Apa benar dia Bima Putra? Laki-laki yang sudah menghancurkan hidupku dan membuat luka dihati selama bertahun-tahun yang tak kunjung sembuh? Susah payah aku melupakan laki-laki brengsek itu, lalu kenapa sekarang aku malah datang ke rumahnya? Dalam sekejap, ingatanku kembali pada masa itu. Hari dimana saat aku menjalin hubungan asmara dengan laki-laki yang kupanggil 'Bimbim'.
"Sayang, kamu tahu tidak persamaan kamu dengan matahari?" Bima menyandarkan kepalanya pada bahuku."Apasih basi! Pasti sama-sama menghangatkan hari-harimu kan?""Kok kamu tahu sih? Tidak asik. Aku ngambek, ya?" ucap Bima dengan memajukan sedikit bibirnya."Dih, lebay kamu, Bim.""Hehe, entahlah, Kar. Rasanya, jika bersamamu itu adalah hari yang paling menyenangkan, aku bisa jadi diriku sendiri tanpa harus memakai topeng palsu agar orang-orang menyukaiku." Bima menatap mataku dalam-dalam."Memangnya selama ini kamu memakai topeng apa? Joker? Ultraman? Atau topeng monyet?" ejekku."Mulai deh, pacarku ini jagonya meledek, ya?"Bima yang merasa gemas kemudian menggelitik pinggangku, hingga kami berdua saling menggelitik satu sama lain. Namun, aku pun sama sekali tak menyangka jika setelah itu akan terjadi sesuatu yang akan merubah seluruh hidupku.Bima dan aku sudah menjalin asmara selama hampir dua tahun lamanya. Saat itu, Bima yang merupakan ketua OSIS tentu saja menjadi bintang yang bersinar di sekolah. Hampir rata-rata siswi SMA Matahari mengagumi ketampanan dan kepintaran Bima.Namun, itu semua berbanding terbalik denganku yang sama sekali tidak tertarik pada cowok populer itu. Hal inilah yang akhirnya membuat Bima penasaran dan mati-matian mengejarku. Berkali-kali aku menolak pernyataan cinta dari Bima, tapi itu tidak membuatnya gentar untuk meluluhkan hatiku, wanita yang disukainya.Hingga pada suatu hari, aku yang muak terus-terusan diganggu oleh Bima pun berkata. "Aku terima kamu, tapi jangan sampai ada yang tahu kita pacaran. Satu orang saja tahu, kita putus," tegasku padanya.Padahal sebenarnya, awalnya aku tidak sungguh-sungguh menerima cinta tulus dari Bima, diriku hanya risih karena kerap mendapat teror serta ancaman dari cewek-cewek populer di sekolah hingga difitnah menggunakan pelet untuk menggoda Bima. Ada-ada saja.Seiring berjalannya waktu, ku pikir hubunganku dengannya tidak akan lama, tapi Bima tidak berubah sedikitpun dalam memperlakukanku malah justru dia semakin memperlihatkan betapa tulusnya dia padaku. Wanita mana sih yang tidak akan luluh? Sampai tak terasa, hubungan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya."Sekar, kita kan sudah hampir dua tahun pacaran." Bima menghentikan kalimatnya."Iya, aku tidak sabar untuk kuliah di Universitas yang sama denganmu. Tunggu aku setahun lagi, ya."Bima tersenyum sambil membelai lembut rambutku. Aku saat itu tidak mengetahui niat Bima yang sebenarnya, karena pada waktu itu kami hanya sedang belajar bersama di rumahku yang sepi karena setiap harinya, Ayah dan Ibuku sedang berada di toko kelontong milik mereka.Selama pacaran dengannya, aku dan Bima berkomitmen bahwa kami tidak akan melakukan hal-hal diluar batas. Bima pun setuju dan selama ini dia sangat menjagaku dengan baik. Namun, hari itu, entah setan jenis apa yang merasuki pikiran Bima. Hingga ia tega berbuat hal sebejat itu kepadaku, yang akhirnya merubah seluruh kehidupanku 180 derajat."Sekar, aku sangat mencintaimu, aku berjanji akan menikahimu. Aku tidak akan meninggalkanmu sedetikpun. Sekar, kamu mau kan melakukannya denganku?" ucap Bima."Apa maksudmu, Bim? Melakukan apa?" tanyaku."Aku ingin mencobanya sekali denganmu, kamu mau kan?"Belum sempat aku menjawab, Bima dengan cepat membungkam mulutku dengan bibirnya. Awalnya aku menolak, kudorong tubuh kekar itu dengan sekuat tenaga hingga aku bisa terlepas darinya."Bimbim, apa yang kamu lakukan? Kita kan sudah janji tidak akan berbuat macam-macam!" Aku marah padanya karena sudah melanggar perjanjian kami.Namun, Bima seperti kerasukan. Ia kembali menangkapku hingga jatuh ke pelukannya. Cukup lama aku berada di dekapannya, tapi aneh aku malah merasa nyaman bersandar pada dada bidang itu. Hingga Bima melakukannya lagi, ia melayangkan kecupan di bibirku.Jujur, penolakan terjadi lagi padaku karena ini adalah hal pertama bagiku. Bodohnya, lama-lama aku malah menikmatinya hingga akhirnya aku melakukan first kiss ku dengan Bima.Tak sampai disitu, Bima mulai merayap kan jari jemarinya di tubuhku dan mulai membuka kancing bajuku satu persatu. Iya, ku akui memang aku bodoh! Aku tidak melawan sama sekali karena jujur, aku sangat penasaran hingga ingin mencoba hal diluar batas itu."Sekar, kamu yakin kan?" tanyanya.Aku tidak menjawab, aku hanya mengangguk sambil memejamkan kedua mataku karena malu. Akhirnya, hancurlah sudah pertahanan benteng yang ku bangun dengan kokoh itu. Bima merenggut mahkotaku dengan ganasnya hingga membuatku tak berkutik dibuatnya."Aku janji, akan selalu bersamamu apapun yang terjadi. Aku tidak akan meninggalkanmu, Sekar."Ucapan terakhir dari Bima itu menyadarkanku dari lamunan. Ini tidak bisa, tidak benar. Aku tidak mau bekerja di rumah ini. Biarlah aku kehilangan kesempatan emas ini daripada harus melihat wajah brengsek itu setiap hari. Aku harus membatalkan kontrak itu.Baru saja aku hendak membalikkan badan berencana untuk mengambil tasku di kamar, tiba-tiba aku merasa seseorang sedang mengawasiku dari belakang. Aku mengurungkan niat itu dan melangkah maju saja untuk mencari pintu lain."Permisi, Anda siapa?"Seperti dugaan, Bima sudah berdiri di belakangku saat ini, membuatku merasa semakin tersudut. Namun, kenapa aku malah hendak lari? Bukannya selama ini aku ingin sekali bertemu dengannya lalu kemudian mencabik-cabik wajahnya hingga tak berbentuk? Tidak, kali ini berbeda. Lebih baik aku pergi dari sini sebelum ketahuan. "Permisi, Nona. Apa kamu?"Belum sempat Bima meneruskan kalimatnya, aku buru-buru kabur menuju pintu di depan ku. Namun sial."Sekar, kamu di sini rupanya? Lho, Mas? Kamu tidak jadi pergi ke kantor? Kebetulan sekali kalau begitu, sekalian saja kita bahas kontrak kerja Sekar, asisten rumah tangga kita yang baru." Bu Deana tiba-tiba muncul dari balik pintu di depanku."Sekar?" Aku mendengar Bima menyebut namaku, rasanya memuakkan."Ah, Bu maaf. Sepertinya saya-" kalimatku terhenti saat ponsel di saku celana berdering kencang. "Sebentar, Bu. Ibu saya di kampung menelpon." Aku menjauh sedikit untuk menjawab panggilan Ibu."Halo, Bu.""Sekar, Bapak-" Suara Ibu di ujung telepon terdengar serak dan sumbang."Ibu, ada apa? Bapak kenapa, Bu? Ibu baik-baik saja kan?""Bapak, Bapak kecelakaan, Nak. Sekarang di UGD rumah sakit Cipta Mulia. Kamu bisa kesini kan? Ibu takut, Nak." Ibu menangis tersedu-sedu."Ya Tuhan, Ibu sekarang tenang dulu, ya. Sekar kesana sekarang, sabar ya, Bu." "Iya, Kar. Ibu tunggu," ucapnya kemudian telepon terputus.Tanpa pikir panjang aku menghampiri Bu Deana yang sedang bersama suaminya itu untuk ijin pulang kampung. Sebab tidak mungkin jika aku pergi begitu saja, biar bagaimanapun beliau sangat baik padaku meskipun aku belum resmi bekerja padanya."Permisi, Bu Deana. Anu, maaf apa saya boleh izin pulang kampung? Ibu saya barusan mengabarkan kalau Bapak saya kecelakaan dan sekarang ada di ruang UGD." Aku bisa tahu bahwa Bima sangat terkejut melihat keberadaanku, tapi aku tidak peduli itu sekarang."Astaga, kasihan sekali. Ya sudah, saya antar kamu saja sekalian menjenguk Ayah kamu, ya. Ayo, Mas kita antar Sekar.""Eh jangan, Bu. Tidak usah, saya bisa naik Bus di terminal.""Itu buang waktu, Sekar. Sudah jangan menolak kebaikan saya. Tunggu di sini saya ambil tas dulu. Ayo, Mas kita siap-siap." Bu Deana menarik tangan Bima yang sedari tadi diam mematung."Tapi-" Astaga kenapa jadi begini sih? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Daripada itu, aku juga khawatir pada Bapak. Semoga beliau baik-baik saja.Akhirnya kami bertiga menuju kampung halamanku. Sepanjang perjalanan aku hanya diam begitu pula dengan Bu Deana juga Bima. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam, kami sampai di rumah sakit tempat dimana Bapak di rawat dan langsung menuju ruang UGD.Aku melihat wanita paruh baya dengan baju lusuh disana sedang menggandeng seorang anak lelaki berusia 12 tahun. Dia adalah ibu dan juga anakku, Askara. Ya, dia anak yang kulahirkan dari hasil hubunganku dengan Bima dulu. Sekarang kalian tahu kan, kenapa aku begitu membenci Bima?"Ibu," sapaku."Sekar." Ibu memelukku hangat, rasanya tenang berada di pelukan ibu."Ibu bagaimana kabarnya? Maaf karena akhir-akhir ini, Sekar jarang kirim uang karena jujur Sekar belum dapat pekerjaan.""Tidak apa, Nak. Yang penting kamu di sana sehat saja ibu sudah bersyukur." Ibu tersenyum di tengah buliran air matanya.Aku beralih pada anak laki-laki yang sedari tadi menunggu giliran untuk disapa. "Halo, Big boy. Apa kamu nakal selama ini hah?" Aku mengacak-acak rambut hitam yang mirip sekali dengan ayahnya itu."Kakak kenapa lama tidak pulang sih? Aska kangen tahu!"Yah, sakit rasanya mendengar anakmu sendiri tidak memanggilmu ibu. Namun itulah yang terjadi selama ini, demi menutupi kehamilanku yang saat itu masih sekolah, kami sekeluarga pindah ke kota selama setahun.Kemudian saat Aska lahir, kami kembali ke kampung dan mengatakan pada warga yang bertanya bahwa itu adalah adikku. Aku merasa berdosa sekali rasanya
"Syukurlah operasi Pak Haris berjalan lancar, karena segera ditindak maka prosesnya tidak begitu sulit dan Pak Haris bisa diselamatkan. Namun, patah tulang di kakinya akan butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh.""Tapi, suami saya bisa berjalan lagi kan, Dok?""Bisa, Bu. Asal Pak Haris rutin melakukan fisioterapi sesuai jadwal yang akan saya buat nanti. Saya permisi, Pak, Bu.""Terima kasih ya Tuhan." Ibu tak henti-hentinya mengucap syukur dan juga mengucapkan terima kasih pada Bu Deana. "Nyonya, saya sangat berhutang budi pada anda sekeluarga. Saya amat sangat berterima kasih atas kebaikan anda dan suami anda yang sudah bersedia membiayai operasi suami saya. Memang saya belum bisa membalas kebaikan kalian, tapi saya akan selalu mendoakan agar Nyonya dan Tuan selalu mendapat keberkahan." "Tidak usah sungkan, Bu. Saya melakukan ini semua atas dasar kemanusiaan. Lagipula, Sekar akan bekerja dan membantu saya nantinya, jadi saya tidak bisa diam saja tanpa melakukan apa-apa," balas Bu
"Eh, itu… sebentar Bu, ada telepon. Halo, Pak? Baik saya ke sana sekarang. Maaf Bu Deana, saya dipanggil Pak Bima ke ruangannya." Gibran buru-buru pergi dari sini menyisakan tanda tanya untukku dan Bu Deana.Jadi, sebenarnya siapa yang menyuruhnya untuk menjemputku? Apa jangan-jangan ini semua ulah Bima? Ah, sial!"Ya sudah, Sekar tidak usah dipikirkan. Karena kamu sudah terlanjur di sini sebaiknya kamu istirahat saja dulu, besok kita akan bahas tentang pekerjaan dan kontrak kerja kamu, ya." "Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi," ucapku seraya berlalu dari hadapannya.Ah, kalau tahu ini semua ulah Bima, bisa saja aku mengusir Gibran saat dia akan menjemputku tadi. Menyebalkan! Sebaiknya aku tidur saja, besok hari pertamaku bekerja aku ingin menjalaninya dengan tenang.***Sementara itu di ruang kerja Bima."Terima kasih, Gibran.""Santai saja. Oh iya, memangnya kenapa kamu ingin pembantu itu dijemput secepatnya? Bukannya kamu bilang ayahnya baru saja pulang dari rumah sakit?" tanya G
Sanggup atau tidak, Sekar tetap menandatangani kontrak itu dan kini dia resmi bekerja di sana sebagai pembantu. Hari ini hari pertama dia bekerja, Sekar berharap jika hari ini berjalan dengan damai tanpa ada gangguan dari mantan pacarnya itu.Setelah membuat sarapan, Sekar pergi ke kebun belakang untuk menyapa pekerja yang lain."Selamat pagi, Pak Imron," sapanya."Eh, pagi, Neng Sekar. Apa kabar? Saya dengar katanya Ayah Neng Sekar habis kecelakaan, ya? Gimana sekarang kabarnya?" ucapnya sambil meletakkan selang yang ia gunakan untuk menyiram pohon bonsai."Iya, Pak Imron. Sekarang baik-baik saja dan sedang dirawat di rumah. Ngomong-ngomong, Pak Imron tahu kabar ini dari siapa?" tanya Sekar"Dari Nyonya besar. Katanya, untuk sementara Neng Sekar belum bisa masuk kerja karena sedang dapat musibah, saya pikir Neng akan masuk kerja seminggu lagi, tapi ternyata Neng sudah masuk kerja hari ini, toh.""Niatnya juga begitu sih, Pak, tapi…," Sekar tidak meneruskan kalimatnya."Tapi apa, Neng
Keesokan harinya, Sekar bekerja seperti biasa. Setelah selesai membuat sarapan untuk majikannya, ia menuju halaman depan untuk menyiram tanaman. Meskipun itu bukan tugasnya, tapi Sekar tidak enak jika tak melakukan apapun di sana.Sambil memegangi selang air, Sekar tiba-tiba teringat dengan pertanyaan Gibran semalam yang menanyakan pacar. Ia merasa lucu sekaligus aneh karena sudah lama tak mendengar pertanyaan itu dari laki-laki.Menurutnya, Gibran adalah sosok laki-laki yang jujur dan apa adanya. Meskipun ia tak menjawab pertanyaannya itu dan memilih untuk pamit dengan alasan mengantuk, alhasil Gibran ditinggal sendiri tanpa jawaban yang jelas."Dia orang yang sangat blak-blakan, padahal kami baru kenal kan? Bisa-bisanya dia bertanya apa aku punya pacar?" gumamnya.Sedang asyik bersenandung sambil menyiram bunga, Sekar tak menyadari jika seseorang sedang memperhatikan dirinya dari jauh. Bima baru saja sampai dirumah setelah perjalanan dinas keluar kota. Pria itu memperhatikan setiap
"Mas, hari ini aku ada meeting di luar kota. Maaf aku lupa bilang sebelumnya." Deana mengambilkan piring untuk suaminya."Oh ya? Baiklah, hati-hati di jalan," balas Bima."Besok atau lusa aku baru pulang, kamu di rumah nggak papa kan sendirian? Gibran, sebaiknya kamu temani kakakmu di sini ya sampai aku pulang?" ujar Deana."Nggak perlu! Aku bisa sendiri kok, kalau ada dia repot nanti." Bima melirik Gibran."Mas, aku nggak mau meninggalkan kamu berdua sama Sekar. Yah, bukannya apa-apa, sekarang kan banyak pembantu tak tahu diri yang menggoda majikannya?""Sekar bukan perempuan seperti itu, kamu tenang aja." Dalam hati Bima berkata, justru mungkin ia yang akan menggoda Sekar nantinya."Tetap aja, Mas. Gibran, kamu bisa kan?"Gibran mengangguk karena mulutnya sedang mengunyah makanan. Ia tidak keberatan jika harus menginap disini walaupun hanya satu atau dua hari. Karena dia bisa bertemu lebih sering dengan sang pujaan hatinya, yaitu Sekar.Selesai sarapan, mereka menjalani rutinitas se
"Ponselnya mati? Dasar anak kurang ajar! Kemana dia pergi? Apa benar dia membawa Sekar? Berani-beraninya anak itu! Awas aja nanti!" omel Bima saat Gibran tak bisa dihubungi.Sementara itu, Gibran resah sebab sudah hampir setengah jam Sekar tak kunjung kembali dari toilet. Ia berniat untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba saja Sekar muncul dari belakang Gibran dengan nafas tersengal-sengal."Sekar, are you okay?" tanya Gibran.Wanita itu duduk sambil mengatur nafasnya perlahan agar kembali normal. "Aku nggak apa-apa. Maaf, lama ya? Toiletnya antri, hehe," jawabnya."Oh ya? Tumben, padahal ini kan tempat VVIP kenapa bisa antri?"Sekar bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. "Oh, mungkin kebanyakan makan sambal kali?"Gibran mengangguk pelan. "Ya sudah, ayo makan dulu."Sekar masih tidak percaya apa yang dilihatnya barusan. Ternyata wanita itu memang Deana, istri sah dari mantan pacarnya. Deana berselingkuh di hotel ini dan membohongi semua orang. Ia tak h
"Sekar, kita harus bicara."Sekar menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara yang tidak asing itu. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Sudahlah Bim, lupakan masa lalu kita!""Tidak, kamu harus dengar alasanku dulu dan kenapa aku melakukan itu padamu," ucap Bima seraya menarik lengan Sekar."Untuk apa? Toh itu tidak akan merubah kenyataan, bahwa sekarang kamu sudah hidup bahagia bersama istrimu," tepisnya."Sekar, maafkan aku. Aku tidak ada niat untuk menyakitimu, ini semua-""Cukup, Bim. Jangan membuka luka lama! Aku sudah bersusah payah untuk sampai di titik ini, tolong jangan hancurkan aku lagi!""Tapi, aku masih mencintaimu, aku merindukanmu Sekar dan aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku di masa lalu," jelas Bima."Tanggung jawab katamu? Dengan apa? Cukup dengan kamu berpura-pura untuk tidak mengenalku selama aku di sini saja, tidak lebih." "Aku akan menikahimu dan aku akan membawa Askara kemari."Kedua mata Sekar membulat sempurna. "Apa? Sudah gila kamu hah? Apa maksudm
"Ponselnya mati? Dasar anak kurang ajar! Kemana dia pergi? Apa benar dia membawa Sekar? Berani-beraninya anak itu! Awas aja nanti!" omel Bima saat Gibran tak bisa dihubungi.Sementara itu, Gibran resah sebab sudah hampir setengah jam Sekar tak kunjung kembali dari toilet. Ia berniat untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba saja Sekar muncul dari belakang Gibran dengan nafas tersengal-sengal."Sekar, are you okay?" tanya Gibran.Wanita itu duduk sambil mengatur nafasnya perlahan agar kembali normal. "Aku nggak apa-apa. Maaf, lama ya? Toiletnya antri, hehe," jawabnya."Oh ya? Tumben, padahal ini kan tempat VVIP kenapa bisa antri?"Sekar bingung harus menjawab apa, sebab dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. "Oh, mungkin kebanyakan makan sambal kali?"Gibran mengangguk pelan. "Ya sudah, ayo makan dulu."Sekar masih tidak percaya apa yang dilihatnya barusan. Ternyata wanita itu memang Deana, istri sah dari mantan pacarnya. Deana berselingkuh di hotel ini dan membohongi semua orang. Ia tak h
"Mas, hari ini aku ada meeting di luar kota. Maaf aku lupa bilang sebelumnya." Deana mengambilkan piring untuk suaminya."Oh ya? Baiklah, hati-hati di jalan," balas Bima."Besok atau lusa aku baru pulang, kamu di rumah nggak papa kan sendirian? Gibran, sebaiknya kamu temani kakakmu di sini ya sampai aku pulang?" ujar Deana."Nggak perlu! Aku bisa sendiri kok, kalau ada dia repot nanti." Bima melirik Gibran."Mas, aku nggak mau meninggalkan kamu berdua sama Sekar. Yah, bukannya apa-apa, sekarang kan banyak pembantu tak tahu diri yang menggoda majikannya?""Sekar bukan perempuan seperti itu, kamu tenang aja." Dalam hati Bima berkata, justru mungkin ia yang akan menggoda Sekar nantinya."Tetap aja, Mas. Gibran, kamu bisa kan?"Gibran mengangguk karena mulutnya sedang mengunyah makanan. Ia tidak keberatan jika harus menginap disini walaupun hanya satu atau dua hari. Karena dia bisa bertemu lebih sering dengan sang pujaan hatinya, yaitu Sekar.Selesai sarapan, mereka menjalani rutinitas se
Keesokan harinya, Sekar bekerja seperti biasa. Setelah selesai membuat sarapan untuk majikannya, ia menuju halaman depan untuk menyiram tanaman. Meskipun itu bukan tugasnya, tapi Sekar tidak enak jika tak melakukan apapun di sana.Sambil memegangi selang air, Sekar tiba-tiba teringat dengan pertanyaan Gibran semalam yang menanyakan pacar. Ia merasa lucu sekaligus aneh karena sudah lama tak mendengar pertanyaan itu dari laki-laki.Menurutnya, Gibran adalah sosok laki-laki yang jujur dan apa adanya. Meskipun ia tak menjawab pertanyaannya itu dan memilih untuk pamit dengan alasan mengantuk, alhasil Gibran ditinggal sendiri tanpa jawaban yang jelas."Dia orang yang sangat blak-blakan, padahal kami baru kenal kan? Bisa-bisanya dia bertanya apa aku punya pacar?" gumamnya.Sedang asyik bersenandung sambil menyiram bunga, Sekar tak menyadari jika seseorang sedang memperhatikan dirinya dari jauh. Bima baru saja sampai dirumah setelah perjalanan dinas keluar kota. Pria itu memperhatikan setiap
Sanggup atau tidak, Sekar tetap menandatangani kontrak itu dan kini dia resmi bekerja di sana sebagai pembantu. Hari ini hari pertama dia bekerja, Sekar berharap jika hari ini berjalan dengan damai tanpa ada gangguan dari mantan pacarnya itu.Setelah membuat sarapan, Sekar pergi ke kebun belakang untuk menyapa pekerja yang lain."Selamat pagi, Pak Imron," sapanya."Eh, pagi, Neng Sekar. Apa kabar? Saya dengar katanya Ayah Neng Sekar habis kecelakaan, ya? Gimana sekarang kabarnya?" ucapnya sambil meletakkan selang yang ia gunakan untuk menyiram pohon bonsai."Iya, Pak Imron. Sekarang baik-baik saja dan sedang dirawat di rumah. Ngomong-ngomong, Pak Imron tahu kabar ini dari siapa?" tanya Sekar"Dari Nyonya besar. Katanya, untuk sementara Neng Sekar belum bisa masuk kerja karena sedang dapat musibah, saya pikir Neng akan masuk kerja seminggu lagi, tapi ternyata Neng sudah masuk kerja hari ini, toh.""Niatnya juga begitu sih, Pak, tapi…," Sekar tidak meneruskan kalimatnya."Tapi apa, Neng
"Eh, itu… sebentar Bu, ada telepon. Halo, Pak? Baik saya ke sana sekarang. Maaf Bu Deana, saya dipanggil Pak Bima ke ruangannya." Gibran buru-buru pergi dari sini menyisakan tanda tanya untukku dan Bu Deana.Jadi, sebenarnya siapa yang menyuruhnya untuk menjemputku? Apa jangan-jangan ini semua ulah Bima? Ah, sial!"Ya sudah, Sekar tidak usah dipikirkan. Karena kamu sudah terlanjur di sini sebaiknya kamu istirahat saja dulu, besok kita akan bahas tentang pekerjaan dan kontrak kerja kamu, ya." "Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi," ucapku seraya berlalu dari hadapannya.Ah, kalau tahu ini semua ulah Bima, bisa saja aku mengusir Gibran saat dia akan menjemputku tadi. Menyebalkan! Sebaiknya aku tidur saja, besok hari pertamaku bekerja aku ingin menjalaninya dengan tenang.***Sementara itu di ruang kerja Bima."Terima kasih, Gibran.""Santai saja. Oh iya, memangnya kenapa kamu ingin pembantu itu dijemput secepatnya? Bukannya kamu bilang ayahnya baru saja pulang dari rumah sakit?" tanya G
"Syukurlah operasi Pak Haris berjalan lancar, karena segera ditindak maka prosesnya tidak begitu sulit dan Pak Haris bisa diselamatkan. Namun, patah tulang di kakinya akan butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh.""Tapi, suami saya bisa berjalan lagi kan, Dok?""Bisa, Bu. Asal Pak Haris rutin melakukan fisioterapi sesuai jadwal yang akan saya buat nanti. Saya permisi, Pak, Bu.""Terima kasih ya Tuhan." Ibu tak henti-hentinya mengucap syukur dan juga mengucapkan terima kasih pada Bu Deana. "Nyonya, saya sangat berhutang budi pada anda sekeluarga. Saya amat sangat berterima kasih atas kebaikan anda dan suami anda yang sudah bersedia membiayai operasi suami saya. Memang saya belum bisa membalas kebaikan kalian, tapi saya akan selalu mendoakan agar Nyonya dan Tuan selalu mendapat keberkahan." "Tidak usah sungkan, Bu. Saya melakukan ini semua atas dasar kemanusiaan. Lagipula, Sekar akan bekerja dan membantu saya nantinya, jadi saya tidak bisa diam saja tanpa melakukan apa-apa," balas Bu
"Ibu," sapaku."Sekar." Ibu memelukku hangat, rasanya tenang berada di pelukan ibu."Ibu bagaimana kabarnya? Maaf karena akhir-akhir ini, Sekar jarang kirim uang karena jujur Sekar belum dapat pekerjaan.""Tidak apa, Nak. Yang penting kamu di sana sehat saja ibu sudah bersyukur." Ibu tersenyum di tengah buliran air matanya.Aku beralih pada anak laki-laki yang sedari tadi menunggu giliran untuk disapa. "Halo, Big boy. Apa kamu nakal selama ini hah?" Aku mengacak-acak rambut hitam yang mirip sekali dengan ayahnya itu."Kakak kenapa lama tidak pulang sih? Aska kangen tahu!"Yah, sakit rasanya mendengar anakmu sendiri tidak memanggilmu ibu. Namun itulah yang terjadi selama ini, demi menutupi kehamilanku yang saat itu masih sekolah, kami sekeluarga pindah ke kota selama setahun.Kemudian saat Aska lahir, kami kembali ke kampung dan mengatakan pada warga yang bertanya bahwa itu adalah adikku. Aku merasa berdosa sekali rasanya
Apa benar dia Bima Putra? Laki-laki yang sudah menghancurkan hidupku dan membuat luka dihati selama bertahun-tahun yang tak kunjung sembuh? Susah payah aku melupakan laki-laki brengsek itu, lalu kenapa sekarang aku malah datang ke rumahnya? Dalam sekejap, ingatanku kembali pada masa itu. Hari dimana saat aku menjalin hubungan asmara dengan laki-laki yang kupanggil 'Bimbim'."Sayang, kamu tahu tidak persamaan kamu dengan matahari?" Bima menyandarkan kepalanya pada bahuku."Apasih basi! Pasti sama-sama menghangatkan hari-harimu kan?""Kok kamu tahu sih? Tidak asik. Aku ngambek, ya?" ucap Bima dengan memajukan sedikit bibirnya."Dih, lebay kamu, Bim.""Hehe, entahlah, Kar. Rasanya, jika bersamamu itu adalah hari yang paling menyenangkan, aku bisa jadi diriku sendiri tanpa harus memakai topeng palsu agar orang-orang menyukaiku." Bima menatap mataku dalam-dalam."Memangnya selama ini kamu memakai topeng apa? Joker? Ultraman? Atau tope
Benar, tempat ini masih sepi, hanya ada satu orang pegawai di balik meja kasir dan satu orang barista muda nan tampan. Tidak ada satupun customer selain aku, hingga ku rasakan ponselku berdering tanda notifikasi pesan. Rupanya dari Sarah yang mengingatkan aku, sepertinya dia khawatir kalau aku lupa ada janji temu hari ini. Memang sih, sifat pelupa ku ini cukup kadang mengganggu."Selamat pagi, Sekar." Suara manis dan lembut terdengar menyapaku.Reflek aku berbalik dari posisiku sekarang. "Siapa? Eh, astaga, Bu Deana, maaf, saya-" Astaga aku kaget sekali sampai tidak bisa berkata-kata."Ayo, sebelah sini," ajaknya.Sumpah, majikanku ini benar-benar definisi bidadari tak bersayap. Dilihat dari sudut manapun, beliau ini sangat sempurna untuk ukuran seorang wanita. Ini pertemuan kali kedua ku dengannya, dua kali pula aku terpesona dengan penampilan anggunnya.Kami sampai di meja nomor 7 tepat di samping kaca besar yang menghadap ke jalan raya