"Bunda, Bunda, kemarin kan waktu Bunda kelja Bik Siti masuk ke kamar kita. Dia bobok sama Ayah di kasul. Bik Siti boboknya di bawah Ayah, soalnya kata Ayah bibik lagi sakit, jadi halus diobatin."
Deg!Seketika aktivitas makan siangku terhenti mendengar cerita Maura anakku yang masih berusia empat tahun. Apa maksudnya kalau Bik Siti tidur di bawah Mas Alex suamiku? Nggak mungkin kan, mereka melakukan itu saat aku sedang tidak ada di rumah.Lagian, Siti itu baik. Dia terlihat keibuan serta sopan. Dandanannya juga tidak pernah mencolok dan selama bekerja terlihat selalu menjaga jarak dengan suami."Memangnya kapan Bik Siti masuk ke kamar kita dan diobati sama Ayah?" tanyaku semakin penasaran."Kalau Bunda lagi kelja. Kata Ayah sama bibik Maula main aja di lual, soalnya Ayah mau ngobatin Bibik. Kata Ayah juga Maula nggak boleh celita sama Bunda." Aku sengaja merekam apa yang sedang dikatakan putri semata wayangku, lalu mengirimkan video tersebut kepada Mas Alex.Centang dua, akan tetapi belum dibuka oleh pria yang sudah menikahi aku selama lima tahun itu.Ting!Tidak lama kemudian terdengar suara notifikasi pesan masuk di gawai. Rupanya Mas Alex membalas pesanku dan menanyakan maksud dari video tersebut.[Harusnya aku yang bertanya, apa yang dimaksud oleh anakmu itu, Mas?] Balasku kemudian.[Mungkin maksud Maura, waktu itu kan Siti tergelincir di kamar mandi kamar utama pas Mas suruh dia bersih-bersih. Kakinya keseleo dan karena nggak ada siapa-siapa ya jadi Mas yang bantu olesi kakinya sebentar pakai minyak gosok. Udah itu doang. Dan Mas memang bilang ke Maura kalau Bik Siti sakit dan harus diobati.][Tapi masalah dia bobok di bawah kamu?] Aku masih terus saja mencecar suamiku.[Kita bicarakan saja nanti di rumah, ya. Kalau ngomong via W******p takutnya malah tambah salah paham.][Ok.]Aku meletakkan kembali ponsel milikku di atas meja lalu meneruskan santap siangku bersama Maura. Namun entahlah. Setelah mendengar cerita dari gadis kecil itu, mendadak nafsu makanku menguar begitu saja. Hilang karena terus memikirkan ucapannya.Namaku Alina Saraswati, ibu muda berusia dua puluh tujuh tahun dan memiliki seorang putri cantik bernama Maura Angelina Mahesa. Aku dan Mas Alex sudah menjalani biduk rumah tangga selama lima tahun, dan selama ini kami selalu harmonis tanpa ada pertengkaran besar dalam kehidupan kami.Sedangkan Siti, dia adalah asisten rumah tangga kami. Aku dan Mas Alex mempekerjakan dia sebab dia seorang janda beranak dua dan suaminya sudah lama pergi meninggalkannya karena kepincut oleh pelakor.Hari ini aku sengaja libur ke toko sebab sudah dua hari Siti izin tidak bekerja. Anak ke duanya sakit dan dia harus pulang kampung untuk menjenguknya. Sebagi seorang ibu, tentu saja aku langsung mengizinkan, karena kasihan dengan anak ART-ku jika harus berjauhan dengan sang bunda kala sakit sedang melanda.***Deru mesin kendaraan terdengar memasuki pekarangan rumah. Buru-buru aku keluar menyambut kepulangan suami, sekaligus ingin segera mendengar penjelasan dari Mas Alex tentang apa yang dikatakan oleh putri kami."Aku menunggu penjelasan kamu loh, Mas?" ucapku setelah dia selesai berganti pakaian."Penjelasan tentang apa, Sayang? Tentang ucapan Maura?" Dia balik bertanya."Iya. Kamu nggak ada hubungan spesial 'kan sama Siti?"Mas Alex malah tertawa. "Kamu pikir aku berselera melihat dia, Sayang. Ya ampun...kamu lihat dong perbedaan antara Siti dan kamu. Jauh pake banget. Antara langit dan bumi. Lagian masa iya aku berselera dengan seorang ART? Ada-ada saja kamu ini." Dia tertawa renyah seolah memang tidak bersalah."Tapi Maura nggak mungkin bohong, Mas!""Alina, sayangku. Udah, ah. Jangan suuzon sama suami begitu. Mas itu cinta mati sama kamu tahu nggak? Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan langsung sama Siti nanti kalau dia kembali ke sini!"Aku membuang napas kasar. Ingin rasanya percaya dengan ucapan suami, akan tetapi naluriku mengatakan jika apa yang dikatakan oleh Maura semuanya benar. Sepertinya aku harus menyelidikinya secara diam-diam.***"Sayang, boleh pinjam uangnya lima belas juta? Aku lagi butuh banget buat ngirim ke kampung. Kalau ada transfer sekarang ya?" ucap Mas Alex pagi-pagi sekali ketika aku sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi."Bukannya kemarin baru kirim lima juta?" Menatap wajahnya curiga."Iya. Kemarin uangnya kepakai untuk berobat Ibu. Sekarang Rani lagi butuh buat bayar semester juga buat beli motor baru. Kan kamu tahu sendiri, jarak antara rumah dan kampus lumayan jauh. Kasihan dia kalau naik angkutan umum setiap hari.""Yasudah. Nanti aku transfer langsung ke nomer rekeningnya Rani. Tapi agak siangan ya?""Ke nomer rekening aku aja. Nanti biar aku yang transfer ke Rani."Keningku berkerut-kerut, memindai wajah Mas Alex dengan mimik curiga. Kenapa harus ditransfer ke nomernya dulu kalau bisa langsung aku kirim ke Rani. Makin mencurigakan."Mas berangkat dulu. Mungkin hari ini Mas pulang agak maleman ya, Sayang. Soalnya lagi banyak kerjaan dan harus lembur." Dia mengecup keningku lalu segera pergi tanpa menyentuh makanan yang terhidang."Oke. Hati-hati di jalan.""Kamu juga hati-hati. Jangan lupa transferannya ya?""Iya."Mas Alex kemudian segera masuk ke dalam mobil, menggerakkan kendaraan roda empat yang dia pinjam dariku menjauh meninggalkan parkiran rumah kami.Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawaiku. Dari Dafa--teman sekantor suami yang kebetulan juga akrab denganku.[Lin, Alex sakit? Kok sudah beberapa hari ini dia izin nggak masuk kantor?]Hatiku mendadak panas setelah membaca pesan dari Dafa. Mas Alex tidak masuk ke kantor? Bukannya dia setiap hari pamit pergi untuk bekerja, bahkan baru saja dia bilang kalau hari ini akan lembur. Benar-benar ada yang tidak beres. Pasti Mas Alex sedang membohongi diriku saat ini. Awas saja kamu, Mas![Dia tiap hari masuk kerja kok, Daf. Malahan tadi baru saja pamit sama aku dan dia bilang akan pulang malam karena ada lemburan.] Balasku.[Suer, Alin. Alex sudah beberapa hari ini izin nggak masuk kerja. Boro-boro lembur. Perusahaan aja lagi pailit sejak beberapa bulan yang lalu.]Astaghfirullah...jadi Mas Alex membohongiku? Jangan-jangan, uang yang katanya akan dikirimkan kepada Rani juga hanya akal-akalannya saja.Tanpa berpikir panjang lagi segera kulacak keberadaan mobil yang dipake oleh suami. Kebetulan beberapa hari yang lalu aku baru saja memasang GPS di kendaraan tersebut, sehingga aku bisa memeriksa di mana keberadaan Mas Alex sekarang.Dan benar saja. Bukannya menuju ke daerah tempat dia bekerja, tetapi malah menuju ke daerah Jakarta Timur. Untuk apa dia pergi ke daerah situ? Apa jangan-jangan?Ah, daripada terus menerka-nerka lebih baik kususul saja laki-laki itu.Segera menitipkan Maura ke salah seorang tetangga lalu segera menuju lokasi yang tertera di layar ponsel. Semoga saja di sana akan kutemukan jawaban, apa yang sebenarnya selama ini Mas Alex lakukan.Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit menggunakan sepeda motor, akhirnya aku sampai juga di titik lokasi. Dada ini bergemuruh hebat ketika melihat mobil milikku yang dipinjam oleh suami terparkir di depan sebuah bangunan sederhana bercat serba merah muda, karena sudah dipastikan pemilik rumah tersebut seorang perempuan.Gegas menepikan kendaraan roda duaku, masuk ke dalam rumah tersebut tanpa mengucapkan salam sebab kebetulan pintu rumah tersebut terbuka lebar.Hati ini kian memanas ketika melihat tas mas Alex tergeletak di atas meja, tepat di dekat dua orang anak yang aku tafsir usianya masih sekitaran tujuh tahun, dan tengah asik bermain ponsel sampai tidak menyadari kedatanganku."Dek, Mama ada?" tanyaku basa-basi."Ada di kamar. Lagi sama Papa!" jawab salah seorang dari mereka tanpa menoleh. Saking fokusnya dengan benda mati yang ada di tangan.Dengan kaki gemetar serta jantung berdetak tidak karuan kuayunkan kaki masuk ke dalam, menyisir seluruh ruangan yang tidak terlalu besar akan tetapi begitu tertata rapi. Ada sebuah meja makan di dekat kamar dengan hidangan lengkap di atasnya juga. Pantas saja Mas Alex tadi pagi tidak mau menyentuh hidangan yang kusuguhkan. Ternyata gundiknya sudah menyiapkan sarapan serta servis sepagi ini.Berjalan menuju pintu, sekilas bisa kulihat sosok suami sedang bersama seorang perempuan tengah menyelami samudera dosa di dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka.Ceroboh sekali mereka. Padahal di depan sana ada dua orang anak belum cukup umur yang bisa saja tiba-tiba masuk dan menyaksikan perbuatan itu.Merogoh saku tas, mengambil ponsel lalu merekam adegan panas yang sedang dilakukan sebelum akhirnya kuputuskan untuk pergi ke dapur mengambil plastik kecil untuk membungkus tangan, meraup sambel terasi yang terhidang di atas meja makan lalu segera masuk ke dalam kamar dan mendorong Mas Alex dari tubuh Asisten Rumah Tangga kami.Tanpa basa-basi lagi kubalurkan sambal tadi ke area sensitif mereka berdua, hingga keduanya meraung kesakitan serta kepedasan.Makanya jangan macam-macam sama Alina, atau akan menanggung akibatnya. Makan tu pedasnya sambal buatan pelakor."Apa yang kamu lakukan, Alin? Sakit!" erang Mas Alex sambil memegang senjata miliknya. Pun dengan si pelakor yang terus saja menangis meraung-raung membuat beberapa orang tetangga akhirnya datang karena mungkin penasaran."Ada apa ini?" tanya salah seorang tetangga yang baru saja datang."Memberi pelajaran laki-laki mata keranjang serta tidak tahu diri sama pelakornya!" jawabku sambil melelas plastik berlumur sisa sambal lalu membuangnya ke tong sampah."Pelakor? Maksud mbaknya apa?" Seorang ibu berkacamata ikut bertanya."Laki-laki itu suami saya, dan perempuan mu*ahan itu asisten rumah tangga saya. Mereka berdua tadi sedang berzina di dalam kamar, makanya saya langsung memberi mereka pelajaran!""Waduh, Siti. Ternyata diam-diam kamu seorang pelakor? Pantesan selama tinggal di sini kamu sering banget pamer perhiasan mahal, pamer baju bagus dan juga juga uang banyak. Hasil memeras suami orang toh? Nggak nyangka saya!" Bukannya menolong Siti, mereka malah asik ikut mencaci.Dua bocah y
Aku kembali meletakkan gawai milikku di dashboard dan kembali fokus mengemudi. Masalah Rani biar jadi urusan belakangan, toh, selama ini dia juga tidak terlalu ramah kepadaku. Selalu jutek dan pura-pura tidak kenal jika aku sedang bertandang ke rumah Ibu.Mungkin dia pikir, uang yang selama ini masuk ke rekeningnya dikirim oleh kakaknya. Padahal aku yang selalu menyisihkan sedikit rezeki hasil kerja kerasku untuk menyambung hidupnya serta ibu mertua. Gaji Mas Alex mana cukup kalau harus dibagi ke mereka.Lagi, gawai milikku terdengar berdering nyaring tanpa henti. Rani memang akan selalu meneror jika uang jajannya telah habis dan aku telat mengirimkan uang.Menyambar benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu, mendekatkannya ke telinga lalu menjawab panggilan dari adik ipar. Ingin tahu apa yang hendak dia katakan kepadaku."Mbak, mana uang jatah bulanan aku? Jangan kuasai gaji Mas Alex dong. Aku dan ibu juga berhak atas uang itu. Jadi perempuan itu jangan serakah. Jangan maruk!" ce
"Selamat siang?" sapa laki-laki bertubuh tegap dengan seragam khas kepolisian itu seraya melekuk senyum. Mata pria itu terus terpantik di wajahku, seolah sedang mengamati seorang penjahat di hadapannya."Siang, cari siapa, Pak? tanyaku basa-basi."Maaf, saya mau numpang tanya. Rumahnya Pak Mario di sebelah mana ya, Mbak? Soalnya sudah sejak tadi saya muter-muter nyari tapi nggak ketemu. Saya berani mengetuk pintu pagar rumah Mbak, karena di blok ini hanya pintu rumah Mbak yang terbuka."Aku menghela napas lega mendengar penuturan si mas berseragam itu. Tadinya aku pikir Mas Alex dan gundiknya sudah melaporkan kejadian kemarin, dan dua orang polisi di hadapanku ini akan menangkapku."Rumah Om Mario yang paling pojok, Pak. Cat warna oranye yang di depannya ada pohon belimbing wuluh!" terangku seraya menunjuk ke arah rumah tetangga terjulid itu.Kira-kira ada apa ya. Kok, ada polisi datang mencari dia?Ah, sudahlah. Bukan urusanku. Masa mau ketularan julid dan khepo seperti Tante Margie.
"Mas, sekarang kita mau ke mana?" tanya Siti sambil menggamit lengan lelaki yang ada di sebelahnya."Sebaiknya kamu pulang ke kampung dulu, Siti. Aku tidak mungkin membawa kamu ke rumah yang sedang kutinggali bersama Alin," sahut Alex membuat mata si perempuan membeliak tidak percaya."Memangnya kenapa? Aku ini juga istri kamu, Mas. Aku berhak atas rumah itu. Masa hanya Alin yang dapat fasilitas mewah dan hidup enak, sementara aku terus menerus jadi orang kampung dan hidup sengsara? Kamu yang adil dong!" protes Siti tidak terima."Tolong ngertiin aku sedikit, Siti!" Sang pemilik hidung mancung menyentak napas kasar. Mulai tidak sabar menghadapi sikap istri ke duanya yang susah sekali diatur. Masih tetap seperti yang dulu. Bebal juga grasak-grusuk."Pokoknya aku mau tinggal di rumah itu. Titik. Lagian kan si Alin sudah tahu hubungan kita. Aku mau jadi simpanan kamu itu biar bisa menikmati hidup enak. Jadi nyonya besar. Hidup bergelimang harta. Bukan menderita seperti ini. Kalau tahu ak
"Bunda, di lual ada Ayah. Ayah udah pulang!" teriak Maura kegirangan. Dia segera memutar gagang pintu, berlari keluar menghampiri sang ayah.Ya Allah, Nak. Ayah kamu datang itu bukan untuk kamu. Lihat saja dia sekarang ini datang bersama keluarga barunya."Maura!" Mas Alex menatap putrinya dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca.Aku tahu. Pasti saat ini dia sedang bersandiwara. Berlaga sedih, padahal hanya pencitraan. Supaya orang-orang di sekitar merasa iba melihat dia."Ayah sudah pulang kelja? Kok Bik Siti bau bangkai?" celetuknya sambil menutup hidung."Iya. Ayah kangen sama Maura." Mas Alex mengusap lembut pipi putrinya."Maula juga!" Gadis kecil itu menghambur ke dalam pelukan ayahnya."Maura. Ayo masuk, Nak!" Menarik tangan mungil anakku menjauh dari Mas Alex."Lin. Kamu jangan begitu. Maura itu anakku. Mas sayang sama dia. Kamu boleh benci sama Mas tapi tidak berhak melarang Mas menemui Maura!" kata laki-laki berambut cepak itu dengan nada parau. "Minggir!" Tiba-tiba Siti masuk
