Rumah kembali sepi seprti di awal. Amelia pun kembali ke apartemen dan mulai tenggelam di kesibukan kuliah. Hanya sesekali saja dia pulang.Menjadi ibu itu tidak mudah, apalagi dengan anak beragam seperti ini. Menghadapi anak remaja tentu berbeda dengan anak balita. Tantangannya beragam.Seperti Denish dan Anind. Mereka berbeda dalam hal makan. Denish menyukai apapun yang disajikan, termasuk sayuran. Berbanding terbalik dengan Anind.Gadis kecilku sama sekali tidak menyukai sayuran, baik yang berwarna orange, putih, terlebih hijau. Ada daun seledri setitikpun, dia menggeleng. Pernah aku coba masukkan sedikit bayam saat menyuapnya. Dia memuntahkan setelah sadar yang aku lakukan.“Beri saja maunya apa, Ran. Jangan dipaksa. Nanti dia malah tidak makan,” ucap Mas Suma, saat aku akan memaksanya.Sejak itu, walaupun tetap berusaha menyelipkan sayuran di camilannya, aku tidak memaksanya. Namun, kejadian sekarang menuntutku untuk membawanya ke dokter. Dia kesulitan buang air besar.“Saya ber
“Ma-maaf, Tuan, Bu Rani. Mas Denish tadi saya tinggal sebentar, dan dia main air di taman.” Wajah Mbak Tias terlihat pias. Pasti dia takut dimarahi, terlebih ada Mas Suma yang melihat Denish tertawa sambil mendongakkan wajah ke arah suamiku. Aku pun benar-benar kaget melihat penampilan Denish yang begitu kotor. Tidak hanya Mbak Tias, Pak Maman pun tergopong juga. “Mas Denish tadi menemani saya menanam tanaman. Saya hanya berpaling sebentar dia sudah seperti ini. Saya kejar justru lari. Bukan salah Tias, tapi salah saya,” ucap Pak Maman. Ini berarti, kotoran di badan Denish tidak hanya lumpur, tetapi pupuk organik juga. Pantas saja berbau bagaimana gitu. Kami semua terdiam termasuk aku, melihat Mas Suma yang bergeming dan tidak menunjukkan reaksi. Seakan siap mendapat murka, kedua pekerja itu menunduk dengan tangan mengatup di depan. Suasana pecah seketika, saat Mas Suma tertawa terbahak-bahak. Tidak merasa jijik, di mengacak rambut Denish yang berbelepotan lumpur. Semuanya berna
“Ran ….”“Iya?” Tanpa menoleh, aku melihat Mas Suma dari bayangan cermin.Kami bersama berada di dalam kamar. Tadi setelah mandi, Denish malah mengantuk dan tertidur pulas. Mempunyai waktu senggang, rencananya aku gunakan untuk memakai masker wajah.“Aku masih kepikiran dengan berita di televisi tadi,” ucapnya sambil bersendekap dan bersandar di sandaran ranjang.Saat aku membersihkan wajah, suamiku itu rebahan di ranjang tanpa berkata-kata. Sesekali melihat ponsel sambil bergumam entah itu apa.Sekarang, tertinggal menggunakan masker lembaran. Namun, benda yang sudah aku pegang ini, aku letakkan kembali.“Mas Suma. Jangan diingat-ingat. Aku tidak tega melihat anak-anaknya yang memeluk erat ibunya yang sudah meninggal. Membayangkan mereka mencoba membangunkan saat mereka lapar, atau ingin ke kamar mandi,” sahutku sambil menghela napas.“Aku kawatir melakukan itu kepadamu.”Aku melirik ke arahnya. Dia tetap seperti semula, bersendekap dengan posisi seperti memikirkan sesuatu.“Tidak l
Aku dan dia memang dulu pernah dekat. Dia pernah menjadi sandaran hidupku. Tidak mungkin aku melupakan itu. Namun, itu sekadar seperti lembaran kehidupanku yang sudah lewat dan tidak perlu dibaca lagi, walaupun untuk sekilas.Bukan.Itu perumpamaan yang kurang tepat. Lebih tepat lagi, dia sekadar buku lama yang tidak terpakai lagi. Bukan hanya disimpan, tetapi dibumi hanguskan habis dan hanya menyisakan debu yang menandakan tidak bisa hilang walaupun hanya samar.Tidak kesediaanku berkomunikasi dengannya, bukan karena untuk memutus silaturohmi. Aku hanya ingin menghentikan kenangan-kenangan yang bisa mencuat sebagai pengganggu. Daripada keuntungan, kerugiannya lah yang lebih banyak. Jadi untuk apa itu dilakukan? Hanya membuang waktu percuma.“Mama. Wisnu mengganggu?” Suara Wisnu terdengar dari ponsel. Aku sengaja berpindah dari dapur ke pondok aquarium. Bik Inah aku suruh menyelesaikan masakan. Hanya mematangkan rendang, kemudian mencampurkan koya setelah kuah mulai mengental.“Tida
Lengang.Papa sudah tertidur. Setelah meracau tentang keluarganya, dia terkapar dan aku papah ke kamar depan. Dalam tidurnya, sesekali mulutnya bergumam seperti orang kesakitan.Bramantyo, lelaki yang dulu menjadi panutanku, terlihat seperti orang pada umumnya. Seseorang yang menyerah, ringkih, dan tidak berdaya. Berbeda dengan sosoknya dahulu.Aku masih ingat. Seperti sekarang ini, aku mengamati Papa yang sedang tertidur. Dahulu, aku menganggapnya seperti dewa. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut panjang sebahu, mengingatkan aku pada film Hercules. Walaupun, tubuhnya tidak sebesar Kevin David Sorbo, tapi kekuatan dan kepintarannya tidak terkalahkan.Aku bangga setiap berjalan bersama. Langkahku ringan, terlebih saat tangan besarnya menggenggam tangan ini. Kalau dia sudah tertidur seperti sekarang ini, pasti aku menyelusup di lengannya yang besar. Di dalam pelukannya membuatku merasa aman.Namun, yang dihadapanku sekarang hanya lelaki kebanyakan yang kesepian.Lampu aku matikan dan m
Lelaki ini dulu sangat memesona. Perawakannya yang pas, yang dipadukan dengan wajah yang simpatik, dan pembawaannya yang menarik hati. Terlebih disempurnakan dengan pakaian yang berkelas.Masih ingat dulu, aku sangat menyukainya saat mengenakan stelan baju berwarna kream. Bukan coklat, tetapi cenderung putih.Potongannya sederhana dan elegan. Bahannyapun terlihat nyaman dipakai. Tanpa mengetahui merknya pun, terlihat jelas itu bukan pakaian yang murah.Masih ingat, Mama membelikan sebagai hadiah ulang tatahun. Seakan sadar dia begitu memesona saat mengenakan itu, Papa memakainya berulang kali. Ibaratnya cuci kering pakai.Aku ingin membelikan beberapa stel dengan model senada. Tapi merknya apa?“Mama. Masih ingat, kan?” ucapku setelah menjelaskan keinginanku.Sempat terbersit untuk menghubungi Rima. Namun, kekasihku itu belum pernah bertemu dengan Papa. Bagaimana bisa kekasihku itu memilihkan baju yang tepat untuk Papa?“Harus bertanya kepada mama?”“Iya, Ma. Wisnu tidak tahu harus b
Membuang rasa penasaran, aku bergegas ke parkiran bandara. Tanpa banyak pikir, kuterima tawaran taxi bandara. Menyebut nama hotel di daerah Kuta, kemudian kendaraan pun melaju.Lucu kan, kalau aku bertemu dengan Papa yang bersama dengan Tante Wulan. Bisa jadi aku dipaksa untuk ikut bersama mereka. Bisa jadi misiku gagal total.[Sayang. Aku masih dijalan, sekitar lima belas menit bisa kita video call? Aku kangen] Send.Status pesan belum terbaca.Ok. Mungkin kekasihku sibuk berkutat dengan diktat. Proses revisi penyusunan skripsi itu, sering merontokkan rambut.Sepanjang jalan, mata ini siaga, menunggu pesan balasan. Namun sampai di tujuanpun, status tetap tidak berubah.Aku memesan kamar dengan pemandangan pantai Kuta. Ada balkon dengan sepasang kursi. Pas untuk nongkrong sambil berbincang. Namun, sekarang dengan siapa? Harapanku video call dengan Rima, justru dia tidak ada kabar.Satu kaleng minuman soda aku keluarkan dari lemari pendingin ukuran kecil. Menikmati ini ditemani deburan
Bab 600.Beneran kami video call seperti live orang jualan onlen, berjam-jam. Beberapa kali terjeda karena Rima dipanggil orang tuanya, ambil makanan, bahkan pamit ke kamar kecil. Begitu juga aku.Aku sampai pesan makanan untuk diantar ke kamar. Dan sekarang kami makan bersama. Aku di sini dan dia di sana makan bersama di waktu yang sama.“Kita ini lucu, ya? Mas Wisnu makannya apa, kok kayaknya enak.”Aku memiringkan piring menunjuk ke layar.“Nasi campur Bali. Ini sate lilit tuna, pepes ikan, urap-urap, dan sambel matah. Mau?”Aku tertawa melihat wajah Rima yang mupeng-mukak pengen. Sengaja, aku makan sate lilit dengan gaya menikmati sambil merem-merem gitu.“Mas Wisnu. Aku juga punya ini.” Tidak mau kalah, dia tunjukkan nasi Padang lengkap dengan rendang dan sayuran singkong yang dilengkapi dengan cabai hijau. Dari bentuknya, kelihatan sekali kalau beli.“Beli?”“Iya. Papa dari kantor dan pulangnya beli ginian.”“Papa kamu tahu kalau kita telponan?”Rima tersenyum sambil menggelen