topeng tersebut, berusaha sekuat tenaga untuk membantu tanpa menyentuh luka yang mengerikan. “Aku harus membantu, aku harus membantu...” bisiknya pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan rasa gugup yang mendalam. Ketika topeng akhirnya terbuka, Selena tertegun dan matanya membelalak melihat sosok di balik topeng. “Tuan Christopher?” suaranya keluar sebagai bisikan penuh keterkejutan dan haru. “Ini... ini benar-benar Anda!” Dia berlutut di samping sofa, air mata mulai mengalir di pipinya saat dia melihat betapa mengerikannya kondisi Christopher. “Tuhan, in
Ketika Selena tengah duduk dengan gelisah di atap rumah, suara keras pintu terbuka mengejutkannya. Dia menoleh cepat dan melihat Frederic bersama seorang pria yang tampaknya anak buahnya. Hati Selena berdebar kencang. Jika mereka menemukan Christopher, semua usahanya akan sia-sia. Frederic melihat ke arah Selena dengan ekspresi penasaran. “Kamu di sini?” tanyanya dengan nada curiga. “Apa yang kamu lakukan di lantai atas? Aku sudah bilang kalau kamu sebaiknya tidak naik turun tangga.” Selena berusaha menenangkan diri dan tersenyum lembut. “Oh, Frederic,” jawabnya dengan suara tenang. “Saya hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja di sini. Tadi terdengar suara dari tangga, jadi saya pikir lebih baik saya periksa.” Frederic melirik sekitar dengan ragu-ragu, lalu menatap Selena dengan serius. “Kamu hamil, jadi sebaiknya jangan terlalu sering naik turun tangga. Itu tidak baik untuk kondisi kamu. Jangan terlalu memaksakan diri.” Selena berusaha menunjukkan sikap tenang dan mey
"Selena," kata Frederic dengan suara datar namun penuh tekanan, "Apakah kau melihat seseorang yang mencurigakan sebelum kau pulang tadi malam?" Selena menatapnya dengan tatapan tenang, seolah-olah pertanyaan itu hanyalah angin lalu. "Aku tidak melihat apa-apa, Frederic. Hanya siaran televisi yang membosankan." Frederic tidak menyerah. Dia mendekatkan wajahnya, menatap dalam-dalam ke mata Selena. "Hanya siaran televisi? Kau yakin tidak ada sesuatu yang menarik perhatianmu, bahkan sedikit saja?" Selena mengangkat alisnya, tetap tenang. "Ya, hanya televisi. Apa kau berharap aku melihat sesuatu yang lain?" Frederic mencondongkan tubuhnya ke depan, nadanya semakin mendesak. "Aku berharap kau tidak menyembunyikan sesuatu, Selena. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan di sini. Jika ada sesuatu yang kau lihat, sekecil apa pun, aku butuh kau memberitahuku sekarang." Selena tersenyum tipis, hampir seperti mengejek. "Frederic, aku mengerti kau khawatir. Tapi sungguh, aku tidak melihat apa-a
Setelah rasa sakit akibat luka di pundaknya mulai sedikit mereda, Christopher dengan susah payah mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Jemarinya gemetar saat dia menekan nomor yang hanya dia gunakan dalam keadaan darurat. Suara berdering beberapa kali sebelum terdengar suara dari seberang. “Christopher di sini,” suaranya terdengar parau. "Posisi saya terungkap. Aktifkan pasukan cadangan sekarang. Lokasi: sudut kota, dekat jalan Mason, rumah tanpa tetangga.” Di seberang sana, suara yang tegas segera menjawab. “Siap, Tuan. Pasukan akan segera dikerahkan. Siapkan diri Anda.” Christopher mematikan panggilan dan menoleh pada Selena, yang masih terisak di sampingnya. Dengan suara yang lebih keras daripada sebelumnya, dia berkata, “Kita harus pergi sekarang. Pasukan akan tiba dalam beberapa menit. Kau ikut denganku.” Selena, yang masih diliputi rasa bersalah dan kebingungan, menatap Christopher dengan tatapan penuh ketakutan. "Bagaimana dengan Maya? Dia ibuku, Christopher…" Chris
Christopher duduk di ruang kerjanya yang megah, memandangi tumpukan dokumen yang harusnya ia periksa. Namun, pikirannya melayang jauh, kembali ke sosok Selena yang kini menjadi pusat kegelisahannya. Sudah beberapa minggu berlalu sejak mereka tiba di Roma, dan Selena tidak menunjukkan tanda-tanda mau bekerjasama. Dia hanya duduk di kamarnya, menangis tanpa henti, menolak makan, dan terus mengabaikan semua upaya Christopher untuk berbicara dengannya.Christopher merasa frustasi, tidak pernah sebelumnya ia menghadapi situasi seperti ini. Selena, wanita yang dulu pernah ia cintai; meskipun ingatannya tentang itu sekarang sangat kabur, kini terlihat seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Tubuhnya yang dulu penuh vitalitas, kini tampak kurus kering. Wajahnya yang cantik kini pucat dan lemah, sementara perutnya terlihat semakin membesar seiring waktu berjalan. Dia tahu bahwa sesuatu harus dilakukan. Setiap kali makanan diantarkan ke kamarnya, Selena hanya menatapnya kosong, dan tidak meny
Selena duduk di meja makan yang besar dan mewah, menatap piring yang berisi makanan di depannya. Meskipun perutnya keroncongan karena sudah lama tidak makan, setiap suapan terasa seperti beban yang berat. Tangan-tangannya gemetar saat mencoba membawa garpu ke mulutnya, dan setiap gigitan terasa seolah-olah ingin dimuntahkan kembali. Namun, dia tahu dia tidak punya pilihan lain. Bayi dalam kandungannya membutuhkan nutrisi, dan dia harus bertahan demi kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya. Christopher berdiri beberapa meter dari meja, bersandar pada dinding dengan tangan terlipat di depan dadanya. Matanya yang tajam mengamati setiap gerakan Selena, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Tatapannya dingin dan penuh dengan penghinaan, seolah-olah dia sedang menikmati pemandangan penderitaan Selena. Christopher merasa puas melihat bagaimana Selena terpaksa tunduk pada keinginannya, bahkan jika itu hanya untuk memaksa wanita itu makan. Selena bisa merasakan tatapan dingin itu menusuk pun