Sebenarnya pertanyaan ini sering mencuat di kepalaku. Eyang Uti itu sebenarnya dulu apa, ya? Hampir orang-orang terkemuka mengenalnya. Dan yang membuatku kagum, mereka tidak hanya kenal tetapi juga menaruh hormat.Apa dulu dia dulu seorang mafia seperti di novel-novel itu? Sekarang sudah mantan, tetapi masih menyisakan kekuasaan.Tidak hanya di kalangan pengusaha, bidang sosial, bahkan di pemerintahan pun mengenal nama Rianti Adijaya. Sungguh, ini merupakan kebanggaan sudah mendapat kasih sayang dari sosok yang hebat seperti Nyonya Besar.Seperti malam ini, perayaan penyambutanku oleh para eyang ini mempunyai maksud. Keduanya mengetahui rencana besarku.“Dalam kesempatan ini, aku sampaikan akan menginvestasikan dana untuk proyek cucuku, Wisnu,” ucap Nyonya Besar setelah makan bersama usai. Kemudian dia menoleh ke arah Papi. “Kusuma. Tolong nanti diatur. Anita akan mengirimkan berkas ke kalian.”Papi tersenyum sambil menyatakan kesediaannya. Aku langsung beranjak menghampiri Eyang Uti,
Posisiku sekarang seperti Nyonya Besar saat mengenalku, sebelum aku menjadi menantunya. Seperti harapannya kepadaku yang disampaikan saat itu.”Mami hanya ingin kamu merasakan kebahagiaan yang Mami rasakan. Mempunyai menantu seperti kamu yang mengerti Mami, menyayangi anak Mami, dan menjaga keluarga ini dengan cinta.”Saat itu aku merasa tersanjung. Ternyata apa yang aku lakukan menyebabkan kebahagiaan bagi mertuaku.Sekarang, giliranku menempatkan diri sebagai mertua. Tepatnya calon mertua.*“Rima kamu pulang sendiri? Mana Amelia dan Kevin?” Gadis berkulit putih itu menghampiriku, dan memberi salam.“Amelia dipanggil dosen, Ma. Sepertinya lama, dia ditemani Kevin, dan Rima pulang menggunakan taxi,” ucapnya sambil tersenyum.Sejak beberapa waktu yang lalu, atas permintaanku dia memanggilku mama, begitu juga kepada Mas Suma. Dia memanggilnya papa. Ini pertanda kami sudah siap menerimanya. Membuatnya tidak canggung lagi dengan keluarga ini.“Kenapa tidak telpon Pak Maman? Dia bisa me
“Kamu bisa mengemudikan mobil?”“Bisa, Ma.” Gadis itu menjawab dengan cepat.“Mahir? Atau sekadar bisa?”Aku menatapnya dengan mata menyipit, memastikan jawabnya benar. Terkadang banyak orang yang bisa menjalankan mobil, tetapi tidak mahir. Aku memang jelas-jelas tidak bisa, tapi aku tahu pengemudi yang mahir atau sekadar bisa.Beberapa pengemudi yang sering mengantarku, Pak Maman lah yang menjadi juaranya. Dalam kecepatan lambat ataupun cepat, selalu kenyamanan penumpang yang diutamakan.“Emm … Rima tidak mahir seperti Rio Haryanto atau Sergio Perez dari Red Bull. Tapi kalau Rima yang membawa mobil, Papa bisa tertidur,” jawab Rima sambil tersenyum memastikan.“Sip kalau begitu. Sekarang kamu jadi sopir Mama. Ambil kunci itu yang gantungannya kulit berwarna merah.” Aku menunjuk mangkuk kayu yang berisi beberapa kunci yang berada di meja sudut.“Kamu tidak keberatan, kan?” “Tidak, Ma. Justru seneng.”Selayaknya ibu dan anak, kami berjalan beriringan. Sekarang aku mempunyai dua anak p
“Mama kenapa mendapat tawaran justru ragu? Harusnya senang, dong,” ucap Rima. Dahinya berkerut menandakan tidak mengerti.Aku menyusul Rima setelah selesai berbincang dengan Aitu. Aku mengatakan akan mempelajari penawaran mereka. Tentu saja berdiskusi dengan Mas Suma. Untuk urusan bisnis, dialah yang mempunyai mata jeli. Dia mempunyai banyak pertimbangan tanpa mengabaikan pendapatku. Aku nyaman berbincang dengannya.“Tawaran itu tanggung jawab. Menerimanya, berarti mempunyai konsekuensi untuk memenuhi apa yang mereka minta. Mereka ingin produksi massal. Itu yang Mama masih pikirkan.”“Kenapa, Ma? Bukankah itu peluang produk Mama akan ada dimana-mana. Mendunia. Semua di belahan dunia ini mengenal nama Mama. Wah, keren banget!”Aku tersenyum melihat semangatnya yang menggebu-gebu. Namun yang di pikiranku lain. Aku melihat dari sudut pandang yang berbeda.“Kita ke atas, yuk. Ada tempat favorit di sana,” ucapku, kemudian memberi pesan ke pegawai untuk memesankan seperti tadi dan diantar k
Sempat terlintas itu dia. Dari kebiasaannya menaiki tangga dengan langkah tergesa. Ternyata perkiraanku benar. Dia yang menjulang menyajikan senyuman lebar yang menyisakan mata tinggal segaris. Walaupun rambut panjang yang menjadi kebanggaannya dipapras habis, tapi dia tetap memukau.“Aku tidak menyangka menemuimu di sini. Padahal aku iseng mampir, ternyata ada seseorang yang memanggil dalam hati. Iya, kan?”“Huh! Pak Tiok GR!” seruku sambil menerima nampan yang dia ulurkan. Untung saja bartender menaruh minuman di gelas kemasan, kalau tidak bisa menggelinding karena gerakannya yang asal.“Bagaimana kabar pengantin baru?”Dia mencembik. “Baru apaan. Sudah expired.”“Sudah ada kabar baik untukku? Aku sudah akan jadi tante?”Lagi-lagi dia tertawa. “Tunggu kabar nanti. Next aku ceritakan.” Sesaat aku mengerutkan dahi, sekilas dia menarik senyumnya, kemudian memunculkan kembali.“Itu satunya untuk aku.” Tangannya terulur mengambil satu gelas untuk kopi. “Ini sama denganmu. Kopi kental hit
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m