Yang penasaran lagunya kyak apa? Cari dengan judul dan penyanyi seperti tertera, ya. . Sapa tahu mo ngasih ke yang terkasih. . Met malam mingguan.
“Kamu tega meninggalkan aku, Ran?”Aku tertawa. Wajah Mas Suma yang terlihat menggemaskan saat berucap seperti itu. Matanya mengerjap dan menunjukkan raut wajah yang tidak sesuai dengan wajah yang tidak muda lagi.Memang aku akan kemana? Hanya berkeliling menikmati suasana saat matahari terbit. Memang masih gelap, tapi ini yang aku suka. Proses munculnya sinar matahari yang terkesan malu-malu yang aku cari.“Mas Suma mandi sana!” seruku tertawa sambil melemparkan bantal ke arahnya. Dia tertawa, kemudian beranjak dengan selimut melilit tubuhnya yang telanjang dada.Suasana begitu damai. Aku berkeliling di areal villa. Suara burung bersautan yang terbang diantara pepohonan. Villa yang aku tempati termasuk besar. Di ujung sana, berjejer villa dengan bangunan senada. Berderet dengan diselingi pepohonan yang dipadukan dengan tanaman hias. Jalan setapak dari batu, mempertegas kalau tempat ini menyajikan kenyamanan.Masih belum ada tamu villa yang terlihat. Yang ada hanya beberapa pekerja
Jalanan masih sepi, toko-toko pun masih tutup. Petugas kebersihan mengambil jadwal untuk memulihkan keindahan tempat wisata ini. Beberapa wisatawan manca negara terlihat berlari atau sekadar berjalan menikmati indahnya pagi di jalan yang masih lengang. Kami melewati jalan di pinggiran pantai Kuta. Angin laut menyapa dan deburan ombak pun seakan unjuk akan keberadaannya. “Orang-orang itu sedang apa, Vin?” Tanganku menunjuk pantai yang berjajar orang-orang bertopi caping. Dari jalan, terlihat mereka seperti berjajar dengan baju seragam. “Mereka tukang sapu, Mel.” “Pantai disapu?” tanyaku heran. Aku pernah melihat orang menyapu jalanan, tapi baru kali ini mendapati orang menyapu pantai berpasir. Mereka berjumlah banyak lagi. Kevin tertawa. “Amel. Memang kalau kita mendapati pantai bersih, indah, itu kerjaan siapa? Ya mereka itu. Saat kita masih molor tidur lagi, mereka melakukan tugasnya.” “Pasirnya tidak keikut?” tanyaku masih heran. Bik Inah di rumah menyapu dan membersihkan lant
“Kevin, pelan!”“Tahan, Mel. Tadi sudah dibilangin untuk pemanasan dulu, tidak dengar. Eh, ngeyel malah langsung ingin masuk saja.”Aku meringis, menahan sakit yang tidak terkira. Ternyata benar yang aku baca, ini sungguh menyakitkan. Tangan ini mencengkeram pundaknya, mencoba menahan sakit yang tidak kunjung reda. Sedangkan Kevin sibuk di bawah sana berusaha menghilangkan rasa sakit ini segera.“Sakit, Kevin!” teriakku sambil mengetatkan genggaman. Kevin berusaha meluruskan telapak kakiku yang kram. Awal yang sakit berangsur-angsur mereda. Betisku tadi terasa seperti ditarik, telapak kakiku pun kaku tidak bisa bergerak. Ini benar-benar saki.“Sudah enakkan?”“Hu-um,” jawabku, kemudian mensandarkan diri sandaran sunbed. Kevin memandangku, kemudian bernapas lega setelah aku menjawab. Mata yang sempat terpaku ke arahnya, aku alihkan ke langit biru. Bagaiamana tidak, anak sialan itu menyeka air yang menetes di wajahnya. Rambut basah menyempurnakan wajahnya yang selalu mematikku untuk
“Iya, lah, Vin. Coba kalau kamu mendapatkan foto Kak Wisnu. Satu saja. Pasti dia tidak mengelak kalau kemarin-kemarin sedang bersama Kak Rima. Telingaku benar-benar menangkap kalau Kak Wisnu memanggil sesorang dengan panggilan: sayang. Masak tukang paket dipanggil sayang? Tidak mungkin, kan?”Aku menegakkan diri, posisi serius dengan pembicaraan ini. Dia pun mengikutiku, bahkan kedua kakinya diturunkan untuk duduk menghadapku.“Amel. Sebenarnya aku tidak setuju kamu melakukan itu.”“Kenapa? Ini wujud aku sayang kepada kakak aku. Sesama keluarga harus saling mengingatkan. Bisa jadi Kak Wisnu lupa dan melakukan hal yang keliru. Iya, kan?” Dahiku berkerut sambil menatap Kevin. Dia kan anak tunggal. Jadi tidak tahu rasanya memiliki saudara, yang harus saling menjaga. Aku salah mencari teman ngobrol.“Nih, minum.” Aku melirik sambil dahi berkerut, dia yang menyodorkan kelapa muda. “Minum dulu supaya kepala dingin dan kita bisa melanjutkan bicara.”“Apaan, sih, Vin! Lagi serius begitu di
Acaranya masih nanti malam, tapi sekarang undangan sudah berdatangan. Maklumlah, kata Papi ini sekalian reuni teman-teman SMA Tante Elysia, yang juga teman Papi Kusuma..Genggaman tangan Rima semakin mengetat di lenganku. Dia terlihat bersikap hati-hati menghadapi mereka. Cara jalan, menyapa, bahkan tersenyum terlihat dia atur. Sebenarnya mereka bersikap santai, kadang menyeletuk gurauan. Namun, tetap saja aura keseharian mereka muncul. Pada umumnya, mereka pembisnis yang bisa dikatakan dari lahir sudah disiapkan perusahaan oleh orang tuanya.“Kusuma dan Maharani sebentar lagi menjadi tua.”“Kok tua? Kan memang sekarang sudah tua?”“Bukan begitu. Maksudnya merek menjadi kakek nenek.”“Iyalah. Lihat Wisnu dan Rima, pasti sebentar lagi menikah terus punya cucu. Jadilah mereka kakek nenek.”“Lha itu sama saja, anak mereka juga cucu kita.” Kemudian mengarahkan pandangan ke kami. “Berarti kalian berdua menjadikan kami menua berjamaah!” celetukan di sambut gelak tawa.Kalau aku sudah biasa
“Kak Rima di kamarku, Kak. Aman sama aku,” bisik Amelia mendahuluiku. Tangannya menyenggol lenganku, seakan menandakan kalau dia mendukungku.Di meja makan, Mama duduk sendirian sedang mengoles roti dengan selai keju. Di depannya ada secangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Dari aromanya, ini kopi kental tanpa gula kesukaan Mama.“Duduk,” ucap Mama tanpa melepaskan pandangan dari roti yang di tangannya.Mata ini menatap wajah Mama yang tanpa ekspresi. Senyuman tidak tersirat seperti saat tadi menyambut Rima. Keadaan sekarang ini yang aku kawatirkan sedari tadi. Keadaan Mama yang sebenarnya, membeku.“Iya, Ma. Ini Wisnu,” ucapku sambil duduk tepat di depannya.Gerakan tangannya terhenti, dengan mata tetap tidak teralihkan. Helaan napas panjang, seakan dia sedang mengatur emosi. Beberapa saat kami sama-sama terdiam. Kakiku tidak berhenti bergerak, berusaha mengurai kegelisahan ini. Sungguh, aku lebih menyukai Mama memukul atau menamparku, daripada dia diam seperti ini.“Wisnu. Mama m
Memang anak itu bukan milik kita. Mereka adalah titipan yang tidak selamanya bersama kita. Seperti Wisnu sekarang, dia sudah mengenal wanita. Kebutuhannya tidak hanya makan dan minum, tetapi kebutuhan dewasa muncul seiring bertambahnya usia. Aku mengerti.Sekarang aku harus mulai bersiap untuk melepas dia dari keluarga, saat dia membentuk keluarga sendiri. Melapangkan hati untuk menyerahkan dia ke wanita pilihannya. Namun tetap, sebelum janur melengkung, dia adalah tanggung jawabku.Wisnu juga mengaku kalau dia dan Rima sempat tinggal bersama di apartemen. Dia juga berjanji untuk tidak mengulangi lagi.“Rima juga suka ini, Ma?” celetuk Wisnu saat pekerja villa membawakan pesanan makanan. Aku sengaja memesan makanan untuk di kirim ke villa saja. Saat makan, bisa dijadikan momen untuk lebih mengenal Rima, calon menantu. Kalau kita makan di restoran, bisa jadi tidak bisa berbincang dengan keluarga, karena pasti bertemu teman-teman Mas Suma.“Ini enak. Amel kemarin nyobain di depan. Tapi
“Princess Amelia. Sabar sebentar, ya. Abang Prince sedang sibuk bekerja,” ucapnya. Tangan kanan menangkup dada, dan satunya diletakkan di belakang sambil membungkuk.Sempat cemberut menghadapi Kevin yang ngeselin ini. Dia hanya menyodorkan drink list, kemudian kembali lagi berkutat di meja kasir. Dia ini anak bos atau karyawan, ya?Namun, lambat laun aku disibukkan dengan mengamati pengunjung. Restoran begitu ramai. Yang datang tidak hanya dari tamu villa, ini juga dari pejalan kaki atau beberapa yang sengaja akan makan di sini. Terlihat dari orang yang datang, dan beberapa mobil yang datang.Senyum ini mengembang saat melihat Kevin yang terlihat serius. Sesekali dia beranjak dari kursi dan memerintahkan ini dan itu kepada karyawan. Melihat ini, tidak ada Kevin yang biasanya aku dapati. Anak yang ngeselin dan nurut aku suruh-suruh, bahkan tetap tersenyum walaupun aku omelin.‘Apa aku keterlaluan memperlakukan dia, ya? Atau, dia yang terlalu naif ingin dekat denganku?’“Maaf. Pak Kevi
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan