“Aku ke toilet dulu ya, Kak.”
Nyla berpamitan pada Vika yang duduk di sebelahnya. Mereka sudah berbaikan, lebih tepatnya Vika sudah mau menyapa Nyla.
“Sudah?” tanya Vika begitu Nyla kembali dari toilet.
“Sudah, tapi masih nerveous.”
Gadis itu mengambil berkas yang tadi ditinggal di kursi kemudian duduk memangkunya kembali. Kakinya tidak berhenti bergerak meski sudah disilangkan agar bisa lebih tenang. Begitu juga dengan jari-jarinya yang menari-nari di atas map.
“Santai saja, tahap pertama tidak sesulit yang kamu bayangkan. Di sini semua sebagai pendengar.”
“Kak Vika salah satu tim penilai, kan? Tidak apa-apa kakak duduk dekat aku?”
“Tidak masalah, sekarang kan saatnya mendengarkan. Selain itu, porsi untuk nilai yang aku berikan tidak banyak pengaruhnya. Ngomong-omong Parta ke mana? Beberapa hari aku tidak melihat dia.”
Pertanyaan yang membuat Nyla ingat akan salah satu rivalnya itu yang, seperti kata Vika, beb
Parta memarkirkan mobilnya di bahu jalan. Setelah terburu-buru dan harus membentak Nyla ia akhirnya menemukan mobil merah yang terparkir di bawah pohon dekat sebuah perumahan. Seorang perempuan keluar dari mobil itu dan berjalan ke arah Parta. Setelah membuka pintu, tanpa disuruh, perempuan itu masuk dan melepas kaca mata hitam yang digunakan untuk menghalau cahaya panas matahari. “Bagaimana? Sudah ketemu?” tanya Parta tanpa b**a-basi. Ia sudah menunggu beberapa hari dan sangat antusias saat Bela menyampaikan informasi terbarunya. “Sudah. Lihatlah!” Bela menyerahkan beberapa foto yang dikeluarkan dari amplop cokelat. Parta mengamati satu per satu foto yang masih terasa hangat itu. Foto yang menunjukkan beberapa wajah yang sudah dikenalnya dan mulai akrab di matanya. Ia mengamati sebentar untuk foto yang menampilkan dua pria paruh baya sedang berbincang. “Dia, ayah tiri Nyla,” jelas Bela sambil menunjuk salah satu wajah di foto itu. “Seperti li
“Par, akhir-akhir ini jarang kelihatan. Ke mana saja kamu?” “Sibuk.” Jawaban yang singkat. Ia mengaduk-aduk isi lokernya di ruangan itu, mencari dan mengumpulkan beberapa berkas. “Aku tanya ke mana bukan sedang apa.” Koreksi yang sebenarnya tak perlu disampaikan mengingat Parta sudah menyampaikan jawaban dengan asal. Parta hanya menggumam tak jelas sedang menjawab atau hanya sekadar ingin bersuara. Ia masih sibuk dengan lokernya dan kemudian merapikan ala kadarnya dan menutup, kali ini tidak dengan asal, ia mengunci lokernya. Suatu hal yang tidak biasa ia lakukan. “Sibuk sama cewek-cewek di luar? Aku dengar kamu makin sering ke luar malam. Ke kelab? Ajak-ajak dong!” Masih terus, mencoba bergunjing agar diperhatikan, tapi gagal. “Kalau Nyla datang ke sini, suruh dia temui aku di perpustakaan. Kalau bisa secepatnya.” Mengabaikan pertanyaan yang didengar. Parta meninggalkan Alex yang masih terbengong memandanginya, mulai dari berjalan di
“Kamu selalu saja sibuk beberapa hari ini.” Seorang lelaki paruh baya sedang duduk di sofa. Menyilangkan kakinya dan mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri, menatap lembar koran yang dibentangkan lebar-lebar di depan matanya yang polos tanpa kacamata. Surat kabar yang masih terlihat baru namun sesungguhnya sudah usang karena hari sudah malam. Tak biasanya Panji duduk menunggu. Ada sesuatu yang membuat pria itu harus bertatap muka dengan anaknya. “Ada beberapa yang harus aku persiapkan. Aku harus ikut pemilihan ketua organisasi dan menang.” Parta masih berdiri beberapa langkah dari pintu masuk rumah besar itu. “Hanya itu? Apa kamu tidak ingin bercerita dengan papa?” “Apa yang harus aku ceritakan? Papa sudah tahu rutinitasku. Selalu tahu ke mana aku pergi.” Parta kini ikut duduk di sofa. Meletakkan tasnya di samping kemudian melorotkan tubuhnya dan memejamkan mata. “Tidak untuk satu hal. Tadi pagi Karlos meneleponku, dia sendiri, memberit
