“Sekali-kali kita boleh galak sama orang! Terutama yang berniat menginjak kita! Semut yang hewan kecil saja menggigit kalau diinjak. Apalagi kita yang punya akal!” seru Kevil sambil mendudukkan diri di tikar. Aku menyodorkan minuman dingin, dan duduk mensejajarinya.Aku yakin Ranggapun tidak berniat demikian. Tapi karena amarah, akal sehat bisa diluruh lantakkan. Begitu juga Kevin. Sempat terlontar sumpah serapah saat beradu mulut dengan Rangga. Dia pun tidak demikian di kesehariannya.Kevin meneguk tandas. Dia mengusap sisa minuman yang tercecer dengan punggung tangan, kemudian menoleh ke arahku. “Pokoknya, Mel. Kalau ada yang berani bersikap seperti itu kepadamu, lapor kepadaku! Aku akan__”“Iya, Aku mengerti, Vin,” ucapku sambil menepuk lengannya. Aku menunjukkan senyuman dan berucap kembali, “Terima kasih, ya. Sudah membelaku.”Wajah yang menegang, berangsur-angsur melunak. Raut wajahnya sekarang dihiasai senyuman. “Apa, sih, yang tidak untuk kamu, Mel. Apapun aku usahakan,” sahut
Ternyata seperti ini kawatirnya. Aku saja kepikiran dengan Amelia. Pantas saja Papinya Rima sampai menelpon Papi Suma. Pasti dia sangat mengkawatirkan keadaan putrinya. Sekarang aku sangat mengerti hal ini.“Mas Wisnu kenapa? Kok seperti memikirkan sesuatu?” Rima datang sambil membawa nampan berisi pesanan kami.Aku dan Rima memutuskan jalan-jalan di Kuta saja. Tidak perlu jauh-jauh, yang perting bersama. Itu katanya. Dan sekarang ini, kami di restoran cepat saji yang menjual ayam goreng dan hamburger.“Tidak. Aku menelpon Amelia. Sebelumnya aku pernah janji kalau dia ke sini, akan aku ajak jalan-jalan.”“Ya, sudah. Gabung saja sama kita. Aku juga ingin lebih mengenal Amelia,” sahutnya antusias. Dia meletakkan minuman soda dan ayam goreng di depanku.“Maunya begitu. Tapi dia sudah terlanjur pergi dengan temannya?”“Kevin itu, ya?” ucap Rima membuatku terkejut. “Amelia bilang kepadaku. Malah dia cerita tentang Kevin anak pemilik villa itu, kan?”“Iya, betul. Mereka juga satu kampus.”“
Bohong kalau ada yang mengatakan kalau kita mencintai seseorang, hasrat tidak akan menyertainya. William Shakespeare, seorang penyair pernah mengajukan pertanyaan menggelitik, “Apakah itu cinta?”Saat kita bersama seseorang yang membuat kita nyaman, cinta dan hasrat tidak bisa dipisahkan. Keduanya sejalan. Sedangkan kitalah yang menyeimbangkan keduanya. Bersamanya. Setiap sentuhan tidak hanya memantik jantung bergemuruh, tetapi juga menimbulkan gelenyar indah di hati.Seperti saat ini, kami menghabiskan sisa hari di tepi pantai. Rima menggelar kain pantai sebagai alas duduk. Dengan bersandar di pohon kelapa, kami melanjutkan perbincangan tadi.“Rima. Rencanaku, bulan depan aku sudah pindah. Tidak di Bali lagi. Papi Kusuma menarikku ke sana untuk fokus pada rencanaku semula.”“Terus yang di sini?”“Papa Bram yang meneruskan.”Rima yang bersandar di lenganku, beranjak menegakkan diri dan menoleh ke arahku. “Rima belum mengerti,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.“Aku dan Papi Kusuma
Over thinking memang tidak diperlukan. Aku tahu benar ini. Namun, kalau seperti saat ini bagaimana isi kepala ini berputar dengan banyak asumsi jelek? Apalagi ponsel Amelia tidak bisa dihubungi. Masih tiga jam lagi sebelum acara, tetapi seharusnya dia sudah ada di sini untuk mempersiapkan diri. Ini memang kali pertama Amelia seperti ini. Dan, tidak mungkin aku bertanya kepada Mas Suma. Dia sudah disibukkan dengan teman-temannya. Apalagi bertanya kepada Elysia. Mamanya Kevin itu sudah terbenam dengan persiapan nanti malam dan menyambut para undangan. Sekarang, tertinggal aku yang mondar-mandir dengan ponsel di tangan. Aku tersentak saat ponselku menyala, menunjukkan nomor yang tidak tercatat. Seketika aku teringat seperti di film-film itu. Ketika anaknya tidak bisa dihubungi, kemudian ada telpon masuk dari nomor tidak dikenal untuk meminta tebusan. Atau, dari seseorang yang menyampaikan kabar buruk. Dengan was-was aku menerima sambungan telpon ini. “Halo …?” “Mama! Ini Amelia!”
“Amel! Cepat Mama sudah siap!”Suara Mama dari luar kamar, meluruhkan ingatanku saat kejadian tadi. Sekali lagi jemari ini meraba bibir. Masih tertinggal geleyar indah di sana. Aku tidak menyangka melakukannya bersama anak yang mengesalkan itu.Sekarang, hati ini semakin kesal dibuatnya, karena semakin lama aku merasa kesulitan untuk beranjak darinya. Kebebasan seakan terengut, tetapi kenapa ini membahagiakan? Apa ini namanya jatuh cinta yang sebenarnya? Keterikatan dua hati yang memaksa untuk hanya tertuju padanya?Tok! Tok! Tok!“Non Amel. Bu Rani sudah di depan.” Suara Mbak Tias pengasuh Daniel. Dengan segera aku memulas lip gloss rasa strawberry berwarna sedikit merah. Tidak mencolok, hanya terlihat segar.“Anak mama cantik!” seru Mama setelah aku bergabung dengan mereka. Perlakuannya masih sama dari dulu, dia selalu memastikan apa yang aku kenakan sempurna.“Kamu sudah terlihat cantik dengan kalung ini,” ucapnya sambil memposisikan bandul kalung yang miring. Kalung ini, hadiah d
“Ran ….” Mas Suma menyodorkan ponsel yang menunjukkan ini panggilan bertulis ‘Amelia Emergency’. Sejenak suamiku ini tidak berkata-kata dengan wajah terlihat memucat.“A-apa ini artinya?” tanyaku dengan melihat layar yang menunjukkan peta dengan satu titik kecil yang bergerak.“Ini tanda dari bandul yang dikenakan Amelia. Kalau ini berbunyi pertanda ada kondisi bahaya.”“Apa mungkin dia salah pencet, Mas?” tanyaku berusaha mencari kemungkinan lain. Walaupun bayangan buruk mulai datang.“Harapanku begitu, Ran. Tapi kenapa titik ini bergerak menjauhi villa?”BRAK!Suara pintu dibuka terdengar, dan memperlihatkan sosok Wisnu yang terengah. “Mama! Amelia dan Rima ada di sini?”Dia menunjukkan selendang putih dan bros yang aku kenakan kepada Rima tadi. Seketika jantung ini berhenti berdetak saat melihat selendang itu sobek memanjang. Isi kepalaku mulai memperkirakan ini seperti direnggut paksa.“Tidak. Amelia belum kembali ke sini? Memang Rima dimana?” tanya Mas Suma dengan dahi berkerut
“Elys! Amelia!”Aku menjerit, kakiku seakan tidak berpijak. Tangan ini gemetar dan tubuhku mati rasa seketika. Isi kepala ini berjubal dengan bayangan buruk.Kalau itu darah, berarti Amelia terluka. Benda itu terletak di kepala. Kalau bernoda darah, berarti yang cidela adalah kepala. Kulitnya sobek, atau …. Aku tidak sanggup membayangkan ini. Banyak kasus-kasus penculikan yang berakhir dengan kehilangan. Apalagi Amelia seorang anak gadis yang cantik.Tidak! Aku tidak rela ini terjadi pada keluargaku!“Maharani! Tenang!”“Elysia. Bagaimana aku bisa tenang. Amelia anakku ….” Aku tidak sanggup dan hanya bisa tergugu.Kata seandainya mulai meruntuki diriku sendiri. Seandainya aku lebih tegas kepadanya, ini tidak akan terjadi. Seandainya aku tidak mengizinkan dia pergi sendiri dan aku paksa kembali bersamaku, dia akan selamat. Tidak apa-apa dia membenciku, asal dia tidak mengalami hal buruk seperti sekarang ini.Tanganku terkepal keras. Rasa marah mulai menguasai diri ini kepada pelaku. K
“Amelia … Amelia ….” Suara berbisik dan goncangan di lengan ini begitu mengusik. Mataku mengerjap, mengusir rasa berat di kelopak mata ini. Namun, aku tidak mampu melebarkan mata.Sekali lagi, lenganku tergoncang kembali. “Amelia … Amelia ….”Kepala ini berteriak memerintah mata untuk terbuka, dan pelan aku mengejapkan mata. Silau sesekali menerpa mata ini. Goncangan pun membuat tubuhku tidak nyaman. Serpihan-serpihan ingatan mulai terkumpul, dan aku memalingkan kepala dan mendapati Kak Rima menggeleng. Seakan memberi tanda untuk aku tidak berkata-kata.Sekarang aku sadar. Kami berada di bagian mobil, tanpa bangku dan hanya beralaskan karpet. Kami meringkuk berhadapan dengan tangan terikat di depan.“Siapa mereka, Kak,” tanyaku berbisik setelah berhasil beringsut mendekat ke arahnya.“Stt ….”Aku mengangguk, dan mendengarkan perbincangan mereka di depan.“Gadis yang satunya itu siapa? Adiknya pacar kamu?”“Bukan! Rima tidak mempunyai adik. Setahuku dia anak tunggal. Mungkin itu tem
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan