“Maaf, Ma. Dari tadi Kusuma belum sempat menyapa,” ucap Mas Suma setelah mencium tangan Mama Ulfa. Mantan mertua Mas Suma itu, memeluk suamiku sambil menepuk-nepuk punggungnya.“Maaf, ya. Dewi dan Patrick sering merepotkan kamu.”Mas Suma tersenyum. “Selagi mampu, Suma pasti membantu. Itu pun juga karena dukungan istri saya. Maharani,” ucap suamiku sambil menarik tangan ini.Kami saling berbincang santai. Selama ada Mas Suma, tidak ada cuitan dari Dewi yang menyinggung masalah Amelia. Terlihat sekali, kalau tadi perdebatan sekadar untuk konfrontasi denganku.***POV Kusuma Rumah ini melemparkan ingatanku ke masa lalu. Di ujung saja masih sama, ada teras kecil dengan satu set kursi rotan dengan sandaran tinggi. Dua kursi model zaman dulu dengan meja jati di tengahnya. Aku diajak keliling dengan Patrick.Dia menceritakan semua rencananya setelah bebas dari penjara. Entah berapa kali dia mengucapkan terima kasih, aku hanya menyambutnya dengan senyuman.“Saya tidak mempunyai keluarga di
Mengharap seseorang akan berubah, itu hanya membuang waktu. Sama saja menceramahi kambing untuk tidak memakan tanaman sayuran. Mustahil, kan? Lebih baik memberi pagar rapat-rapat supaya si kambing tidak merusaknya kembali.Ini perumpamaan yang tepat untuk mantan istriku, Dewi. Sekarang, aku akan memfokuskan diri kepada Maharani saja. Lupakan kambing.Eh!*Tanpa mengorek keterangan kepada Maharani lagi, Amelia dan Rima bergantian bercerita tentang perlakuan Dewi kepada Maharani. Informasi yang tidak aku dapatkan dari mulutnya saat di mobil tadi.“Maaf, ya Mel. Kakak tadi tidak bisa menahannya,” ucap Rima dengan menunjukkan penyesalan sambil meraih tangan Amelia.Anak itu justru tertawa. “It’s OK lah, Kak. Mami Dewi memang begitu. Wajarlah kalau Kak Rima yang baru kenal shock.”“Maafkan Rima tadi, Tante, Om. Spontan saja tidak mau Tante Maharani digitukan,” ucapnya sambil menangkup ke dua tangan di dada ke arahku dan istriku.“Om justru berterima kasih kepadamu. Karena kamu menjaga Mam
Rumah kembali sepi seprti di awal. Amelia pun kembali ke apartemen dan mulai tenggelam di kesibukan kuliah. Hanya sesekali saja dia pulang.Menjadi ibu itu tidak mudah, apalagi dengan anak beragam seperti ini. Menghadapi anak remaja tentu berbeda dengan anak balita. Tantangannya beragam.Seperti Denish dan Anind. Mereka berbeda dalam hal makan. Denish menyukai apapun yang disajikan, termasuk sayuran. Berbanding terbalik dengan Anind.Gadis kecilku sama sekali tidak menyukai sayuran, baik yang berwarna orange, putih, terlebih hijau. Ada daun seledri setitikpun, dia menggeleng. Pernah aku coba masukkan sedikit bayam saat menyuapnya. Dia memuntahkan setelah sadar yang aku lakukan.“Beri saja maunya apa, Ran. Jangan dipaksa. Nanti dia malah tidak makan,” ucap Mas Suma, saat aku akan memaksanya.Sejak itu, walaupun tetap berusaha menyelipkan sayuran di camilannya, aku tidak memaksanya. Namun, kejadian sekarang menuntutku untuk membawanya ke dokter. Dia kesulitan buang air besar.“Saya ber
“Ma-maaf, Tuan, Bu Rani. Mas Denish tadi saya tinggal sebentar, dan dia main air di taman.” Wajah Mbak Tias terlihat pias. Pasti dia takut dimarahi, terlebih ada Mas Suma yang melihat Denish tertawa sambil mendongakkan wajah ke arah suamiku. Aku pun benar-benar kaget melihat penampilan Denish yang begitu kotor. Tidak hanya Mbak Tias, Pak Maman pun tergopong juga. “Mas Denish tadi menemani saya menanam tanaman. Saya hanya berpaling sebentar dia sudah seperti ini. Saya kejar justru lari. Bukan salah Tias, tapi salah saya,” ucap Pak Maman. Ini berarti, kotoran di badan Denish tidak hanya lumpur, tetapi pupuk organik juga. Pantas saja berbau bagaimana gitu. Kami semua terdiam termasuk aku, melihat Mas Suma yang bergeming dan tidak menunjukkan reaksi. Seakan siap mendapat murka, kedua pekerja itu menunduk dengan tangan mengatup di depan. Suasana pecah seketika, saat Mas Suma tertawa terbahak-bahak. Tidak merasa jijik, di mengacak rambut Denish yang berbelepotan lumpur. Semuanya berna
“Ran ….”“Iya?” Tanpa menoleh, aku melihat Mas Suma dari bayangan cermin.Kami bersama berada di dalam kamar. Tadi setelah mandi, Denish malah mengantuk dan tertidur pulas. Mempunyai waktu senggang, rencananya aku gunakan untuk memakai masker wajah.“Aku masih kepikiran dengan berita di televisi tadi,” ucapnya sambil bersendekap dan bersandar di sandaran ranjang.Saat aku membersihkan wajah, suamiku itu rebahan di ranjang tanpa berkata-kata. Sesekali melihat ponsel sambil bergumam entah itu apa.Sekarang, tertinggal menggunakan masker lembaran. Namun, benda yang sudah aku pegang ini, aku letakkan kembali.“Mas Suma. Jangan diingat-ingat. Aku tidak tega melihat anak-anaknya yang memeluk erat ibunya yang sudah meninggal. Membayangkan mereka mencoba membangunkan saat mereka lapar, atau ingin ke kamar mandi,” sahutku sambil menghela napas.“Aku kawatir melakukan itu kepadamu.”Aku melirik ke arahnya. Dia tetap seperti semula, bersendekap dengan posisi seperti memikirkan sesuatu.“Tidak l
Aku dan dia memang dulu pernah dekat. Dia pernah menjadi sandaran hidupku. Tidak mungkin aku melupakan itu. Namun, itu sekadar seperti lembaran kehidupanku yang sudah lewat dan tidak perlu dibaca lagi, walaupun untuk sekilas.Bukan.Itu perumpamaan yang kurang tepat. Lebih tepat lagi, dia sekadar buku lama yang tidak terpakai lagi. Bukan hanya disimpan, tetapi dibumi hanguskan habis dan hanya menyisakan debu yang menandakan tidak bisa hilang walaupun hanya samar.Tidak kesediaanku berkomunikasi dengannya, bukan karena untuk memutus silaturohmi. Aku hanya ingin menghentikan kenangan-kenangan yang bisa mencuat sebagai pengganggu. Daripada keuntungan, kerugiannya lah yang lebih banyak. Jadi untuk apa itu dilakukan? Hanya membuang waktu percuma.“Mama. Wisnu mengganggu?” Suara Wisnu terdengar dari ponsel. Aku sengaja berpindah dari dapur ke pondok aquarium. Bik Inah aku suruh menyelesaikan masakan. Hanya mematangkan rendang, kemudian mencampurkan koya setelah kuah mulai mengental.“Tida
Lengang.Papa sudah tertidur. Setelah meracau tentang keluarganya, dia terkapar dan aku papah ke kamar depan. Dalam tidurnya, sesekali mulutnya bergumam seperti orang kesakitan.Bramantyo, lelaki yang dulu menjadi panutanku, terlihat seperti orang pada umumnya. Seseorang yang menyerah, ringkih, dan tidak berdaya. Berbeda dengan sosoknya dahulu.Aku masih ingat. Seperti sekarang ini, aku mengamati Papa yang sedang tertidur. Dahulu, aku menganggapnya seperti dewa. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut panjang sebahu, mengingatkan aku pada film Hercules. Walaupun, tubuhnya tidak sebesar Kevin David Sorbo, tapi kekuatan dan kepintarannya tidak terkalahkan.Aku bangga setiap berjalan bersama. Langkahku ringan, terlebih saat tangan besarnya menggenggam tangan ini. Kalau dia sudah tertidur seperti sekarang ini, pasti aku menyelusup di lengannya yang besar. Di dalam pelukannya membuatku merasa aman.Namun, yang dihadapanku sekarang hanya lelaki kebanyakan yang kesepian.Lampu aku matikan dan m
Lelaki ini dulu sangat memesona. Perawakannya yang pas, yang dipadukan dengan wajah yang simpatik, dan pembawaannya yang menarik hati. Terlebih disempurnakan dengan pakaian yang berkelas.Masih ingat dulu, aku sangat menyukainya saat mengenakan stelan baju berwarna kream. Bukan coklat, tetapi cenderung putih.Potongannya sederhana dan elegan. Bahannyapun terlihat nyaman dipakai. Tanpa mengetahui merknya pun, terlihat jelas itu bukan pakaian yang murah.Masih ingat, Mama membelikan sebagai hadiah ulang tatahun. Seakan sadar dia begitu memesona saat mengenakan itu, Papa memakainya berulang kali. Ibaratnya cuci kering pakai.Aku ingin membelikan beberapa stel dengan model senada. Tapi merknya apa?“Mama. Masih ingat, kan?” ucapku setelah menjelaskan keinginanku.Sempat terbersit untuk menghubungi Rima. Namun, kekasihku itu belum pernah bertemu dengan Papa. Bagaimana bisa kekasihku itu memilihkan baju yang tepat untuk Papa?“Harus bertanya kepada mama?”“Iya, Ma. Wisnu tidak tahu harus b