"Lagian Mama itu merasa aneh sama suami kamu. Masa selingkuh sama asisten rumah tangga sendiri, yang wajahnya...ya maaf-maaf saja bukan menghina fisik orang tapi, pelakor itu wajahnya jelek, tubuhnya juga gemuk begitu. Masih cantikan juga kamu ke mana-mana. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi," imbuhnya lagi.
"Aku malah curiga kalau sebenarnya Mas Alex lebih dulu punya hubungan dengan Siti, Ma. Mama perhatikan saja kalau suatu saat ketemu sama mereka. Anak-anak Siti itu mirip banget sama Mas Alex. Aku baru menyadarinya kemarin.""Mungkin itu hanya kebetulan saja.""Aku dengar kabar dari Dafa kalau Mas Alex itu sudah punya anak sebelum nikah sama aku, Ma."Mama terlihat kaget mendengar kabar tersebut. Sama seperti reaksiku waktu pertama mendengar gosip itu."Berati selain selingkuh dia juga sudah membohongi kamu?"Aku mengangguk pelan."Keterlaluan. Sudahlah. Sepertinya berpisah dengan dia memang sudah jalan paling baik"Ibu ada perlu apa datang ke sini?" tanyaku dengan nada sinis."Loh, masa nanyanya seperti itu? Ibu ke sini itu mau minta maaf sama kamu. Ibu juga pengen ketemu sama cucu kesayangan Ibu."Sejak kapan Maura menjadi cucu kesayangan. Bukannya dia selalu bilang tidak suka dengan cucu perempuan?"Aku lagi sibuk. Banyak kerjaan. Sebaiknya lain kali saja Ibu datang ke sini lagi." Melipat tangan di depan dada."Duh, Ibu sudah datang jauh-jauh dari rumah, masa sampai sini malah disuruh pulang? Ibu pengen liat-liat koleksi jualan kamu boleh?" Dia berjalan menuju pintu lalu segera masuk ke dalam toko.Aku memutar bola mata malas, apalagi ketika dia mulai mencoba baju-baju yang terpajang di manekin toko."Bagus-bagus baju di sini. Ibu boleh ambil yang Ibu mau kan?" tanyanya dengan wajah berbinar."Enggak. Baju-baju itu sudah dipesan sama orang. Kalau Ibu mau ya harus beli!" jawabku.Wajah Ibu mertua mulai terlihat kesal, ak
Tuh, kan. Apa aku bilang. Ia baik di hadapanku hanya pencitraan saja. Carmuk, alias cari muka. Buktinya ketika berbicara dengan orang yang dia anggap derajatnya lebih rendah, Ibu mengeluarkan taring seperti biasanya."Alin. Bagi uang sepuluh juta ya? Buat ngirimin Rani sama buat makan Ibu. Kasihan loh, adik kamu. Dia belum bayar uang semester. Ibu yakin duit segitu itu tidak ada artinya buat kamu!" rengeknya lagi."Lha, itu bukan urusan aku, Bu. Bukannya anak Ibu itu mapan? Minta lah sama anak Ibu. Aku ini kan cuma pedagang online. Bukan pekerja kantoran seperti anak Ibu!" Masih terekam jelas dalam ingatan, kala Ibu dan Rani menertawakan aku ketika menayangkan masalah pekerjaan dan aku jawab hanya pedagang online. Kata mereka pedagang online itu hanya pebisnis kelas bawah yang penghasilannya cuma uang recehan."Sudahlah, Alina. Lupakan yang sudah berlalu. Dulu Ibu hanya bercanda, loh... Nanti tolong ditransfer ya?""Lebih baik uangnya aku sumbangk
"Tuh, kan. Ada buktinya. Kamu sudah tidak bisa mengelak lagi, Alina!" Dia menatap mencemooh ke arahku."Aku bukan pencuri seperti kamu, Siti!" Aku mulai terpancing emosi."Idih, nggak malu. Sudah jelas-jelas kamu yang ketahuan nyolong, malah aku yang dikatain pencuri. Memang benar kata ibu mertua. Otak kamu itu sudah geser. Setengah gila!""Apa kamu lupa kalau kamu sudah mencuri suamiku, Pelakor?"Siti terkesiap. Wajahnya memerah menahan malu, apalagi ketika para pelayan toko justru menatap mengintimidasi dirinya."Kenapa malah liatin saya seperti itu, Mbak? Udah, buruan arak perempuan itu ke kantor polisi!" berang Siti mencoba mengalihkan perhatian, sebab mungkin orang-orang di dalam kios menyadari kalau dia adalah pelakor yang sempat viral di sosial media."Ada apa ini ribut-ribut?" Seorang perempuan dengan blus warna marun menghampiri kami."Dia mencuri jam di toko ini, Mbak!" Siti menjawab semangat."Oke kalau begitu. Kita bicarakan masalah ini baik-baik di dalam." "Ibu-ibu, emba
"Iya, aku tahu. Kamu memang kangen tapi kangen isi ATM aku. Iya kan? Makanya kemarin kamu nyuruh Ibu datang ke toko meminta uang!" cibirku kesal."Hah? Ibu ke toko dan minta uang sama kamu?" Dih, pura-pura kaget segala. Memangnya dia pikir aku ini perempuan bodoh yang mudah dikibuli."Iya. Sama kamu, kan?""Demi Tuhan aku nggak tahu masalah itu, Sayang. Mungkin itu inisiatif Ibu saja."Duh, berani banget dia bawa-bawa nama Tuhan. Memangnya nggak takut dosa apa? Tapi orang seperti Mas Alex dan sebangsanya mana takut sama yang namanya dosa."Aku lihat kamu ngumpet di gang lalu keluar saat aku sudah pergi," pungkasku kemudian.Hening. Hanya suara helaan panjang yang terdengar. Mungkin dia pikir aku masih bisa dibodohi seperti kemarin-kemarin. Kamu salah, Mas. Sekarang apa pun yang kalian ucapkan, aku tidak akan mempercayainya lagi. Terlebih lagi jelas-jelas aku lihat ada dia bersama ibu ketika perempuan
"Ada apa, Kak?" tanya Hera dengan mimik khawatir."Maura hilang," jawabku sambil menitikkan air mata.Perempuan berhijab satin itu kemudian mengambil ponselku. Berbicara dengan Mas Aldo, menanyakan tentang alamat mall tempat dia membawa Maura."Ayo, Kak. Biar aku antar nyusul Mas Aldo." Aku mengangguk mengiyakan lalu segera mengambil tas yang tergeletak di atas meja, berjalan menuju parkiran dan membonceng di belakang Hera. Tidak berani mengemudi jika hati dalam keadaan kacau seperti ini. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.Sesampainya di pusat perbelanjaan. Aku langsung berlari ke lantai atas menemui Mas Aldo. Laki-laki itu sedang duduk di kursi panjang sambil mengusap wajah kasar juga terlihat frustasi."Memangnya Maura hilang di mana, Mas? Kok bisa lepas pengawasan. Memangnya Mas lagi ngapain aja. Jangan meleng dong, Mas kalau bawa anakku ke luar!" berondongku membuat pria dengan wajah penuh kharisma itu terlihat diliputi rasa bersalah."Mas tadi lagi angkat telepon. Maur
"Kalau memang kamu istrinya Mas Alex, kenapa tidak jujur sejak awal datang ke rumah ini. Kenapa harus mengaku sebagai seorang janda dan menyamar menjadi seorang Asisten Rumah Tangga?""Karena saat itu status aku memang janda. Mas Alex sudah mentalak aku karena kepincut sama kamu!""Sudah! Sudah! Daripada berdebat dengan perempuan tidak jelas asal-usulnya ini, lebih baik kita lanjutkan mencari Maura. Pasti Alex masih berada di sekitar sini!" sela Mas Aldo seraya menarik lenganku keluar dari rumah penuh kenangan manis serta pahit itu.Kami berjalan beriringan menuju mobil, terus mencoba menghubungi pria tersebut tetapi nomer teleponnya belum bisa dihubungi. "Mas, coba kamu hubungi nomer ini. Ini nomer adiknya Mas Alex. Kamu tanyakan ke dia dan berpura-pura jadi temannya Mas Alex," perintahku sembari menyodorkan ponsel.Sesuai perintah sang pemilik garis wajah tegas segera menghubungi nomer Rina. Belum juga mengucapkan salam,
"Heh, mulut lemes. Kamu bisa kuliah juga gara-gara pedagang online ini. Memangnya kamu pikir abang kamu banyak uang? Dia itu kere tahu nggak? Kalau bukan aku yang memberikan, kalian semua tidak akan hidup enak. Kamu juga tidak akan bisa merasakan seperti apa rasanya kuliah!" pungkasku dengan suara meninggi beberapa oktaf. Tidak perduli tetangga di sekitar mendengar lalu berbondong-bondong datang. Biar mereka tahu siapa sebenarnya keluarga ini. Benalu semuanya."Sekarang katakan. Di mana Mas Alex. Aku ingin meminta pertanggungjawaban dia karena sudah menculik anakku dan membuat tubuhnya memar-memar seperti ini!" Menerobos masuk ke dalam, mencari laki-laki yang masih menyandang gelar suami di setiap penjuru ruangan, akan tetapi tidak menemukan dia di mana pun.Bersembunyi di mana si cemen itu. Pasti dia sudah tahu aku akan datang dan langsung melarikan diri. Pengecut.Mengambil sebuah keramik pajangan yang tertata rapi di atas meja, menga
Di hotel. Dua orang polisi wanita mengambil foto luka-luka lebam di tubuh anakku sambil mengajak bicara Maura panjang lebar. Mungkin mereka tahu apa yang sedang dirasakan anakku. Sebab dari raut wajahnya saja sudah terlihat ada rasa takut luar biasa yang berusaha dia sembunyikan.Semoga saja kejadian ini tidak membuat dirinya menjadi trauma di kemudian hari. Apalagi, besok siang kami juga akan membawa dia ke rumah sakit yang ditunjuk kepolisian untuk melakukan visum.Ah, andai saja aku tidak lalai menjaganya, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi."Adek Maura. Ibu polisi pulang dulu, ya. Sekarang adek bobok. Sudah malam. Ini boneka buat Maura." Mereka memberikan sebuah boneka Barbie yang sengaja dibeli Mas Aldo di toko mainan tidak jauh dari hotel."Telima kasih Ibu Polisi." Bibir mungilnya melekuk senyum lalu dia melambaikan tangan ketika dua orang petugas keluar dari kamar kami.Lekas aku naik ke atas tempat tidur, memeluk
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu