Parta menatap layar handphone-nya. Ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Biasanya, Parta akan mengabaikan pesan serupa, tapi kali ini dia tertarik untuk melihatnya. Bukan pesan teks, tetapi sebuah foto.
Nyla sedang berada di belakang gedung teknik kimia. Ia sedang berhadapan dengan seorang mahasiswa yang lain. Dari punggung mahasiswa itu Parta bisa langsung menebak bahwa itu adalah Nadia. Mahasiswa yang pernah memiliki obsesi padanya.
Menyusul pesan pertama. Parta kembali mendapat pesan gambar. Foto kedua ini memperlihatkan Nyla seorang diri sedang mengelap wajahnya menggunakan tisu. Parta mencoba memperbesar gambar itu dan dengan jelas melihat pipi Nyla yang memerah.
Kronologi yang dialami Nyla dapat dibayangkan oleh Parta. Tanda merah di pipi Nyla itu tentu saja ulah dari tangan Nadia.
Parta melempar tasnya ke jok bagian belakang mobilnya. Ia mengurungkan niat untuk pulang lebih awal. Ia harus menemui Nyla yang kemungkinan masih bera
Sesekali Parta memainkan kursi tinggi yang sedang didudukinya. Sesekali dia menelungkupkan wajahnya di atas meja. Beberapa kali dia menyugar rambutnya dengan kasar, juga wajahnya. Sudah dua gelas ia tenggak habis padahal pengunjung kelab masih sepi. Dia tak mungkin membiarkan dirinya mabuk. Bukan mabuk, lebih tepatnya merusak organ tubuh. Ia memainkan telunjuknya menelusuri bibir gelas. Lagi atau tidak, ia mempertimbangkan untuk kembali meminta dituangkan segelas. Ia mengamati jarum pada arloji mahal di pergelangan tangannya. Orang yang ditunggu belum juga memunculkan batang hidungnya meski waktu janji sudah lewat tiga puluh menit. Parta memutuskan tidak akan minum lagi. Ia turun dari kursi dan berjalan ke arah toilet. Air mengalir yang membasahi wajah pasti akan membuatnya lebih segar dan bisa berpikir lebih tenang. Benar saja, kekacauannya sedikit terurai, tapi bayangan gadis itu tetap saja jelas. Parta menatap wajahnya dari pantulan cermin. Ia berusaha men
Nyla masih memikirkan kata-kata Parta. Dia juga dipusingkan dengan ketakutannya mengenai biaya kuliah yang harus ditanggung jika beasiswanya dicabut. Bukan tidak mungkin Parta akan membocorkan rahasianya. Kini koran di depannya sudah penuh coretan, kolom lowongan pekerjaan paruh waktu. Hampir semuanya tak ada yang terlewatkan dari goresan tinta biru milik Nyla. Tangan kirinya menumpu kepala dan tangan kanannya memainkan bolpoin. Pikirannya menerawang masa depan yang akan dilaluinya. Pekerjaan paruh waktu tidak terlalu buruk, hanya perlu mengatur jadwal supaya masih ada waktu tersisa untuk sejenak beristirahat. Ia menukar bolpoin dengan handphone-nya mengetikkan sesuatu di sana. Selang beberapa saat wajahnya berubah gelisah. Lamaran yang dikirim via email beberapa menit sebelumnya sudah mendapat balasan, penolakan. “Lagi apa, Ny? Sepertinya gelisah sekali.” Kinan, salah satu teman sekelas Nyla datang menghampiri. “Ow, tidak kok. Lagi baca-baca
“Bel, aku ada tambahan nih buat kamu. Aku akan share nomor ke kamu, cari tahu siapa pemilik dan orang-orang di sekitarnya.” Parta menutup teleponnya. Pagi sudah lebih dulu merutukinya dengan berita tak sedap. Kini ia berdiri di kampusnya yang masih sepi. Berusaha mengalihkan suasana hati yang penat. Pagi yang membuatnya merasa bahwa tempat itu begitu punya arti. Lebih pagi, ternyata udara sejuk bisa dirasakan masuk ke paru-paru, memenuhi dan menyegarkan. Burung-burung yang tak pernah terlihat rupanya menguasai pagi dengan bertengger di setiap pohon yang rindang. Dari tempat parkir Parta berjalan ke gedung perkuliahan. Pintu-pintu kelas masih terkunci. Para petugas masih sibuk membersihkan lantai dan kaca-kaca jendela. Mereka menyapa dengan ramah meski wajahnya tak bisa berbohong, merasa aneh dengan mahasiswa yang datang terlalu pagi. Duduk di selasar depan pintu kelas sambil menunggu jam kuliah memang bukan hal memalukan, banyak yang melakuk
“Tugas kamu adalah selesaikan ini. Hari ini harus selesai.” Parta menyerahkan berkas untuk kepentingan pendaftaran pada Nyla. “Ini?” Nyla tertegun. Ia menerima berkas pendaftaran untuk namanya sendiri. Ia memastikan beberapa kali, berharap tidak ada kesalahan dari pandangan matanya. “Ya, hari ini harus selesai. Ingat itu.” Parta mempertegas perintahnya. Nyla mengangguk mantap. Ia mengambil berkas itu dengan semangat, juga laptop, dan keperluan lainnya. Semuanya ia masukkan ke dalam tas. Bilik baca di perpustakaan merupakan tempat yang tepat untuk menyelesaikan semua itu dan ke sanalah Nyla pergi dengan langkah yang riang. Membuat Nyla sibuk adalah tujuan Parta yang sesungguhnya. Untuk satu hal itu –menurut Parta— Nyla tidak hanya sibuk, tetapi juga tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Dengan begitu Parta bisa dengan tenang melakukan hal lain selagi Nyla menjalankan perintahnya. “Kamu yakin dengan ini?” Parta pergi ke sebuah resto
“Hmm. Apa?” Terdengar nada ancaman dari seberang telepon. Nyla mendudukkan tubuhnya tanpa sandaran dan membelalakkan matanya lebih lebar. Sebelah tangannya mencubit pipi. ‘Aww’ dia menjerit pelan merasakan sakit dari jarinya sendiri. “Hari Minggu yang payah!” Nyla membanting handphone-nya, ia mengumpat untuk dirinya sendiri. Menyesal, pasti, karena semalam ia lupa untuk mematikan handphone. Alhasil, pagi ini telepon berdering dan langsung membuat jiwa malasnya lenyap. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, harusnya dia masih punya satu jam untuk berkelana di dunia mimpi. Mau tidak mau sekarang dia harus beranjak dari kasur empuknya. “Ini lebih buruk dari punya kamu. Ganti!” Parta membalik layar laptop dan mendorongnya kembali ke depan Nyla. Nyla menatap tajam orang sombong yang duduk di depannya. Empat jam ia bekerja tanpa istirahat. Bahkan perutnya, yang hanya terisi sepotong roti saat sarapan, semaki
“Perlu berapa lama sampai di sana?” “Kurang lebih delapan jam. Jika saja tadi berangkat lebih awal kita bisa melewatkan kemacetan dan akan sampai dengan lebih cepat.” “Akan sangat melelahkan.” “Sudah kubilang, kita bisa menyuruh orang dan tinggal menunggu mereka menyampaikan laporannya, tapi kamu sendiri yang bersikeras.” “Aku harus memastikan sendiri.” “Ya, kalau sudah lelah aku bisa menggantikan.” Bela kembali memejamkan mata karena masih mengantuk sedangkan Parta mengikuti panduan dari GPS yang terus memberi informasi mengenai arah yang harus dituju. Kemajuan teknologi masa kini memang sangat bisa dirasakan. Berbagai kemudahan disajikan dalam waktu yang singkat dan lengkap. Seperti saat ini, Parta dan Bela sedang dalam perjalanan menuju daerah asal Nyla. Bukan daerah asal berdasarkan data yang diketahui Parta selama ini, tapi informasi terbaru yang didapat dari anak buah Bela. Dengan mudah mereka menelusuri jalan tanpa hambatan.
“Aku ke toilet dulu ya, Kak.” Nyla berpamitan pada Vika yang duduk di sebelahnya. Mereka sudah berbaikan, lebih tepatnya Vika sudah mau menyapa Nyla. “Sudah?” tanya Vika begitu Nyla kembali dari toilet. “Sudah, tapi masih nerveous.” Gadis itu mengambil berkas yang tadi ditinggal di kursi kemudian duduk memangkunya kembali. Kakinya tidak berhenti bergerak meski sudah disilangkan agar bisa lebih tenang. Begitu juga dengan jari-jarinya yang menari-nari di atas map. “Santai saja, tahap pertama tidak sesulit yang kamu bayangkan. Di sini semua sebagai pendengar.” “Kak Vika salah satu tim penilai, kan? Tidak apa-apa kakak duduk dekat aku?” “Tidak masalah, sekarang kan saatnya mendengarkan. Selain itu, porsi untuk nilai yang aku berikan tidak banyak pengaruhnya. Ngomong-omong Parta ke mana? Beberapa hari aku tidak melihat dia.” Pertanyaan yang membuat Nyla ingat akan salah satu rivalnya itu yang, seperti kata Vika, beb
Parta memarkirkan mobilnya di bahu jalan. Setelah terburu-buru dan harus membentak Nyla ia akhirnya menemukan mobil merah yang terparkir di bawah pohon dekat sebuah perumahan. Seorang perempuan keluar dari mobil itu dan berjalan ke arah Parta. Setelah membuka pintu, tanpa disuruh, perempuan itu masuk dan melepas kaca mata hitam yang digunakan untuk menghalau cahaya panas matahari. “Bagaimana? Sudah ketemu?” tanya Parta tanpa b**a-basi. Ia sudah menunggu beberapa hari dan sangat antusias saat Bela menyampaikan informasi terbarunya. “Sudah. Lihatlah!” Bela menyerahkan beberapa foto yang dikeluarkan dari amplop cokelat. Parta mengamati satu per satu foto yang masih terasa hangat itu. Foto yang menunjukkan beberapa wajah yang sudah dikenalnya dan mulai akrab di matanya. Ia mengamati sebentar untuk foto yang menampilkan dua pria paruh baya sedang berbincang. “Dia, ayah tiri Nyla,” jelas Bela sambil menunjuk salah satu wajah di foto itu. “Seperti li
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak