Musik masih perlahan mengalun, cahaya lampu masih tenang dan remang. Orang-orang di ruangan itu masing-masing berkerumun membentuk kelompok untuk saling berbincang. Tawa kecil terkadang meledak dari bibir mereka yang selalu senyum mengembang. Di antara ceria dan bahagia itu, di sofa tempat Nyla duduk bersama Bela hanya ada keheningan. Gelas yang dipegang Bela mulai mengembun mengeluarkan bulir-bulir air karena terlalu lama beradu dengan panas tubuh.
“Kak.” Nyla menyapa perempuan berbalut dress warna merah itu. Dress tanpa lengan yang menampilkan kulit halus pemiliknya.
Nyla mencoba membuka pembicaraan dengan Bela, namun perempuan itu tidak pernah mengalihkan pandangannya dari dua sosok yang sedang bercakap-cakap di salah satu sudut ruangan itu.
“Kak, Bela.” Kali kedua Nyla menyapa dan kali pertama, sejak ia duduk bersebelahan, Bela menoleh padanya meski hanya sekilas.
“Kak Parta pernah cerita kalau Kak Bela orang baik dan bisa diperc
Yang sudah baca, minta masukannya ya. :)
Parta berpenampilan tidak seperti biasanya. Kali ini lebih formal dengan kemeja yang rapi dan almamater tersampir di lengannya. Setelah memantaskan diri di depan cermin dan merasa puas ia berjalan menutup pintu kamarnya dan menuruni tangga. Di ruang makan dia sudah melihat ayahnya sarapan dengan nasi goreng yang menjadi andalannya. Tanpa menyapa Parta langsung menyambar roti yang sudah diolesi selai kacang dan meminum segelas susu yang disiapkan ayahnya sebagai sarapan. Ia masih berdiri, satu tangan digunakan untuk makan dan tangan lainnya memeriksa handphone. “Rapi sekali. Ada acara?” “Hmmm,” jawab Parta masih berfokus pada layar benda mungil di tangannya. “Sepertinya penting sekali.” Panji menghentikan sarapannya dan berdiri menuangkan segelas air putih untuk mengakhiri sarapannya. “Hari ini aku ada seleksi akhir pemilihan ketua badan eksekutif. Rasanya lucu melihat banyak dari mereka yang mendukung aku dan membuat semacam
“Kamu bisa tenang tidak sih, Ny!” Parta memejamkan matanya sesaat, menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan kemudian menengok Nyla yang duduk tepat di sebelah kanannya. Ia terpancing emosi sekaligus menahan diri saat melihat kaki Nyla yang tidak berhenti mengentak-entak lantai serta tangannya yang terus dibuat saling meremas. Gerakan yang tidak seberapa, tapi cukup intens dan cukup mengganggu Parta. Membuat dia yang harusnya memasang senyum sepanjang pemilihan kini harus menggerutu tak jelas. Nyla tidak memedulikan Parta, kaki dan tangannya terus digerakkan. Ia gugup dengan banyaknya mahasiswa yang datang ke aula untuk memberikan suara mereka. Satu per satu duduk di kursi antrean, sambil berbisik-bisik kemudian dipanggil untuk maju. Mereka menerima lembar yang berisi foto para calon, membawanya ke bilik dan keluar dengan lipatan kertas yang langsung dimasukkan ke kotak suara. Sudah itu mereka mencelupkan kelingking mereka sebagai tanda partisipasi.
“Lex, kunci mobil dong. Sepertinya ada yang tertinggal.” Parta celingukan seolah sedang mencari sesuatu. Alex paham dan segera merogoh kunci mobil yang sudah tersimpan nyaman di saku celananya. Ia memindahkannya ke atas meja yang langsung berpindah tangan begitu Parta mengambilnya. Parta dengan jelas mendengar Nyla mengucapkan kata ‘teledor’ untuk dirinya, ucapan spontan. Ia mengelus kepala gadis yang sedang menyantap pasta carbonara di sampingnya itu. “Aku mendengar apa yang baru saja kamu katakan,” bisiknya di dekat telinga sebelum akhirnya berdiri dan menjauh. *** “Bahagia sekali kalian.” Parta tidak sungguh-sungguh mengambil barang yang tertinggal di mobil. Itu semua hanya alibi untuk bisa mendekati Yoga dan Nadia kemudian meminta mereka pergi. Parta langsung menarik bangku kosong dari bagian seberang dan duduk di antara mereka. “Kali ini apa yang kalian rencanakan?” Parta melanjutkan kata-katanya karena dua orang
“Lex, buruan bilang. Sok misterius segala, sih!” kesal Parta yang duduk tepat di belakang Alex. “Apa sih, Par. Kamu itu duduk manis saja. Berisik tahu!” “Tadi, Vika kirim pesan apa? Pasti tentang aku, ya kan?” Parta menyembulkan kepalanya di samping Alex, di sebelah kiri wajah Alex. “Jauh-jauh bisa tidak?” Alex merasa risih dengan kemunculan wajah Parta di dekatnya. “Terlalu percaya diri. Kalau tentang kamu pasti kirim pesan langsung ke handphone kamu,” lanjutnya. “Tidak, percaya. Mana handphone kamu.” Masih dengan posisi yang sama Parta mencoba memaksa Alex untuk menyerahkan handphone-nya. Ia menodongkan tangan kirinya . “Apaan sih kalian ini. Nanti bisa celaka tahu! Sabar, aku juga penasaran.” Renata yang duduk di bangku depan, di samping Alex, melerai adegan konyol keduanya. Nada tinggi yang digunakan mampu menyurutkan Parta yang kemudian beringsut mundur dan duduk dengan tenang. “Tidak sabar bange
Parta telah mengakhiri pidatonya. Kini aula sudah sepi dan dia hanya berdua bersama dengan Alex. Mereka ke luar dan menunggu di depan aula. Sama-sama menyandarkan tubuh ke dinding hingga dua sosok muncul dari ujung lorong menuju ke arah mereka. “Kalian dari mana?” tanya Alex. Vika menunjuk arah belakangnya, tanpa kejelasan. Bola matanya memutar, tanda bahwa ia tidak memiliki jawaban untuk disampaikan. “Kok hanya berdua? Nyla mana?” Parta celingukan ketika mendapati Nyla tidak ada di antara Vika dan Renata. Vika hanya mampu mengangkat bahu. “Tadi pergi, tapi kami tidak tahu ke mana. Sudah kami cari ke mana-mana, tapi tidak ketemu juga.” Renata mengembuskan napas kemudian mendekati Alex dan menggamit lengan kekasihnya itu. “Handphone-nya tidak aktif. Aku sudah mencoba menghubungi,” sergah Vika begitu melihat Parta meraih alat komunikasi itu dari sakunya. “Mungkin sudah pulang,” lanjut Vika berusaha berpikir positif. Padahal Renata sempa
Masih sekitar pukul sembilan. Langit cerah, bintang-bintang belum banyak yang tampak. Jalanan masih ramai. Kendaraan berlalu lalang membawa pemiliknya memanjakan diri. Parta mengendarai mobilnya dengan santai, tak ingin berebut dengan pengendara lain. Musik menemani, jenis musik jazz, If You Could See Me Now by Chet Baker, yang membawa suasana tenang. Ia berdendang mengikuti instrumen yang merambati daun telinganya. Terlintas di pikiran Parta saat melihat seorang ibu menggandeng tangan anaknya keluar dari toko di dekat persimpangan jalan. Tepat di samping lampu merah yang menyala di depan Parta. Dua insan itu menyeberang dengan wajah si anak yang begitu cerita menggenggam sepotong roti yang sudah digigitnya. Sejenak Parta mempertimbangkan untuk turun dan membeli makan malam untuk Nyla. Ada juga sesal saat ia menolak tawaran ayahnya untuk membawa beberapa makan malam mereka. Parta menepis pikirannya begitu lampu hijau terang kembali menyala. Ia kembal
“Halo, Nyla.” Robi memasang senyum seringai. Ia mengamati Nyla dan menunggu gadis itu menyambut sapaannya. Nyla sendiri tersentak kaget. Di lorong lantai tiga, setelah ke luar dari aula, ia berjalan sambil menunduk berharap sisa-sisa air matanya segera kering. Ia berhenti dari langkahnya yang memang sudah kecil. Ada pria yang menyapa, berdiri tepat di depannya. Dia bukan mahasiswa dan Nyla tahu betul siapa orang itu. Mereka berakhir di sebuah resto yang sudah dipilih Robi setelah Nyla menyetujui untuk berbicara dengan orang itu. Entah mengapa Nyla dengan cepat menganggukkan kepala ketika Robi mengajaknya ke luar. “Kamu mau pesan apa, Ny?” Nyla hanya menggelengkan kepala. Ia sedikit takut sehingga lebih memilih berdiam diri. “Ok, sudah bukan jam makan siang dan belum saatnya untuk makan malam. Mungkin lain kali aku akan memilih waktu yang tepat. Semoga saja aku bisa menyisihkan waktu untuk gadis secantik kamu.” Robi tersenyum pada Nyla.
“Vik, aku boleh mengobrol bentar sama Nyla. Hanya berdua.” Parta baru saja datang ke basecamp dan langsung mendekati tempat Vika dan Nyla yang sedang sibuk di depan laptop. Ia meminta izin Vika yang sedang mengerjakan laporan bersama Nyla. Berharap bisa berbicara berdua tanpa ada orang lain. Nyla mendongak, mengalihkan pandangannya dari laptop kepada pemuda yang sudah berdiri menjulang di depannya. Alisnya menyatu, ada tanya yang tidak terucapkan. Sementara orang yang mengalihkan pandangannya masih menumpukan kedua telapak tangannya di tepi meja, menunggu jawaban dari orang yang duduk di sebelah kanannya. “Boleh, tapi bukan aku yang pergi. Jadi, silakan kalian cari tempat lain,” jawab Vika setelah beberapa saat mengamati mereka berdua secara bergantian. Ia paham bahwa dalam suatu hubungan tentu ada yang perlu dibicarakan secara pribadi. Meski dirinya merupakan teman dari keduanya dan begitu sangat dekat, namun dia tidak ingin terlalu mencampuri urusa
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak