"Selamat siang?" sapa laki-laki bertubuh tegap dengan seragam khas kepolisian itu seraya melekuk senyum. Mata pria itu terus terpantik di wajahku, seolah sedang mengamati seorang penjahat di hadapannya.
"Siang, cari siapa, Pak? tanyaku basa-basi."Maaf, saya mau numpang tanya. Rumahnya Pak Mario di sebelah mana ya, Mbak? Soalnya sudah sejak tadi saya muter-muter nyari tapi nggak ketemu. Saya berani mengetuk pintu pagar rumah Mbak, karena di blok ini hanya pintu rumah Mbak yang terbuka."Aku menghela napas lega mendengar penuturan si mas berseragam itu. Tadinya aku pikir Mas Alex dan gundiknya sudah melaporkan kejadian kemarin, dan dua orang polisi di hadapanku ini akan menangkapku."Rumah Om Mario yang paling pojok, Pak. Cat warna oranye yang di depannya ada pohon belimbing wuluh!" terangku seraya menunjuk ke arah rumah tetangga terjulid itu.Kira-kira ada apa ya. Kok, ada polisi datang mencari dia?Ah, sudahlah. Bukan urusanku. Masa mau ketularan julid dan khepo seperti Tante Margie."Terima kasih banyak, ya Mbak. Maaf sudah mengganggu waktu santainya.""Sama-sama, Pak."Setelah mobil patroli yang sempat terparkir di halaman rumah itu bergerak menjauh, aku kembali masuk ke dalam dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Memasukkan baju-baju milik Siti ke dalam tas, berniat akan menghibahkan pakaian-pakaian tersebut kepada pemulung yang biasa lewat di depan rumah. Siapa tahu bermanfaat untuk mereka. Daripada aku bakar.***POV Author.Setelah hampir satu jam tergelepar di atas kasur dan beberapa kali Siti pingsan karena kepanasan serta rasa perih luar biasa, beberapa orang tetangga akhirnya mau membantu karena desakkan Bu RT.Mereka memanggil ambulans untuk membawa dua sejoli tersebut ke rumah sakit, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan akan merusak nama baik kampung tersebut jika tidak mau membantu."Panas banget, Bu RT. Saya nggak kuat. Sakit. Perih...!" jerit Siti seraya terus mengipasi pangkal pahanya sendiri."Sabar, Mbak Siti. Sabar. Sebentar lagi ambulans dateng," jawab lawan bicaranya mencoba menenangkan."Lagian Ibu. Dari tadi bukannya nolongin saya malah membiarkan saya menjadi tontonan warga. Memangnya saya badut. Besok-besok kalau Ibu butuh uang nggak bakal saya pinjami!" Sedang sakit saja Siti masih sanggup mengomel panjang lebar."Kamu kan lihat sendiri tadi. Saya sudah berusaha membujuk warga, tapi mereka semua menolak. Sekarang sebaiknya kamu berendam di dalam bak dulu sambil menunggu mobil ambulans datang. Soalnya tetangga yang punya mobil tidak mau minjemin mobilnya buat anter kamu!"Siti berusaha duduk, akan tetapi karena rasa sakit yang melanda tubuhnya terasa lemas. Tidak bertenaga sama sekali.Bu RT pun berinisiatif membantu, memapah wanita yang suka dia pinjami uang tersebut berjalan perlahan menuju kamar kecil.Suara jerit kesakitan Siti terdengar begitu menyayat hati. Wajah pelakor itu memerah saking perihnya. Keringat dingin terus saja mengucur dari pori-pori. Pun dengan air mata yang terus saja merebak dari balik kelopak."Sakit, Bu. Aku nggak kuat. Rasanya aku seperti mau mati!" erangnya sambil berusaha keluar dari dalam air.Alex yang masih berada di atas tempat tidur hanya bisa menelan saliva, tidak tega melihat penderitaan perempuan yang sedang ia puja-puja.Dia juga sangat menyayangkan sikap bar-bar Alina yang terlalu kejam serta tidak berprikemanusiaan."Padahal semuanya bisa dibicarakan baik-baik tanpa menyakiti seperti ini. Di mana rasa cinta kamu sama aku, Lin. Kenapa tega membuat aku menderita begini?" gumam Alex dalam hati.Tidak lama kemudian terdengar suara sirine ambulans memasuki pekarangan rumah yang disewa Alex untuk tempat tinggal gundiknya. Dua orang petugas turun dari mobil tersebut membawa tandu, disusul oleh petugas lainnya lalu segera menggotong tubuh Siti dan Alex yang sudah lemah tidak bertenaga."Huh...!!" teriak semua warga yang menyaksikan. Ada beberapa juga yang malah melempari kotoran ke arah Siti sambil mencaci maki."Dasar ulet bulu. Gatel. Suami orang diembat. Semoga saja kamu tidak selamat!" caci si ibu berkacamata yang pernah menjadi korban perselingkuhan suaminya juga."Lagian Mas Alex itu kok yo bisa-bisanya tertarik sama si Siti. Apa matanya sudah kelilipan gajah? Coba kalian bandingkan dengan istri sahnya kemarin. Astaga... Bagaikan langit dan bumi. Jauh pake banget!" sambung ibu berdaster ungu.***Sesampainya di rumah sakit.Petugas berseragam putih-putih segera mendorong brankar menuju ruang unit gawat darurat, memberi mereka pertolongan, membersihkan area sensitif keduanya dari sisa-sisa sambal yang masih melekat, kemudian mengoleskan obat pereda sakit di kulit."Pelan-pelan pegangnya, Sus!" keluh Alex seraya meringis kesakitan."Ini sudah pelan-pelan, Pak," jawab perawat dengan intonasi sangat lembut. "Bandel sih...," lanjutnya dalam hati, karena di rumah sakit tempat Alex serta Siti dirawat sudah viral tentang video penggerebekan yang dilakukan oleh Alina.Sementara Siti, karena tenaganya sudah hampir habis serta rasa sakit yang semakin menjadi-jadi, ia hanya bisa diam menggigit kain penutup tubuhnya kuat-kuat, berharap rasa itu segera menyingkir dari tubuhnya.Dalam hati dia juga terus mengutuki perbuatan Alina, dan berjanji akan memberi balasan yang lebih menyakitkan kepada wanita yang diam-diam sangat dia benci itu.***"Mas, sebaiknya kamu segera lapor polisi. Biar si Alin membusuk dipenjara!" usul Siti beberapa jam setelah mendapatkan penanganan dan merasa keadaannya sedikit membaik. Kebetulan mereka berdua dirawat dalam satu ruangan."Itu sama saja bu-nuh di-ri, Siti. Kalau kita melaporkan Alin ke polisi, kita juga bisa dituntut balik. Apa kamu nggak paham itu?" Suara Alex terdengar meninggi."Tapi dia salah, Mas. Polisi pasti membela kita!""Kita juga salah karena menjalin hubungan di belakang Alin. Status dia lebih kuat hukum kalau melaporkan perbuatan kita. Apalagi ayah mertuaku seorang mantan kepala polisi. Habislah kita berdua jadi santapan mereka!""Aku akan mengatakan kalau dia yang merebut kamu dari aku, Mas! Pasti kita menang dalam persidangan. Kamu percayakan saja sama aku. Kita laporkan dia, ya?""Mereka mana percaya. Kita tidak memiliki bukti. Sedangkan Alina, pernikahan kami berdua itu sah secara hukum dan agama. Sudah! Sudah! Lupakan saja. Kita pikirkan langkah apa yang harus kita ambil nanti setelah sembuh dan keluar dari rumah sakit."Siti mendengkus kesal mendengar jawaban dari Alex yang terkesan membela Alina.***Pintu kamar rawat inap mereka terbuka. Nita--adik kandung Siti masuk sambil menatap tidak suka ke arah dua sejoli itu, lalu segera menyerahkan selembar kertas kepada sang kakak. Surat tagihan dari rumah sakit yang harus dibayar dan akan semakin membengkak jika tidak segera dilunasi."Kamu nggak usah merengut begitu, Nita. Tenang saja. Suami Mbak kan kaya raya. Tagihan segitu mah kecil!" Dengan jumawa Siti menjentikkan jari."Kamu nanti tolong ambil tas Mas di atas meja, ya, Nit. Di situ ada dompet dan ATM Mas. Habis itu kamu tarik tunai, ambil semua uang yang ada di tabungan Mas!" sahut Alex tidak kalah PD-nya.Dia belum tahu kalau isi dompetnya yang tidak seberapa itu sudah dikuras habis oleh Alin tanpa meninggalkan seperak pun di dalamnya.Lekas Anita menghubungi sepupunya yang kebetulan sedang menjaga anak-anak Siti, memintanya untuk mengantarkan dompet Alex secepatnya ke rumah sakit."Katanya nggak ada dompet di tas Mas Alex!" ucap Nita membuat Alex membeliak tidak percaya."Pasti perempuan tidak tahu diri itu yang sudah mengambil uang kamu. Dia itu serakah banget. Rakus sama duit!" timpal Siti semakin emosi."Kalau begitu pakai uang simpanan kamu dulu, Sit. Biar kita bisa secepatnya keluar dari rumah sakit!" usul Alex kemudian."Enak saja. Uang aku sudah buat beli perhiasan semua. Nggak ada duit cash. Masa kamu nggak punya uang sepeser pun, Mas. Gaji kamu kan gede!""Uang aku semuanya ada di ATM, Siti. Dan kartunya disita semua sama Alin. Udah lah, jual saja dulu emas kamu. Nanti pulang dari rumah sakit aku ganti dua kali lipat!""Tapi beneran ya, Mas. Awas kalau bohong!""Iya!"Siti pun akhirnya menyuruh Nita menjual semua perhiasan miliknya untuk membayar biaya rumah sakit.***Setelah tiga hari dirawat, Siti serta Alex sudah bisa keluar dari rumah sakit, namun harus kontrol tiga hari sekali sebab area sensitif Siti mengalami iritasi yang cukup parah.Bahkan sampai sekarang jika buang air kecil ia masih meringis menahan perih juga rasa seperti sedang terbakar.Mereka pun segera memesan taksi online, bersiap pulang dan membalas apa yang telah dilakukan oleh Alina.Semua barang-barang milik perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu sudah tergeletak sembarangan di teras ketika sampai di rumah kontrakan. Para warga juga berbondong di halaman, menyuruh Siti beserta keluarga untuk segera angkat kaki dari kampung tersebut.Takut kena sial kata semua tetangga, sebab baik Siti maupun Alex tidak bisa menunjukkan bukti kalau mereka sudah menikah."Kenapa saya diusir dari rumah ini? Kan saya sudah bayar sewa selama enam bulan, dan belum genap tiga bulan menempati rumah ini!" protes Siti tidak terima."Kami tidak mau kena sial gara-gara perbuatan kalian. Di kampung ini paling anti sama yang namanya zina. Sudah! Lebih baik kalian segera angkat kaki dari sini. Bikin kotor saja!" berang sang pemilik kontrakan."Sombong banget lu, Mpok. Dasar orang miskin dan kampungan. Gue do'ain kontrakan lu nggak pernah laku. Bila perlu kebakaran sekalian!" Dengan emosi meninggi Siti mengeluarkan sumpah serapah."Hush! Hush! Sudah, sana pergi!""Baru punya rumah segede kandang ayam saja belagu. Lu liat saja nanti. Mas Alex pasti bakal beliin gue istana!""Huh... Halu aja terus!" teriak semua tetangga secara serempak."Ayo, Sit. Nggak usah diladeni. Jangan suka mempermalukan diri sendiri!" Pria yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, menarik siti yang sedang berkacak pinggang menjauhi kerumunan.Alex memijat pelipis yang terasa berdenyut nyeri memikirkan akan ke mana dia membawa selingkuhannya. Pulang ke rumah, untuk saat ini dia belum berani. Sedangkan uang juga sudah tidak punya sama sekali."Mas, sekarang kita mau ke mana?" tanya Siti sambil menggamit lengan lelaki yang ada di sebelahnya."Sebaiknya kamu pulang ke kampung dulu, Siti. Aku tidak mungkin membawa kamu ke rumah yang sedang kutinggali bersama Alin," sahut Alex membuat mata si perempuan membeliak tidak percaya."Memangnya kenapa? Aku ini juga istri kamu, Mas. Aku berhak atas rumah itu. Masa hanya Alin yang dapat fasilitas mewah dan hidup enak, sementara aku terus menerus jadi orang kampung dan hidup sengsara? Kamu yang adil dong!" protes Siti tidak terima."Tolong ngertiin aku sedikit, Siti!" Sang pemilik hidung mancung menyentak napas kasar. Mulai tidak sabar menghadapi sikap istri ke duanya yang susah sekali diatur. Masih tetap seperti yang dulu. Bebal juga grasak-grusuk."Pokoknya aku mau tinggal di rumah itu. Titik. Lagian kan si Alin sudah tahu hubungan kita. Aku mau jadi simpanan kamu itu biar bisa menikmati hidup enak. Jadi nyonya besar. Hidup bergelimang harta. Bukan menderita seperti ini. Kalau tahu ak
"Bunda, di lual ada Ayah. Ayah udah pulang!" teriak Maura kegirangan. Dia segera memutar gagang pintu, berlari keluar menghampiri sang ayah.Ya Allah, Nak. Ayah kamu datang itu bukan untuk kamu. Lihat saja dia sekarang ini datang bersama keluarga barunya."Maura!" Mas Alex menatap putrinya dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca.Aku tahu. Pasti saat ini dia sedang bersandiwara. Berlaga sedih, padahal hanya pencitraan. Supaya orang-orang di sekitar merasa iba melihat dia."Ayah sudah pulang kelja? Kok Bik Siti bau bangkai?" celetuknya sambil menutup hidung."Iya. Ayah kangen sama Maura." Mas Alex mengusap lembut pipi putrinya."Maula juga!" Gadis kecil itu menghambur ke dalam pelukan ayahnya."Maura. Ayo masuk, Nak!" Menarik tangan mungil anakku menjauh dari Mas Alex."Lin. Kamu jangan begitu. Maura itu anakku. Mas sayang sama dia. Kamu boleh benci sama Mas tapi tidak berhak melarang Mas menemui Maura!" kata laki-laki berambut cepak itu dengan nada parau. "Minggir!" Tiba-tiba Siti masuk
Alarm pagi hari terdengar menjerit-jerit. Buru-buru menyibak selimut yang menutupi tubuh, turun dari tempat peraduan lalu segera membersihkan badan dan melakukan ibadah solat subuh.Suasana rumah masih begitu sepi ketika aku keluar dari dalam bilik. Belum ada tanda-tanda kehidupan, mungkin Mas Alex serta gundiknya masih terlelap mengarungi mimpi.Semoga saja selamanya tidak membuka mata supaya tidak merepotkan juga menyakiti hati ini.Astaghfirullahaladzim...Tidak boleh mendoakan keburukan untuk orang lain, sebab bisa berbalik kepada diri sendiri.Lebih baik segera ke dapur membuat teh hangat untuk menghangatkan tubuh."Kamu bikin teh cuma satu, Lin?" Aku berjingkat kaget ketika tiba-tiba tangan kekar Mas Alex sudah melingkar di pinggang.Dulu, hal seperti ini selalu membuatku merasa menjadi perempuan paling dicintai sedunia. Namun tidak dengan sekarang.Buru-buru melepas pelukan pria itu, tidak sudi bersentuhan dengan orang yang mungkin semalam habis bermadu kasih dengan istri sirin
"Gi-la kamu, ya, Alin. Awas saja. Aku akan melaporkan kamu ke polisi!" sengit Siti dengan suara menggelegar seperti halilintar.Aku menyunggingkan senyum mengejek. "Lapor polisi? Silakan saja kalau berani. Yang ada kalian yang akan mendekam di balik jeruji besi!" Perempuan berkulit eksotis itu mengepal tangan di samping tubuh. Wajahnya memerah menahan amarah yang sudah membuncah, akan tetapi tidak bisa dia tumpahkan. Aku suka melihat ekspresi gundik itu saat ini."Alin. Aku mohon jangan kekanak-kanakan. Kita ini sudah dewasa. Jika ada masalah bisa dibicarakan secara baik-baik. Bukan seperti ini. Kalau kamu bawa semua barang-barang yang ada di rumah, bagaimana kami tidur nanti? Setidaknya kamu sisakan tempat tidur, kulkas, sama kompor juga televisi. Jangan macam perompak yang tega menjarah semua barang di rumah orang. Tolong berperasaan sedikit saja Alina!" oceh suami panjang lebar."Sudah aku bilang itu bukan urusan aku. Semua barang yang ada di sini itu milik aku. Jadi terserah mau
"Kamu yang sabar ya, Lin." Dafa mengusap lenganku."Apa kamu tahu siapa mantan istrinya Mas Alex?" Yang ditanya menggeleng perlahan. "Kapan-kapan aku kenalin kamu sama orang yang memberikan informasi. Biar bisa tanya-tanya langsung sama dia!""Apa bisa sekarang, Daf?""Orangnya lagi dinas ke luar kota."Aku membuang napas kasar. Jujur, penasaran dengan info yang diberikan oleh Dafa. Ingin tahu detailnya, serta melihat seperti apa mantan istri suamiku.Dulu. Awal mengenal Mas Alex melalui sosial media. Dia selalu mengomentari apa yang aku posting di sana, hingga akhirnya mulai mengirimkan pesan pribadi via inbox.Setelah berkenalan cukup lama, Mas Alex mengajak bertemu di sebuah cafe di kawasan Jakarta Selatan. Aku terpesona pada pandangan pertama melihat wajah tampan laki-laki itu. Apalagi dia terlihat begitu baik. Lemah lembut, perhatian, juga penyayang.Saat itu Mas Alex masih kuliah semester akhir, akan tetapi sudah bekerja di perusahaan tempat dia mengais rezeki hingga saat ini,
Tanpa lagi menjawab ucapan si ulet bulu, aku kembali ke luar rumah memantau para tukang. Alhamdulillah pembongkaran kanopi sudah selesai, tinggal melepas pintu garasi serta merobohkan temboknya saja."Pak, jangan lupa tandon airnya juga diambil ya?" perintahku lagi."Baik, Mbak Alin.""Terus jendela depan jangan sampai ketinggalan.""Siap!"Suara gaduh tukang membongkar jendela membuat Mas Alex serta gundiknya keluar dari sarang. Mata keduanya melotot melihat depan rumahnya sudah berantakan, bahkan sekarang toren air pun sudah tergeletak di halaman."Alin, kamu ini benar-benar gila ya? Semuanya kamu ambil, sampai jendela pun kamu lepas. Benar-benar nggak waras kamu ini!" berang pria tersebut dengan kilatan amarah mulai menyala-nyala di mata.Sebisa mungkin tetap tenang menghadapi dia, tidak mau kembali terpancing emosi apalagi sampai marah-marah di depan kedua insan tidak berperasaan itu."Kenapa nggak kamu robohkan sekalian rumah ini, hah!" bentaknya kemudian hingga urat-urat di lehe
"Gila kamu, Alina. Ternyata seperti ini kelakuan asli kamu hah? Mimpi apa anak saya karena harus menikah dengan perempuan bar-bar seperti kamu!" sungut ibu mertua yang tiba-tiba muncul tanpa diundang. Mengganggu acaraku saja."Ibu tidak usah ikut campur. Ini urusan aku sama Mas Alex!" jawabku berusaha memelankan nada bicara walau amarah masih membuncah. Harus menghormati orang yang lebih tua."Urusan Alex jadi urusan saya juga karena dia anak saya. Kamu jadi perempuan tidak tahu diri banget, ya? Sudah dikasih hidup enak, tapi malah ngelunjak. Sekarang malah berbuat gi-la seperti ini!""Iya nih, Bu. Ibu lihat sendiri. Si Alin sudah mengobrak-abrik rumah Mas Alex. Semua barang-barang berharga di rumah ini dicuri sama dia. Sekarang malah mau merobohkan rumah ini!" sambung Siti merasa melambung tinggi sebab ada bala bantuan datang."Saya tidak sedang berbicara dengan kamu!" sentak Ibu sambil menunjuk ke arah si gundik. Sorot kebencian tergambar jelas
Aku menepikan mobil sebentar di bahu jalan setelah sedikit menjauh dari rumah penuh kenangan itu. Menata hati yang sebenarnya kacau berantakan, menahan air mata yang terus saja mendesak untuk dikeluarkan."Tidak. Aku tidak boleh menangis hanya gara-gara keluarga benalu itu. Harus kuat menghadapi semua ini, sebab jika lemah mereka akan terus saja menginjak-injak harga diriku," gumamku dalam hati.Kupejamkan mata ini, mencoba menepis segala lara serta nestapa yang tengah bersarang di dada. Andaikan sejak dulu tahu siapa Mas Alex sebenarnya, mungkin hari ini tidak ada jiwa yang tersakiti. Aku tidak akan mau menikah dengan lelaki pembohong serta pengkhianat seperti dia.Namun nasi sudah menjadi bubur. Semuanya terlanjur terjadi. Disesali pun rasanya percuma saja. Tidak akan merubah keadaan menjadi seperti semula.Mengusap wajah perlahan. Aku mencoba mengambil napas dalam-dalam kemudian membuangnya secara perlahan.Kuat. Harus kuat.
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu