Setelah menyelesaikan urusan di luar, Frederic masuk ke dalam rumah dan mendapati Selena sedang sibuk di dapur. Ia menghentikan langkahnya sejenak, menikmati pemandangan kekasihnya yang tengah menguleni adonan dengan penuh perhatian. Dengan senyum lembut, ia berjalan mendekat, melewati meja kayu yang dipenuhi bahan-bahan masakan.“Selena, kamu terlihat sangat cantik saat memasak,” ujar Frederic dengan nada hangat, matanya berbinar-binar menatap Selena.Selena, dengan rambut yang diikat rapi, menoleh dan tersenyum tipis. Ia tak segera menjawab, hanya mengangguk sambil melanjutkan pekerjaannya. Tangannya yang lentik dengan cekatan merapikan adonan pasta di meja.Frederic mendekat, meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Selena. “Aku tak sabar untuk mencicipi pasta buatanmu. Rasanya pasti luar biasa, seperti biasanya.”Selena tersenyum malu-malu, sedikit menunduk. “Semoga kau suka, Frederic karena aku tidak terlalu pandai." jawabnya singkat, suaranya pelan namun terdengar penuh rasa s
Di dalam ruang latihan yang terletak di sebuah gedung tersembunyi, Christopher berdiri dengan kaki palsu barunya. Ruangan itu dipenuhi peralatan modern, mencerminkan statusnya sebagai pemimpin kartel yang berpengaruh. Meski wajahnya tampak tenang, matanya menunjukkan tekad yang kuat. Di seberangnya, seorang pelatih fisik berdiri siap membantu. "Bagaimana perasaanmu hari ini, bos?" tanya pelatih itu, menatap Christopher dengan pandangan hormat. Christopher menarik napas dalam, merasakan berat kaki palsunya. "Tidak buruk," jawabnya singkat. "Tapi aku perlu lebih banyak latihan. Aku harus berjalan tanpa terlihat goyah." Pelatih itu mengangguk. "Kita akan sampai di sana. Ini hanya soal waktu dan latihan." Christopher mengangguk, lalu mulai berjalan di sepanjang ruangan dengan hati-hati. Setiap langkah terasa seperti tantangan baru, namun ia tidak membiarkan keraguannya terlihat. Sebagai ketua kartel, menunjukkan kelemahan adalah hal yang tidak bisa diterima. Di luar ruangan, dua angg
Di dalam gudang Morfin, suasana terasa kaku dan tegang. Lampu redup menggantung dari langit-langit, menciptakan bayangan panjang di dinding-dinding yang kotor dan berdebu. Jarlath berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh beberapa anak buahnya yang juga tampak cemas. Di hadapannya, seorang pria paruh baya dengan penampilan lusuh, salah satu sumber informasi yang dicarinya, berdiri dengan gelisah. Jarlath menatap tajam pria itu. "Jadi, kau yakin Harvey terlibat?" suaranya berat dan penuh tekanan. Pria itu mengangguk cepat, keringat membasahi dahinya. "Aku... aku hanya mengatakan apa yang aku tahu, Jarlath. Semua petunjuk menunjukkan Harvey bekerja sama dengan Helena." Jarlath mengerutkan kening, matanya menatap dalam-dalam. "Harvey adalah penasihat pribadi Christopher. Dia telah bersama kami dalam banyak situasi sulit. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat?" Pria itu menggelengkan kepala, terlihat semakin cemas. "Aku hanya mendengar rumor, tapi banyak yang mengatakan dia bersekongkol d
Di dalam ruangan yang suram dan redup, ketegangan semakin memuncak saat Jarlath menekan Helena dan Harvey. Helena duduk dengan sikap angkuh, sementara Harvey tampak cemas, tangan bergetar di meja. Jarlath berdiri di depan mereka, mata penuh tekad, sementara Viktor dan Mira berdiri di belakangnya, siap untuk bertindak jika diperlukan. Jarlath memandang Helena dengan tajam. "Helena, kami memiliki bukti yang cukup untuk menyimpulkan keterlibatanmu dalam konspirasi ini. Apa yang bisa kamu katakan untuk membantahnya?" Helena tersenyum licik, matanya bersinar dengan kepintaran yang gelap. "Bukti? Oh, Jarlath, bukti yang kamu miliki hanyalah setengah dari cerita. Kamu tahu, dalam bisnis ini, sangat mudah untuk memanipulasi fakta." Jarlath tidak terpengaruh, tetap berdiri tegak. "Jangan coba bermain-main dengan kami. Kami tahu tentang transaksi dan pertemuan rahasia. Apa sebenarnya rencanamu?" Helena tertawa kecil, seolah tidak merasa tertekan. "Rencana? Sebenarnya, rencana-rencana it
Setelah percakapan tentang dukungan finansial selesai, Christopher menatap Pierre dengan tatapan serius, menambahkan satu tuntutan terakhir. Suasana di ruangan itu kembali menjadi tegang, dengan fokus seluruhnya pada permintaan Christopher. Christopher mengatur posisinya, menatap Pierre dengan tegas. "Ada satu hal lagi yang harus kita bicarakan, Pierre. Ini adalah syarat terakhir agar hubungan politik kita bisa berjalan lancar." Pierre mengerutkan kening, penasaran. "Apa yang Anda maksud, Christopher?" Christopher menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya tidak berpaling. "Saya ingin agar Anda mencarikan seorang gadis bernama Selena untuk saya. Saya tidak peduli bagaimana caranya, tapi saya ingin dia ditemukan dan dibawa kepada saya." Pierre terkejut, tetapi cepat menata ekspresinya. "Selena? Apakah ada alasan khusus mengapa Anda membutuhkan gadis ini?" Christopher menatap Pierre dengan tajam. "Itu adalah urusan pribadi saya. Saya tidak perlu menjelaskan lebih lanjut. Yang
Malam itu, suasana kota berubah menjadi medan pertempuran yang mencekam. Di bawah langit malam yang gelap, hanya ditemani cahaya rembulan yang samar-samar, Christopher dan anak buahnya bergerak dengan kehati-hatian dan kecerdikan. Mereka mengandalkan peralatan canggih dan strategi yang matang untuk menyerang Kartel Sisilia. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, keunggulan teknologi dan persiapan membuat mereka memiliki keunggulan taktis. Christopher memimpin dari garis depan, matanya menatap lurus ke depan, penuh dengan tekad. Kaki palsunya mungkin memberikan sedikit hambatan, tetapi semangatnya tidak terbendung. Dengan earbud di telinganya, ia terus berkomunikasi dengan timnya, memastikan setiap langkah berjalan sesuai rencana. "Drones, aktifkan," perintah Christopher dengan suara rendah namun tegas. Seketika, drone-drone kecil terbang di atas area target, memberikan gambar real-time dan memantau setiap pergerakan musuh. Melalui layar monitor yang dibawa oleh tim teknis, Christop
Selena berhasil menarik tubuh Christopher ke dalam rumah dan meletakkannya di sofa tua di ruang tamu. Dengan tangan yang gemetar, dia berusaha menenangkan dirinya sambil memeriksa luka-luka Christopher. Suasana di dalam rumah sangat mencekam, dan rasa takut yang menggerogoti hatinya membuat tangannya tidak stabil. Selena melihat wajah Christopher tertutup oleh topeng yang kotor dan darah. Dengan hati-hati, dia mulai membuka topeng tersebut, berusaha sekuat tenaga untuk membantu tanpa menyentuh luka yang mengerikan. “Aku harus membantu, aku harus membantu...” bisiknya pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan rasa gugup yang mendalam. Ketika topeng akhirnya terbuka, Selena tertegun dan matanya membelalak melihat sosok di balik topeng. “Tuan Christopher?” suaranya keluar sebagai bisikan penuh keterkejutan dan haru. “Ini... ini benar-benar Anda!” Dia berlutut di samping sofa, air mata mulai mengalir di pipinya saat dia melihat betapa mengerikannya kondisi Christopher. “Tuhan, in
Ketika Selena tengah duduk dengan gelisah di atap rumah, suara keras pintu terbuka mengejutkannya. Dia menoleh cepat dan melihat Frederic bersama seorang pria yang tampaknya anak buahnya. Hati Selena berdebar kencang. Jika mereka menemukan Christopher, semua usahanya akan sia-sia. Frederic melihat ke arah Selena dengan ekspresi penasaran. “Kamu di sini?” tanyanya dengan nada curiga. “Apa yang kamu lakukan di lantai atas? Aku sudah bilang kalau kamu sebaiknya tidak naik turun tangga.” Selena berusaha menenangkan diri dan tersenyum lembut. “Oh, Frederic,” jawabnya dengan suara tenang. “Saya hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja di sini. Tadi terdengar suara dari tangga, jadi saya pikir lebih baik saya periksa.” Frederic melirik sekitar dengan ragu-ragu, lalu menatap Selena dengan serius. “Kamu hamil, jadi sebaiknya jangan terlalu sering naik turun tangga. Itu tidak baik untuk kondisi kamu. Jangan terlalu memaksakan diri.” Selena berusaha menunjukkan sikap tenang dan mey