Akan tetapi, Dahlia tak berhenti begitu saja meskipun guru memulai pelajaran ia tetap menjahili Belle. Dahlia membullynya sebagai lampiasan amarah.“Kemarin saat pergi ke makam kakek, aku melihat Belle di sana.” ucap Angel membeberkan apa yang dilihatnya di pemakaman. Tentu saja dia heran, setelah Belle pergi Angel menghampiri makam yang disinggahi Belle.“Tentu saja ke makam Ibunya.” jawab Khaira tak tertarik membahas orang mati. Karna cintanya? Entah masih hidup atau bahkan telah bersatu dengan tanah.“Bukan, itu makam Ayahnya.” ungkap Angel melihat ekspresi Khaira yang seketika berubah. Sama seperti ekspresi terkejutnya kala itu, kendati demikian ia tak bisa menyembunyikannya dari Khaira.“Tunggu, Ayahnya meninggal?” Khaira yang semula tak tertarik mulai menolehkan kepalanya mengarah pada Angel. Itu sebabnya Belle sangat diam membisu, masih berduka atas kepergian Eleird.“Iya, makamnya masih baru mungkin seminggu yang lalu.” terang Angel.Beruntung waktu itu ia ikut keluarganya u
Suasana malam penuh bintang-bintang dengan udara segar yang menyejukkan berhasil membuat Belle menjadi tenang, ia berada di rumah sendirian karna Ibu tirinya meminta agar ia tidur di rumah. Belle tak masalah, karna hatinya sangat kecewa terhadap wanita itu.“Jadi, kepada siapa aku harus mengeluh? Jika dunia saja terus menyakitiku, ke mana aku harus berteduh?” tanya Belle yang duduk di teras rumah memandangi langit yang indah. Pandangannya tertuju pada bulan yang sinar terangnya menjadi kegelapan dalam mata Belle. “Aku tidak punya siapa-siapa,” lanjutnya menyeka mata yang basah. “Belle,” sapa seseorang.Suara seorang gadis menarik manik Belle untuk meliriknya, seseorang yang tak asing di hidup Belle.“Aku tahu, aku tak pantas mengatakan ini. Tapi, jangan dengarkan apa yang mereka katakan.” pinta Dahlia berjalan mendekat ke arah Belle, ia tahu apa yang baru saja dilakukannya. Belle mungkin tak sudi menyambutnya, setelah apa yang ia perbuat saat di sekolah tadi.“Kau di pihaknya, kenap
Memanjatkan doa terbaiknya dan berharap semoga ia bisa ikhlas. Setelah selesai, Belle membeli makanan dan langsung pergi ke rumah sakit. Suasana taman rumah sakit penuh dengan beberapa pasien yang sedang berjemur, sepertinya kondisi mereka mulai membaik.Namun, saat sudah sampai di koridor ruanh rawat Reval, Belle melihat Ibu tirinya menangis sesenggukan di sana dengan tangan yang disatukan menutupi wajahnya.Belle segera menghampirinya dan duduk di sebelah Ibu tirinya. “Ibu, apa yang terjadi? Kenapa Ibu menangis?” Belle memperhatikan mata yang sudah merah itu.“Reval! Dia bangun tadi, tetapi tiba-tiba sesak nafas! Dokter masih memeriksanya.” ungkap Livia. Tak dapat menyembunyikan jiwa seorang Ibu yang seakan tercabik-cabik saat ini. “Tenanglah, Bu. Reval akan baik-baik saja.” Belle berusaha meyakinkan sembari memegang tangan Ibu tirinya. Sesaat setelahnya, dokter keluar dari ruangan Reval melepaskan masker yang menutupi wajahnya. Livia langsung menghalangi jalan dokter dengan p
Tiba-tiba terbesit sebuah ide di kepalanya, tentang gadis yang berada di belakangnya.Tanpa pikir panjang, Livia menarik Belle dan mendorongnya ke arah pria itu.“Ambil saja! Dia anak kandung Eleird!” tegasnya.Belle yang didorong sangat keras, menabrak tubuh pria itu yang malah menahannya untuk tak jatuh ke tanah.“Ibu! Apa yang ibu lakukan? Aku tidak mau ikut dengannya!” Belle tak menyangka Ibu tirinya akan setega itu, menyerahkannya sebagai pengganti hutang.“Kau benalu bagiku! Kau pikir setelah Ayahmu tiada aku mau mengurusmu? Anakku hanya satu, hanya Reval!” terang Livia seakan tengah melepaskan bebannya. Ia tak mau memikirkan bagaimana melunasi hutang Eleird dan mengurus Belle yang bukan anak kandungnya.“Aku selalu menuruti apa saja yang Ibu katakan, aku selalu mengalah! Tapi, kenapa Ibu masih tidak mau menganggapku?”“Apa aku harus mati hanya untuk diakui sebagai anak?”“Meskipun kau mati, aku tidak sudi menganggapmu anakku.”Belle terdiam, ia tak bisa bereaksi menghadapi Livi
Meskipun ia tak mengenal Albara, tetapi pria itu jauh lebih baik dari Ibu tirinya.Bahkan setelah bertahun-tahun bersama, ia tetap bukan apa-apa bagi Livia.Belle sampai di sekolahnya tepat waktu, bersama supir ia datang lebih cepat dari dugaannya. “Akan saya tunggu sampai pulang, nona.” pinta supir saat Belle akan keluar dari mobil.“Tidak, pak supir pergi saja tidak perlu berdiam di sini.”Belle beranjak dari sana menuju kelasnya, namun ia malah bertemu dengan Elvan. Ingin sekedar menyapa, tetapi Belle takut akan kembali hanyut dalam perasaannya. Elvan juga melaluinya tanpa menyapa, tak seperti biasa.Belle berusaha tak menghiraukan dan masuk ke dalam kelas.Di sana ia melihat Dahlia bersama Khaira, semuanya telah berubah dan Belle tidak boleh lupa akan hal itu.“Waktu tidak bisa diputar, jadi aku tidak boleh mengharapkannya.”Duduk di bangkunya menahan lapar, ia terlalu takut dengan Albara hingga tak berani berlama-lama di dekatnya.Saat Belle membuka tas yang di bawahnya, ia ter
Setelah sekolahnya selesai, Belle bergegas pulang. Tak ingin berlama-lama menatap wajah yang semakin membuatnya kesal.Supir sudah siap di depan gerbang untuk mengantarnya pulang.“Apa nona ingin langsung pulang?” tanya supir.“Tidak, aku ingin mengunjungi suatu tempat.”Sekarang belum terlalu sore, Belle akan mengunjungi Livia.Mobil itu menuju ke rumahnya, di perjalanan Belle terus berpikir bagaimana keadaan Livia sekarang? Mungkin seharusnya ia tak terlalu berbaik hati kepada Ibu tirinya.Sesampainya di sana, Belle terkejut karna rumahnya sangat sepi. Bahkan daun yang gugur kemarin, belum dibersihkan dari halaman rumah dan jndela juga tak dibuka seperti biasanya.“Ibu,” panggil Belle seraya mengetuk pintu beberapa kali.Tak ada yang membuka, saat ia mendorong knop pintu langsung terbuka. Yang memang tak dikunci sedari tadi, Belle berlanjut masuk dan menuju kamar Livia.Dapur dan ruang tamu sangat berantakan, Belle melihat Livia tersungkur dengan pandangan yang kosong.“Ibu!” pang
Belle merasa perih di bagian sikunya, ia baru ingat Livia mendorongnya dengan keras dan menyebabkan memar. “Lepaskan, tanganku sakit.” mintanya sembari menatap dengan mata yang basah, Albara berpindah ke sebelahnya.Belle menekuk tangan guna melihat sikunya, benar tergores di sana.“Di lemari ada obat,” titah Albara dan Belle segera menuju lemari dan mengambilnya dan mengobati lukanya sendiri, tak meminta bantuan kepada Albara.“Dia terbiasa mengobati lukanya sendiri?” batinnya.Albara membenarkan kerah bajunya, masih mengamati Belle.“Cepat mandi, setelah itu turun ke ruang tengah.” pintanya.Keluar dari kamar Belle, lebih dahulu ke ruang tengah.Sebenarnya, Albara tak tahu akan membicarakan apa dengan Belle dan mulutnya lepas kendali saat itu.Belle melakukan apa yang Albara katakan, setelah selesai ia pergi ke ruang tengah. Ia mendengar Albara berbicara begitu lembut dengan seseorang melalui panggilan suara.“Apa dia sudah memiliki istri?” batinnya mulai muncul rasa takut akan dic
Belle yang sedang belajar di kamar dipanggil untuk makan malam, setelah Albara tidak mengizinkannya untuk menemui Livia, Belle berdiam di kamarnya.Pria itu juga telah mengganti supirnya dengan yang baru, yang tidak berbicara sama sekali dengannya. Albara sudah terlebih dahulu di sana, tapi mata dan jemari tangannya masih fokus pada layar ponsel.“Makanlah,” pintanya.Namun, ia sendiri masih mengacuhkan piringnya.“Kenapa diam saja?” lanjut Albara.Ia duduk berdua dengan Belle di meja makan, tapi tetap merasa sendiri.“Aku sedang makan, bukankah tuan yang menyuruhku?” jawab Belle sudah melakukan apa yang Albara minta, tapi pria itu seakan sedang menyalahkannya.“Maaf, saya tidak fokus.” Albara masih bergelut dengan ponselnya, Belle pikir ia sedang bermain game. Akan tetapi, ia sedang menyelesaikan pekerjaannya. Tak berselang lama, Albara meletakkan ponselnya. Tubuhnya terasa pegal, banyak hal yang harus diurus. “Apa aku boleh keluar? Temanku ada yang berulang tahun.” Ia baru ingat
Dentingan ponsel menarik atensi Albara untuk mengulurkan tangannya, tatapan matanya berubah menjadi dingin kala membaca pesan yang dikirimkan kepadanya. Tanpa mengatakan apapun, ia membuang puntung rokok dan segera menuju kamarnya dengan tergesa-gesa.“Ada apa dengannya?” tanya Belle kala Albara keluar dari kamarnya. Gadis itu masih duduk di depan meja riasnya menatap pintu yang tak ditutup. Albara yang sampai di kamarnya buru-buru membuka laptop dan memeriksa sesuatu, raut wajahnya kian memburuk kala membaca email dari seseorang.“Sial! Dia membatalkan kerja sama hanya karna satu anggotanya ditangkap polisi.” geramnya memijat dahinya dengan gusar. “Kau juga harus menanggung kerugiannya!” pekiknya menuliskan pesan kepada sekretarisnya untuk segera menyiapkan tiket keluar negeri. Sementara itu, ia pergi mandi dan bersiap-siap untuk sarapan bersama Belle sesaat setelah pelayan memberitahunya bahwa Belle sudah menunggu di meja makan. Gadis itu fokus dengan ponselnya sampai-sampai t
Setelah sampai di rumah, ia tak mencari Albara karna tahu pria itu sudah berangkat bekerja. Bahkan tanpa sarapan, Belle duduk sendirian di meja makan menatap beberapa hidangan yang sudah disiapkan. “Kenapa pelayan menyajikan banyak makanan saat mereka tahu tuan tidak makan?” gumam Belle memakan perlahan. Belle menghabiskan waktunya seharian di rumah melakukan aktivitas yang dapat membuatnya sibuk. Namun, saat malam menjelang Albara tak kunjung pulang ataupun mengabari. “Biasanya sore tuan sudah pulang,” lirihnya.Berada di balkon terus memandang gerbang yang tertutup. Selang beberapa saat, Belle bergegas ke kamarnya berganti pakaian dan mengambil tas untuk menemui Albara di perusahaan tanpa memberitahunya. “Pak, apa masih lama?” tanya Belle tak sabar. “Sebentar lagi sampai, nona. Jalanan sedikit macet,” balas supir. Saat sampai, Belle masuk sendirian sementara supir menunggu di parkiran. Gadis itu merasa canggung kala memasuki tempat besar yang berisi orang-orang dengan penam
Belle merasa bahagia ketika menjalani prosesi wisuda, namun juga merasakan kekecewaan kala teringat Dahlia yang sudah tiada. Suasana itu membuat Belle merasa kesepian dan dirundung kesedihan. “Andai saja ... kau masih ada di sini,” lirihnya. Melirik buket bunga yang sedang dipegangnya. Kemudian, sorot matanya tiba-tiba tertuju pada Albara yang duduk di bangku wali murid dengan memegang ponselnya memotret Belle. Senyuman di wajah gadis itu kian merona menghadap Albara. Setelah acara selesai, Albara membawa Belle untuk pulang lebih awal. Namun, keduanya tak langsung sampai di rumah, melainkan datang ke sebuah gedung yang sengaja dipesan Albara.“Bagaimanapun juga, kita harus merayakannya.” gumam Albara mengulurkan tangannya. Berjalan masuk bersama Belle dan memasuki sebuah ruangan yang gelap. Langkah kaki Belle terhenti, matanya menatap tajam ke arah suasana sunyi penuh dengan warna hitam di hadapannya. Hatinya bergejolak kala Albara menariknya untuk masuk ke sana dan duduk di
Siang harinya, Albara bersiap untuk memulai pelatihan bersama timnya. Tak lupa membawa beberapa peralatan yang mereka butuhkan. Namun, dari keseluruhan yang ikut pelatihan Albara terus mengacuhkan Anna. Bahkan ucapan gadis itu tak diresponnya dan membuat Anna sangat marah.“Hanya aku, saat aku mengajak berbicara tuan mengabaikanku. Ada apa ini? Apa tuan menyalahkanku?” lirihnya gusar.Bibirnya membulat sempurna dengan mata yang melirik tajam, namun Anna tetap berusaha menarik atensi Albara. “Perhatikan baik-baik, setelah itu kalian lakukan sendiri,” titah Albara. Selang beberapa jam, ia meninggalkan lokasi hendak memeriksa keadaan Belle. Namun, saat ia sampai di sana matanya malah mendapati Anna berdiri di dekat ranjang Belle yang sudah ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah pelatihan masih berlangsung?” tanya Albara berjalan mendekat.“Aku pergi ke toilet, dan aku pikir akan mengunjunginya.” dalih Anna mundur beberapa langkah dari Belle. Albara menatap mata Belle da
Belle memegangi cangkir yang berisi teh hangat, menyeruputnya perlahan-lahan sembari membiarkan Albara memakaikan selimut di tubuhnya.“Hey, tuan kenapa mereka seperti itu?” tanya Belle kala matanya menangkap adegan kekerasan yang tak jauh dari posisinya.“Itu sudah biasa, tidak akan ada masalah jadi jangan dihiraukan.” balas Albara duduk di dekat Belle.Mengalihkan pandangannya dari kedua pria yang hendak berkelahi. Beberapa jam kemudian, Belle tertidur lelap menyender kepada Albara. Pria itu masih berbincang dengan asistennya dengan menahan tubuh Belle agar tak jatuh.Lalu, membawanya menuju kamar. Sebelum merebahkan Belle di ranjang, Albara melepaskan sepatu dan jaket yang ada pada Belle. Kemudian, mengambil pakaian di lemari dan menuju kamar mandi.“Berpacaran dengan gadis yang belum genap 19 tahun, apa bisa disebut menyukainya?” tanya Albara sembari memejamkan mata membiarkan air mengalir dari rambut menuju pangkal kakinya.Sejenak, mendongakkan kepala agar wajahnya terguyur a
“Berdiri, kalian sudah cukup istirahat!” titahnya kemudian.Belle berusaha menopang tubuhnya yang terus goyah dan berbaris bersama yang lain. “Lakukan kuda-kuda ... hey, kau bukan seperti itu!”Pengawas itu menghampiri Belle yang salah melakukan kuda-kuda, kemudian memukul kakinya dengan tongkat untuk membenarkan. Institut memulai dengan beberapa gerakan dasar belah diri yang kemudian diikuti oleh semua orang. Pengawas berjalan di sekeliling mereka dan memukul siapapun yang tak melakukan gerakan dengan baik. “Aku hanya salah sedikit, kenapa sampai seperti itu?” ringis Belle menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya setelah mendapatkan pukulan tongkat beberapa kali. Selang beberapa saat, Albara yang sudah selesai dengan kegiatannya menghampiri Belle yang sedang berlatih. Gadis itu mengerutkan kedua alisnya dengan bibir yang membulat kala Albara sampai.“Tuan, tahap pertama sudah hampir selesai.” ungkap pengawas menunduk saat berada di sebelah Albara.Pria itu mengepulkan asap rokok y
Kegelapan memenuhi satu ruangan di rumah megah yang penuh dengan cahaya lampu. Disaat itu, Albara tengah membawa piring dan gelas menuju ke sana. Menaiki satu-persatu anak tangga dengan perlahan. “Belle, kenapa tidak turun untuk makan?” tanya Albara kala membuka pintu kamar Belle.Gadis itu terbaring lemas di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya, Albara menyalakan lampu agar ruangan itu tak sunyi dan gelap.“Hey, bangun.” titah Albara menurunkan selimut dan menatap wajah Belle.“Aku tidak lapar, aku sangat mengantuk.” jawab Belle menepis tangan Albara yang memegangi selimut.Albara beralih duduk di sebelahnya dengan kaki yang mulai dinaikkan di ranjang. Satu tangan menepuk-nepuk kepala Belle yang tertutup selimut, sementara tangan lain memegangi ponsel.“Kenapa kau sangat keras kepala? Hanya karna masalah kecil selalu tidak makan,” ejek Albara.“Ini bukan masalah kecil, dampaknya sangat besar!” tegas Belle bangun dan memandang Albara yang tepat berada di sebelahnya. Wajah
Langkah kaki terlihat semakin memasuki area sekolah, suasana hening di pagi hari sedikit menenangkannya.Belle memegang tasnya erat-erat sembari menundukkan kepala dan berjalan menuju kelasnya.Lorong-lorong itu menjadi saksi kejadian tragis yang dialami Dahlia, namun Belle berusaha untuk tak melihatnya.“Aku salah, aku terlalu berharap bahwa semua ini hanya ilusi. Dan kemudian, aku kembali jatuh pada kenyataan yang pahit,” ujarnya.Berdiri di depan kelas memandangi bangku-bangku yang masih kosong.Matanya tertuju pada bangku tempat Dahlia duduk bersamanya, kakinya membeku di sana tak ingin masuk ke dalam kelas.Akan tetapi, Belle berusaha menghadapinya dan tak menghiraukan perasaannya yang terluka.Selang beberapa saat, kelas mulai di datangi oleh beberapa murid yang terkejut kala melihat Belle duduk di tempat Dahlia.Sekilas mereka mengira bahwa itu Dahlia. “Benarkan? Dia memang orang ternaif yang pernah aku temui.” ucap Khaira berjalan masuk ke dalam kelas bersama Angel.Maniknya
Dahlia kembali ke dalam kelasnya dengan mata yang sembab, sorakan saat ia masuk membuat mentalnya semakin jatuh.Orang-orang itu sama sekali tak memikirkan perasaannya. “Aku tidak tahan lagi,” gumamnya.Telinganya memaksa untuk tuli agar tak mendengarkan cemoohan yang semakin lama membuatnya muak. Setibanya di rumah, Dahlia langsung pergi menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Pikirannya sudah bulat, Dahlia menuliskan beberapa surat yang kemudian diletakkan di dalam laci.“Maaf ... maaf, aku tidak sekuat itu untuk menahan semua ini.” ucapnya meletakkan pulpen dan berjalan ke kamar mandi. Perlahan-lahan, Dahlia masuk ke dalam bathtub yang sudah penuh dengan air. Merebahkan tubuhnya seiring dengan kran air yang terus mengalir, Dahlia menikmati saat-saat terakhirnya.“Sangat me-ne-nang-kan-” Dahlia mulai kehilangan kesadarannya diiringi rasa sesak yang terus menekan jantungnya, namun hal itu nyatanya tak membuat Dahlia mengurungkan niatannya.*** Albara yang baru saja menyuapi B