Alarm pagi hari terdengar menjerit-jerit. Buru-buru menyibak selimut yang menutupi tubuh, turun dari tempat peraduan lalu segera membersihkan badan dan melakukan ibadah solat subuh.Suasana rumah masih begitu sepi ketika aku keluar dari dalam bilik. Belum ada tanda-tanda kehidupan, mungkin Mas Alex serta gundiknya masih terlelap mengarungi mimpi.Semoga saja selamanya tidak membuka mata supaya tidak merepotkan juga menyakiti hati ini.Astaghfirullahaladzim...Tidak boleh mendoakan keburukan untuk orang lain, sebab bisa berbalik kepada diri sendiri.Lebih baik segera ke dapur membuat teh hangat untuk menghangatkan tubuh."Kamu bikin teh cuma satu, Lin?" Aku berjingkat kaget ketika tiba-tiba tangan kekar Mas Alex sudah melingkar di pinggang.Dulu, hal seperti ini selalu membuatku merasa menjadi perempuan paling dicintai sedunia. Namun tidak dengan sekarang.Buru-buru melepas pelukan pria itu, tidak sudi bersentuhan dengan orang yang mungkin semalam habis bermadu kasih dengan istri sirin
"Gi-la kamu, ya, Alin. Awas saja. Aku akan melaporkan kamu ke polisi!" sengit Siti dengan suara menggelegar seperti halilintar.Aku menyunggingkan senyum mengejek. "Lapor polisi? Silakan saja kalau berani. Yang ada kalian yang akan mendekam di balik jeruji besi!" Perempuan berkulit eksotis itu mengepal tangan di samping tubuh. Wajahnya memerah menahan amarah yang sudah membuncah, akan tetapi tidak bisa dia tumpahkan. Aku suka melihat ekspresi gundik itu saat ini."Alin. Aku mohon jangan kekanak-kanakan. Kita ini sudah dewasa. Jika ada masalah bisa dibicarakan secara baik-baik. Bukan seperti ini. Kalau kamu bawa semua barang-barang yang ada di rumah, bagaimana kami tidur nanti? Setidaknya kamu sisakan tempat tidur, kulkas, sama kompor juga televisi. Jangan macam perompak yang tega menjarah semua barang di rumah orang. Tolong berperasaan sedikit saja Alina!" oceh suami panjang lebar."Sudah aku bilang itu bukan urusan aku. Semua barang yang ada di sini itu milik aku. Jadi terserah mau
"Kamu yang sabar ya, Lin." Dafa mengusap lenganku."Apa kamu tahu siapa mantan istrinya Mas Alex?" Yang ditanya menggeleng perlahan. "Kapan-kapan aku kenalin kamu sama orang yang memberikan informasi. Biar bisa tanya-tanya langsung sama dia!""Apa bisa sekarang, Daf?""Orangnya lagi dinas ke luar kota."Aku membuang napas kasar. Jujur, penasaran dengan info yang diberikan oleh Dafa. Ingin tahu detailnya, serta melihat seperti apa mantan istri suamiku.Dulu. Awal mengenal Mas Alex melalui sosial media. Dia selalu mengomentari apa yang aku posting di sana, hingga akhirnya mulai mengirimkan pesan pribadi via inbox.Setelah berkenalan cukup lama, Mas Alex mengajak bertemu di sebuah cafe di kawasan Jakarta Selatan. Aku terpesona pada pandangan pertama melihat wajah tampan laki-laki itu. Apalagi dia terlihat begitu baik. Lemah lembut, perhatian, juga penyayang.Saat itu Mas Alex masih kuliah semester akhir, akan tetapi sudah bekerja di perusahaan tempat dia mengais rezeki hingga saat ini,
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu