"Syukurlah operasi Pak Haris berjalan lancar, karena segera ditindak maka prosesnya tidak begitu sulit dan Pak Haris bisa diselamatkan. Namun, patah tulang di kakinya akan butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh."
"Tapi, suami saya bisa berjalan lagi kan, Dok?""Bisa, Bu. Asal Pak Haris rutin melakukan fisioterapi sesuai jadwal yang akan saya buat nanti. Saya permisi, Pak, Bu.""Terima kasih ya Tuhan." Ibu tak henti-hentinya mengucap syukur dan juga mengucapkan terima kasih pada Bu Deana. "Nyonya, saya sangat berhutang budi pada anda sekeluarga. Saya amat sangat berterima kasih atas kebaikan anda dan suami anda yang sudah bersedia membiayai operasi suami saya. Memang saya belum bisa membalas kebaikan kalian, tapi saya akan selalu mendoakan agar Nyonya dan Tuan selalu mendapat keberkahan." "Tidak usah sungkan, Bu. Saya melakukan ini semua atas dasar kemanusiaan. Lagipula, Sekar akan bekerja dan membantu saya nantinya, jadi saya tidak bisa diam saja tanpa melakukan apa-apa," balas Bu Deana.Bima hanya diam saja, sambil sesekali melirik Aska yang berada di rangkulanku. Mungkin dia sungguh ingin memastikan ucapanku tadi. Setelah mengatakan bahwa Aska itu anaknya, aku meninggalkan dia begitu saja tanpa penjelasan apapun.Aku lega Bapak baik-baik saja, tapi disisi lain aku juga kesal karena setelah ini aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku harus berada di rumah orang yang sangat aku benci selama hidupku. Ini semua demi Bapak kan? Yah, aku harus mengesampingkan perasaanku dulu untuk sementara waktu, setidaknya sampai hutangku pada keluarga ini lunas."Sekar, saya dan Bima pamit pulang dulu, ya. Kamu boleh masuk kerja kapanpun kamu siap. Saya akan tunggu kamu," kata Bu Deana sambil tersenyum menatapku."Baik, Bu. Saya sangat berterima kasih karena sudah memberi saya waktu," jawabku.Mereka berdua bergantian menyalami Ibuku dan berpamitan pada Askara, sebelum pergi Bu Deana memberikan sebuah amplop coklat pada Ibu. Walaupun Ibu menolak berkali-kali, Bu Deana tetap memaksa agar Ibu menerimanya. Aku hanya pasrah melihat itu sebab rasanya energiku sudah habis terkuras hari ini, bahkan untuk tersenyum pun aku susah.***Dua hari kemudian, Bapak sudah boleh pulang ke rumah. Kondisinya sudah membaik, hanya saja Bapak belum bisa menggerakkan kakinya. Dengan uang yang diberikan Bu Deana kemarin, aku membelikan Bapak sebuah kursi roda agar memudahkan aktifitasnya selama di rumah."Sekar, sebaiknya kamu segera pulang untuk bekerja di rumah Pak Wijaya. Bapak sudah baik-baik saja kok. Bapak merasa tidak enak karena majikan kamu itu sudah sangat baik pada kita padahal, kamu kerja saja belum." Bapak bicara padaku saat kami berkumpul di ruang tamu."Iya, Nak. Betul kata Bapak, jangan khawatirkan kami di sini, lagipula uang dari Bu Deana kemarin jumlahnya sangat besar, cukup untuk makan sehari-hari dan kontrol Bapak ke rumah sakit," tambah Ibu.Aku hanya terdiam, jujur aku belum siap rasanya bertemu Bima lagi. Mungkin sebaiknya dua atau tiga hari lagi aku kembali ke sana, lagi pula Bu Deana sendiri yang mengatakan kalau aku bisa masuk kerja kapanpun aku siap.Aku juga masih merindukan Aska, anak laki-lakiku yang sebentar lagi akan masuk SMP. Waktu terasa cepat sekali berlalu, dulu saat ia masih bayi aku selalu memandikan dan mengajaknya jalan-jalan sore. Aku berani melakukan itu karena orang-orang mengira bahwa dia benar-benar adik kandungku.Asik bercengkrama dengan keluargaku, tiba-tiba saja pintu diketuk seseorang."Biar Sekar buka pintunya." Aku bangkit menuju pintu coklat itu dan membukanya dari dalam."Selamat siang, benar ini rumah Ibu Sekar?" Seorang pria dengan jas berwarna hitam bertanya."Ya, saya sendiri. Ada perlu apa, ya?""Perkenalkan, saya Gibran. Asisten Pak Bima yang ditugaskan untuk menjemput Ibu Sekar," jawabnya."Apa? Menjemput saya? Kok tiba-tiba sekali, ya?""Sekar, ada apa? Siapa pria ini?" Ibu datang dari ruang tamu."Siang, Ibu. Saya Asisten pribadi Pak Bima yang akan menjemput Ibu Sekar atas perintah Bu Deana," katanya pada Ibu."Bu Deana? Bukannya kemarin, saya diberi waktu oleh beliau?""Maaf, saya kurang tahu. Saya hanya menjalankan perintah, jika sudah siap kita bisa berangkat sekarang."Ck! Baru saja aku bisa bernafas lega, kenapa tiba-tiba aku dijemput? Sebenarnya ada apa sih? Ibu melirikku, sudah pasti Ibu menyuruhku untuk pergi dan mau tidak mau aku harus menuruti perintah Ibu."Baiklah, saya siap-siap dulu," kataku.Akhirnya aku benar-benar pergi menuju tempat yang akan ku sebut gerbang neraka. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Bu Deana menyuruhku untuk masuk kerja secepat ini, padahal aku masih ingin di rumah sekalian menata hatiku agar lebih tenang sedikit."Anda sudah lama jadi asisten Bima? Ee maksud saya, Pak Bima." Hampir saja aku keceplosan."Sudah hampir sepuluh tahun, Mbak," jawabnya."Jangan panggil Mbak lah, sepertinya kita seumuran." "Baik, Sekar. Saya boleh panggil Sekar kan?" tanyanya dengan mata yang fokus pada jalanan di depannya.Aku mengangguk. "Boleh saja. Berarti kamu orang kepercayaannya kan?" Aku mencoba menyelidiki Gibran, sosok pria yang ternyata dekat dengan Bima. Mungkin saja aku bisa dapat sejumlah informasi tentang masa lalu Bima dari Gibran."Bisa dibilang begitu, kenapa bertanya?""Ah tidak, hanya penasaran." Aku harus hati-hati, sepertinya Gibran orang yang cukup peka. "Oh iya, sebelum ke sana, aku harus mampir ke kosan untuk mengambil barang-barangku."Sampai di kos, aku mengepak barang-barangku yang tidak terlalu banyak. Sekalian aku mau berpamitan pada pemilik kos dan juga Nilam.Aku berbaring sebentar di kasur sambil memandangi langit-langit kamarku, hah sudah cukup lama rasanya aku tinggal di kamar ini. Cukup banyak juga kenangan yang terukir selama beberapa tahun terakhir, saatnya aku harus menempuh jalan hidup baru yang sudah kupastikan akan sangat sulit.Ayo Sekar! Jangan lemah hanya karena ini! Ingat tujuan utamamu! Keluarga! Jangan hiraukan apa yang akan terjadi nanti, toh aku bisa berpura-pura tidak mengenalnya kan? Itu mudah, aku pasti bisa! Aku hanya harus fokus mengerjakan tugasku selama di sana dan tidak usah teralihkan oleh apapun. Aku akan menganggapnya sebagai orang asing.Aku keluar kamar dan menuju kamar Nilam yang persis berada di samping kamarku. Setelah mengetuk beberapa kali, sepertinya Nilam tidak ada di dalam. Biarlah, aku akan menelponnya saja nanti."Lho, kok mendadak pindahan, Neng? Padahal kan baru aja bayar kos buat bulan depan?" kata Ibu Kos."Iya, Bu saya dapat kerjaan. Nggak apa-apa Bu, anggap saja sebagai rasa terima kasih saya karena selama ini Ibu sudah baik sama saya." Aku menyalami wanita paruh baya itu."Terima kasih ya, Neng. Semoga betah di tempat kerja yang baru, semoga lancar juga kerjaannya.""Saya pamit, Bu. Permisi.""Barangnya cuma ini?" tanya Gibran, mungkin dia heran melihatku yang hanya menenteng satu buah tas besar dan satu kardus ukuran sedang."Ya, cuma ini," kataku.Gibran mengangguk kemudian membuka bagasi mobilnya sambil meletakkan barang bawaanku di sana. "Ehm, Sekar, kamu lapar tidak? Apa kamu mau makan dulu sebelum kita berangkat?"Aku sedikit terkejut mendengarnya, tak menyangka saja dibalik penampilannya yang rapi dan misterius, rupanya Gibran punya sisi yang lain lagi."Hmm, boleh," jawabku."Baiklah, kamu mau makan apa? Apa ada restoran dekat sini?"Aku terkekeh. "Restoran? Daripada itu, lebih baik kita makan pecel ayam di dekat sini saja, yuk," ajakku."Pe-pecel ayam?" Gibran keheranan."Kenapa? Jangan bilang kamu belum pernah makan pecel ayam?""Ah, anu, itu….""Kalau tidak mau, makan yang lain saja. Bagaimana kalau ayam geprek?" tanyaku lagi.Gibran mengelus pundaknya. "Apa saja, deh.""Sebenarnya, kamu mau makan apa? Bilang saja.""Pecel ayam geprek," ucapnya.Aku tergelak sekali lagi mendengar jawaban Gibran. Sebenarnya dia ini manusia dari mana sih? Aku yakin dia sama sekali belum pernah makan makanan yang aku sebutkan itu.Akhirnya kami memutuskan untuk makan nasi goreng saja, kasihan juga kalau aku memaksanya untuk makan sesuatu yang dia belum pernah coba, yang ada aku harus tanggung jawab kalau terjadi sesuatu padanya.Sampai di gerbang neraka, maksudku rumah Bima, aku buru-buru untuk masuk lewat pintu belakang. Hari sudah gelap saat ini, mungkin mereka berdua sudah tidur, besok saja aku menemui mereka."Sekar, mau kemana?""Ke kamarku,""Lewat sini! Jalan di sana gelap, lampunya masih rusak sepertinya belum sempat diperbaiki,""Oh, begitukah?"Sial!! Semoga saja kedua orang itu tidak ada, malas sekali harus bertemu mereka sekarang."Lho, Sekar? Kamu sudah datang?" Bu Deana ternyata sedang duduk di ruang tamu dengan sebuah laptop di depannya."Selamat malam, Bu," sapaku padanya."Saya pikir, dua atau tiga hari lagi kamu baru masuk kerja?""Lho, bukannya Ibu menyuruh Pak Gibran untuk menjemput saya di kampung?""Apa? Saya? Tidak ada, Sekar. Saya tidak pernah menyuruh Gibran untuk menjemputmu. Gibran, apa benar yang dikatakan Sekar?""Eh, itu….""Eh, itu… sebentar Bu, ada telepon. Halo, Pak? Baik saya ke sana sekarang. Maaf Bu Deana, saya dipanggil Pak Bima ke ruangannya." Gibran buru-buru pergi dari sini menyisakan tanda tanya untukku dan Bu Deana.Jadi, sebenarnya siapa yang menyuruhnya untuk menjemputku? Apa jangan-jangan ini semua ulah Bima? Ah, sial!"Ya sudah, Sekar tidak usah dipikirkan. Karena kamu sudah terlanjur di sini sebaiknya kamu istirahat saja dulu, besok kita akan bahas tentang pekerjaan dan kontrak kerja kamu, ya." "Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi," ucapku seraya berlalu dari hadapannya.Ah, kalau tahu ini semua ulah Bima, bisa saja aku mengusir Gibran saat dia akan menjemputku tadi. Menyebalkan! Sebaiknya aku tidur saja, besok hari pertamaku bekerja aku ingin menjalaninya dengan tenang.***Sementara itu di ruang kerja Bima."Terima kasih, Gibran.""Santai saja. Oh iya, memangnya kenapa kamu ingin pembantu itu dijemput secepatnya? Bukannya kamu bilang ayahnya baru saja pulang dari rumah sakit?" tanya G
Sanggup atau tidak, Sekar tetap menandatangani kontrak itu dan kini dia resmi bekerja di sana sebagai pembantu. Hari ini hari pertama dia bekerja, Sekar berharap jika hari ini berjalan dengan damai tanpa ada gangguan dari mantan pacarnya itu.Setelah membuat sarapan, Sekar pergi ke kebun belakang untuk menyapa pekerja yang lain."Selamat pagi, Pak Imron," sapanya."Eh, pagi, Neng Sekar. Apa kabar? Saya dengar katanya Ayah Neng Sekar habis kecelakaan, ya? Gimana sekarang kabarnya?" ucapnya sambil meletakkan selang yang ia gunakan untuk menyiram pohon bonsai."Iya, Pak Imron. Sekarang baik-baik saja dan sedang dirawat di rumah. Ngomong-ngomong, Pak Imron tahu kabar ini dari siapa?" tanya Sekar"Dari Nyonya besar. Katanya, untuk sementara Neng Sekar belum bisa masuk kerja karena sedang dapat musibah, saya pikir Neng akan masuk kerja seminggu lagi, tapi ternyata Neng sudah masuk kerja hari ini, toh.""Niatnya juga begitu sih, Pak, tapi…," Sekar tidak meneruskan kalimatnya."Tapi apa, Neng
Keesokan harinya, Sekar bekerja seperti biasa. Setelah selesai membuat sarapan untuk majikannya, ia menuju halaman depan untuk menyiram tanaman. Meskipun itu bukan tugasnya, tapi Sekar tidak enak jika tak melakukan apapun di sana.Sambil memegangi selang air, Sekar tiba-tiba teringat dengan pertanyaan Gibran semalam yang menanyakan pacar. Ia merasa lucu sekaligus aneh karena sudah lama tak mendengar pertanyaan itu dari laki-laki.Menurutnya, Gibran adalah sosok laki-laki yang jujur dan apa adanya. Meskipun ia tak menjawab pertanyaannya itu dan memilih untuk pamit dengan alasan mengantuk, alhasil Gibran ditinggal sendiri tanpa jawaban yang jelas."Dia orang yang sangat blak-blakan, padahal kami baru kenal kan? Bisa-bisanya dia bertanya apa aku punya pacar?" gumamnya.Sedang asyik bersenandung sambil menyiram bunga, Sekar tak menyadari jika seseorang sedang memperhatikan dirinya dari jauh. Bima baru saja sampai dirumah setelah perjalanan dinas keluar kota. Pria itu memperhatikan setiap
"Mas, hari ini aku ada meeting di luar kota. Maaf aku lupa bilang sebelumnya." Deana mengambilkan piring untuk suaminya."Oh ya? Baiklah, hati-hati di jalan," balas Bima."Besok atau lusa aku baru pulang, kamu di rumah nggak papa kan sendirian? Gibran, sebaiknya kamu temani kakakmu di sini ya sampai aku pulang?" ujar Deana."Nggak perlu! Aku bisa sendiri kok, kalau ada dia repot nanti." Bima melirik Gibran."Mas, aku nggak mau meninggalkan kamu berdua sama Sekar. Yah, bukannya apa-apa, sekarang kan banyak pembantu tak tahu diri yang menggoda majikannya?""Sekar bukan perempuan seperti itu, kamu tenang aja." Dalam hati Bima berkata, justru mungkin ia yang akan menggoda Sekar nantinya."Tetap aja, Mas. Gibran, kamu bisa kan?"Gibran mengangguk karena mulutnya sedang mengunyah makanan. Ia tidak keberatan jika harus menginap disini walaupun hanya satu atau dua hari. Karena dia bisa bertemu lebih sering dengan sang pujaan hatinya, yaitu Sekar.Selesai sarapan, mereka menjalani rutinitas se
"Ponselnya mati? Dasar anak kurang ajar! Kemana dia pergi? Apa benar dia membawa Sekar? Berani-beraninya anak itu! Awas aja nanti!" omel Bima saat Gibran tak bisa dihubungi.Sementara itu, Gibran resah sebab sudah hampir setengah jam Sekar tak kunjung kembali dari toilet. Ia berniat untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba saja Sekar muncul dari belakang Gibran dengan nafas tersengal-sengal."Sekar, are you okay?" tanya Gibran.Wanita itu duduk sambil mengatur nafasnya perlahan agar kembali normal. "Aku nggak apa-apa. Maaf, lama ya? Toiletnya antri, hehe," jawabnya."Oh ya? Tumben, padahal ini kan tempat VVIP kenapa bisa antri?"Sekar bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. "Oh, mungkin kebanyakan makan sambal kali?"Gibran mengangguk pelan. "Ya sudah, ayo makan dulu."Sekar masih tidak percaya apa yang dilihatnya barusan. Ternyata wanita itu memang Deana, istri sah dari mantan pacarnya. Deana berselingkuh di hotel ini dan membohongi semua orang. Ia tak h
"Sekar, kita harus bicara."Sekar menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara yang tidak asing itu. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Sudahlah Bim, lupakan masa lalu kita!""Tidak, kamu harus dengar alasanku dulu dan kenapa aku melakukan itu padamu," ucap Bima seraya menarik lengan Sekar."Untuk apa? Toh itu tidak akan merubah kenyataan, bahwa sekarang kamu sudah hidup bahagia bersama istrimu," tepisnya."Sekar, maafkan aku. Aku tidak ada niat untuk menyakitimu, ini semua-""Cukup, Bim. Jangan membuka luka lama! Aku sudah bersusah payah untuk sampai di titik ini, tolong jangan hancurkan aku lagi!""Tapi, aku masih mencintaimu, aku merindukanmu Sekar dan aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku di masa lalu," jelas Bima."Tanggung jawab katamu? Dengan apa? Cukup dengan kamu berpura-pura untuk tidak mengenalku selama aku di sini saja, tidak lebih." "Aku akan menikahimu dan aku akan membawa Askara kemari."Kedua mata Sekar membulat sempurna. "Apa? Sudah gila kamu hah? Apa maksudm
Lima hari sebelumnya."Sekar, selamat ya berkas kamu sudah disetujui oleh pihak keluarga Pak Wijaya. Itu artinya, kamu sudah bisa mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah mereka." Sarah tiba-tiba masuk ke pantry tempat kami berkumpul."Ibu serius? Bukannya kemarin ditolak, ya?" tanyaku tak percaya"Yah, katanya kandidat sebelumnya mengundurkan diri. Sebenarnya kamu itu statusnya cadangan sih, makanya begitu kosong, kamu langsung diterima," jawabnya sambil menuangkan kopi sachet ke mug andalannya."Jadi, kapan saya mulai masuk kerja, Bu?""Wih yang sudah tidak sabar bekerja di rumah konglomerat," ledek Sarah. "Sabar ya, katanya, besok Nyonya besar alias istri dari Pak Wijaya mau bertemu kamu dulu.""Lho, katanya saya sudah diterima? Bukannya saya juga sudah interview tiga kali ya? Bahkan sama Nyonya, siapa itu nama istrinya? Bu Deana? Itu juga sudah kan?" ujarku memastikan."Ih santai kali, Kar. Ini itu bukan w
Benar, tempat ini masih sepi, hanya ada satu orang pegawai di balik meja kasir dan satu orang barista muda nan tampan. Tidak ada satupun customer selain aku, hingga ku rasakan ponselku berdering tanda notifikasi pesan. Rupanya dari Sarah yang mengingatkan aku, sepertinya dia khawatir kalau aku lupa ada janji temu hari ini. Memang sih, sifat pelupa ku ini cukup kadang mengganggu."Selamat pagi, Sekar." Suara manis dan lembut terdengar menyapaku.Reflek aku berbalik dari posisiku sekarang. "Siapa? Eh, astaga, Bu Deana, maaf, saya-" Astaga aku kaget sekali sampai tidak bisa berkata-kata."Ayo, sebelah sini," ajaknya.Sumpah, majikanku ini benar-benar definisi bidadari tak bersayap. Dilihat dari sudut manapun, beliau ini sangat sempurna untuk ukuran seorang wanita. Ini pertemuan kali kedua ku dengannya, dua kali pula aku terpesona dengan penampilan anggunnya.Kami sampai di meja nomor 7 tepat di samping kaca besar yang menghadap ke jalan raya
"Ponselnya mati? Dasar anak kurang ajar! Kemana dia pergi? Apa benar dia membawa Sekar? Berani-beraninya anak itu! Awas aja nanti!" omel Bima saat Gibran tak bisa dihubungi.Sementara itu, Gibran resah sebab sudah hampir setengah jam Sekar tak kunjung kembali dari toilet. Ia berniat untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba saja Sekar muncul dari belakang Gibran dengan nafas tersengal-sengal."Sekar, are you okay?" tanya Gibran.Wanita itu duduk sambil mengatur nafasnya perlahan agar kembali normal. "Aku nggak apa-apa. Maaf, lama ya? Toiletnya antri, hehe," jawabnya."Oh ya? Tumben, padahal ini kan tempat VVIP kenapa bisa antri?"Sekar bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. "Oh, mungkin kebanyakan makan sambal kali?"Gibran mengangguk pelan. "Ya sudah, ayo makan dulu."Sekar masih tidak percaya apa yang dilihatnya barusan. Ternyata wanita itu memang Deana, istri sah dari mantan pacarnya. Deana berselingkuh di hotel ini dan membohongi semua orang. Ia tak h
"Mas, hari ini aku ada meeting di luar kota. Maaf aku lupa bilang sebelumnya." Deana mengambilkan piring untuk suaminya."Oh ya? Baiklah, hati-hati di jalan," balas Bima."Besok atau lusa aku baru pulang, kamu di rumah nggak papa kan sendirian? Gibran, sebaiknya kamu temani kakakmu di sini ya sampai aku pulang?" ujar Deana."Nggak perlu! Aku bisa sendiri kok, kalau ada dia repot nanti." Bima melirik Gibran."Mas, aku nggak mau meninggalkan kamu berdua sama Sekar. Yah, bukannya apa-apa, sekarang kan banyak pembantu tak tahu diri yang menggoda majikannya?""Sekar bukan perempuan seperti itu, kamu tenang aja." Dalam hati Bima berkata, justru mungkin ia yang akan menggoda Sekar nantinya."Tetap aja, Mas. Gibran, kamu bisa kan?"Gibran mengangguk karena mulutnya sedang mengunyah makanan. Ia tidak keberatan jika harus menginap disini walaupun hanya satu atau dua hari. Karena dia bisa bertemu lebih sering dengan sang pujaan hatinya, yaitu Sekar.Selesai sarapan, mereka menjalani rutinitas se
Keesokan harinya, Sekar bekerja seperti biasa. Setelah selesai membuat sarapan untuk majikannya, ia menuju halaman depan untuk menyiram tanaman. Meskipun itu bukan tugasnya, tapi Sekar tidak enak jika tak melakukan apapun di sana.Sambil memegangi selang air, Sekar tiba-tiba teringat dengan pertanyaan Gibran semalam yang menanyakan pacar. Ia merasa lucu sekaligus aneh karena sudah lama tak mendengar pertanyaan itu dari laki-laki.Menurutnya, Gibran adalah sosok laki-laki yang jujur dan apa adanya. Meskipun ia tak menjawab pertanyaannya itu dan memilih untuk pamit dengan alasan mengantuk, alhasil Gibran ditinggal sendiri tanpa jawaban yang jelas."Dia orang yang sangat blak-blakan, padahal kami baru kenal kan? Bisa-bisanya dia bertanya apa aku punya pacar?" gumamnya.Sedang asyik bersenandung sambil menyiram bunga, Sekar tak menyadari jika seseorang sedang memperhatikan dirinya dari jauh. Bima baru saja sampai dirumah setelah perjalanan dinas keluar kota. Pria itu memperhatikan setiap
Sanggup atau tidak, Sekar tetap menandatangani kontrak itu dan kini dia resmi bekerja di sana sebagai pembantu. Hari ini hari pertama dia bekerja, Sekar berharap jika hari ini berjalan dengan damai tanpa ada gangguan dari mantan pacarnya itu.Setelah membuat sarapan, Sekar pergi ke kebun belakang untuk menyapa pekerja yang lain."Selamat pagi, Pak Imron," sapanya."Eh, pagi, Neng Sekar. Apa kabar? Saya dengar katanya Ayah Neng Sekar habis kecelakaan, ya? Gimana sekarang kabarnya?" ucapnya sambil meletakkan selang yang ia gunakan untuk menyiram pohon bonsai."Iya, Pak Imron. Sekarang baik-baik saja dan sedang dirawat di rumah. Ngomong-ngomong, Pak Imron tahu kabar ini dari siapa?" tanya Sekar"Dari Nyonya besar. Katanya, untuk sementara Neng Sekar belum bisa masuk kerja karena sedang dapat musibah, saya pikir Neng akan masuk kerja seminggu lagi, tapi ternyata Neng sudah masuk kerja hari ini, toh.""Niatnya juga begitu sih, Pak, tapi…," Sekar tidak meneruskan kalimatnya."Tapi apa, Neng
"Eh, itu… sebentar Bu, ada telepon. Halo, Pak? Baik saya ke sana sekarang. Maaf Bu Deana, saya dipanggil Pak Bima ke ruangannya." Gibran buru-buru pergi dari sini menyisakan tanda tanya untukku dan Bu Deana.Jadi, sebenarnya siapa yang menyuruhnya untuk menjemputku? Apa jangan-jangan ini semua ulah Bima? Ah, sial!"Ya sudah, Sekar tidak usah dipikirkan. Karena kamu sudah terlanjur di sini sebaiknya kamu istirahat saja dulu, besok kita akan bahas tentang pekerjaan dan kontrak kerja kamu, ya." "Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi," ucapku seraya berlalu dari hadapannya.Ah, kalau tahu ini semua ulah Bima, bisa saja aku mengusir Gibran saat dia akan menjemputku tadi. Menyebalkan! Sebaiknya aku tidur saja, besok hari pertamaku bekerja aku ingin menjalaninya dengan tenang.***Sementara itu di ruang kerja Bima."Terima kasih, Gibran.""Santai saja. Oh iya, memangnya kenapa kamu ingin pembantu itu dijemput secepatnya? Bukannya kamu bilang ayahnya baru saja pulang dari rumah sakit?" tanya G
"Syukurlah operasi Pak Haris berjalan lancar, karena segera ditindak maka prosesnya tidak begitu sulit dan Pak Haris bisa diselamatkan. Namun, patah tulang di kakinya akan butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh.""Tapi, suami saya bisa berjalan lagi kan, Dok?""Bisa, Bu. Asal Pak Haris rutin melakukan fisioterapi sesuai jadwal yang akan saya buat nanti. Saya permisi, Pak, Bu.""Terima kasih ya Tuhan." Ibu tak henti-hentinya mengucap syukur dan juga mengucapkan terima kasih pada Bu Deana. "Nyonya, saya sangat berhutang budi pada anda sekeluarga. Saya amat sangat berterima kasih atas kebaikan anda dan suami anda yang sudah bersedia membiayai operasi suami saya. Memang saya belum bisa membalas kebaikan kalian, tapi saya akan selalu mendoakan agar Nyonya dan Tuan selalu mendapat keberkahan." "Tidak usah sungkan, Bu. Saya melakukan ini semua atas dasar kemanusiaan. Lagipula, Sekar akan bekerja dan membantu saya nantinya, jadi saya tidak bisa diam saja tanpa melakukan apa-apa," balas Bu
"Ibu," sapaku."Sekar." Ibu memelukku hangat, rasanya tenang berada di pelukan ibu."Ibu bagaimana kabarnya? Maaf karena akhir-akhir ini, Sekar jarang kirim uang karena jujur Sekar belum dapat pekerjaan.""Tidak apa, Nak. Yang penting kamu di sana sehat saja ibu sudah bersyukur." Ibu tersenyum di tengah buliran air matanya.Aku beralih pada anak laki-laki yang sedari tadi menunggu giliran untuk disapa. "Halo, Big boy. Apa kamu nakal selama ini hah?" Aku mengacak-acak rambut hitam yang mirip sekali dengan ayahnya itu."Kakak kenapa lama tidak pulang sih? Aska kangen tahu!"Yah, sakit rasanya mendengar anakmu sendiri tidak memanggilmu ibu. Namun itulah yang terjadi selama ini, demi menutupi kehamilanku yang saat itu masih sekolah, kami sekeluarga pindah ke kota selama setahun.Kemudian saat Aska lahir, kami kembali ke kampung dan mengatakan pada warga yang bertanya bahwa itu adalah adikku. Aku merasa berdosa sekali rasanya
Apa benar dia Bima Putra? Laki-laki yang sudah menghancurkan hidupku dan membuat luka dihati selama bertahun-tahun yang tak kunjung sembuh? Susah payah aku melupakan laki-laki brengsek itu, lalu kenapa sekarang aku malah datang ke rumahnya? Dalam sekejap, ingatanku kembali pada masa itu. Hari dimana saat aku menjalin hubungan asmara dengan laki-laki yang kupanggil 'Bimbim'."Sayang, kamu tahu tidak persamaan kamu dengan matahari?" Bima menyandarkan kepalanya pada bahuku."Apasih basi! Pasti sama-sama menghangatkan hari-harimu kan?""Kok kamu tahu sih? Tidak asik. Aku ngambek, ya?" ucap Bima dengan memajukan sedikit bibirnya."Dih, lebay kamu, Bim.""Hehe, entahlah, Kar. Rasanya, jika bersamamu itu adalah hari yang paling menyenangkan, aku bisa jadi diriku sendiri tanpa harus memakai topeng palsu agar orang-orang menyukaiku." Bima menatap mataku dalam-dalam."Memangnya selama ini kamu memakai topeng apa? Joker? Ultraman? Atau tope
Benar, tempat ini masih sepi, hanya ada satu orang pegawai di balik meja kasir dan satu orang barista muda nan tampan. Tidak ada satupun customer selain aku, hingga ku rasakan ponselku berdering tanda notifikasi pesan. Rupanya dari Sarah yang mengingatkan aku, sepertinya dia khawatir kalau aku lupa ada janji temu hari ini. Memang sih, sifat pelupa ku ini cukup kadang mengganggu."Selamat pagi, Sekar." Suara manis dan lembut terdengar menyapaku.Reflek aku berbalik dari posisiku sekarang. "Siapa? Eh, astaga, Bu Deana, maaf, saya-" Astaga aku kaget sekali sampai tidak bisa berkata-kata."Ayo, sebelah sini," ajaknya.Sumpah, majikanku ini benar-benar definisi bidadari tak bersayap. Dilihat dari sudut manapun, beliau ini sangat sempurna untuk ukuran seorang wanita. Ini pertemuan kali kedua ku dengannya, dua kali pula aku terpesona dengan penampilan anggunnya.Kami sampai di meja nomor 7 tepat di samping kaca besar yang menghadap ke jalan raya