Keesokan harinya…
Jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun belum ada tanda-tanda Bryan sudah terbangun atau belum. Sedari pulang kantor kemarin, Bryan langsung masuk ke dalam kamarnya dan melewatkan makan malamnya.
Bi Lastri yang biasanya selalu memberikan sarapan kepada majikannya itu seketika cemas, karena sudah pukul segini Bryan belum juga turun ke bawah untuk sarapan.
Tringg…. Tring… Tringg…
Telepon rumah berbunyi. Bi Lastri sigap menjawab panggilan suara tersebut.
“Halo. Dengan kediaman keluarga Lawrence. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Bi Lastri ramah.
“Ini saya, Bi,” sahut si penelpon. Suaranya terdengar familiar.
“Oh, Tuan Besar. Ada apa, Tuan?” tanya Bi Lastri.
“Apa Bryan ada di rumah, Bi? Kenapa jam segini dia belum berangkat ke kantor? Saya sudah telepon nomernya berkali-kali, tapi gak diangkat. Apa dia masih tidur, Bi?”
“I-iya, Tuan Besar. Sepertinya Tuan Muda masih tidur. Soalnya pintu kamarn
“Iya, Pa. Maaf,” sahut lirih Bryan dengan lemas.“Buat apa kamu lemesin suara, hah? Sengaja? Mau berpura-pura sakit di depan Papa?” Tuduhan yang dilontarkan oleh Fredrinn berhasil menorehkan rasa perih di hati Bryan.“Aku beneran lagi gak enak badan, Pa,” jawabnya memelas.“Jadi anak laki-laki itu jangan lemah, Bryan! Kamu cuman sakit sedikit saja sikapnya sudah kayak sakaratul maut saja! Cepat ke kantor! Jangan sampai investor kita tidak sudi menjalin kerja sama lagi dengan perusahaan. Kamu mau lihat perusahaan Papa bangkrut? Kalau nanti Papa bangkrut, dari mana uang buat membayar pengobatan Mama?!”Bryan menarik napas panjang kemudian berkata pasrah. “Baiklah, Pa. Aku akan ke kantor sekarang juga.”Sebenarnya Bryan merasa tidak sanggup, bahkan untuk bergerak sedikit saja kepalanya sudah terasa pusing. Tetapi jika semua ini berkaitan dengan sang ibunda, Bryan pun memilih untuk menuruti ke
“A-apa? Serius kamu, Sarah? Kamu gak lagi ngeprank Bibi, kan?”“Ya serius dong, Bi!”Bi Lastri kalang kabut, membereskan semuanya lalu mencuci tangan. Begitu pun dengan Nina.“Ayo kita ke rumah sakit sekarang!” kata Bi Lastri.“Terus siapa yang jaga rumah, Bi?” tanya Sarah. Ia lalu melirik ke Nina. “Kamu aja ya, yang jaga rumah.”Nina menggeleng dengan cepat. “Saya juga mau ikut ke rumah sakit, Mbak. Saya gak mau jaga rumah.”“Kamu saja yang jaga rumah, Sarah!” suruh Bi Lastri. Tidak memberi celah kepada Sarah untuk menolak.Sarah pun mengangguk pelan. Kemudian Bi Lastri dan Nina bergegas bersiap-siap, berganti pakaian lalu berangkat ke rumah sakit tujuan menggunakan taksi.Sepanjang perjalanan, tubuh Nina terasa lemas tak bertenaga ketika mendengar kabar bahwa Bryan jatuh pingsan dan kini dilarikan ke rumah sakit. Perasaan bersalah menyelimuti
“Hush. Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Nduk! Lagian suster tadi kan sudah mengatakan kondisi Tuan Muda sudah stabil. Mungkin sepuluh menit lagi sudah sadar. Kita berpikir positif saja ya, Nduk.”Nina mengangguk kecil.Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari perut Bi Lastri. Wanita tua itu pun bangkit dari sofanya. “Nina, Bibi keluar dulu ya.”“Bibi mau ke mana?”“Bibi mau cari makan dulu buat kita, Nduk. Kita belum makan siang loh dari tadi. Bibi sudah lapar banget. Kamu mau dibelikan makanan apa, Nduk?”“Terserah saja, Bi.”“Ya sudah kalau gitu. Bibi tinggal sebentar ya. Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu Bibi sampai kembali. Ok?”“Oke, Bi,” jawab Nina disertai sebuah anggukan kecil.Sekarang tinggal Nina dan Bryan berdua di dalam ruang rawat VVIP yang lumayan besar itu. Fasilitas di ruangan itu pun terbilang lengkap. Desain dan tata ruangn
Bryan segera memejamkan matanya kembali saat Nina sudah semakin dekat dengannya. Bryan berpura-pura, seolah dirinya masih belum sadar. Ia ingin mendengar kalimat-kalimat yang akan Nina katakan selanjutnya.Nina pun kembali duduk di samping ranjang Bryan. Kini Nina sudah tidak menangis lagi. Dirinya telah pasrah dengan keadaan. Ia hanya berharap agar Bryan segera sadarkan diri.‘Ayo dong, Nina. Bicara lagi. Aku mau mendengar suaramu,’ batin Bryan.‘Aku harus ngapain ya, biar Tuan Bryan cepat sadar. Apa aku nyanyi saja? Siapa tau dengan begitu dia segera terbangun,’ pikir Nina dalam hati.Sejenak Nina mengambil napas. Dan ia pun kembali berbicara.Tiba-tiba saja, Bryan mendengar Nina sedang menyanyikan lagu untuknya.Ada berondong muda~Tebar-tebar pesona~Sukanya daun muda~Dia lupa dosanya~Berondong-berondong muda~Jelalatan cari mang
Bryan memicingkan mata. Seolah tak percaya dengan omongan Nina. “Masa sih? Kok bisa bibirku berdarah? Kok kayak gak ada apa-apa,” ucapnya sambil mengusap-usap bibirnya sendiri.Melihat wajah Nina yang sudah memerah karena malu, membuat Bryan tertawa kecil.Nina lalu mengangkat wajahnya, menatap Bryan yang kini sudah bisa bersuara bahkan tertawa bahagia. “Ih, kok Tuan Bryan malah ketawa sih?”“Soalnya kamu lucu.”“Lucu? Tapi saya gak lagi ngelawak, Tuan.”Tiba-tiba Bryan hendak bangkit dari posisi tidurnya. Ia berusaha untuk duduk, meskipun kepalanya masih terasa berat.“Tuan Bryan jangan banyak gerak dulu,” tegur Nina panik.Nina pun berinisiatif membantu Bryan dengan memegangi kedua lengannya. “Hati-hati, Tuan.”Bryan menghela napas panjang kemudian menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya. Ia lalu memijat keningnya yang terasa pusing, seakan a
"Sengaja. Biar pijatanmu langsung terasa di badanku. Kalau pake baju kurang terasa, soalnya kehalang sama kain,” jawab Bryan dengan wajah datarnya.Nina mengangguk paham. Rasa waspadanya pun hilang saat mendengar jawaban itu. Terlebih lagi, ekspresi wajah Bryan tampak datar, tidak mencurigakan.“Oh iya, Tuan. Benar juga.”Nina pun mulai mengerjakan tugasnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil memijati Bryan yang sedang berbaring santai di sana. Nina dengan telatennya memijat lengan kiri Bryan lalu berpindah ke lengan kanan.“Coba pijat di bagian dadaku, Nin. Soalnya yang pegal di bagian itu,” imbuh Bryan modus.“Di sini ya, Tuan?” tanya Nina sembari meletakkan kedua tangannya pada dada atletis majikannya.“Iya, di situ. Pijat yang lembut ya. Jangan kuat-kuat, ntar malah tambah nyeri.”Nina hanya mengangguk kecil dan mulai memijat pada area dada Bryan. Diurutnya area itu, diteka
Bryan terkekeh mendengarnya. “Bahaya kamu, Nin. Sudah mulai nakal ya.”Bryan pun mengarahkan tongkat pusakanya ke mulut Nina. Sementara Nina mendadak panik saat Bryan bersungguh-sungguh melakukan itu. “S-saya tadi cuman bercanda, Tuan,” katanya. Tetapi Bryan tidak berhenti. Sontak Nina langsung menutup mulutnya dengan cepat.“Ayo dong, sayang. Buka mulutnya. Katanya tadi kepengen ngemut permen lolipop.”Nina menggeleng-geleng. Ia masih menutup mulutnya dengan rapat.Bryan tidak tinggal diam. Lelaki itu menggesek-gesek bibir Nina dengan alat tempurnya. “Come on, Baby. Buka pintunya. Adik aku mau masuk nih. Apa kamu gak kasihan lihat dia kedinginan di luar, hm?”Nina terus menggeleng. Gadis itu lalu memalingkan wajahnya, menjauhi adik kecil Bryan.Bryan akhirnya pasrah. Ia kini memakai kembali boxernya itu, menutupi sang junior yang sudah sangat kedinginan terkena hawa dari AC di kamarny
‘Ah, sialan. Ganggu orang aja!’ umpat Bryan dalam hati. Bryan benar-benar bernafsu untuk melakukan 'itu' dengan Nina pada saat ini juga kalau saja tidak ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.“Pake bajumu cepat, Nina!” Bryan segera membantu Nina untuk duduk dan mengambilkan pakaiannya yang tercecer di lantai. “Ini bajumu, ayo buruan pake!”“Sabar, Tuan! Sabar!” Nina dengan gerakan kalang kabutnya pun mulai mengenakan pakaiannya. Ia kesusahan mengait kancing branya membuat Bryan geram sendiri.“Nina, kamu lama banget!” kesal Bryan. Padahal pria itu pun belum selesai berpakaian lengkap, ia hanya baru mengenakan boxernya.“Sabar dong, Tuan! Jangan buat saya panik!” balas Nina yang juga kesal. “Ah, akhirnya.” Nina bernapas lega saat bra-nya sudah terkait dengan benar. Ia kemudian langsung memakai bajunya dan ketika ingin mengenakan celana, Nina merasa kehilangan sesuatu.
Dua bulan kemudian, kini usia kandungan Nina sudah menginjak sembilan bulan. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit setelah mengontrol kehamilannya. Kata dokter, kira-kira dua minggu lagi Nina akan melahirkan kedua bayinya.Dan saat ini Nina sedang melihat-lihat kamar bayi untuk kedua calon buah hatinya itu. Nina berjalan mengelilingi kamar bayi yang didominasi warna pink. Nina semenjak tau kedua bayinya berjenis kelamin perempuan, langsung berbelanja perlengkapan bayi untuk bayi perempuan, mulai dari baju, kaos kaki, kupluk dan lainnya. Saat berbelanja, Nina ditemani oleh ibunya, karena saat itu Bryan sedang ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.“Kenapa kamu berbelanja sebanyak ini, Nak? Beli bajunya beberapa pasang saja. Jangan terlalu boros!” imbuh Aliyah memberi saran kala itu.“Bayinya kan ada dua, Bu. Kalau beli sedikit, mana cukup.”“Baju bayi Brianna dulu kamu simpan di mana? Itu kan bisa kamu gunakan kembali untuk bayimu nanti, Nak
Waktu terus berjalan hingga tak terasa kehamilan Nina telah memasuki usia 7 bulan. Hari ini rumah Bryan dan Nina terlihat ramai dipenuhi oleh para tamu undangan. Kedua pasangan itu mengadakan syukuran atas kehamilan Nina yang sudah berusia 7 bulan.Acara itu Nina serahkan sepenuhnya kepada Even Organizer sehingga dia tidak perlu repot mengurus segala pernak-pernik acara itu.Nina tampil cantik dengan balutan kaftan berwarna baby pink. Dia sengaja memilih warna baby pink karena menurut hasil USG, kedua bayinya berjenis kelamin perempuan. Sedangkan untuk riasan rambutnya, disanggul yang menampilkan leher jenjangnya yang putih dan mulus. Riasan wajahnya tipis tapi elegan yang membuat Nina semakin mempesona. Sedangkan Bryan mengenakan kemeja batik dengan motif dan warna yang senada, begitu pula dengan Brianna yang juga memakai kaftan yang persis dengan ibunya.Bryan menatap istrinya yang tampil cantik hari ini. Hari di mana dia menjadi sorotan di acara tujuh bulanan
