Pagi ini Nina sangat bersemangat, karena hari ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan suaminya sendiri sebagai seorang asisten pribadi. Saat ini dia dan suaminya sedang berpakaian. Pasangan suami istri itu mengenakan setelan hitam putih ala-ala pencari info loker. Bedanya setelan yang mereka pakai ini lumayan mahal, bukan baju hasil nego di Tanah Abang.Bryan memandangi istrinya yang sudah selesai berpakaian dengan rapi. Nina terlihat gugup. Bisa dipastikan dari hembusan napasnya yang berulang kali ia lakukan dalam tempo yang cepat.“Kamu kenapa, sayang? Kok kelihatan nervous banget?”Nina kembali menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Bryan. “Huhh, aku gugup, Mas. Aku takut melakukan kesalahan di hari pertamaku bekerja.”“Jangan gugup dong, sayang. Kamu kan bekerja di perusahaanku. Artinya kamu bekerja untuk aku. Kalau kamu melakukan kesalahan, ya gapapa dong.”Nina tersenyum tipis mendengar kalimat
Akhirnya setelah melalui perdebatan kecil, akhirnya Nina luluh juga dan bersedia berangkat bersama Bryan di mobil yang sama. Namun sepanjang perjalanan, Nina mendiami suaminya hingga mereka sampai di kantor.Setelah mereka tiba di lantai paling atas dari gedung tersebut. Barulah Nina membuka suara. “Di mana ruanganku, Mas?” tanyanya ketus.“Kita seruangan,” jawab Bryan santai seraya melanjutkan langkahnya.“Ihh, kok gitu? Aku kira aku punya ruangan sendiri.”“Kamu kan asisten pribadi aku. Jadi harus seruangan sama aku dong, sayang.” Bryan membuka pintu ruangan kerjanya dan mempersilakan Nina untuk masuk terlebih dahulu. Tetapi istrinya itu tetap diam mematung. Membuat Bryan menghela napas pasrah.“Kamu masih ngambek?”“Gak,” jawab Nina dengan wajah yang ditekuk.Bryan hanya bergeleng kepala. Dia pun memilih masuk tanpa peduli dengan Nina yang masih berdiri di depan pintu.“Berhubung kita berada di kantor dan sudah masuk jam ker
Melihat suaminya panik, membuat dirinya juga ikut gelisah. “Jadi bagaimana ini, Mas? Di luar terpasang CCTV gak? Kalau ada, bisa kita lihat melalui rekaman CCTV, Mas.”“Oh iya ya. Aku gak kepikiran soal CCTV. Untungnya di depan ruanganku ada CCTV-nya. Ayo kita ke ruang monitor buat ngecek rekamannya.”Sesampainya mereka di ruangan monitor CCTV untuk mengecek siapa yang mengintip mereka, namun usaha mereka sia-sia.“Jadi bagaimana, Pak? Masa gak bisa di cek sih?” tanya ulang Bryan.“Maaf, Pak Bryan. CCTV di depan ruangan Bapak itu sudah lama tidak berfungsi, Pak,” ucap si pengawas CCTV.“Kalau CCTV itu tidak berfungsi kenapa tidak diganti dengan yang baru?” tanya Nina.Si pengawas itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. “Kurang tau, Bu. Itu bukan ranah saya.” Si pengawas kembali melihat Bryan. “Sekali lagi maaf, Pak Bryan.”“Iya, tidak apa-apa. I
“Ah, bekas ini….” Bryan tampak berpikir keras. “Aku pun tidak tau ini kenapa. Munculnya tiba-tiba. Mungkin memar biasa akibat aliran tidak lancar. Kamu pun pasti sering mendapatkan memar seperti ini, ya kan?”“Iya sih, Mas. Aku juga sering sih memar di lutut atau di paha tiba-tiba. Kata orang kampung sih, itu dicubit setan.”Bryan terlihat lega saat Nina tidak lagi mencurigainya. “Nah itu kamu tau. Sudah ya, jangan berpikir yang macam-macam lagi. Aku sudah lelah dan mau tidur sekarang.”Sebenarnya Nina masih ingin berbincang lebih lama dengan Bryan, namun dia paham pasti suaminya itu sangat lelah. Nina pun mengiyakan keinginan suaminya untuk tidur sekarang.“Ya sudah, Mas. Kamu istirahat saja sekarang. Selamat tidur ya, Mas.”Bryan langsung merebahkan diri di tempat tidur ketika dirinya telah berganti pakaian. “Kamu tidak tidur lagi?”“Aku udah gak ngantuk,
“Maksud kamu apa, Mas? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sama sekali tidak paham.”“Berhenti mencintai aku, Nin. Cintai saja diri kamu sendiri.”Begitulah kalimat Bryan yang membuat Nina semakin kebingungan.“Aku mandi dulu.”“Ini masih awal, Mas. Kita bicara dulu yuk. Aku butuh penjelasan ka—"Bryan langsung beranjak ke kamar mandi tanpa menghiraukan Nina yang masih bertanya-tanya.Lagi-lagi Nina dibuat menghela napas kala suaminya sudah menghilang di balik pintu kamar mandi. “Ya sudahlah. Lebih baik aku packing baju-bajunya dulu,” ucapnya sembari mengambil sebuah koper.*“Mas, kita sarapan bareng anak-anak yuk. Mereka udah nungguin kita di bawah,” ajak Nina ketika Bryan sudah selesai bersiap-siap.Bryan memasang senyum tipis kemudian bergeleng pelan. “Kamu saja yang sarapan bareng anak-anak. Aku harus ke bandara sekarang. Aku takut telat.&rdq
Langkah Nina sedikit terganggu karena banyak orang yang juga berlalu-lalang berjalan melintasinya. Jarak mereka kian jauh. Nina semakin kehilangan jejak suaminya. Bahkan saking ramainya, Nina tak sengaja menabrak seseorang.“Maaf, Pak,” ucap Nina menyadari kesalahannya.“Kalau jalan lihat-lihat dong, Mbak!”“Iya-iya. Sekali lagi maaf, Pak.”Nina kembali melihat ke depan. Namun dia sudah tidak melihat suaminya lagi. Bahkan bayangannya saja sudah tidak ada. Nina kini pasrah. Pikirannya yang kacau, bercampur aduk.Nina masih syok dengan apa yang dia lihat barusan. Ini pertama kalinya Nina melihat suaminya bersama perempuan lain. Apalagi Bryan bahkan tidak memberontak saat perempuan itu menggandeng tangannya. Dan lebih membingungkan, ayah mertuanya pun tidak protes melihat anaknya sendiri sedang bersama wanita lain yang bukan istrinya.“Ada apa ini sebenarnya? Apa yang terjadi?”*Nin
Pukul 01.00 malam, Nina belum juga bisa tertidur. Dia bolak-balik mengecek ponsel, menantikan notifikasi dari suaminya.“Ini sudah 17 jam dari jam keberangkatan pesawat Mas Bryan. Harusnya sih dia udah sampai di Prancis. Tapi kok dia belum ngabarin aku? Apa dia masih di bandara ya?” Nina berusaha untuk berpikiran sepositif mungkin. “Ah ya sudahlah. Lebih baik aku tidur saja dulu. Siapa tau besok pagi sudah ada pesan darinya.”Entah sudah berapa dia memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidur. Tetapi semuanya sia-sia. Kepalanya tidak bisa diajak kerja sama. Ada saja bayangan-bayangan buruk yang mengganggu pikirannya.Nina kembali mengecek layar ponselnya yang menunjukkan waktu semakin larut. Jujur saja, tubuhnya sangat lelah dan tak bertenaga, matanya pun mulai terasa berat. Namun ada saja yang membuatnya terjaga. Inilah yang sering kita sebut sebagai insomnia akibat overthinking.Karena susah tidur, Nina akhirnya memilih beranjak
Nina pun kembali mengirimkan sebuah chat ke nomor Bryan.[Setidaknya ngasih kabar dong, walaupun satu chat saja. Aku cemas banget sama kamu, Mas]“Hmm, kok centang satu sih?” gumam Nina terheran-heran. “Seharusnya dari subuh dia udah sampai di apartemen. Tapi kok ceklis? Masa iya dia gak ada kuota atau wifi sih? Apa dia sengaja matiin data selulernya biar gak diganggu?”*Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Tetapi sampai detik ini juga, Bryan masih belum memberikan kabar. Bahkan nomornya saja masih centang satu. Nina semakin cemas dibuatnya. Tiba-tiba teleponnya berdering, membuatnya merasa lega.Nina segera mengecek ponselnya, berharap sang suami yang menghubunginya. Namun hatinya kembali diserang oleh rasa kecewa ketika orang lainlah yang menghubunginya.“Halo. Nina, apa kamu di rumah?” tanya seseorang di balik sana.“Iya. Tumben kamu menghubungi aku. Ada apa, Dicky?”Semenjak mengetahui bahwa Dicky telah menjalin hubungan dengan William, Bryan tidak mempermasalahkan lagi jika
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“
Dua minggu kemudian…Nina terkesiap ketika menatap kalender. Dia baru menyadari kalau saat ini dia telah terlambat datang bulan. Dalam perhitungannya, sudah ada dua bulanan dia tidak mengalami datang bulan. Seketika tangannya mengelus perut ratanya. Senyum merekah dari bibirnya yang ranum.Nina memang belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk memastikan apakah benar dia hamil atau tidak. Namun, ciri-ciri kehamilan sudah dia alami saat ini. Dia sering mengantuk dan pusing pada pagi hari dengan disertai mual. Sehingga hal itu, membuat Nina yakin bahwa dirinya memang tengah mengandung buah hatinya.“Mas Bryan pasti senang kalau tau ada buah cinta kami di dalam sini. Nanti setelah Mas Bryan sampai, aku akan memintanya untuk menemaniku ke dokter kandungan. Dia pasti sangat antusias,” ucap Nina bermonolog.Sesuai janji yang pernah Bryan katakan sebelumnya, hari ini adalah hari kepulangan Bryan ke Jakarta. Saat ini Bryan sudah berad
Nina terdiam cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan anaknya. “Papa pasti pulang kok,” jawabnya penuh yakin di hadapan anak-anaknya.“Kalau misalnya Papa gak mau pulang gimana, Ma?”“Kenapa Lala ngomong gitu? Papa pasti pulang ke rumah.”“Siapa tau Papa ketemu anak-anak yang lebih baik dari kami. Makanya Papa gak mau nelpon dan bicara sama kami,” cetus Khaylila.“Lala kok bisa kepikiran seperti itu? Jangan pikir yang macam-macam ya, sayang. Papa di sana cuman kerja doang. Gak buat yang aneh-aneh.”“Soalnya di sekolah, Lala punya teman yang Mama Papanya udah pisah.”Kata-kata anak berusia empat tahun itu sukses membuat air mata Nina luruh seketika. “Kalau Papa ketemu anak-anak baru di sana, ya udah, berarti Mama juga harus cari Papa baru buat kalian. Bagaimana? Mantap kan rencana Mama?”“Tapi pilih Papa barunya jangan
Lima hari berlalu, Nina masih belum mendapatkan kabar dari Bryan. Setiap kali dirinya menghubungi Bryan, nomor suaminya itu selalu saja tidak aktif bahkan semua akun sosmednya terlihat seperti diblokir oleh Bryan. Dan kali ini, Nina berinisiatif menggunakan nomor baru untuk menghubungi nomor suaminya itu. Nina berkacak pinggang kala panggilannya tersambung ke nomor sang suami.“Ternyata benar dugaanku, kamu ngeblokir nomorku. Kurang ajar ya kamu, Mas!” ucap Nina bermonolog.“Kamu ini ke mana sih? Lama banget ngangkat teleponnya!” sungut Nina kesal.Setelah beberapa detik, panggilan suara itu pun terhubung ke si pemilik nomor. Tetapi Nina dibuat terkejut karena bukan Bryan yang menjawab panggilannya melainkan seorang wanita.“Hello. Can I help you?”Nina menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat kembali nomor yang dia hubungi, takutnya salah sambung. Tetapi sudah benar yang dia hubungi adalah nomor suaminya sendiri.‘Kenapa yang mengangkat telpon kamu malah orang lain? Siapa peremp
Nina pun kembali mengirimkan sebuah chat ke nomor Bryan.[Setidaknya ngasih kabar dong, walaupun satu chat saja. Aku cemas banget sama kamu, Mas]“Hmm, kok centang satu sih?” gumam Nina terheran-heran. “Seharusnya dari subuh dia udah sampai di apartemen. Tapi kok ceklis? Masa iya dia gak ada kuota atau wifi sih? Apa dia sengaja matiin data selulernya biar gak diganggu?”*Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Tetapi sampai detik ini juga, Bryan masih belum memberikan kabar. Bahkan nomornya saja masih centang satu. Nina semakin cemas dibuatnya. Tiba-tiba teleponnya berdering, membuatnya merasa lega.Nina segera mengecek ponselnya, berharap sang suami yang menghubunginya. Namun hatinya kembali diserang oleh rasa kecewa ketika orang lainlah yang menghubunginya.“Halo. Nina, apa kamu di rumah?” tanya seseorang di balik sana.“Iya. Tumben kamu menghubungi aku. Ada apa, Dicky?”Semenjak mengetahui bahwa Dicky telah menjalin hubungan dengan William, Bryan tidak mempermasalahkan lagi jika
Pukul 01.00 malam, Nina belum juga bisa tertidur. Dia bolak-balik mengecek ponsel, menantikan notifikasi dari suaminya.“Ini sudah 17 jam dari jam keberangkatan pesawat Mas Bryan. Harusnya sih dia udah sampai di Prancis. Tapi kok dia belum ngabarin aku? Apa dia masih di bandara ya?” Nina berusaha untuk berpikiran sepositif mungkin. “Ah ya sudahlah. Lebih baik aku tidur saja dulu. Siapa tau besok pagi sudah ada pesan darinya.”Entah sudah berapa dia memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidur. Tetapi semuanya sia-sia. Kepalanya tidak bisa diajak kerja sama. Ada saja bayangan-bayangan buruk yang mengganggu pikirannya.Nina kembali mengecek layar ponselnya yang menunjukkan waktu semakin larut. Jujur saja, tubuhnya sangat lelah dan tak bertenaga, matanya pun mulai terasa berat. Namun ada saja yang membuatnya terjaga. Inilah yang sering kita sebut sebagai insomnia akibat overthinking.Karena susah tidur, Nina akhirnya memilih beranjak
Langkah Nina sedikit terganggu karena banyak orang yang juga berlalu-lalang berjalan melintasinya. Jarak mereka kian jauh. Nina semakin kehilangan jejak suaminya. Bahkan saking ramainya, Nina tak sengaja menabrak seseorang.“Maaf, Pak,” ucap Nina menyadari kesalahannya.“Kalau jalan lihat-lihat dong, Mbak!”“Iya-iya. Sekali lagi maaf, Pak.”Nina kembali melihat ke depan. Namun dia sudah tidak melihat suaminya lagi. Bahkan bayangannya saja sudah tidak ada. Nina kini pasrah. Pikirannya yang kacau, bercampur aduk.Nina masih syok dengan apa yang dia lihat barusan. Ini pertama kalinya Nina melihat suaminya bersama perempuan lain. Apalagi Bryan bahkan tidak memberontak saat perempuan itu menggandeng tangannya. Dan lebih membingungkan, ayah mertuanya pun tidak protes melihat anaknya sendiri sedang bersama wanita lain yang bukan istrinya.“Ada apa ini sebenarnya? Apa yang terjadi?”*Nin
“Maksud kamu apa, Mas? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sama sekali tidak paham.”“Berhenti mencintai aku, Nin. Cintai saja diri kamu sendiri.”Begitulah kalimat Bryan yang membuat Nina semakin kebingungan.“Aku mandi dulu.”“Ini masih awal, Mas. Kita bicara dulu yuk. Aku butuh penjelasan ka—"Bryan langsung beranjak ke kamar mandi tanpa menghiraukan Nina yang masih bertanya-tanya.Lagi-lagi Nina dibuat menghela napas kala suaminya sudah menghilang di balik pintu kamar mandi. “Ya sudahlah. Lebih baik aku packing baju-bajunya dulu,” ucapnya sembari mengambil sebuah koper.*“Mas, kita sarapan bareng anak-anak yuk. Mereka udah nungguin kita di bawah,” ajak Nina ketika Bryan sudah selesai bersiap-siap.Bryan memasang senyum tipis kemudian bergeleng pelan. “Kamu saja yang sarapan bareng anak-anak. Aku harus ke bandara sekarang. Aku takut telat.&rdq
“Ah, bekas ini….” Bryan tampak berpikir keras. “Aku pun tidak tau ini kenapa. Munculnya tiba-tiba. Mungkin memar biasa akibat aliran tidak lancar. Kamu pun pasti sering mendapatkan memar seperti ini, ya kan?”“Iya sih, Mas. Aku juga sering sih memar di lutut atau di paha tiba-tiba. Kata orang kampung sih, itu dicubit setan.”Bryan terlihat lega saat Nina tidak lagi mencurigainya. “Nah itu kamu tau. Sudah ya, jangan berpikir yang macam-macam lagi. Aku sudah lelah dan mau tidur sekarang.”Sebenarnya Nina masih ingin berbincang lebih lama dengan Bryan, namun dia paham pasti suaminya itu sangat lelah. Nina pun mengiyakan keinginan suaminya untuk tidur sekarang.“Ya sudah, Mas. Kamu istirahat saja sekarang. Selamat tidur ya, Mas.”Bryan langsung merebahkan diri di tempat tidur ketika dirinya telah berganti pakaian. “Kamu tidak tidur lagi?”“Aku udah gak ngantuk,