Flora dan Santi berjalan pelan ke sebuah ruangan dan masuk ke dalam antrian yang terlihat sudah mengular disana.
"Bagian obygn?""Iya, Mbak. Aku penasaran pingin lihat anak aku di dalam sana, kalo nunggu Mas Abi, kelamaan. Hehe." Jawab Flora sambil tersenyum. Santi pun ikut tersenyum kecil, senang saja rasanya bisa menemani Flora periksa kandungan. Dia akan melihat keponakannya yang lucu-lucu di dalam kandungan Flora.Hanya membutuhkan waktu satu jam, kini nama Flora di panggil dan wanita itu langsung masuk ke dalam ruangan dokter kandungan, tentunya bersama Santi yang terlihat antusias. Bahkan di bandingkan Flora, Santi jauh lebih antusias untuk bisa melihat keponakannya."Selamat siang, Dok.""Nona Flora?" Tanya nya sambil tersenyum lalu di angguki oleh Flora."Iya, Dok.""Ada keluhan apa?""Sebenarnya tidak ada, hanya ingin melihat janin saya.""Ohh, boleh. Mari kita lakukan pemeriksaan ultrasonograf"Habis dari mana?" Tanya Ranti. Dia terbangun ketika mendengar pintu ruangan terbuka perlahan."Dari dokter kandungan, Bu.""Kenapa hmm? Apa yang terjadi dengan cucu Ibu?" Tanya Ranti, dia terlihat khawatir karena ini adalah calon cucu pertamanya."Tidak terjadi apa-apa kok, Bu. Kandungan Flora baik-baik saja, tidak apa-apa. Jangan khawatir.""Lalu?""Hanya melakukan pemeriksaan rutin saja kok, Bu." Jawab Flora sambil tersenyum manis."Sayang, sudah kembali?" Tanya Abian dengan suara seraknya, dia mendudukkan tubuhnya lalu mengucek matanya. Dia menatap ke arah sang istri yang kini berjalan mendekat ke arahnya."Masih pusing atau mual, Mas?""Jam segini sih udah enggak, tapi pagi sama malem, pasti mual lagi.""Obat mualnya di minum, Mas. Biar gak mual lagi, kali ini jangan ngeyel coba. Biar sembuh, kasian badan kamu kalo terus-terusan kayak gini." Ucap Flora. Jiwa keibuannya meronta-ronta, inginnya dia m
Malam harinya, seperti biasa Flora akan memasak untuk makan malam. Malam ini menunya sederhana saja sesuai dengan apa yang ada di kulkas, beberapa hari di tinggalkan membuat kulkasnya kosong."Sayang, masak apa?""Cumi tepung saus asam manis, Mas. Cuma ada ini di kulkas, gapapa ya?""Tapi Mas pengen ayam goreng." Lirih Abian."Yaudah, nanti beli online aja.""Kamu gapapa?" Tanya Abian dengan raut wajah khawatirnya."Gapapa, kalau Mas mau makan ayam goreng ya masa aku paksain makan cumi?""Hehe, makasih ya.""Iya, Mas." Flora tersenyum, lalu memesankan ayam goreng untuk suaminya. Dia akan dengan cumi saja, rasanya sama-sama enak kok. Tapi mungkin Abian sedang ngidam makan itu hari ini, padahal cumi-cumi adalah salah satu makanan kesukaan pria itu.Setelah selesai masak, keduanya pun makan dengan lahap. Flora tersenyum kecil ketika melihat suaminya makan selahap itu, syukurlah dia tidak perlu membuang ten
"Mas, kamu kok bau sih?" Tanya Flora ketika suaminya baru saja pulang kerja, meskipun masih lemas tetap saja pria itu harus bekerja karena tak mungkin dia selalu mengandalkan Kalandra untuk semua aktivitas. Dia juga punya kehidupan sendiri, kabarnya dia juga telah resmi berpacaran dengan Hanna.Sejak Flora hamil, pria itu menjadi lebih posesif menjaga istrinya, dia bahkan melarang keras agar wanita itu pergi ke toko kue dan menyerahkan semuanya pada Santi. Dia yang menghandle semuanya saat ini, hubungannya dengan Robi juga membaik, dalam waktu dekat mereka akan melangsungkan pernikahan."Ohh, mungkin karena Mas belum mandi, sayang." Jawab Abian sambil membuka jasnya dan kemejanya sekalian, dia berdiri sambil memamerkan tubuhnya yang indah dengan deretan roti sobek yang berjejer rapi disana. Terlihat indah, tapi apa Flora tergoda? Tidak, sama sekali.Jika dia wanita lain, mungkin sudah ngiler sedari tadi. Mungkin juga dia akan histeris ketika melihat penamp
"Sayang.." Panggil Abian."Hmm, apa Mas?" Tanya Flora, dia keluar dari kamar dengan menggunakan masker. What? Ini bukan jaman covid."Kenapa pakai masker?""Biar aroma badan kamu gak tercium, soalnya bikin mual.""Tapi di maskernya bau parfum aku?""Hehe iya, parfumnya wangi, aku suka.""Mas pakai parfum itu, sayang. Apa iya masih bau?" Tanya Abian. Ajaib sekaligus membuat heran, bagaimana bisa? Dia menyukai aroma parfum miliknya, tapi berbeda ketika dirinya sudah memakai parfum itu."Bau, baunya aneh banget Mas. Bikin mual, aku gak tahan baunya." Jawab Flora yang membuat Abian semakin mengernyitkan keningnya. Apa iya tubuhnya sebau itu? Kalau iya, kenapa Flora tidak mengatakannya sejak dulu?"Sayang, di kulkas gak ada apa-apa. Belanja yuk? Kuat gak?" Tanya Abian dan membuat wajah Flora berbinar ketika mendengar kata belanja yang keluar dari mulut suaminya."Ayo, Mas. Aku siap-siap dulu.." Ucapnya lalu
Di supermarket, Abian bertugas untuk mendorong troly besar berisi belanjaan yang sudah terisi cukup banyak. Wanita itu masih mencari-cari apa yang sekiranya dia butuhkan dan tidak ada di rumah."Mas, aku lupa beli seledri buat bikin sup." Ucap Flora."Sebentar, biar Mas yang ambil dulu. Kamu tunggu disini, ambil apa aja yang kamu mau." Abian berlari karena stand sayuran sudah terlewat cukup jauh, tapi Flora baru ingat sekarang.Flora mengangguk dan memilih untuk melihat-lihat daging dan ikan yang ada disana, dia mengambil beberapa dan juga olahan seafood yang areanya tidak terlalu jauh dengan stand daging."Aku bingung, bagus yang ini apa yang ini yaa?" Gumam Flora sambil menimbang, apa harus membeli olahan seafood yang setengah kilo atau satu kilo saja biar puas makannya. Terlebih, sekarang Flora lebih suka makan bakso-baksoan di banding nasi."Kenapa, sayang?" Tanya Abian sambil meletakkan satu pack seledri ke dalam troli belanja nya.
Hari ini, Flora akan akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilannya. Menurut perhitungan, bulan ini Flora memasuki usia kehamilan yang ke enam bulan. Hari demi hari, Minggu demi Minggu benar-benar berlalu tanpa terasa. Selama itu juga, mood bumil yang satu ini tidak stabil.Kadang dia manja, berubah cengeng, lalu ambekan, kadang juga dia agresif bahkan nyosor-nyosor duluan pada suaminya. Abian sendiri mulai menjalani kehidupannya seperti biasanya, dia bekerja setiap hari dan pulang tepat waktu untuk menemani sang istri yang kacang sikapnya berubah-ubah padahal usia kandungannya sudah cukup besar sekarang.Tidak ada lagi morning sickness, baik Abian maupun Flora, keduanya sama-sama sudah tidak mengalaminya. Hanya saja terkadang ngidam masih ada dan keduanya sering ngidam makanan yang terdengar sedikit aneh dan nyeleneh, namanya juga ngidam yaa pasti ada-ada aja.Wanita itu berjalan dengan langkah pelannya, hari ini dia periksa sendiri karena Abia
Dengan cepat, Abian menegakkan tubuhnya begitu juga dengan Arina, dia bahkan menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor karena ulah Abian."Sayang, kamu disini? Kok gak bilang-bilang mau kesini?" Tanya Abian sambil mendekat. Kedua mata Flora berkaca-kaca lalu tangannya bergerak untuk menampar wajah suaminya.Plak.."Kalau aku bilang mau kesini, lantas apa yang akan kamu lakukan, Mas? Andai saja aku tidak kesini, aku pasti takkan mengetahui ulah bejatmu ini, Mas!""Sayang, aku bisa jelasin.""Apa bedanya kamu sama Arifin hah? Kalian sama-sama brengseek!""Sayang, dengerin dulu.""Lepasin aku, silahkan kamu lanjut saja adegan yang sempat terganggu tadi, aku pergi." Ucap Flora berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan Abian."Astaga, istriku.""Ini semua gara-gara Lo ya, kalo aja Lo gak kesini pasti ini semua gak bakalan kejadian!""Kok gue? Lo aja tuh yang punya kaki kepanjangan sampe keserimpet sendir
Abian memasuki rumahnya, dia mencari-cari kunci rumah yang biasa Flora letakan di bawah pot bunga atau di bawah keset, tapi nihil dia tidak menemukannya sama sekali."Nyari apa?" Tanya seseorang yang membuat Abian menoleh, matanya menatap haru ketika melihat sosok istrinya berada di ambang pintu dengan pakaian rumahannya berupa daster. Sejak hamil, Flora mengganti piyama tidurnya dengan daster karena lebih nyaman."Sayang..""Masuk, nyariin apaan sampe angkat-angkat pot segala?""Kunci rumah, aku pikir..""Masuk." Ucap Flora singkat, lalu masuk dan meninggalkan suaminya. Abian tersenyum dan menghela nafasnya dengan lega, dia sudah menemukan istrinya, jadi dia bisa tenang sekarang. Tak lupa, dia juga memberi kabar pada Adijaya agar tidak mengkhawatirkan putrinya karena dia sudah pulang."Habis dari mana? Tumben pulang malem, nganterin Arina dulu?" Tanya Flora tanpa menoleh ke arah sang suami yang baru saja masuk. Wanita itu nampak
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.