"Bunda, di lual ada Ayah. Ayah udah pulang!" teriak Maura kegirangan. Dia segera memutar gagang pintu, berlari keluar menghampiri sang ayah.
Ya Allah, Nak. Ayah kamu datang itu bukan untuk kamu. Lihat saja dia sekarang ini datang bersama keluarga barunya."Maura!" Mas Alex menatap putrinya dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca.Aku tahu. Pasti saat ini dia sedang bersandiwara. Berlaga sedih, padahal hanya pencitraan. Supaya orang-orang di sekitar merasa iba melihat dia."Ayah sudah pulang kelja? Kok Bik Siti bau bangkai?" celetuknya sambil menutup hidung."Iya. Ayah kangen sama Maura." Mas Alex mengusap lembut pipi putrinya."Maula juga!" Gadis kecil itu menghambur ke dalam pelukan ayahnya."Maura. Ayo masuk, Nak!" Menarik tangan mungil anakku menjauh dari Mas Alex."Lin. Kamu jangan begitu. Maura itu anakku. Mas sayang sama dia. Kamu boleh benci sama Mas tapi tidak berhak melarang Mas menemui Maura!" kata laki-laki berambut cepak itu dengan nada parau."Minggir!" Tiba-tiba Siti masuk ke dalam tanpa permisi membawa kedua putrinya."Kamu mau ngapain, Siti. Pergi dari rumah ini, atau aku akan menyeret kamu!" cegahku kesal.Warga yang berbondong-bondong di halaman ikut merangsek masuk, akan tetapi Mas Alex malah mengusir mereka dan mengatakan kalau Siti adalah istrinya juga.Oke, Mas. Kamu berani membawa pelakor itu masuk ke rumah ini, jadi siap-siap saja menanggung akibatnya. Akan kubuat Siti menyesal karena sudah masuk ke kandang singa."Ingat Alin. Posisi kita itu sama di sini sekarang. Kita sama-sama istrinya Mas Alex dan anak-anak ini juga...""Siti. Sudah. Jangan banyak bicara. Sekarang sebaiknya kamu bersihkan tubuh kamu yang bau bangkai itu!" potong suami seperti sedang menutupi sesuatu dariku.Sebenarnya ada rahasia apa lagi antara Mas Alex dan Siti.Perempuan bertubuh gempal itu mengayunkan kaki menuju kamar utama, akan tetapi aku segera mencegahnya. Tidak rela kaki kotornya dia jajakkan di kamar itu, walaupun sudah beberapa hari bilik itu tidak aku gunakan.Jijik rasanya tidur di atas kasur yang sudah pernah dipakai bermadu kasih oleh suami serta gundiknya."Kamar mandi kamu di belakang. Buka di situ!" sungutku meradang."Tapi aku ini istri Mas Alex!" kekehnya."Sudahlah, Sit. Sebaiknya kamu mengalah saja. Toh sama-sama mandi pakai air!" timpal Mas Alex membuat perempuan berlumur telur busuk itu mendengkus kesal.Sambil menghentakkan kaki dia berjalan ke arah kamar mandi, sementara laki-laki pengkhianat itu menghampiri diriku dan berusaha meraih tangan ini."Jangan sentuh aku!" ketusku menyingkirkan tangannya."Lin, Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu. Mas mencintai kamu, Lin. Tolong jangan merajuk seperti ini!" cicitnya tanpa rasa bersalah sama sekali."Tidak usah bilang cinta kalau nyatanya kamu mendua!""Mas khilaf, Lin. Maaf. Mas tidak mencintai Siti. Cinta Mas cuma untuk kamu.""Kalau begitu, usir Siti sekarang juga dari sini. Aku tidak mau tinggal seatap dengan perempuan itu. Tidak sudi.""Mas nggak bisa usir dia sekarang, Sayang. Beri Mas waktu. Dia baru diusir dari kontrakan. Kasian anak-anak.""Ok. Kalau begitu aku yang akan pergi dari sini!""Mas mohon jangan tinggalkan Mas!""Sudah aku bilang jangan sentuh aku!" teriakku seraya menepis tangannya, karena lagi-lagi dia menyentuh tubuhku.Gegas mengunci kamar utama, mengajak Maura masuk ke dalam kamar tamu lalu menguncinya dari dalam."Bunda. Maula mau sama Ayah." Putriku merengek lagi."Maura sama Bunda saja!""Tapi, Bun?""Pokoknya Maura harus dengerin apa kata Bunda. Nggak boleh melawan!"Dia mengangguk pelan. Aku segera mengganti pakaiannya, bersiap pergi ke toko karena jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan.Siti sedang memeriksa isi lemari es ketika aku keluar, bersungut-sungut sebab tidak menemukan apa-apa di sana.Sudah beberapa hari ini aku memang tidak belanja bulanan. Delivery order jika lapar, sebab tidak ada waktu untuk mengolah masakan."Heh, Alin. Kok di kulkas nggak ada apa-apa. Aku laper. Belum sarapan. Beliin aku makanan dulu sebelum kamu pergi kerja!" perintah Siti seenak jidat.Aku tidak menggubris. Memangnya siapa dia mengatur hidupku. Bahkan jika Mas alex yang menyuruh pun aku tidak akan mau melakukannya."Kamu mau berangkat, Lin? Mas anter ya?" Laki-laki sok baik itu menawarkan bantuan."Tidak. Aku tidak kasih izin kamu pergi, Mas! Dan Alin juga nggak boleh pakai mobil kamu!" sambung si ulet bulu penuh percaya diri."Heh, ulbul. Apa haknya kamu melarangku menggunakan mobilku sendiri, hah?!" berangku mulai terpancing emosi."Mobil kamu. Ngaku-ngaku. Itu mobil Mas Alex. Dan sekarang, semua yang Mas Alex miliki menjadi milik aku. Kamu nggak akan bisa menguasai harta suami aku!""Coba kamu ulangi?!" Mencengkram erat rahang Siti. "Asal kamu tahu, Siti. Semua yang ada di dalam rumah ini milikku. Mas Alex tidak mempunyai apa-apa di sini. Dia itu kere. Memangnya kamu pikir laki-laki yang kamu gaet itu banyak duit!" tekanku kemudian."Siti, Alin, tolong jangan ribut. Banyak anak-anak di sini. Mas mau kalian berdua akur!" sambung Mas Alex melerai kami."Tolong kamu beritahu pelakor ini untuk tidak mengatur hidup aku!" titahku kepada suami.Sambil menahan amarah yang kian membuncah berjalan keluar dari rumah, menggandeng Maura yang sudah menunggu di teras dan segera berangkat bekerja.Mas Alex mengejarku ketika mobil yang kukemudikan mulai bergerak meninggalkan pelataran rumah. Dia terus saja mengetuk-ngetuk kaca, memintaku untuk membukanya sambil memasang wajah memelas.Jadi pria kok melehoy. Sudah gitu sok-sokan punya istri dua pula."Ada apa lagi? Aku sudah kesiangan!" semburku kesal.Mungkin apa yang aku lakukan itu salah. Sebab berbicara dengan nada meninggi kepada suami yang seharusnya dihormati. Tetapi jika suaminya seperti Mas Alex, apakah masih pantas untuk dihargai?"Mas minta duit buat makan Mas sama anak-anak. Mas nggak pegang uang seperak pun, Lin. Perut Mas sudah sejak semalam belum keisi makanan sama sekali!" Dia merengek seperti anak kecil."Bukan urusan aku. Mau kamu lapar, mau kamu meninggal. Aku tidak perduli!" Kembali menutup kaca mobil dan melajukan kendaraan roda empat milikku meninggalkan Mas Alex.Tidak lupa juga mengirimkan pesan kepada Mpok Hikmah, memberitahu dia supaya tidak memberikan apapun jika Siti maupun Mas Alex ke warung dan berhutang.***"Wajah kamu kusut amat?" tegur Zaskia, sahabatku. Kebetulan pagi ini dia mampir ke toko. Bete di rumah katanya, sebab suaminya sedang pergi dinas ke luar kota."Aku lagi kesel banget, Zas. Masa Mas Alex pulang ke rumah bawa gundiknya!" emosiku kembali meninggi."Ya Tuhan...Berani banget dia. Kamu jangan lemah, Lin. Pokoknya kamu harus bikin pelakor itu kapok karena sudah berani bermain-main sama kamu!""Bismillah. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan serta kesabaran sama aku.""Kamu yang sabar ya, Lin. Badai pasti berlalu. Aku yakin kamu itu seorang perempuan kuat. Aku juga akan membantu kamu sebisa aku. Jangan sungkan kalau butuh bantuan.""Terima kasih!""Apa kamu masih mencintai Alex?"Pertanyaan konyol macam apa ini? Kalau ditanya masalah perasaan, sudah pasti masih ada dalam dada karena sebelumnya keadaan rumah tangga kami baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kalau suamiku selingkuh, sebelum aku mendengar cerita anakku maura.Jangan dibilang aku bodoh juga bucin. Menghapus rasa yang sudah bertahta dalam dada itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun aku sangat yakin, seiring berjalannya waktu cinta dalam sanubari akan pergi.***"Kamu itu benar-benar nggak punya perasaan, Alin. Aku sama anak-anak belum makan. Mas Alex juga belum makan. Tapi kamu malah tidak memberi kami uang untuk beli makanan. Tetangga di sini juga semuanya rese. Timbang pinjam uang seratus ribu saja tidak ada yang percaya. Padahal mereka tahu suami aku itu kaya raya!" cerocos Siti ketika aku baru saja kembali.Ingin rasanya tertawa sekencangnya mendengar dia mengatakan kalau Mas Alex itu kaya. Dia belum tahu berapa gaji laki-laki itu, dan berapa pengeluarannya dalam sebulan."Kamu itu tuli apa bisu sih? Diajak bicara malah diam saja. Mana ATM Mas Alex dan uang yang sudah dia berikan sama kamu bulan ini. Pokoknya mulai hari ini, aku yang akan mengatur keuangan. Kalau kamu tidak setuju, kamu bisa angkat kaki dari rumah ini, Alin!"Aku menyentak napas kasar mendengar cicitan si pelakor.Gegas masuk ke dalam, membuka laci lalu mengambil beberapa lembar kertas, melemparnya ke wajah Siti menyuruh dia untuk membaca daftar tagihan setiap bulannya."Saya dengan senang hati jika kamu mau mengatur keuangan di rumah ini, Siti. Biar saya nggak pusing memikirkan kekurangannya setiap bulan. Coba kamu baca pelan-pelan jangan sampai ada yang terlewatkan.Gaji Mas Alex sebulan sepuluh juta. Buat bayar angsuran rumah lima juta tujuh ratus. Listrik satu juta, wifi empat ratus dua puluh lima ribu. Bayar keamanan dan petugas kebersihan seratus lima puluh ribu, uang transportasi satu juta setengah. Jatah ibu dan adiknya di kampung lima juta. Itu belum termasuk makan dan lain-lainnya.Sekarang, silakan kamu atur uang gaji Mas Alex sebisanya. Saya sudah tidak mau tahu lagi!" beberku panjang lebar merinci semuanya."Kamu jangan ngarang? Gaji Mas alex itu sebulan tiga puluh lima jutaan!""Sebenarnya kamu bisa baca atau tidak, Siti. Di situ sudah jelas-jelas ada slip gaji Mas alex bulan ini dan bulan kemarin. Kamu lihat angka yang tertera di situ. Kalau nggak, silakan kamu tanya langsung sama yang bersangkutan. Pokoknya, mulai hari ini aku sudah tidak lagi perduli dengan urusan gaji. Jangan lupa juga bulan ini dia belum mengirimkan uang buat ibunya!" Melenggang pergi meninggalkan perempuan ular itu sendiri."Alin. Tolong kamu jangan seperti itu!" Aku terkesiap ketika tiba-tiba Mas Alex mencekal lenganku. "Masalah keuangan biar tetap kamu yang atur. Mas tidak mau jika Siti yang me-manage keuangan di sini. Mas lebih percaya ke kamu, sayang."Aku mengangkat satu ujung bibir mendengarnya." Kamu itu bukan percaya sama aku, Mas. Tapi kamu menyuruh aku mengatur keuangan karena gaji kamu pas-pasan, bahkan tidak cukup untuk kebutuhan kita selama sebulan. Pokoknya aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan uang kamu. Semuanya biar Siti yang atur. Aku terima beres biar nggak capek mikirin masalah kekurangannya!""Mas mohon Alin. Bagaimana nasib keluarga Mas di kampung nanti kalau kamu nggak mau bantu. Terus, untuk makan kita sehari-hari juga Mas tidak punya pegangan. Jangan egois, Alina Sayang. Bukankah dalam rumah tangga suami istri itu harus saling bahu-membahu?""Bukan urusanku!" Mengayunkan kaki masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam lalu segera merebahkan bobot di atas peraduan.Aku harus mengatur strategi untuk membuat Mas Alex serta gundiknya semakin menderita di sini.Alarm pagi hari terdengar menjerit-jerit. Buru-buru menyibak selimut yang menutupi tubuh, turun dari tempat peraduan lalu segera membersihkan badan dan melakukan ibadah solat subuh.Suasana rumah masih begitu sepi ketika aku keluar dari dalam bilik. Belum ada tanda-tanda kehidupan, mungkin Mas Alex serta gundiknya masih terlelap mengarungi mimpi.Semoga saja selamanya tidak membuka mata supaya tidak merepotkan juga menyakiti hati ini.Astaghfirullahaladzim...Tidak boleh mendoakan keburukan untuk orang lain, sebab bisa berbalik kepada diri sendiri.Lebih baik segera ke dapur membuat teh hangat untuk menghangatkan tubuh."Kamu bikin teh cuma satu, Lin?" Aku berjingkat kaget ketika tiba-tiba tangan kekar Mas Alex sudah melingkar di pinggang.Dulu, hal seperti ini selalu membuatku merasa menjadi perempuan paling dicintai sedunia. Namun tidak dengan sekarang.Buru-buru melepas pelukan pria itu, tidak sudi bersentuhan dengan orang yang mungkin semalam habis bermadu kasih dengan istri sirin
"Gi-la kamu, ya, Alin. Awas saja. Aku akan melaporkan kamu ke polisi!" sengit Siti dengan suara menggelegar seperti halilintar.Aku menyunggingkan senyum mengejek. "Lapor polisi? Silakan saja kalau berani. Yang ada kalian yang akan mendekam di balik jeruji besi!" Perempuan berkulit eksotis itu mengepal tangan di samping tubuh. Wajahnya memerah menahan amarah yang sudah membuncah, akan tetapi tidak bisa dia tumpahkan. Aku suka melihat ekspresi gundik itu saat ini."Alin. Aku mohon jangan kekanak-kanakan. Kita ini sudah dewasa. Jika ada masalah bisa dibicarakan secara baik-baik. Bukan seperti ini. Kalau kamu bawa semua barang-barang yang ada di rumah, bagaimana kami tidur nanti? Setidaknya kamu sisakan tempat tidur, kulkas, sama kompor juga televisi. Jangan macam perompak yang tega menjarah semua barang di rumah orang. Tolong berperasaan sedikit saja Alina!" oceh suami panjang lebar."Sudah aku bilang itu bukan urusan aku. Semua barang yang ada di sini itu milik aku. Jadi terserah mau
"Kamu yang sabar ya, Lin." Dafa mengusap lenganku."Apa kamu tahu siapa mantan istrinya Mas Alex?" Yang ditanya menggeleng perlahan. "Kapan-kapan aku kenalin kamu sama orang yang memberikan informasi. Biar bisa tanya-tanya langsung sama dia!""Apa bisa sekarang, Daf?""Orangnya lagi dinas ke luar kota."Aku membuang napas kasar. Jujur, penasaran dengan info yang diberikan oleh Dafa. Ingin tahu detailnya, serta melihat seperti apa mantan istri suamiku.Dulu. Awal mengenal Mas Alex melalui sosial media. Dia selalu mengomentari apa yang aku posting di sana, hingga akhirnya mulai mengirimkan pesan pribadi via inbox.Setelah berkenalan cukup lama, Mas Alex mengajak bertemu di sebuah cafe di kawasan Jakarta Selatan. Aku terpesona pada pandangan pertama melihat wajah tampan laki-laki itu. Apalagi dia terlihat begitu baik. Lemah lembut, perhatian, juga penyayang.Saat itu Mas Alex masih kuliah semester akhir, akan tetapi sudah bekerja di perusahaan tempat dia mengais rezeki hingga saat ini,
Tanpa lagi menjawab ucapan si ulet bulu, aku kembali ke luar rumah memantau para tukang. Alhamdulillah pembongkaran kanopi sudah selesai, tinggal melepas pintu garasi serta merobohkan temboknya saja."Pak, jangan lupa tandon airnya juga diambil ya?" perintahku lagi."Baik, Mbak Alin.""Terus jendela depan jangan sampai ketinggalan.""Siap!"Suara gaduh tukang membongkar jendela membuat Mas Alex serta gundiknya keluar dari sarang. Mata keduanya melotot melihat depan rumahnya sudah berantakan, bahkan sekarang toren air pun sudah tergeletak di halaman."Alin, kamu ini benar-benar gila ya? Semuanya kamu ambil, sampai jendela pun kamu lepas. Benar-benar nggak waras kamu ini!" berang pria tersebut dengan kilatan amarah mulai menyala-nyala di mata.Sebisa mungkin tetap tenang menghadapi dia, tidak mau kembali terpancing emosi apalagi sampai marah-marah di depan kedua insan tidak berperasaan itu."Kenapa nggak kamu robohkan sekalian rumah ini, hah!" bentaknya kemudian hingga urat-urat di lehe
"Gila kamu, Alina. Ternyata seperti ini kelakuan asli kamu hah? Mimpi apa anak saya karena harus menikah dengan perempuan bar-bar seperti kamu!" sungut ibu mertua yang tiba-tiba muncul tanpa diundang. Mengganggu acaraku saja."Ibu tidak usah ikut campur. Ini urusan aku sama Mas Alex!" jawabku berusaha memelankan nada bicara walau amarah masih membuncah. Harus menghormati orang yang lebih tua."Urusan Alex jadi urusan saya juga karena dia anak saya. Kamu jadi perempuan tidak tahu diri banget, ya? Sudah dikasih hidup enak, tapi malah ngelunjak. Sekarang malah berbuat gi-la seperti ini!""Iya nih, Bu. Ibu lihat sendiri. Si Alin sudah mengobrak-abrik rumah Mas Alex. Semua barang-barang berharga di rumah ini dicuri sama dia. Sekarang malah mau merobohkan rumah ini!" sambung Siti merasa melambung tinggi sebab ada bala bantuan datang."Saya tidak sedang berbicara dengan kamu!" sentak Ibu sambil menunjuk ke arah si gundik. Sorot kebencian tergambar jelas
Aku menepikan mobil sebentar di bahu jalan setelah sedikit menjauh dari rumah penuh kenangan itu. Menata hati yang sebenarnya kacau berantakan, menahan air mata yang terus saja mendesak untuk dikeluarkan."Tidak. Aku tidak boleh menangis hanya gara-gara keluarga benalu itu. Harus kuat menghadapi semua ini, sebab jika lemah mereka akan terus saja menginjak-injak harga diriku," gumamku dalam hati.Kupejamkan mata ini, mencoba menepis segala lara serta nestapa yang tengah bersarang di dada. Andaikan sejak dulu tahu siapa Mas Alex sebenarnya, mungkin hari ini tidak ada jiwa yang tersakiti. Aku tidak akan mau menikah dengan lelaki pembohong serta pengkhianat seperti dia.Namun nasi sudah menjadi bubur. Semuanya terlanjur terjadi. Disesali pun rasanya percuma saja. Tidak akan merubah keadaan menjadi seperti semula.Mengusap wajah perlahan. Aku mencoba mengambil napas dalam-dalam kemudian membuangnya secara perlahan.Kuat. Harus kuat.
"Lagian Mama itu merasa aneh sama suami kamu. Masa selingkuh sama asisten rumah tangga sendiri, yang wajahnya...ya maaf-maaf saja bukan menghina fisik orang tapi, pelakor itu wajahnya jelek, tubuhnya juga gemuk begitu. Masih cantikan juga kamu ke mana-mana. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi," imbuhnya lagi."Aku malah curiga kalau sebenarnya Mas Alex lebih dulu punya hubungan dengan Siti, Ma. Mama perhatikan saja kalau suatu saat ketemu sama mereka. Anak-anak Siti itu mirip banget sama Mas Alex. Aku baru menyadarinya kemarin.""Mungkin itu hanya kebetulan saja.""Aku dengar kabar dari Dafa kalau Mas Alex itu sudah punya anak sebelum nikah sama aku, Ma."Mama terlihat kaget mendengar kabar tersebut. Sama seperti reaksiku waktu pertama mendengar gosip itu."Berati selain selingkuh dia juga sudah membohongi kamu?"Aku mengangguk pelan."Keterlaluan. Sudahlah. Sepertinya berpisah dengan dia memang sudah jalan paling baik
"Ibu ada perlu apa datang ke sini?" tanyaku dengan nada sinis."Loh, masa nanyanya seperti itu? Ibu ke sini itu mau minta maaf sama kamu. Ibu juga pengen ketemu sama cucu kesayangan Ibu."Sejak kapan Maura menjadi cucu kesayangan. Bukannya dia selalu bilang tidak suka dengan cucu perempuan?"Aku lagi sibuk. Banyak kerjaan. Sebaiknya lain kali saja Ibu datang ke sini lagi." Melipat tangan di depan dada."Duh, Ibu sudah datang jauh-jauh dari rumah, masa sampai sini malah disuruh pulang? Ibu pengen liat-liat koleksi jualan kamu boleh?" Dia berjalan menuju pintu lalu segera masuk ke dalam toko.Aku memutar bola mata malas, apalagi ketika dia mulai mencoba baju-baju yang terpajang di manekin toko."Bagus-bagus baju di sini. Ibu boleh ambil yang Ibu mau kan?" tanyanya dengan wajah berbinar."Enggak. Baju-baju itu sudah dipesan sama orang. Kalau Ibu mau ya harus beli!" jawabku.Wajah Ibu mertua mulai terlihat kesal, ak
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu