Lengang.Papa sudah tertidur. Setelah meracau tentang keluarganya, dia terkapar dan aku papah ke kamar depan. Dalam tidurnya, sesekali mulutnya bergumam seperti orang kesakitan.Bramantyo, lelaki yang dulu menjadi panutanku, terlihat seperti orang pada umumnya. Seseorang yang menyerah, ringkih, dan tidak berdaya. Berbeda dengan sosoknya dahulu.Aku masih ingat. Seperti sekarang ini, aku mengamati Papa yang sedang tertidur. Dahulu, aku menganggapnya seperti dewa. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut panjang sebahu, mengingatkan aku pada film Hercules. Walaupun, tubuhnya tidak sebesar Kevin David Sorbo, tapi kekuatan dan kepintarannya tidak terkalahkan.Aku bangga setiap berjalan bersama. Langkahku ringan, terlebih saat tangan besarnya menggenggam tangan ini. Kalau dia sudah tertidur seperti sekarang ini, pasti aku menyelusup di lengannya yang besar. Di dalam pelukannya membuatku merasa aman.Namun, yang dihadapanku sekarang hanya lelaki kebanyakan yang kesepian.Lampu aku matikan dan m
Lelaki ini dulu sangat memesona. Perawakannya yang pas, yang dipadukan dengan wajah yang simpatik, dan pembawaannya yang menarik hati. Terlebih disempurnakan dengan pakaian yang berkelas.Masih ingat dulu, aku sangat menyukainya saat mengenakan stelan baju berwarna kream. Bukan coklat, tetapi cenderung putih.Potongannya sederhana dan elegan. Bahannyapun terlihat nyaman dipakai. Tanpa mengetahui merknya pun, terlihat jelas itu bukan pakaian yang murah.Masih ingat, Mama membelikan sebagai hadiah ulang tatahun. Seakan sadar dia begitu memesona saat mengenakan itu, Papa memakainya berulang kali. Ibaratnya cuci kering pakai.Aku ingin membelikan beberapa stel dengan model senada. Tapi merknya apa?“Mama. Masih ingat, kan?” ucapku setelah menjelaskan keinginanku.Sempat terbersit untuk menghubungi Rima. Namun, kekasihku itu belum pernah bertemu dengan Papa. Bagaimana bisa kekasihku itu memilihkan baju yang tepat untuk Papa?“Harus bertanya kepada mama?”“Iya, Ma. Wisnu tidak tahu harus b
Membuang rasa penasaran, aku bergegas ke parkiran bandara. Tanpa banyak pikir, kuterima tawaran taxi bandara. Menyebut nama hotel di daerah Kuta, kemudian kendaraan pun melaju.Lucu kan, kalau aku bertemu dengan Papa yang bersama dengan Tante Wulan. Bisa jadi aku dipaksa untuk ikut bersama mereka. Bisa jadi misiku gagal total.[Sayang. Aku masih dijalan, sekitar lima belas menit bisa kita video call? Aku kangen] Send.Status pesan belum terbaca.Ok. Mungkin kekasihku sibuk berkutat dengan diktat. Proses revisi penyusunan skripsi itu, sering merontokkan rambut.Sepanjang jalan, mata ini siaga, menunggu pesan balasan. Namun sampai di tujuanpun, status tetap tidak berubah.Aku memesan kamar dengan pemandangan pantai Kuta. Ada balkon dengan sepasang kursi. Pas untuk nongkrong sambil berbincang. Namun, sekarang dengan siapa? Harapanku video call dengan Rima, justru dia tidak ada kabar.Satu kaleng minuman soda aku keluarkan dari lemari pendingin ukuran kecil. Menikmati ini ditemani deburan
Bab 600.Beneran kami video call seperti live orang jualan onlen, berjam-jam. Beberapa kali terjeda karena Rima dipanggil orang tuanya, ambil makanan, bahkan pamit ke kamar kecil. Begitu juga aku.Aku sampai pesan makanan untuk diantar ke kamar. Dan sekarang kami makan bersama. Aku di sini dan dia di sana makan bersama di waktu yang sama.“Kita ini lucu, ya? Mas Wisnu makannya apa, kok kayaknya enak.”Aku memiringkan piring menunjuk ke layar.“Nasi campur Bali. Ini sate lilit tuna, pepes ikan, urap-urap, dan sambel matah. Mau?”Aku tertawa melihat wajah Rima yang mupeng-mukak pengen. Sengaja, aku makan sate lilit dengan gaya menikmati sambil merem-merem gitu.“Mas Wisnu. Aku juga punya ini.” Tidak mau kalah, dia tunjukkan nasi Padang lengkap dengan rendang dan sayuran singkong yang dilengkapi dengan cabai hijau. Dari bentuknya, kelihatan sekali kalau beli.“Beli?”“Iya. Papa dari kantor dan pulangnya beli ginian.”“Papa kamu tahu kalau kita telponan?”Rima tersenyum sambil menggelen
Dalam pernikahan memang tidak cukup dengan rasa cinta, apalagi gairah semata. Itu tidak lebih dari sepuluh persen saja, selebihnya komunikasi, toleransi, dan pengertian.Ini yang sering aku abaikan. Aku memang pernah gagal di perkawinan pertama. Apakah aku akan mengulangi kesalahan lagi?Dulu, kepiawaian Maharani dalam membantu bisnisku, justru mengalihkan kepercayaan client kepadanya. Mereka lebih mempercayai bertransaksi dengannya dari pada denganku. Padahal aku kan bosnya?Bagaimana aku tidak merasa insecure? Rasa rendah diri menghantui di setiap aku terjaga, walaupun Maharani terlihat selalu tidak mengenyampingkanku. Dia selalu mengikutsetakan aku di setiap mengambil keputusan. Walaupun aku tertinggal menjawab persetujuan. Namun harga diri ini terusik. Karenanya, aku menunjukkan keakuanku dengan membuka cabang baru di Batam.Itu awal aku bertemu dengan Wulan. Dia begitu mendambaku dan itu menjadi pemuas keegoanku sebagai laki-laki.Sekarang itu terulang lagi. Wulan wanita yang li
“Itu saja?” ucapku sambil memindai raut wajahnya yang menunjukkan keyakinan.Wanita memang makhluk yang sudah dimengerti. Selalu memberikan perlambang yang sering membuatku sakit kepala. Aku tidak ingin terjebak dengan penafsiranku yang keliru. Lebih baik aku tanyakan secara jelas, mengurangi prosentase salah.“Iya. Mas Bram keberatan? Atau masih ….”Aku tertawa sambil mencolek hidungnya yang mancung.“Selalu seperti itu. Cemburu dengan orang yang sudah menjadi milik orang lain.”Dia cemberut. “Tapi aku sering mendapati Mas Bram mengingatnya.”Kedua tangannya aku ambil. Aku menatapnya lekat-lekat tepat di manik mata. Memaksanya hanya tertuju kepadaku.“Lihat kedua metaku,” ucapku sambil menunjuk. “Apakah aku terlihat tidak serius bersama denganmu? Apakah kesengsaraanku karena kau meninggalkan aku, kau anggap pura-pura?”Dia menggeleng.Aku tersenyum.“Tidak mungkin aku menghapus ingatan pada Mamanya Wisnu. Kalau ada formula menghapus kenangan, aku akan menggunakannya untuk mengantikan
Aku tidak mengira kedatanganku disambut sedemikian rupa. Mungkin orang tidak tahu, mengira iring-iringan ini menyambut kedatangan orang penting.Keluar dari pintu kedatangan, bukan hanya wajah Pak Maman yang aku dapati seperti biasanya.Semua ada di sini. Papi Kusuma, Mama, Amelia, kedua adikku-Anind dan Denish tentu saja bersama pengasuhnya. Termasuk Kevin dan yang paling mengejutkan, wajah yang aku rindukan menyembul dari kerumunan keluargaku, Rima kekasihku.Langkah ini terhenti melihat sorak sorai mereka. Ingin menangis sekaligus tertawa. Terlebih melihat bendera kecil di tangan Denish dan Anind yang dikibarkan. Tidak kuasa, air mata ini menyeruak. Aku tidak bisa menahannya lagi, apalagi melihat Mama tersenyum dengan kedua tangan membentang.“Welcome home, anakku. Mama sangat merindukan kamu,” serunya sambil menciumi pipiku. Dalam pelukannya aku terisak. Aku tidak mengira sebegitu banyak orang yang mencintaiku.Padahal, dahulu sempat aku meratapi kesendirianku pasca perpisaham Mam
Sebenarnya pertanyaan ini sering mencuat di kepalaku. Eyang Uti itu sebenarnya dulu apa, ya? Hampir orang-orang terkemuka mengenalnya. Dan yang membuatku kagum, mereka tidak hanya kenal tetapi juga menaruh hormat.Apa dulu dia dulu seorang mafia seperti di novel-novel itu? Sekarang sudah mantan, tetapi masih menyisakan kekuasaan.Tidak hanya di kalangan pengusaha, bidang sosial, bahkan di pemerintahan pun mengenal nama Rianti Adijaya. Sungguh, ini merupakan kebanggaan sudah mendapat kasih sayang dari sosok yang hebat seperti Nyonya Besar.Seperti malam ini, perayaan penyambutanku oleh para eyang ini mempunyai maksud. Keduanya mengetahui rencana besarku.“Dalam kesempatan ini, aku sampaikan akan menginvestasikan dana untuk proyek cucuku, Wisnu,” ucap Nyonya Besar setelah makan bersama usai. Kemudian dia menoleh ke arah Papi. “Kusuma. Tolong nanti diatur. Anita akan mengirimkan berkas ke kalian.”Papi tersenyum sambil menyatakan kesediaannya. Aku langsung beranjak menghampiri Eyang Uti,
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan