Sesaat setelahnya, Albara diajak berbicara oleh rekan-rekan bisnisnya dan harus mengalihkan pandangannya dari Belle. “Bel, aku mau berbicara sebentar mari ke sana.” ajak Dahlia mengarahkan telunjuknya ke pintu kaca yang terhubung dengan kolam renang.Belle mengikuti Dahlia, tak berpikiran buruk akan niat gadis itu.“Kau datang juga ternyata,” sapa Khaira menarik mata Belle untuk menatapnya. Namun, ia dibuat salah fokus pada gaun yang dikenakan Belle. Masih satu brand dengan yang biasa ia beli, tapi itu edisi terbatas baru diluncurkan. “Apa kita perlu bermain truth or dare seperti waktu itu?” ajak Angel sengaja membicarakan ini untuk Belle. “Itu tidak seru sekarang,” ulas Khaira.Elvan hanya diam tak menjawab, sebenarnya ia tak mendukung rencana Khaira.“Apakah kita harus mengirimkan doa kepada Ayah Belle?” saran Khaira memancing amarah Belle yang diminta datang hanya untuk mendapat penghinaan.“Masalahmu denganku, bukan keluargaku!” tegas Belle muak saat Khaira membobol privasinya
Albara segera membawa Belle pulang, tubuh gadis itu menggigil. Ia terus mendekapnya, memakaikan selimut kepada Belle dan bersumpah akan menghancurkan siapa saja yang membuatnya terluka.“Dingin, dingin sekali,” lirih Belle terus menutup matanya, tubuhnya seakan sedang direndam dalam lautan air penuh es. “Kita akan segera sampai, tidurlah.” ucap Albara.Setelah sampai ia membawa Belle masuk ke kamar, membiarkan pelayan menggantikan baju Belle. Ia juga segera mengganti baju dan kembali ke kamar Belle. Hatinya benar-benar cemas, saat ini Albara lebih menganggap Belle sebagai anaknya.“Keluar,” titahnya kepada para pelayan yang masih di sana. Albara merebahkan tubuhnya di sebelah Belle, kembali mendekap tubuh Belle.Gadis itu meringkuk dalam pelukannya, seakan merasa sangat hangat.“Siapa yang mendorongmu?” tanya Albara sangat penasaran, bahkan ketika ia sedang berada di dekat Belle masih saja dalam bahaya. “Khaira, aku bertengkar dengannya.” terang Belle.Seharusnya Belle tak melawa
Albara yang bangun siang, berniat untuk menjemput Belle. Albara tak pernah punya waktu menjemput putrinya sepulang sekolah, ia akan melakukannya kepada Belle.“Seharusnya dia sudah pulang dari tadi kan?” tanya Albara yang datang ke sekolah Belle sendirian, tak bersama pengawal seperti biasanya.Para murid sudah pulang, tapi Belle tetap tidak muncul.“Kenapa tidak diangkat?” Albara terus menelpon Belle, setelah tak ada respon ia memutuskan untuk masuk ke dalam sekolah.Hendak mencari Belle, akan tetapi matanya fokus pada gadis yang sedang berjalan pelan di koridor depannya.“Belle!” panggilnya.Albara menuju ke arah Belle, tubuhnya basah, sangat pucat dan luka lebam di wajah dan lengannya.Gadis itu menatapnya nanar, berlari memeluknya dan menangis. Apa yang dilakukan Khaira sangat keterlaluan, setelah mental ia menyerang fisik Belle.“Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu seperti ini?” panik Albara menangkup pipi itu, Belle meringis kesakitan.“Mereka, mereka!” Belle tak sanggup menahan
Seseorang berjalan masuk ke sebuah tempat yang sudah ramai di pagi hari, bersiap membalas apa yang telah mereka lakukan. Albara sengaja menunda pekerjaannya di pagi hari agar bisa ke sekolah Belle.Bagaimanapun juga, semua ada ganti rugi yang sepadan.“Hal ini terjadi di sekolah, kenapa tidak ada penegasan?” tanya Albara setelah memutar rekaman itu, di mana Belle sedang dipukul brutal oleh Khaira. Elvan merekamnya, sementara Dahlia dan Angel hanya menonton.“Maaf, ini hanya salahpaham.” jawab kepala sekolah yang selalu dipihak Khaira, baru kali ini ada orang yang menentang gadis itu.“Salahpaham? Bukankah bukti sudah terlihat jelas? Apa menunggu saya membawanya ke ranah hukum?” ancamnya.Albara ingat, tentang terakhir kali ia berurusan dengan hukum bersama Eleird, sangat menyenangkan.“Anda siapa, ini hanya masalah anak-anak.” ujarnya.Jika masalah ini sampai dibawa ke ranah hukum, maka nama baik sekolahnya akan tercoreng.“Albara Alexander, wali Belle sekarang. Masalah anak-anak yan
