Serba salah. Ini yang aku rasakan. Sungguh, bersama laki-laki di depanku ini, aku merasa nyaman. Namun, aku tidak tahu ini sebagai teman, sahabat, atau lebih. Aku tidak mau terjebak pada rasa yang belum perlu. Jalanku masih panjang.Akan tetapi … melihat matanya yang mengerjap, memaksaku untuk tidak mengabaikannya.“Kenapa?” ucapnya pelan dengan kepala meneleng. “Kamu bingung memilih antar aku atau Rangga?”Aku merasa genggaman di tanganku mulai mengendur, perlahan terasa gerakannya menarik jemari. Ada kekecewan di sana. Harusnya aku tidak pedulu, tetapi kenapa aku merasa tidak rela kalau dia seperti ini? Tanpa pikir panjang, sekarang aku yang beralih menggenggam tangannya. Mata ini menangkap dia yang terkesiap. Aku seperti orang tidak tahu malu, melakukan ini. Tapi biarlah.“Kevin ….”“Hmm …?”Aku menatapnya sejenak, dan mengalihkan pandangan.“Bolehkah aku berharap kamu bersabar menungguku?”Mata Kevin mengerjap. Dia tidak berucap, seakan memberi kesempatan aku untuk menuangkan isi
Tidak tahu apa yang harus aku jawab. Kalau Kevin yang berujar, aku bisa berkilah. Akan tetapi, di depanku ini adalah Mamanya Kevin. “Tolong jawab iya, Sayang. Atau, kalau kamu benar-benar tidak menyukai Kevin, tolong jangan memberikan harapan kepadanya.” Aku mengernyit, penasaran dengan maksudnya. “Tante, tidak mau Kevin terpuruk seperti dulu lagi.” “Memang Kevin dulu kenapa, Tante?” tanyaku tidak sabar. Isi kepalaku mulai berputar liar. Apa anak menyebalkan itu pernah mengalami patah hati sampai ingin bunuh diri? Jadi kalau menyukai seseorang harus dia dapatkan? Atau…. “Kevin sebenarnya bukan anak tunggal. Dia mempunyai saudari. Namun, mereka berpisah karena kecelakaan,” ucapnya dengan sorot mata terlihat sendu. Kemudian Tante Elysia mulai bercerita. Kevin mempunyai adik perempuan, Aecha namanya. Yang artinya anak perempuan kesayangan. Kevin sangat sayang kepada adiknya itu. Kemanapun mereka selalu bersama. “Kecelakaan itu terjadi saat mereka berangkat sekolah. Sopir dan Aecha
Mobil tidak melewati jalan yang tadi. Justru Kevin memilih jalan-jalan kecil. “Kita lewat kampung saja. Lebih banyak yang dilihat. Rasa Balinya terasa dibandingkan lewat di jalan bypass,” ucapnya sambil menunjuk beberapa orang yang berjalan.Laki-laki perempuan berjalan beriringan. Mereka menggunakan pakaian traditional. Seperti di foto internet, yang perempuan menyunggi susunan buah-buahan yang dirangkai tinggi. Menaruh rangkaian yang menjulang itu di atas kepala.“Itu tidak berat ke kepala?” tanyaku sambil mengamati mereka dari balik jendela mobil. Kepala bagian atasku berdenyut seakan merasakan berat.“Di sini sudah biasa, Mel. Mereka membawa itu ke pura sebagai sesembahan. Katanya temanku, dulu sebenarnya yang menjadi sesembahan adalah hasil bumi untuk menyatakan puji syukur. Ini yang sering disebut upacara keagamaan dan adat.”“Oh, seperti karyawanmu tadi itu.”“Iya, betul.”Mobil dijalankan dengan pelan, sehingga aku bisa menikmati pemandangan unik ini. Di kelompok lagi-laki, m
Tangan yang memegang ponsel, aku jauhkan dari jangkauan Kevin. Kemudian aku menggeleng dengan menatapnya serius, aku menolak permintaannya.“Aku bisa menanganginya,” ucapku sambil mengacungkan telunjuk. Di bawah pohon agak sedikit menjauh yang menjadi pilihanku. Mata ini melirik ke arah Kevin. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan tatapan mata tidak lepas dariku.“Hai, Rangga. Apa kabar!” seruku setelah sambungan telpon terhubung. Aku menghela napas, tidak mau membahas masalah pesan yang dia kirim. Mungkin dia saat itu sedang banyak masalah, dan amarah terpantik begitu saja.Aku menatap layar ponsel yang menunjukkan penampilannya. Wajahnya terlihat segar dengan handuk kecil dikalungkan di leher. Dari rambutnya sedikit basah, pasti dia sepulang dari lari pagi. Kebiasaannya setiap akhir minggu seperti sekarang ini.Dia memunculkan senyuman. Sama seperti dulu, dia tetap memesona dengan garis wajah tegas yang disempurnakan dengan rambut potongan cepak. “Baik selalu, Mel. Ini selesai dari
“Sekali-kali kita boleh galak sama orang! Terutama yang berniat menginjak kita! Semut yang hewan kecil saja menggigit kalau diinjak. Apalagi kita yang punya akal!” seru Kevil sambil mendudukkan diri di tikar. Aku menyodorkan minuman dingin, dan duduk mensejajarinya.Aku yakin Ranggapun tidak berniat demikian. Tapi karena amarah, akal sehat bisa diluruh lantakkan. Begitu juga Kevin. Sempat terlontar sumpah serapah saat beradu mulut dengan Rangga. Dia pun tidak demikian di kesehariannya.Kevin meneguk tandas. Dia mengusap sisa minuman yang tercecer dengan punggung tangan, kemudian menoleh ke arahku. “Pokoknya, Mel. Kalau ada yang berani bersikap seperti itu kepadamu, lapor kepadaku! Aku akan__”“Iya, Aku mengerti, Vin,” ucapku sambil menepuk lengannya. Aku menunjukkan senyuman dan berucap kembali, “Terima kasih, ya. Sudah membelaku.”Wajah yang menegang, berangsur-angsur melunak. Raut wajahnya sekarang dihiasai senyuman. “Apa, sih, yang tidak untuk kamu, Mel. Apapun aku usahakan,” sahut
Ternyata seperti ini kawatirnya. Aku saja kepikiran dengan Amelia. Pantas saja Papinya Rima sampai menelpon Papi Suma. Pasti dia sangat mengkawatirkan keadaan putrinya. Sekarang aku sangat mengerti hal ini.“Mas Wisnu kenapa? Kok seperti memikirkan sesuatu?” Rima datang sambil membawa nampan berisi pesanan kami.Aku dan Rima memutuskan jalan-jalan di Kuta saja. Tidak perlu jauh-jauh, yang perting bersama. Itu katanya. Dan sekarang ini, kami di restoran cepat saji yang menjual ayam goreng dan hamburger.“Tidak. Aku menelpon Amelia. Sebelumnya aku pernah janji kalau dia ke sini, akan aku ajak jalan-jalan.”“Ya, sudah. Gabung saja sama kita. Aku juga ingin lebih mengenal Amelia,” sahutnya antusias. Dia meletakkan minuman soda dan ayam goreng di depanku.“Maunya begitu. Tapi dia sudah terlanjur pergi dengan temannya?”“Kevin itu, ya?” ucap Rima membuatku terkejut. “Amelia bilang kepadaku. Malah dia cerita tentang Kevin anak pemilik villa itu, kan?”“Iya, betul. Mereka juga satu kampus.”“
Bohong kalau ada yang mengatakan kalau kita mencintai seseorang, hasrat tidak akan menyertainya. William Shakespeare, seorang penyair pernah mengajukan pertanyaan menggelitik, “Apakah itu cinta?”Saat kita bersama seseorang yang membuat kita nyaman, cinta dan hasrat tidak bisa dipisahkan. Keduanya sejalan. Sedangkan kitalah yang menyeimbangkan keduanya. Bersamanya. Setiap sentuhan tidak hanya memantik jantung bergemuruh, tetapi juga menimbulkan gelenyar indah di hati.Seperti saat ini, kami menghabiskan sisa hari di tepi pantai. Rima menggelar kain pantai sebagai alas duduk. Dengan bersandar di pohon kelapa, kami melanjutkan perbincangan tadi.“Rima. Rencanaku, bulan depan aku sudah pindah. Tidak di Bali lagi. Papi Kusuma menarikku ke sana untuk fokus pada rencanaku semula.”“Terus yang di sini?”“Papa Bram yang meneruskan.”Rima yang bersandar di lenganku, beranjak menegakkan diri dan menoleh ke arahku. “Rima belum mengerti,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.“Aku dan Papi Kusuma
Over thinking memang tidak diperlukan. Aku tahu benar ini. Namun, kalau seperti saat ini bagaimana isi kepala ini berputar dengan banyak asumsi jelek? Apalagi ponsel Amelia tidak bisa dihubungi. Masih tiga jam lagi sebelum acara, tetapi seharusnya dia sudah ada di sini untuk mempersiapkan diri. Ini memang kali pertama Amelia seperti ini. Dan, tidak mungkin aku bertanya kepada Mas Suma. Dia sudah disibukkan dengan teman-temannya. Apalagi bertanya kepada Elysia. Mamanya Kevin itu sudah terbenam dengan persiapan nanti malam dan menyambut para undangan. Sekarang, tertinggal aku yang mondar-mandir dengan ponsel di tangan. Aku tersentak saat ponselku menyala, menunjukkan nomor yang tidak tercatat. Seketika aku teringat seperti di film-film itu. Ketika anaknya tidak bisa dihubungi, kemudian ada telpon masuk dari nomor tidak dikenal untuk meminta tebusan. Atau, dari seseorang yang menyampaikan kabar buruk. Dengan was-was aku menerima sambungan telpon ini. “Halo …?” “Mama! Ini Amelia!”