Setelah obat sudah ada di tangan Bryan, pria itu menghampiri istrinya yang sedang duduk manis di kursi tunggu.“Yuk kita pulang sekarang!” ajak Bryan.Bryan lalu menggandeng tangan istrinya menuju lobi rumah sakit. Sesekali dia mengecup kepala Nina dengan lembut. Hal itu tentu saja menjadi perhatian orang yang melintas dan berpapasan dengan mereka. Nina berusaha melepaskan diri dari suaminya. Nina merasa malu karena Bryan berlaku mesra di depan umum. Namun usahanya sia-sia karena lengan kiri Bryan segera memeluk pinggang Nina. Hal itu justru membuat mereka tampak semakin mesra, sehingga banyak pasang mata mengulum senyum ketika bertemu pandang dengan mereka. Sebagiannya lagi ada yang tampak iri hati melihat kemesraan pasangan suami istri itu.“Mas, kamu bikin malu saja ihh.”“Kenapa malu? Aku memeluk istriku sendiri, bukan istri orang lain,” elak Bryan. Dia menatap istrinya kemudian mengerlingkan sebelah mata pada Nina.
Hari demi hari terlewati. Tak terasa kini kandungan Nina sudah masuk pada usia 10 minggu. Bryan kembali membawa istrinya ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.“Ibu Nina Anatasya, silakan masuk,” panggil suster di depan pintu ruang prakter dokter kandungan.Nina bangkit dari kursi dan melangkah ke arah pintu ruang praktek tersebut, diikuti oleh Bryan. Nina melakukan pemeriksaan tensi darah terlebih dahulu oleh suster tersebut sebelum bertemu dengan dokter kandungan itu.“Tensinya normal ya, Bu. Silakan bertemu dengan dokter.”“Baik, Sus.” Nina lalu melangkah menghampiri sang dokter.Dokter kandungan itu tersenyum ramah kala Nina sudah duduk di kursi, di depan meja kerjanya.“Ada yang bisa dibantu?” tanya dokter.“Saya ingin kontrol kehamilan, Dok. Sekalian ingin melakukan pemeriksaan USG. Saya dan suami saya ingin tau, apakah janin saya baik-baik saja.”
Hari ini, Nina sudah siap dengan pakaian casual dilengkapi jaket kulit warna hitam. Rambutnya diikat seperti ekor kuda. Membuat penampilannya semakin cantik dan segar. Dia berjalan menuju halaman rumah untuk menemui Bryan yang sudah menunggunya di sana. Sesampainya di halaman rumah, Nina tertegun melihat penampilan Bryan yang tampak seperti aktor hollywood yang tampan dan gagah.Sama seperti istrinya, Bryan juga mengenakan pakaian casual dan jaket warna hitam. Suaminya itu tengah duduk di atas motor gede yang baru saja dia beli.Senyum mengembang terbit dari bibir Bryan kala melihat istrinya sudah sampai di teras rumah.“Bagaimana dengan Brianna? Aman gak kalau kita tinggal? Kita akan lama nanti, karena aku akan mengajak kamu keliling kota Jakarta.”“Brianna sedang tidur, Mas. Aku menitipkan dia sama Mbak Siti. Jadi kamu tenang saja. Semuanya pasti aman terkendali.”“Oke. Sekarang kamu pakai ini. Setelah itu kita berangkat.” Bryan menyerahkan helm full face yang sudah dia siapkan untu
“Ya aku membelinya di restoran.”“Terus kenapa harganya bisa semahal mobil sport?” tanya Nina bingung.“K-karena tadi uangku kurang dan aku meminjamnya pada Jonas. Lalu aku memberikan mobilku kepada Jonas sebagai bentuk pelunasan utang.”“Astaga, Mas. Apa itu tidak terlalu berlebihan? Kenapa semudah itu kamu memberikan mobil kepada karyawanmu?”“Mobilku kan masih banyak, sayang.”“Itu di Indonesia, Mas. Tapi di sini, hanya itu mobil kamu. Masa harus dikirim lagi sih dari Jakarta? Atau kamu mau membeli baru? Boros dong.”“Udahlah, sayang. Jangan dipikirin. Kamu habiskan saja gulai kambingnya biar aku gak kecewa karena telah mengorbankan mobilku untuk beliin kamu gulai kambing ini.”Akhirnya mereka menghabiskan gulai kambing itu berdua dan saling menyuapi secara bergantian. Suatu hal yang sering mereka lakukan dari awal kenal dan hal sekecil itu mampu membuat suasana menjadi lebih berkesan dan romantis.“Terima kasih ya, Mas. Hamil kali ini terasa beda. Karena ada kamu yang bakalan menem
“Selamat! Istri Anda hamil, Pak,” ucap dokter kandungan yang kini memeriksa Nina.Melalui USG yang dilakukan, walau janin Nina masih kecil, tapi hasil gambar yang ditangkap di layar cukup membuktikan bahwa saat ini Nina tengah hamil lagi.“Apa istri saya mengandung bayi kembar, Dok?”“Saya belum bisa memastikan, Pak. Karena kehamilan istri Bapak masih berusia 4 minggu. Sulit untuk dideteksi. Bapak dan ibu bisa kembali lagi untuk melakukan pemeriksaan USG di usia kehamilan 10 minggu untuk memastikan apakah benar ada janin kembar atau tidak,” jawab dokter.Bryan menganggukkan kepalanya, tanda paham. “Oh begitu ya. Baiklah.”“Dok, kami di Sydney ini hanya sementara. Mungkin dalam minggu ini kami akan kembali ke Jakarta. Apa kondisi istri saya yang hamil ini, aman untuk bepergian naik pesawat dalam waktu yang lama?” tanya Bryan lagi. “Oh ya, kami menggunakan pesawat pribadi,” timpa
Melihat raut wajah Nina yang kebingungan, Jonas pun kembali berbicara sembari memasang senyum tipisnya. “Silakan berbicara bahasa Indonesia saja, Nyonya. Kebetulan saya menguasai bahasa Indonesia juga.”Nina menghela napas lega. “Baguslah. Saya hari ini ingin jalan-jalan, bisakah kamu rekomendasikan tempat menarik yang bisa kami kunjungi hari ini?”“Tentu. Saya akan mengantar dan memandu Nyonya ke tempat wisata yang menarik di kota ini. Mari kita berangkat sekarang. Pertama saya akan mengantar Anda untuk mengunjungi Museum dan Galeri Australia. Lalu Anda bisa ke Taronga Zoo Sydney. Kemudian Anda juga bisa mengunjungi pasar budaya Sydney, di sana Anda bisa berbelanja produk buatan suku Aborigin.” Jonas menjelaskan sambil berjalan menuju area parkir tempat mobilnya berada.“Oh, baiklah. Saya mau mengunjungi tempat yang kamu maksud. Lalu kalau saya mau berbelanja bahan makanan sehari-hari, apa bisa di pasar yang kamu sebutk
“Hari ini aku akan meeting dengan pegawaiku di kantor. Jadi aku tidak bisa ikut makan siang bersamamu. Kamu makan siang sama Mbak Siti saja ya. Mungkin besok kesibukanku sudah berkurang. Rencananya besok aku akan mengajak kamu berkunjung ke kantor. Aku ingin memperkenalkanmu kepada rekan kerjaku. Mereka sangat penasaran dengan sosok Nina Anatasya, istri dari Bryan Lawrence.” Bryan berkata sambil mencium bibir istrinya.“Kalau begitu, hari ini aku jalan-jalan bertiga ya, Mas. Aku mau jalan-jalan sekalian makan siang di luar. Setelah makan siang, rencananya aku akan belanja bahan makanan untuk kita makan malam nanti.” Nina berkata sambil menatap kagum pada suaminya yang sudah berpenampilan rapi.“Oke. Nanti aku akan menyuruh Jonas untuk mengantar kamu ke tempat yang akan kamu kunjungi hari ini.”“Iya, Mas. Terima kasih.”Setelah itu mereka keluar dari kamar untuk sarapan bersama. Mereka sarapan bersama B