Albara dan pengawalnya bergegas pergi terlebih dahulu.Meninggalkan Khaira yang sedang berdebat dengan kedua orang tuanya.Belle menatap ke arah Albara, “Sekarang aku tahu berapa banyak uang tuan,” lirih Belle.“Benarkah? Sebanyak apa?” “Sangat banyak! Apa saham sekolah mahal?” Belle mengulangi jawaban Albara hari itu, membuat pria di sebelahnya tersenyum tipis.“Tidak juga,” tidak sebanyak yang ia keluarkan untuk putrinya waktu itu. “Terima kasih, aku tidak tahu harus apa jika tidak ada tuan.” ungkap Belle.Benar, ia akan sangat terpuruk dan sekarang Elvan juga membencinya.Mereka tak langsung pulang ke rumah, Albara menuruti keinginan Belle untuk pergi berbelanja. Meskipun sebenarnya ia tak suka pergi ke mall. Melihat wajah Belle, Albara tak bisa menolaknya.“Apa bagus?” Belle menunjukkan sebuah gaun kepadanya.Albara hanya mengangguk, ia tak terlalu tahu tentang semua ini. Mungkin Belle sangat cocok dengan putrinya.Di sisi lain, tepatnya di rumah megah dengan gaya modern Khaira
Beberapa minggu telah berlalu, kejadian itu juga hanya menyisahkan kenangan belaka. Para murid yang lain juga menghabiskan waktu Khaira diskors dengan tenang. Khaira menahan amarahnya kala melihat Belle yang sudah terlebih dahulu sampai di kelas, ia sangat ingin mengganggu gadis itu demi memuaskan kekesalannya. “Jangan melakukan apapun, sementara biarkan saja. Posisi kita masih tidak aman,” ucap Angel menenangkan sembari memegangi tangan Khaira.Di antara yang lain, Khaira lebih mendengarkan ucapannya. Mereka duduk di bangku melewati Belle begitu saja, akan tetapi sorot mata itu tetap memancarkan permusuhan yang tak dapat dihindari lagi. “Aku ingin tahu, kenapa dia sangat membenciku?” tanya Belle dalam hatinya. Bahkan setelah beberapa tahun, tetap tidak ada habisnya. Ia selalu penasaran tentang kesalahan apa yang menyebabkan semua ini terjadi.Tak berselang lama, Dahlia juga datang sembari menggandeng tangan Elvan. Tak malu menunjukkan kemesraan mereka di depan umum, hubungan ke
Belle menundukkan kepalanya sendu, tangan yang semula memegang pulpen kini melepaskannya. Keputusan guru bahwa ia melakukan wawancara bersama Dahlia membuatnya resah. “Aku harap dia tidak mengajak Elvan,” rapal Belle membereskan bukunya dan bergegas ke kantin. Di sana sudah ramai dengan murid yang mengantri panjang, Belle memperhatikan sekeliling mencari kios yang tidak ramai. Kemudian, datang memesan dan duduk di bangku yang tersedia.Sejenak, Belle berusaha menenangkan pikirannya disaat tempat itu menjadi semakin bising. Tak memikirkan apapun dikala banyaknya suara yang beradu bersama. “Belle!” panggil seseorang dari belakang. “Astaga, aku baru saja makan!” erangnya meletakkan sendok itu ke mangkok dan menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.“Nanti kita bertemu di mana?” tanya Dahlia duduk di sebelah Belle.Gadis itu ingat bahwa sepersekian menit sebelumnya sedang bersama Elvan dan kini ada di dekatnya.Belle melanjutkan makannya, “Tidak tahu, kenapa kau terburu-buru?”“Ay
Mereka sampai di kediaman Albara, saat Elvan sedang memparkirkan mobil Dahlia tertuju pada kediaman yang sudah seperti istana itu. Kemudian, mereka masuk dan duduk di ruang tengah sementara Albara menuju ke ruang kerjanya. “Sudah berapa lama kau tinggal bersamanya?” tanya Dahlia disela-sela perbincangan mereka.“Hari saat adikku meninggal, malamnya aku datang ke sini. Semuanya terjadi begitu saja, aku masih tak mengerti.” Belle teringat akan kondisi Livia saat terakhir kali menemuinya, tubuhnya kurus dengan rambut acak-acakan. Saat Belle mengajak Dahlia ke kamarnya untuk membersihkan diri, Albara datang dan duduk di sofa tak jauh dari keberadaan Elvan. Menarik atensi itu menyadari kehadirannya, setelah mengambil satu Albara mengarahkan sebuah bungkus bertuliskan cigarettes kepada Elvan. “Seusiamu sudah merokok?” pertanyaannya terdengar menantang bagi Elvan yang kemudian mengambil satu beserta pemantik yang ada di dekatnya. Asap rokok keluar dari mulut kedua pria itu yang saling b