Albara dan pengawalnya bergegas pergi terlebih dahulu.Meninggalkan Khaira yang sedang berdebat dengan kedua orang tuanya.Belle menatap ke arah Albara, “Sekarang aku tahu berapa banyak uang tuan,” lirih Belle.“Benarkah? Sebanyak apa?” “Sangat banyak! Apa saham sekolah mahal?” Belle mengulangi jawaban Albara hari itu, membuat pria di sebelahnya tersenyum tipis.“Tidak juga,” tidak sebanyak yang ia keluarkan untuk putrinya waktu itu. “Terima kasih, aku tidak tahu harus apa jika tidak ada tuan.” ungkap Belle.Benar, ia akan sangat terpuruk dan sekarang Elvan juga membencinya.Mereka tak langsung pulang ke rumah, Albara menuruti keinginan Belle untuk pergi berbelanja. Meskipun sebenarnya ia tak suka pergi ke mall. Melihat wajah Belle, Albara tak bisa menolaknya.“Apa bagus?” Belle menunjukkan sebuah gaun kepadanya.Albara hanya mengangguk, ia tak terlalu tahu tentang semua ini. Mungkin Belle sangat cocok dengan putrinya.Di sisi lain, tepatnya di rumah megah dengan gaya modern Khaira
Beberapa minggu telah berlalu, kejadian itu juga hanya menyisahkan kenangan belaka. Para murid yang lain juga menghabiskan waktu Khaira diskors dengan tenang. Khaira menahan amarahnya kala melihat Belle yang sudah terlebih dahulu sampai di kelas, ia sangat ingin mengganggu gadis itu demi memuaskan kekesalannya. “Jangan melakukan apapun, sementara biarkan saja. Posisi kita masih tidak aman,” ucap Angel menenangkan sembari memegangi tangan Khaira.Di antara yang lain, Khaira lebih mendengarkan ucapannya. Mereka duduk di bangku melewati Belle begitu saja, akan tetapi sorot mata itu tetap memancarkan permusuhan yang tak dapat dihindari lagi. “Aku ingin tahu, kenapa dia sangat membenciku?” tanya Belle dalam hatinya. Bahkan setelah beberapa tahun, tetap tidak ada habisnya. Ia selalu penasaran tentang kesalahan apa yang menyebabkan semua ini terjadi.Tak berselang lama, Dahlia juga datang sembari menggandeng tangan Elvan. Tak malu menunjukkan kemesraan mereka di depan umum, hubungan ke
Belle menundukkan kepalanya sendu, tangan yang semula memegang pulpen kini melepaskannya. Keputusan guru bahwa ia melakukan wawancara bersama Dahlia membuatnya resah. “Aku harap dia tidak mengajak Elvan,” rapal Belle membereskan bukunya dan bergegas ke kantin. Di sana sudah ramai dengan murid yang mengantri panjang, Belle memperhatikan sekeliling mencari kios yang tidak ramai. Kemudian, datang memesan dan duduk di bangku yang tersedia.Sejenak, Belle berusaha menenangkan pikirannya disaat tempat itu menjadi semakin bising. Tak memikirkan apapun dikala banyaknya suara yang beradu bersama. “Belle!” panggil seseorang dari belakang. “Astaga, aku baru saja makan!” erangnya meletakkan sendok itu ke mangkok dan menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.“Nanti kita bertemu di mana?” tanya Dahlia duduk di sebelah Belle.Gadis itu ingat bahwa sepersekian menit sebelumnya sedang bersama Elvan dan kini ada di dekatnya.Belle melanjutkan makannya, “Tidak tahu, kenapa kau terburu-buru?”“Ay
Mereka sampai di kediaman Albara, saat Elvan sedang memparkirkan mobil Dahlia tertuju pada kediaman yang sudah seperti istana itu. Kemudian, mereka masuk dan duduk di ruang tengah sementara Albara menuju ke ruang kerjanya. “Sudah berapa lama kau tinggal bersamanya?” tanya Dahlia disela-sela perbincangan mereka.“Hari saat adikku meninggal, malamnya aku datang ke sini. Semuanya terjadi begitu saja, aku masih tak mengerti.” Belle teringat akan kondisi Livia saat terakhir kali menemuinya, tubuhnya kurus dengan rambut acak-acakan. Saat Belle mengajak Dahlia ke kamarnya untuk membersihkan diri, Albara datang dan duduk di sofa tak jauh dari keberadaan Elvan. Menarik atensi itu menyadari kehadirannya, setelah mengambil satu Albara mengarahkan sebuah bungkus bertuliskan cigarettes kepada Elvan. “Seusiamu sudah merokok?” pertanyaannya terdengar menantang bagi Elvan yang kemudian mengambil satu beserta pemantik yang ada di dekatnya. Asap rokok keluar dari mulut kedua pria itu yang saling b
‘Ceklik’ pintu kamar Belle terbuka dengan seorang pria yang masuk ke dalamnya.Menghampiri Belle yang tertidur di sana menampakkan lekukan tubuh indahnya, rok itu sedikit terangkat kendati demikian Albara berusaha tak melihatnya. “Belle, Bel!” panggilnya dengan menepuk pundak gadis itu yang malah memutar posisi tubuhnya. “Astaga gadis ini menyebalkan sekali, tuan Eleird haruskan anakmu ini disiram air?” Albara mendongak ke atas meskipun yang dilihatnya memang langit kamar, namun hatinya merasa terhubung dengan Eleird. “Tidak bangun sekarang maka jangan makan malam!” seru Albara mendekatkan wajahnya ke telinga Belle yang langsung menutup telinganya dan bangun.“Akh, telingaku sakit! Kenapa harus berteriak seperti itu?” gusarnya tak terima dan baru menyadari jika yang membangunkannya adalah Albara.Pria itu menatap tajam seakan ingin memakannya hidup-hidup, Belle menundukkan kepalanya takut.“Maaf, tapi ini memang sakit.” ucapnya dengan nada rendah. “Saya lapar, cepat turun dan maka
Mereka berjalan bersama menuju sebuah ruangan yang tak jauh dari kamarnya, setelah pelayan mengukur ukuran bajunya Belle beranjak dari sana hendak menghampiri Albara. “Astaga, malam-malam seperti ini.” ucap Belle kala melihat Albara sedang berenang di sana. “Jika dilihat-lihat, tubuhnya cukup bagus.” puji Belle saat mendekat dan duduk di bangku tak jauh dari kolam. Selang beberapa saat, pria itu naik dari kolam meraih handuk yang dibawakan pelayan dan duduk di sebelah Belle.Tangan itu mengambil segelas minuman yang berada di meja, kemudian meminumnya dalam satu kali tenggukan.“Malam-malam seperti ini berenang apa tidak dingin?” tanya Belle menatap Albara.Pria itu hanya menggeleng, pikirannya seakan fokus pada hal lain dan tak memperhatikan Belle. FlashbackSetelah selesai makan, Albara menuju ruang kerjanya hendak memeriksa berkas untuk meeting esok hari.Namun, sebuah pesan menghentikan langkahnya untuk sampai di sana.Tangannya beralih menghubungi seseorang dan langsung terhu
Belle meletakkan tas kecil yang ia bawa di sampingnya, sementara Dahlia meminum air di botol yang sedari tadi dipegangnya.“Kau pasti menang,” ungkap Belle. Dahlia menghembuskan nafas pelan, “Aku tidak yakin, lawan kali ini sangat tangguh.” Mereka segera berbaris mengikuti yang lain kala kepala sekolah datang bersama para guru di belakangnya. “Baik, apa semua peserta lomba sudah berkumpul?” tanya kepala sekolah memperhatikan sekeliling. “Sudah,” mereka menjawab. Dahlia harus bergabung dengan peserta yang lain dan meninggalkan Belle.Belle hanya menatapnya gusar, terbesit sebuah keinginan untuk memaafkan Dahlia sepenuhnya dan melupakan semua yang terjadi. Mereka mendengarkan intruksi kepala sekolah dengan cermat, kemudian bersama-sama menuju lapangan. Belle duduk di bangku yang disediakan menatap ke arah Elvan dan Dahlia yang tengah melakukan pemanasan bersama-sama.Bibir itu terulas dengan sempurna kala membenarkan tangan Dahlia agar melakukan pemanasan dengan benar. “Mereka pa
