Jalanan masih sepi, toko-toko pun masih tutup. Petugas kebersihan mengambil jadwal untuk memulihkan keindahan tempat wisata ini. Beberapa wisatawan manca negara terlihat berlari atau sekadar berjalan menikmati indahnya pagi di jalan yang masih lengang. Kami melewati jalan di pinggiran pantai Kuta. Angin laut menyapa dan deburan ombak pun seakan unjuk akan keberadaannya. “Orang-orang itu sedang apa, Vin?” Tanganku menunjuk pantai yang berjajar orang-orang bertopi caping. Dari jalan, terlihat mereka seperti berjajar dengan baju seragam. “Mereka tukang sapu, Mel.” “Pantai disapu?” tanyaku heran. Aku pernah melihat orang menyapu jalanan, tapi baru kali ini mendapati orang menyapu pantai berpasir. Mereka berjumlah banyak lagi. Kevin tertawa. “Amel. Memang kalau kita mendapati pantai bersih, indah, itu kerjaan siapa? Ya mereka itu. Saat kita masih molor tidur lagi, mereka melakukan tugasnya.” “Pasirnya tidak keikut?” tanyaku masih heran. Bik Inah di rumah menyapu dan membersihkan lant
“Kevin, pelan!”“Tahan, Mel. Tadi sudah dibilangin untuk pemanasan dulu, tidak dengar. Eh, ngeyel malah langsung ingin masuk saja.”Aku meringis, menahan sakit yang tidak terkira. Ternyata benar yang aku baca, ini sungguh menyakitkan. Tangan ini mencengkeram pundaknya, mencoba menahan sakit yang tidak kunjung reda. Sedangkan Kevin sibuk di bawah sana berusaha menghilangkan rasa sakit ini segera.“Sakit, Kevin!” teriakku sambil mengetatkan genggaman. Kevin berusaha meluruskan telapak kakiku yang kram. Awal yang sakit berangsur-angsur mereda. Betisku tadi terasa seperti ditarik, telapak kakiku pun kaku tidak bisa bergerak. Ini benar-benar saki.“Sudah enakkan?”“Hu-um,” jawabku, kemudian mensandarkan diri sandaran sunbed. Kevin memandangku, kemudian bernapas lega setelah aku menjawab. Mata yang sempat terpaku ke arahnya, aku alihkan ke langit biru. Bagaiamana tidak, anak sialan itu menyeka air yang menetes di wajahnya. Rambut basah menyempurnakan wajahnya yang selalu mematikku untuk
“Iya, lah, Vin. Coba kalau kamu mendapatkan foto Kak Wisnu. Satu saja. Pasti dia tidak mengelak kalau kemarin-kemarin sedang bersama Kak Rima. Telingaku benar-benar menangkap kalau Kak Wisnu memanggil sesorang dengan panggilan: sayang. Masak tukang paket dipanggil sayang? Tidak mungkin, kan?”Aku menegakkan diri, posisi serius dengan pembicaraan ini. Dia pun mengikutiku, bahkan kedua kakinya diturunkan untuk duduk menghadapku.“Amel. Sebenarnya aku tidak setuju kamu melakukan itu.”“Kenapa? Ini wujud aku sayang kepada kakak aku. Sesama keluarga harus saling mengingatkan. Bisa jadi Kak Wisnu lupa dan melakukan hal yang keliru. Iya, kan?” Dahiku berkerut sambil menatap Kevin. Dia kan anak tunggal. Jadi tidak tahu rasanya memiliki saudara, yang harus saling menjaga. Aku salah mencari teman ngobrol.“Nih, minum.” Aku melirik sambil dahi berkerut, dia yang menyodorkan kelapa muda. “Minum dulu supaya kepala dingin dan kita bisa melanjutkan bicara.”“Apaan, sih, Vin! Lagi serius begitu di
Acaranya masih nanti malam, tapi sekarang undangan sudah berdatangan. Maklumlah, kata Papi ini sekalian reuni teman-teman SMA Tante Elysia, yang juga teman Papi Kusuma..Genggaman tangan Rima semakin mengetat di lenganku. Dia terlihat bersikap hati-hati menghadapi mereka. Cara jalan, menyapa, bahkan tersenyum terlihat dia atur. Sebenarnya mereka bersikap santai, kadang menyeletuk gurauan. Namun, tetap saja aura keseharian mereka muncul. Pada umumnya, mereka pembisnis yang bisa dikatakan dari lahir sudah disiapkan perusahaan oleh orang tuanya.“Kusuma dan Maharani sebentar lagi menjadi tua.”“Kok tua? Kan memang sekarang sudah tua?”“Bukan begitu. Maksudnya merek menjadi kakek nenek.”“Iyalah. Lihat Wisnu dan Rima, pasti sebentar lagi menikah terus punya cucu. Jadilah mereka kakek nenek.”“Lha itu sama saja, anak mereka juga cucu kita.” Kemudian mengarahkan pandangan ke kami. “Berarti kalian berdua menjadikan kami menua berjamaah!” celetukan di sambut gelak tawa.Kalau aku sudah biasa
“Kak Rima di kamarku, Kak. Aman sama aku,” bisik Amelia mendahuluiku. Tangannya menyenggol lenganku, seakan menandakan kalau dia mendukungku.Di meja makan, Mama duduk sendirian sedang mengoles roti dengan selai keju. Di depannya ada secangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Dari aromanya, ini kopi kental tanpa gula kesukaan Mama.“Duduk,” ucap Mama tanpa melepaskan pandangan dari roti yang di tangannya.Mata ini menatap wajah Mama yang tanpa ekspresi. Senyuman tidak tersirat seperti saat tadi menyambut Rima. Keadaan sekarang ini yang aku kawatirkan sedari tadi. Keadaan Mama yang sebenarnya, membeku.“Iya, Ma. Ini Wisnu,” ucapku sambil duduk tepat di depannya.Gerakan tangannya terhenti, dengan mata tetap tidak teralihkan. Helaan napas panjang, seakan dia sedang mengatur emosi. Beberapa saat kami sama-sama terdiam. Kakiku tidak berhenti bergerak, berusaha mengurai kegelisahan ini. Sungguh, aku lebih menyukai Mama memukul atau menamparku, daripada dia diam seperti ini.“Wisnu. Mama m
Memang anak itu bukan milik kita. Mereka adalah titipan yang tidak selamanya bersama kita. Seperti Wisnu sekarang, dia sudah mengenal wanita. Kebutuhannya tidak hanya makan dan minum, tetapi kebutuhan dewasa muncul seiring bertambahnya usia. Aku mengerti.Sekarang aku harus mulai bersiap untuk melepas dia dari keluarga, saat dia membentuk keluarga sendiri. Melapangkan hati untuk menyerahkan dia ke wanita pilihannya. Namun tetap, sebelum janur melengkung, dia adalah tanggung jawabku.Wisnu juga mengaku kalau dia dan Rima sempat tinggal bersama di apartemen. Dia juga berjanji untuk tidak mengulangi lagi.“Rima juga suka ini, Ma?” celetuk Wisnu saat pekerja villa membawakan pesanan makanan. Aku sengaja memesan makanan untuk di kirim ke villa saja. Saat makan, bisa dijadikan momen untuk lebih mengenal Rima, calon menantu. Kalau kita makan di restoran, bisa jadi tidak bisa berbincang dengan keluarga, karena pasti bertemu teman-teman Mas Suma.“Ini enak. Amel kemarin nyobain di depan. Tapi
“Princess Amelia. Sabar sebentar, ya. Abang Prince sedang sibuk bekerja,” ucapnya. Tangan kanan menangkup dada, dan satunya diletakkan di belakang sambil membungkuk.Sempat cemberut menghadapi Kevin yang ngeselin ini. Dia hanya menyodorkan drink list, kemudian kembali lagi berkutat di meja kasir. Dia ini anak bos atau karyawan, ya?Namun, lambat laun aku disibukkan dengan mengamati pengunjung. Restoran begitu ramai. Yang datang tidak hanya dari tamu villa, ini juga dari pejalan kaki atau beberapa yang sengaja akan makan di sini. Terlihat dari orang yang datang, dan beberapa mobil yang datang.Senyum ini mengembang saat melihat Kevin yang terlihat serius. Sesekali dia beranjak dari kursi dan memerintahkan ini dan itu kepada karyawan. Melihat ini, tidak ada Kevin yang biasanya aku dapati. Anak yang ngeselin dan nurut aku suruh-suruh, bahkan tetap tersenyum walaupun aku omelin.‘Apa aku keterlaluan memperlakukan dia, ya? Atau, dia yang terlalu naif ingin dekat denganku?’“Maaf. Pak Kevi
Serba salah. Ini yang aku rasakan. Sungguh, bersama laki-laki di depanku ini, aku merasa nyaman. Namun, aku tidak tahu ini sebagai teman, sahabat, atau lebih. Aku tidak mau terjebak pada rasa yang belum perlu. Jalanku masih panjang.Akan tetapi … melihat matanya yang mengerjap, memaksaku untuk tidak mengabaikannya.“Kenapa?” ucapnya pelan dengan kepala meneleng. “Kamu bingung memilih antar aku atau Rangga?”Aku merasa genggaman di tanganku mulai mengendur, perlahan terasa gerakannya menarik jemari. Ada kekecewan di sana. Harusnya aku tidak pedulu, tetapi kenapa aku merasa tidak rela kalau dia seperti ini? Tanpa pikir panjang, sekarang aku yang beralih menggenggam tangannya. Mata ini menangkap dia yang terkesiap. Aku seperti orang tidak tahu malu, melakukan ini. Tapi biarlah.“Kevin ….”“Hmm …?”Aku menatapnya sejenak, dan mengalihkan pandangan.“Bolehkah aku berharap kamu bersabar menungguku?”Mata Kevin mengerjap. Dia tidak berucap, seakan memberi kesempatan aku untuk menuangkan isi