Sejak pagi Nyla merasakan penat. Tak biasanya dia kurang semangat seperti hari ini. Gadis lincah yang selalu antusias dengan jam kuliah itu langsung menghambur ke luar ketika dosen mengakhiri perkuliahan. Sendiri, seperti biasa. Ia berjalan pelan dengan memegang kedua tali ranselnya. Sedikit celingukan dan bingung menentukan arah hingga sampai pada keputusan untuk duduk di gazebo taman. Cuaca panas terasa sejuk di bawah pohon yang rindang. Ia membersihkan meja batu di gazebo itu dengan tisu yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Mengeluarkan laptop dari ransel kemudian menyalakannya. “Sesekali melihat drama Korea pasti menyenangkan,” batin Nyla. Ia segera memasang earphone dan mulai menonton dari layar laptopnya. Ditemani sepotong roti sisa sarapan dan sebatang cokelat juga air mineral membuat Nyla begitu nyaman. Lalu lalang orang yang berjalan di sekitar taman tidak menjadi perhatiannya. Bahkan ketika ada orang yang berdiri tepat di belakangnya pun, Nyla tida
Musik masih perlahan mengalun, cahaya lampu masih tenang dan remang. Orang-orang di ruangan itu masing-masing berkerumun membentuk kelompok untuk saling berbincang. Tawa kecil terkadang meledak dari bibir mereka yang selalu senyum mengembang. Di antara ceria dan bahagia itu, di sofa tempat Nyla duduk bersama Bela hanya ada keheningan. Gelas yang dipegang Bela mulai mengembun mengeluarkan bulir-bulir air karena terlalu lama beradu dengan panas tubuh. “Kak.” Nyla menyapa perempuan berbalut dress warna merah itu. Dress tanpa lengan yang menampilkan kulit halus pemiliknya. Nyla mencoba membuka pembicaraan dengan Bela, namun perempuan itu tidak pernah mengalihkan pandangannya dari dua sosok yang sedang bercakap-cakap di salah satu sudut ruangan itu. “Kak, Bela.” Kali kedua Nyla menyapa dan kali pertama, sejak ia duduk bersebelahan, Bela menoleh padanya meski hanya sekilas. “Kak Parta pernah cerita kalau Kak Bela orang baik dan bisa diperc
Parta berpenampilan tidak seperti biasanya. Kali ini lebih formal dengan kemeja yang rapi dan almamater tersampir di lengannya. Setelah memantaskan diri di depan cermin dan merasa puas ia berjalan menutup pintu kamarnya dan menuruni tangga. Di ruang makan dia sudah melihat ayahnya sarapan dengan nasi goreng yang menjadi andalannya. Tanpa menyapa Parta langsung menyambar roti yang sudah diolesi selai kacang dan meminum segelas susu yang disiapkan ayahnya sebagai sarapan. Ia masih berdiri, satu tangan digunakan untuk makan dan tangan lainnya memeriksa handphone. “Rapi sekali. Ada acara?” “Hmmm,” jawab Parta masih berfokus pada layar benda mungil di tangannya. “Sepertinya penting sekali.” Panji menghentikan sarapannya dan berdiri menuangkan segelas air putih untuk mengakhiri sarapannya. “Hari ini aku ada seleksi akhir pemilihan ketua badan eksekutif. Rasanya lucu melihat banyak dari mereka yang mendukung aku dan membuat semacam
“Kamu bisa tenang tidak sih, Ny!” Parta memejamkan matanya sesaat, menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan kemudian menengok Nyla yang duduk tepat di sebelah kanannya. Ia terpancing emosi sekaligus menahan diri saat melihat kaki Nyla yang tidak berhenti mengentak-entak lantai serta tangannya yang terus dibuat saling meremas. Gerakan yang tidak seberapa, tapi cukup intens dan cukup mengganggu Parta. Membuat dia yang harusnya memasang senyum sepanjang pemilihan kini harus menggerutu tak jelas. Nyla tidak memedulikan Parta, kaki dan tangannya terus digerakkan. Ia gugup dengan banyaknya mahasiswa yang datang ke aula untuk memberikan suara mereka. Satu per satu duduk di kursi antrean, sambil berbisik-bisik kemudian dipanggil untuk maju. Mereka menerima lembar yang berisi foto para calon, membawanya ke bilik dan keluar dengan lipatan kertas yang langsung dimasukkan ke kotak suara. Sudah itu mereka mencelupkan kelingking mereka sebagai tanda partisipasi.
“Lex, kunci mobil dong. Sepertinya ada yang tertinggal.” Parta celingukan seolah sedang mencari sesuatu. Alex paham dan segera merogoh kunci mobil yang sudah tersimpan nyaman di saku celananya. Ia memindahkannya ke atas meja yang langsung berpindah tangan begitu Parta mengambilnya. Parta dengan jelas mendengar Nyla mengucapkan kata ‘teledor’ untuk dirinya, ucapan spontan. Ia mengelus kepala gadis yang sedang menyantap pasta carbonara di sampingnya itu. “Aku mendengar apa yang baru saja kamu katakan,” bisiknya di dekat telinga sebelum akhirnya berdiri dan menjauh. *** “Bahagia sekali kalian.” Parta tidak sungguh-sungguh mengambil barang yang tertinggal di mobil. Itu semua hanya alibi untuk bisa mendekati Yoga dan Nadia kemudian meminta mereka pergi. Parta langsung menarik bangku kosong dari bagian seberang dan duduk di antara mereka. “Kali ini apa yang kalian rencanakan?” Parta melanjutkan kata-katanya karena dua orang