Belle meneteskan air mata, hanya bisa memandang sendu kepada Angel.“Apa yang aku perbuat? Kalian selalu menyalahkanku, tapi tidak memberitahu letak kesalahanku.” gumamnya masih memancarkan senyuman yang indah. “Apa kau tahu? Kau adalah orang terbodoh yang pernah aku kenal!” makinya juga mengeluarkan air mata. Angel terikat janji dengan Khaira untuk tidak memberitahu rahasianya, kini gadis itu hanya bisa terduduk dan menangis dengan meneluk lututnya. “Aku tahu kau peduli dengan Khaira, tapi dia memang tidak tahu apa-apa.” papar Elvan menenangkan Angel. “Khaira sudah tidak apa-apa 'kan? Tenangkan dirimu, jangan sampai Khaira tahu kau menangis.” lanjutnya.Belle beranjak dari sana tak ingin semakin memanaskan suasana, dalam langkah kakinya ia berusaha mengingat kesalahan apa yang pernah dibuat sampai menimbulkan keadaan ini.“Kita pulang saja,” ujar Belle kepada supir sesaat setelah masuk ke dalam mobil.“Tuan sudah pulang dan meminta nona pergi ke perusahannya sepulang sekolah.” un
Dentingan ponsel menarik atensi Albara untuk mengulurkan tangannya, tatapan matanya berubah menjadi dingin kala membaca pesan yang dikirimkan kepadanya. Tanpa mengatakan apapun, ia membuang puntung rokok dan segera menuju kamarnya dengan tergesa-gesa.“Ada apa dengannya?” tanya Belle kala Albara keluar dari kamarnya. Gadis itu masih duduk di depan meja riasnya menatap pintu yang tak ditutup. Albara yang sampai di kamarnya buru-buru membuka laptop dan memeriksa sesuatu, raut wajahnya kian memburuk kala membaca email dari seseorang.“Sial! Dia membatalkan kerja sama hanya karna satu anggotanya ditangkap polisi.” geramnya memijat dahinya dengan gusar. “Kau juga harus menanggung kerugiannya!” pekiknya menuliskan pesan kepada sekretarisnya untuk segera menyiapkan tiket keluar negeri. Sementara itu, ia pergi mandi dan bersiap-siap untuk sarapan bersama Belle sesaat setelah pelayan memberitahunya bahwa Belle sudah menunggu di meja makan. Gadis itu fokus dengan ponselnya sampai-sampai t
Setelah sampai di rumah, ia tak mencari Albara karna tahu pria itu sudah berangkat bekerja. Bahkan tanpa sarapan, Belle duduk sendirian di meja makan menatap beberapa hidangan yang sudah disiapkan. “Kenapa pelayan menyajikan banyak makanan saat mereka tahu tuan tidak makan?” gumam Belle memakan perlahan. Belle menghabiskan waktunya seharian di rumah melakukan aktivitas yang dapat membuatnya sibuk. Namun, saat malam menjelang Albara tak kunjung pulang ataupun mengabari. “Biasanya sore tuan sudah pulang,” lirihnya.Berada di balkon terus memandang gerbang yang tertutup. Selang beberapa saat, Belle bergegas ke kamarnya berganti pakaian dan mengambil tas untuk menemui Albara di perusahaan tanpa memberitahunya. “Pak, apa masih lama?” tanya Belle tak sabar. “Sebentar lagi sampai, nona. Jalanan sedikit macet,” balas supir. Saat sampai, Belle masuk sendirian sementara supir menunggu di parkiran. Gadis itu merasa canggung kala memasuki tempat besar yang berisi orang-orang dengan penam
Belle merasa bahagia ketika menjalani prosesi wisuda, namun juga merasakan kekecewaan kala teringat Dahlia yang sudah tiada. Suasana itu membuat Belle merasa kesepian dan dirundung kesedihan. “Andai saja ... kau masih ada di sini,” lirihnya. Melirik buket bunga yang sedang dipegangnya. Kemudian, sorot matanya tiba-tiba tertuju pada Albara yang duduk di bangku wali murid dengan memegang ponselnya memotret Belle. Senyuman di wajah gadis itu kian merona menghadap Albara. Setelah acara selesai, Albara membawa Belle untuk pulang lebih awal. Namun, keduanya tak langsung sampai di rumah, melainkan datang ke sebuah gedung yang sengaja dipesan Albara.“Bagaimanapun juga, kita harus merayakannya.” gumam Albara mengulurkan tangannya. Berjalan masuk bersama Belle dan memasuki sebuah ruangan yang gelap. Langkah kaki Belle terhenti, matanya menatap tajam ke arah suasana sunyi penuh dengan warna hitam di hadapannya. Hatinya bergejolak kala Albara menariknya untuk masuk ke sana dan duduk di
Siang harinya, Albara bersiap untuk memulai pelatihan bersama timnya. Tak lupa membawa beberapa peralatan yang mereka butuhkan. Namun, dari keseluruhan yang ikut pelatihan Albara terus mengacuhkan Anna. Bahkan ucapan gadis itu tak diresponnya dan membuat Anna sangat marah.“Hanya aku, saat aku mengajak berbicara tuan mengabaikanku. Ada apa ini? Apa tuan menyalahkanku?” lirihnya gusar.Bibirnya membulat sempurna dengan mata yang melirik tajam, namun Anna tetap berusaha menarik atensi Albara. “Perhatikan baik-baik, setelah itu kalian lakukan sendiri,” titah Albara. Selang beberapa jam, ia meninggalkan lokasi hendak memeriksa keadaan Belle. Namun, saat ia sampai di sana matanya malah mendapati Anna berdiri di dekat ranjang Belle yang sudah ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah pelatihan masih berlangsung?” tanya Albara berjalan mendekat.“Aku pergi ke toilet, dan aku pikir akan mengunjunginya.” dalih Anna mundur beberapa langkah dari Belle. Albara menatap mata Belle da
Belle memegangi cangkir yang berisi teh hangat, menyeruputnya perlahan-lahan sembari membiarkan Albara memakaikan selimut di tubuhnya.“Hey, tuan kenapa mereka seperti itu?” tanya Belle kala matanya menangkap adegan kekerasan yang tak jauh dari posisinya.“Itu sudah biasa, tidak akan ada masalah jadi jangan dihiraukan.” balas Albara duduk di dekat Belle.Mengalihkan pandangannya dari kedua pria yang hendak berkelahi. Beberapa jam kemudian, Belle tertidur lelap menyender kepada Albara. Pria itu masih berbincang dengan asistennya dengan menahan tubuh Belle agar tak jatuh.Lalu, membawanya menuju kamar. Sebelum merebahkan Belle di ranjang, Albara melepaskan sepatu dan jaket yang ada pada Belle. Kemudian, mengambil pakaian di lemari dan menuju kamar mandi.“Berpacaran dengan gadis yang belum genap 19 tahun, apa bisa disebut menyukainya?” tanya Albara sembari memejamkan mata membiarkan air mengalir dari rambut menuju pangkal kakinya.Sejenak, mendongakkan kepala agar wajahnya terguyur a
“Berdiri, kalian sudah cukup istirahat!” titahnya kemudian.Belle berusaha menopang tubuhnya yang terus goyah dan berbaris bersama yang lain. “Lakukan kuda-kuda ... hey, kau bukan seperti itu!”Pengawas itu menghampiri Belle yang salah melakukan kuda-kuda, kemudian memukul kakinya dengan tongkat untuk membenarkan. Institut memulai dengan beberapa gerakan dasar belah diri yang kemudian diikuti oleh semua orang. Pengawas berjalan di sekeliling mereka dan memukul siapapun yang tak melakukan gerakan dengan baik. “Aku hanya salah sedikit, kenapa sampai seperti itu?” ringis Belle menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya setelah mendapatkan pukulan tongkat beberapa kali. Selang beberapa saat, Albara yang sudah selesai dengan kegiatannya menghampiri Belle yang sedang berlatih. Gadis itu mengerutkan kedua alisnya dengan bibir yang membulat kala Albara sampai.“Tuan, tahap pertama sudah hampir selesai.” ungkap pengawas menunduk saat berada di sebelah Albara.Pria itu mengepulkan asap rokok y
Kegelapan memenuhi satu ruangan di rumah megah yang penuh dengan cahaya lampu. Disaat itu, Albara tengah membawa piring dan gelas menuju ke sana. Menaiki satu-persatu anak tangga dengan perlahan. “Belle, kenapa tidak turun untuk makan?” tanya Albara kala membuka pintu kamar Belle.Gadis itu terbaring lemas di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya, Albara menyalakan lampu agar ruangan itu tak sunyi dan gelap.“Hey, bangun.” titah Albara menurunkan selimut dan menatap wajah Belle.“Aku tidak lapar, aku sangat mengantuk.” jawab Belle menepis tangan Albara yang memegangi selimut.Albara beralih duduk di sebelahnya dengan kaki yang mulai dinaikkan di ranjang. Satu tangan menepuk-nepuk kepala Belle yang tertutup selimut, sementara tangan lain memegangi ponsel.“Kenapa kau sangat keras kepala? Hanya karna masalah kecil selalu tidak makan,” ejek Albara.“Ini bukan masalah kecil, dampaknya sangat besar!” tegas Belle bangun dan memandang Albara yang tepat berada di sebelahnya. Wajah
Langkah kaki terlihat semakin memasuki area sekolah, suasana hening di pagi hari sedikit menenangkannya.Belle memegang tasnya erat-erat sembari menundukkan kepala dan berjalan menuju kelasnya.Lorong-lorong itu menjadi saksi kejadian tragis yang dialami Dahlia, namun Belle berusaha untuk tak melihatnya.“Aku salah, aku terlalu berharap bahwa semua ini hanya ilusi. Dan kemudian, aku kembali jatuh pada kenyataan yang pahit,” ujarnya.Berdiri di depan kelas memandangi bangku-bangku yang masih kosong.Matanya tertuju pada bangku tempat Dahlia duduk bersamanya, kakinya membeku di sana tak ingin masuk ke dalam kelas.Akan tetapi, Belle berusaha menghadapinya dan tak menghiraukan perasaannya yang terluka.Selang beberapa saat, kelas mulai di datangi oleh beberapa murid yang terkejut kala melihat Belle duduk di tempat Dahlia.Sekilas mereka mengira bahwa itu Dahlia. “Benarkan? Dia memang orang ternaif yang pernah aku temui.” ucap Khaira berjalan masuk ke dalam kelas bersama Angel.Maniknya
Dahlia kembali ke dalam kelasnya dengan mata yang sembab, sorakan saat ia masuk membuat mentalnya semakin jatuh.Orang-orang itu sama sekali tak memikirkan perasaannya. “Aku tidak tahan lagi,” gumamnya.Telinganya memaksa untuk tuli agar tak mendengarkan cemoohan yang semakin lama membuatnya muak. Setibanya di rumah, Dahlia langsung pergi menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Pikirannya sudah bulat, Dahlia menuliskan beberapa surat yang kemudian diletakkan di dalam laci.“Maaf ... maaf, aku tidak sekuat itu untuk menahan semua ini.” ucapnya meletakkan pulpen dan berjalan ke kamar mandi. Perlahan-lahan, Dahlia masuk ke dalam bathtub yang sudah penuh dengan air. Merebahkan tubuhnya seiring dengan kran air yang terus mengalir, Dahlia menikmati saat-saat terakhirnya.“Sangat me-ne-nang-kan-” Dahlia mulai kehilangan kesadarannya diiringi rasa sesak yang terus menekan jantungnya, namun hal itu nyatanya tak membuat Dahlia mengurungkan niatannya.*** Albara yang baru saja menyuapi B