Hari ini, Flora akan akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilannya. Menurut perhitungan, bulan ini Flora memasuki usia kehamilan yang ke enam bulan. Hari demi hari, Minggu demi Minggu benar-benar berlalu tanpa terasa. Selama itu juga, mood bumil yang satu ini tidak stabil.
Kadang dia manja, berubah cengeng, lalu ambekan, kadang juga dia agresif bahkan nyosor-nyosor duluan pada suaminya. Abian sendiri mulai menjalani kehidupannya seperti biasanya, dia bekerja setiap hari dan pulang tepat waktu untuk menemani sang istri yang kacang sikapnya berubah-ubah padahal usia kandungannya sudah cukup besar sekarang.Tidak ada lagi morning sickness, baik Abian maupun Flora, keduanya sama-sama sudah tidak mengalaminya. Hanya saja terkadang ngidam masih ada dan keduanya sering ngidam makanan yang terdengar sedikit aneh dan nyeleneh, namanya juga ngidam yaa pasti ada-ada aja.Wanita itu berjalan dengan langkah pelannya, hari ini dia periksa sendiri karena AbiaDengan cepat, Abian menegakkan tubuhnya begitu juga dengan Arina, dia bahkan menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor karena ulah Abian."Sayang, kamu disini? Kok gak bilang-bilang mau kesini?" Tanya Abian sambil mendekat. Kedua mata Flora berkaca-kaca lalu tangannya bergerak untuk menampar wajah suaminya.Plak.."Kalau aku bilang mau kesini, lantas apa yang akan kamu lakukan, Mas? Andai saja aku tidak kesini, aku pasti takkan mengetahui ulah bejatmu ini, Mas!""Sayang, aku bisa jelasin.""Apa bedanya kamu sama Arifin hah? Kalian sama-sama brengseek!""Sayang, dengerin dulu.""Lepasin aku, silahkan kamu lanjut saja adegan yang sempat terganggu tadi, aku pergi." Ucap Flora berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan Abian."Astaga, istriku.""Ini semua gara-gara Lo ya, kalo aja Lo gak kesini pasti ini semua gak bakalan kejadian!""Kok gue? Lo aja tuh yang punya kaki kepanjangan sampe keserimpet sendir
Abian memasuki rumahnya, dia mencari-cari kunci rumah yang biasa Flora letakan di bawah pot bunga atau di bawah keset, tapi nihil dia tidak menemukannya sama sekali."Nyari apa?" Tanya seseorang yang membuat Abian menoleh, matanya menatap haru ketika melihat sosok istrinya berada di ambang pintu dengan pakaian rumahannya berupa daster. Sejak hamil, Flora mengganti piyama tidurnya dengan daster karena lebih nyaman."Sayang..""Masuk, nyariin apaan sampe angkat-angkat pot segala?""Kunci rumah, aku pikir..""Masuk." Ucap Flora singkat, lalu masuk dan meninggalkan suaminya. Abian tersenyum dan menghela nafasnya dengan lega, dia sudah menemukan istrinya, jadi dia bisa tenang sekarang. Tak lupa, dia juga memberi kabar pada Adijaya agar tidak mengkhawatirkan putrinya karena dia sudah pulang."Habis dari mana? Tumben pulang malem, nganterin Arina dulu?" Tanya Flora tanpa menoleh ke arah sang suami yang baru saja masuk. Wanita itu nampak
Hari ini, Flora berkunjung ke toko kue setelah sekian lama. Jangan tanyakan bagaimana hubungannya dengan Abian, sudah jelas tidak baik. Semalam saja, Flora memilih untuk tidur di kamar tamu. Bukan apa-apa, dia tidak bisa tidur karena terbayang-bayang kejadian yang membuat hatinya terasa sangat sakit.Dengan perut buncitnya, wanita itu berjalan menyusuri toko kuenya yang di penuhi oleh aneka jenis kue basah maupun kue kering."Mbak, aku pingin ini." Flora menginginkan kue yang terlihat sangat menggoda. Wajar saja jika pemilik toko kue memakan kue yang dia jual kan? Itu bukanlah kesalahan."Boleh, kamu lama disini gak?" Tanya Santi sambil mengambilkan kue itu beberapa potong. Flora ingin memakan kue bolu marmer yang menjadi kue andalan di toko kuenya karena rasanya yang enak dan lembut, juga harganya yang terjangkau."Paling hanya setengah jam, Mbak. Setelah itu aku mau pulang. Mbak kapan pulang dari Bali?" Tanya Flora sambil duduk, begitu juga deng
"Hai, apa kabar?""Kau lihat, aku baik-baik saja kan? Kenapa harus bertanya?""Hahaha, baiklah. Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Kau hamil berapa bulan?" Tanyanya dengan ramah, tapi itu membuat Flora jengah, dia muak dengan semua yang ada di dalam diri wanita yang kini tengah tersenyum ke arahnya. Tidak cukupkah dia menghancurkan rumah tangganya dengan Arifin? Lalu sekarang dia datang kembali dan berusaha merebut suaminya? Gila, benar-benar gilaaa!"Tidak usah terlalu akrab denganku, kita tidak seakrab itu." Ucap Flora dengan senyum sinisnya."Ohh iya, aku lupa. Kau kesini sendiri?""Kau berharap apa? Bertemu suamiku?" Balik tanya Flora dengan nada suara yang terdengar ketus."Kalau aku mau, aku tinggal datang saja ke kantornya seperti kemarin." Jawabnya dengan senyum manis yang membuat Flora gemas, ingin sekali dia melemparkan tasnya itu ke wajah wanita sok akrab plus tidak tahu malu ini. Siapa lagi kalau bukan Arina.
Flora terdiam, dia terlalu cemburu buta hingga melupakan kalau di ruangan Abian ada cctv. Kenapa dia bisa sampai melupakan hal itu? Apakah ini salah kehamilannya lagi yang membuat moodnya memburuk dengan kesalahan sekecil apapun? Meskipun ini adalah masalah yang sangat besar dan menimbulkan banyak kesalah pahaman, tapi tetap saja wanita tidak pernah salah, jangan lupakan itu. Jadi disini, Abian yang salah, titik tidak pakai koma."Flo, aku tidak berhak ikut campur urusan rumah tangga kalian karena aku orang asing, tapi aku tahu kalau hubungan kalian sedang tidak baik-baik saja karena hal ini, kan?" Tanya Arina dan dari ekspresi wajah yang di perlihatkan Flora, Arina tahu kalau memang jawaban atas pertanyaannya itu adalah iya."Sekali lagi aku minta maaf karena kesalah pahaman ini terjadi karena aku, tapi kamu harus percaya pada Abian.""Kenapa?""Aku dan Abi mengenal cukup lama, bahkan saat aku menjadi selingkuhan Arifin, dia pernah menceritakan s
"Sayang, Mas pulang.." Ucap Abian yang baru saja pulang. Dengan sebuket bunga mawar di tangannya dan juga beberapa bingkisan yang dia bawa, terlihat kerepotan saat membawanya.Flora keluar dari dapur dan melihat kedatangan suaminya. Dia mendekat dan tanpa banyak bicara lagi, dia langsung memeluk sang suami."Eehh, kenapa sayang?" Tanya Abian, dia tersenyum ketika merasakan istrinya memeluk dengan erat."Gak boleh kalo aku pengen peluk?""Bukan begitu, sayangku. Tapi Mas kira kamu masih marah.""Aku gak marah kok, Mas." Jawab wanita itu sambil tersenyum."Hmm, lihat nih apa yang mas bawa buah kamu." Abian menunjukkan ada banyak paperbag yang dia bawa."Beli apa aja kamu?""Makanan sama bunga, buat istriku yang cantik dan manis." Puji Abian sambil memegang dagu istrinya dengan gemas."Ini buat kamu bunganya.""Bukan sogokan?""Ngapain di sogok, katanya gak marah. Jadi buat apa di sogok?"
"Sayang.." Panggil Abian sambil tersenyum, dia menjemput sang ibu dan membawanya ke rumah sesuai dengan ucapannya kemarin."Iya, Mas.""Lho, kamu lagi apa?" Tanya pria itu ketika melihat pakaian Flora terlihat kotor terkena tepung."Hehe, bikin bolu. Niatnya sih buat Ibu, tapi ibunya keburu datang." Flora cengengesan membuat Ranti yang melihat tingkah menantunya itu menggelengkan kepalanya."Gak usah repot-repot, sayang. Ibu bukan orang lain yang harus kamu suguhi makanan kalau datang.""Gapapa, Flora lagi pengen bikin bolu aja kok, jadi sekalian." Jawab wanita itu. Ranti mendekat dan mengusap perut buncit wanita itu dengan lembut."Jangan kecapean, Flo. Ingat kamu lagi hamil besar.""Iya, Bu. Aku juga tidak memporsir diri, beres-beres kan Mas Abi nyewa pembantu, jadi aku gak kerja apa-apa kecuali makan, tidur terus main ponsel. Makanya badan aku makin melar aja sekarang." Ucap Flora yang membuat Ranti tersenyum.
Setelah menyelesaikan makannya, Flora pun memilih untuk mendudukan tubuhnya, bersantai di sofa ruang tamu yang di atas meja terlihat banyak sekali cemilan yang biasa Flora cemil ketika dia sedang menonton drama.Abian duduk di samping sang istri lalu mengusap perut buncitnya dari samping dan seolah mengerti kalau yang mengusapnya itu adalah sang ayah, si kembar langsung bergerak-gerak."Jagoan papa langsung gerak, kangen Papa gak?" Tanya nya sambil mendekatkan wajahnya di perut Flora."Kangen, papanya sibuk terus!" Bukan bayinya yang menjawab, tapi Flora dengan menirukan suara anak kecil."Yaudah, besok Papa libur kok. Adek bayi mau kemana?" Tanya pria itu lagi."Di rumah aja mau mukbang.""Hahaha, baiklah."Abian mengusap lembut puncak kepala istrinya lalu mengecupnya, dia pun merebahkan kepalanya di pangkuan sang istri, bermanja dengan Flora selalu membuat moodnya membaik. Bahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah pun s
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.