“Hmm. Apa?”
Terdengar nada ancaman dari seberang telepon. Nyla mendudukkan tubuhnya tanpa sandaran dan membelalakkan matanya lebih lebar. Sebelah tangannya mencubit pipi. ‘Aww’ dia menjerit pelan merasakan sakit dari jarinya sendiri.
“Hari Minggu yang payah!” Nyla membanting handphone-nya, ia mengumpat untuk dirinya sendiri. Menyesal, pasti, karena semalam ia lupa untuk mematikan handphone. Alhasil, pagi ini telepon berdering dan langsung membuat jiwa malasnya lenyap.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, harusnya dia masih punya satu jam untuk berkelana di dunia mimpi. Mau tidak mau sekarang dia harus beranjak dari kasur empuknya.
“Ini lebih buruk dari punya kamu. Ganti!” Parta membalik layar laptop dan mendorongnya kembali ke depan Nyla.
Nyla menatap tajam orang sombong yang duduk di depannya. Empat jam ia bekerja tanpa istirahat. Bahkan perutnya, yang hanya terisi sepotong roti saat sarapan, semaki
“Perlu berapa lama sampai di sana?” “Kurang lebih delapan jam. Jika saja tadi berangkat lebih awal kita bisa melewatkan kemacetan dan akan sampai dengan lebih cepat.” “Akan sangat melelahkan.” “Sudah kubilang, kita bisa menyuruh orang dan tinggal menunggu mereka menyampaikan laporannya, tapi kamu sendiri yang bersikeras.” “Aku harus memastikan sendiri.” “Ya, kalau sudah lelah aku bisa menggantikan.” Bela kembali memejamkan mata karena masih mengantuk sedangkan Parta mengikuti panduan dari GPS yang terus memberi informasi mengenai arah yang harus dituju. Kemajuan teknologi masa kini memang sangat bisa dirasakan. Berbagai kemudahan disajikan dalam waktu yang singkat dan lengkap. Seperti saat ini, Parta dan Bela sedang dalam perjalanan menuju daerah asal Nyla. Bukan daerah asal berdasarkan data yang diketahui Parta selama ini, tapi informasi terbaru yang didapat dari anak buah Bela. Dengan mudah mereka menelusuri jalan tanpa hambatan.
“Aku ke toilet dulu ya, Kak.” Nyla berpamitan pada Vika yang duduk di sebelahnya. Mereka sudah berbaikan, lebih tepatnya Vika sudah mau menyapa Nyla. “Sudah?” tanya Vika begitu Nyla kembali dari toilet. “Sudah, tapi masih nerveous.” Gadis itu mengambil berkas yang tadi ditinggal di kursi kemudian duduk memangkunya kembali. Kakinya tidak berhenti bergerak meski sudah disilangkan agar bisa lebih tenang. Begitu juga dengan jari-jarinya yang menari-nari di atas map. “Santai saja, tahap pertama tidak sesulit yang kamu bayangkan. Di sini semua sebagai pendengar.” “Kak Vika salah satu tim penilai, kan? Tidak apa-apa kakak duduk dekat aku?” “Tidak masalah, sekarang kan saatnya mendengarkan. Selain itu, porsi untuk nilai yang aku berikan tidak banyak pengaruhnya. Ngomong-omong Parta ke mana? Beberapa hari aku tidak melihat dia.” Pertanyaan yang membuat Nyla ingat akan salah satu rivalnya itu yang, seperti kata Vika, beb
Parta memarkirkan mobilnya di bahu jalan. Setelah terburu-buru dan harus membentak Nyla ia akhirnya menemukan mobil merah yang terparkir di bawah pohon dekat sebuah perumahan. Seorang perempuan keluar dari mobil itu dan berjalan ke arah Parta. Setelah membuka pintu, tanpa disuruh, perempuan itu masuk dan melepas kaca mata hitam yang digunakan untuk menghalau cahaya panas matahari. “Bagaimana? Sudah ketemu?” tanya Parta tanpa b**a-basi. Ia sudah menunggu beberapa hari dan sangat antusias saat Bela menyampaikan informasi terbarunya. “Sudah. Lihatlah!” Bela menyerahkan beberapa foto yang dikeluarkan dari amplop cokelat. Parta mengamati satu per satu foto yang masih terasa hangat itu. Foto yang menunjukkan beberapa wajah yang sudah dikenalnya dan mulai akrab di matanya. Ia mengamati sebentar untuk foto yang menampilkan dua pria paruh baya sedang berbincang. “Dia, ayah tiri Nyla,” jelas Bela sambil menunjuk salah satu wajah di foto itu. “Seperti li
“Par, akhir-akhir ini jarang kelihatan. Ke mana saja kamu?” “Sibuk.” Jawaban yang singkat. Ia mengaduk-aduk isi lokernya di ruangan itu, mencari dan mengumpulkan beberapa berkas. “Aku tanya ke mana bukan sedang apa.” Koreksi yang sebenarnya tak perlu disampaikan mengingat Parta sudah menyampaikan jawaban dengan asal. Parta hanya menggumam tak jelas sedang menjawab atau hanya sekadar ingin bersuara. Ia masih sibuk dengan lokernya dan kemudian merapikan ala kadarnya dan menutup, kali ini tidak dengan asal, ia mengunci lokernya. Suatu hal yang tidak biasa ia lakukan. “Sibuk sama cewek-cewek di luar? Aku dengar kamu makin sering ke luar malam. Ke kelab? Ajak-ajak dong!” Masih terus, mencoba bergunjing agar diperhatikan, tapi gagal. “Kalau Nyla datang ke sini, suruh dia temui aku di perpustakaan. Kalau bisa secepatnya.” Mengabaikan pertanyaan yang didengar. Parta meninggalkan Alex yang masih terbengong memandanginya, mulai dari berjalan di
“Kamu selalu saja sibuk beberapa hari ini.” Seorang lelaki paruh baya sedang duduk di sofa. Menyilangkan kakinya dan mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri, menatap lembar koran yang dibentangkan lebar-lebar di depan matanya yang polos tanpa kacamata. Surat kabar yang masih terlihat baru namun sesungguhnya sudah usang karena hari sudah malam. Tak biasanya Panji duduk menunggu. Ada sesuatu yang membuat pria itu harus bertatap muka dengan anaknya. “Ada beberapa yang harus aku persiapkan. Aku harus ikut pemilihan ketua organisasi dan menang.” Parta masih berdiri beberapa langkah dari pintu masuk rumah besar itu. “Hanya itu? Apa kamu tidak ingin bercerita dengan papa?” “Apa yang harus aku ceritakan? Papa sudah tahu rutinitasku. Selalu tahu ke mana aku pergi.” Parta kini ikut duduk di sofa. Meletakkan tasnya di samping kemudian melorotkan tubuhnya dan memejamkan mata. “Tidak untuk satu hal. Tadi pagi Karlos meneleponku, dia sendiri, memberit
Sejak pagi Nyla merasakan penat. Tak biasanya dia kurang semangat seperti hari ini. Gadis lincah yang selalu antusias dengan jam kuliah itu langsung menghambur ke luar ketika dosen mengakhiri perkuliahan. Sendiri, seperti biasa. Ia berjalan pelan dengan memegang kedua tali ranselnya. Sedikit celingukan dan bingung menentukan arah hingga sampai pada keputusan untuk duduk di gazebo taman. Cuaca panas terasa sejuk di bawah pohon yang rindang. Ia membersihkan meja batu di gazebo itu dengan tisu yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Mengeluarkan laptop dari ransel kemudian menyalakannya. “Sesekali melihat drama Korea pasti menyenangkan,” batin Nyla. Ia segera memasang earphone dan mulai menonton dari layar laptopnya. Ditemani sepotong roti sisa sarapan dan sebatang cokelat juga air mineral membuat Nyla begitu nyaman. Lalu lalang orang yang berjalan di sekitar taman tidak menjadi perhatiannya. Bahkan ketika ada orang yang berdiri tepat di belakangnya pun, Nyla tida
Musik masih perlahan mengalun, cahaya lampu masih tenang dan remang. Orang-orang di ruangan itu masing-masing berkerumun membentuk kelompok untuk saling berbincang. Tawa kecil terkadang meledak dari bibir mereka yang selalu senyum mengembang. Di antara ceria dan bahagia itu, di sofa tempat Nyla duduk bersama Bela hanya ada keheningan. Gelas yang dipegang Bela mulai mengembun mengeluarkan bulir-bulir air karena terlalu lama beradu dengan panas tubuh. “Kak.” Nyla menyapa perempuan berbalut dress warna merah itu. Dress tanpa lengan yang menampilkan kulit halus pemiliknya. Nyla mencoba membuka pembicaraan dengan Bela, namun perempuan itu tidak pernah mengalihkan pandangannya dari dua sosok yang sedang bercakap-cakap di salah satu sudut ruangan itu. “Kak, Bela.” Kali kedua Nyla menyapa dan kali pertama, sejak ia duduk bersebelahan, Bela menoleh padanya meski hanya sekilas. “Kak Parta pernah cerita kalau Kak Bela orang baik dan bisa diperc
Parta berpenampilan tidak seperti biasanya. Kali ini lebih formal dengan kemeja yang rapi dan almamater tersampir di lengannya. Setelah memantaskan diri di depan cermin dan merasa puas ia berjalan menutup pintu kamarnya dan menuruni tangga. Di ruang makan dia sudah melihat ayahnya sarapan dengan nasi goreng yang menjadi andalannya. Tanpa menyapa Parta langsung menyambar roti yang sudah diolesi selai kacang dan meminum segelas susu yang disiapkan ayahnya sebagai sarapan. Ia masih berdiri, satu tangan digunakan untuk makan dan tangan lainnya memeriksa handphone. “Rapi sekali. Ada acara?” “Hmmm,” jawab Parta masih berfokus pada layar benda mungil di tangannya. “Sepertinya penting sekali.” Panji menghentikan sarapannya dan berdiri menuangkan segelas air putih untuk mengakhiri sarapannya. “Hari ini aku ada seleksi akhir pemilihan ketua badan eksekutif. Rasanya lucu melihat banyak dari mereka yang mendukung aku dan membuat semacam