“Lex, buruan bilang. Sok misterius segala, sih!” kesal Parta yang duduk tepat di belakang Alex.
“Apa sih, Par. Kamu itu duduk manis saja. Berisik tahu!”
“Tadi, Vika kirim pesan apa? Pasti tentang aku, ya kan?” Parta menyembulkan kepalanya di samping Alex, di sebelah kiri wajah Alex.
“Jauh-jauh bisa tidak?” Alex merasa risih dengan kemunculan wajah Parta di dekatnya. “Terlalu percaya diri. Kalau tentang kamu pasti kirim pesan langsung ke handphone kamu,” lanjutnya.
“Tidak, percaya. Mana handphone kamu.” Masih dengan posisi yang sama Parta mencoba memaksa Alex untuk menyerahkan handphone-nya. Ia menodongkan tangan kirinya .
“Apaan sih kalian ini. Nanti bisa celaka tahu! Sabar, aku juga penasaran.”
Renata yang duduk di bangku depan, di samping Alex, melerai adegan konyol keduanya. Nada tinggi yang digunakan mampu menyurutkan Parta yang kemudian beringsut mundur dan duduk dengan tenang.
“Tidak sabar bange
Terima kasih sudah membaca sampai di sini. :)
Parta telah mengakhiri pidatonya. Kini aula sudah sepi dan dia hanya berdua bersama dengan Alex. Mereka ke luar dan menunggu di depan aula. Sama-sama menyandarkan tubuh ke dinding hingga dua sosok muncul dari ujung lorong menuju ke arah mereka. “Kalian dari mana?” tanya Alex. Vika menunjuk arah belakangnya, tanpa kejelasan. Bola matanya memutar, tanda bahwa ia tidak memiliki jawaban untuk disampaikan. “Kok hanya berdua? Nyla mana?” Parta celingukan ketika mendapati Nyla tidak ada di antara Vika dan Renata. Vika hanya mampu mengangkat bahu. “Tadi pergi, tapi kami tidak tahu ke mana. Sudah kami cari ke mana-mana, tapi tidak ketemu juga.” Renata mengembuskan napas kemudian mendekati Alex dan menggamit lengan kekasihnya itu. “Handphone-nya tidak aktif. Aku sudah mencoba menghubungi,” sergah Vika begitu melihat Parta meraih alat komunikasi itu dari sakunya. “Mungkin sudah pulang,” lanjut Vika berusaha berpikir positif. Padahal Renata sempa
Masih sekitar pukul sembilan. Langit cerah, bintang-bintang belum banyak yang tampak. Jalanan masih ramai. Kendaraan berlalu lalang membawa pemiliknya memanjakan diri. Parta mengendarai mobilnya dengan santai, tak ingin berebut dengan pengendara lain. Musik menemani, jenis musik jazz, If You Could See Me Now by Chet Baker, yang membawa suasana tenang. Ia berdendang mengikuti instrumen yang merambati daun telinganya. Terlintas di pikiran Parta saat melihat seorang ibu menggandeng tangan anaknya keluar dari toko di dekat persimpangan jalan. Tepat di samping lampu merah yang menyala di depan Parta. Dua insan itu menyeberang dengan wajah si anak yang begitu cerita menggenggam sepotong roti yang sudah digigitnya. Sejenak Parta mempertimbangkan untuk turun dan membeli makan malam untuk Nyla. Ada juga sesal saat ia menolak tawaran ayahnya untuk membawa beberapa makan malam mereka. Parta menepis pikirannya begitu lampu hijau terang kembali menyala. Ia kembal
“Halo, Nyla.” Robi memasang senyum seringai. Ia mengamati Nyla dan menunggu gadis itu menyambut sapaannya. Nyla sendiri tersentak kaget. Di lorong lantai tiga, setelah ke luar dari aula, ia berjalan sambil menunduk berharap sisa-sisa air matanya segera kering. Ia berhenti dari langkahnya yang memang sudah kecil. Ada pria yang menyapa, berdiri tepat di depannya. Dia bukan mahasiswa dan Nyla tahu betul siapa orang itu. Mereka berakhir di sebuah resto yang sudah dipilih Robi setelah Nyla menyetujui untuk berbicara dengan orang itu. Entah mengapa Nyla dengan cepat menganggukkan kepala ketika Robi mengajaknya ke luar. “Kamu mau pesan apa, Ny?” Nyla hanya menggelengkan kepala. Ia sedikit takut sehingga lebih memilih berdiam diri. “Ok, sudah bukan jam makan siang dan belum saatnya untuk makan malam. Mungkin lain kali aku akan memilih waktu yang tepat. Semoga saja aku bisa menyisihkan waktu untuk gadis secantik kamu.” Robi tersenyum pada Nyla.
“Vik, aku boleh mengobrol bentar sama Nyla. Hanya berdua.” Parta baru saja datang ke basecamp dan langsung mendekati tempat Vika dan Nyla yang sedang sibuk di depan laptop. Ia meminta izin Vika yang sedang mengerjakan laporan bersama Nyla. Berharap bisa berbicara berdua tanpa ada orang lain. Nyla mendongak, mengalihkan pandangannya dari laptop kepada pemuda yang sudah berdiri menjulang di depannya. Alisnya menyatu, ada tanya yang tidak terucapkan. Sementara orang yang mengalihkan pandangannya masih menumpukan kedua telapak tangannya di tepi meja, menunggu jawaban dari orang yang duduk di sebelah kanannya. “Boleh, tapi bukan aku yang pergi. Jadi, silakan kalian cari tempat lain,” jawab Vika setelah beberapa saat mengamati mereka berdua secara bergantian. Ia paham bahwa dalam suatu hubungan tentu ada yang perlu dibicarakan secara pribadi. Meski dirinya merupakan teman dari keduanya dan begitu sangat dekat, namun dia tidak ingin terlalu mencampuri urusa
“Please!” Vika memohon. “Mumpung aku lagi baikan sama Yoga. Masa kalian tidak dukung aku, sih?” “Aku saja kurang sreg sama dia, apalagi nanti Parta. Kamu tahu kan kalau itu anak dendam banget sama Yoga.” “Ini juga buat perpisahan kamu yang mau ke luar organisasi sekaligus perayaan kemenangan Parta dan pelepasan status aku sebagai ketua. Cuma kita bertiga, sama pacar. Parta pasti bisa mengerti, kok.” Vika masih menelisik wajah Alex yang terus berusaha menghindarinya. “Bisa, ya,” imbuhnya penuh harap. “Ya, ya, ya. Oke. Nanti aku usahakan buat bicara sama Renata,” lepas Alex putus asa. “Yes. Thank you, Alex.” Mata Vika berbinar. Rencana liburan bersama sudah tergambar di pikiran Vika. Dengan meminjam salah satu vila milik keluarga Renata, ia mengagendakan kegiatan santai untuk dua hari dan dua malam. Kegiatan bersama dan kegiatan santai bersama pasangan. Pertemanan mereka mungkin tidak terlalu
Sorot lampu memasuki halaman ketika mereka sudah mulai memanggang beberapa daging. Aroma arang dan batok kelapa yang menjadi bara bercampur dengan aroma daging mentah yang mulai gosong. Semakin lengkap saat berpadu dengan beberapa rempah yang mulai dipercikkan dan dioleskan. Alex sibuk mengipasinya membuat asap terkadang mengepul dan berhamburan sedang Renata membalik-balik tusukan itu dan sesekali mengoleskan lagi bumbu dengan menggunakan kuas. “Tunggu dulu, sayang. Nanti tidak matang kalau buru-buru dibalik terus,” tukas Alex memperingatkan Renata. Gadis itu seketika mengerucutkan bibirnya tanda tak setuju saat aksinya diracau. Yoga dan Vika sedang asyik menunggu sepanci air yang digantungkannya di atas api unggun. Mereka tampak berbincang dan saling tersenyum. Terkadang tangan Yoga kembali menghimpun api unggun yang sudah mulai melebar. Menimbulkan percikan api yang membuat mereka berdua melepas tawa. Mobil yang baru masuk ke halaman itu terdengar berhenti. Mesin
“Semua sudah aku periksa tadi siang, Rob. Kamu jangan macam-macam! Semua yang aku tangani sudah beres.” Suara Parta masih sedikit ditahan mengingat waktu yang sudah larut. Ia khawatir suaranya terdengar dan mengganggu mereka yang sudah beristirahat. “Lalu apa masalahnya denganku? Itu orang kamu, jadi kamu yang selesaikan,” lanjut Parta yang sudah mulai hilang kesabaran. “Aku tidak mau tahu, semua harus beres!” Parta menutup teleponnya dan menyugar kasar rambutnya. Ia menyakukan kembali alat komunikasi itu dan menyalakan keran. Ia merangkum air yang mengalir dengan kedua telapak tangannya. Membasuh muka adalah pilihan yang tepat untuk menyegarkan pikiran. Ia menatap wajahnya yang basah memantul dari dalam kaca di depannya. Di sana juga tampak seorang yang berdiri di dekat pintu tak jauh di belakangnya. Parta sangat yakin Yoga ikut mendengar pembicaraannya. Ia membalik badan dan berjalan mendekati Yoga yang masih tenang. “Apa yang kamu dengar?”
Mereka sudah sampai di halaman ketika sedang berdebat. Nyla masih ingin menikmati suasana di pegunungan itu sementara Parta memaksanya untuk ikut kembali ke kota. Parta tak ingin dibantah. Siang itu ia harus kembali bersama dengan Nyla. Ia tak ingin meninggalkan Nyla di vila bersama dengan yang lainnya. “Aku masih banyak urusan, Ny! Gak bisa lama di sini. Lagian kan tinggal acara pribadi. Vika juga sudah mengizinkan. So? Apa lagi? Kita pulang pokoknya. Jadi, cepat bereskan barangmu!” Parta meminta Nyla segera masuk dan bersiap. Meski gerutu dan penolakan Nyla terus terlontar Parta tetap bergeming. “Kan bisa balik sendiri dan aku tetap di sini sama yang lain. Tidak masalah, kok.” Nyla mengangkat kedua tangannya. “Memangnya kamu mau ngapain sendirian di sini? Apa yang bakal kamu lakukan? Atau sengaja mau merepotkan mereka?” Parta mencoba berargumen. “Sudah, tidak usah bantah, atau …?” Parta tidak melanjutkan ancamannya. “Ya, y